DISUSUN OLEH :
1. Aan Milan Ardani (1903511054 )
2. Escriva Josephina Ketaren (1903511055)
3. Rae Hagai Bastanta Tarigan (1903511064)
4. Gurkyana Br Sembiring (1903511092)
5. I Gede Krisna Nugraha (1903511106)
Penyusun
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan
Rumusan Masalah
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Babi
Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung lemper dan
merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Babi merupakan omnivora yang berarti
mereka mengonsumsi daging maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu, babi termasuk salah satu
mamalia yang paling cerdas, dan dilaporkan lebih pintar dan mudah dipelihara dibandingkan
dengan anjing dan kucing. Babi termaksud dalam golongan ternak monogastrik yang bisa
mengubah makanan sisa atau limbah, limbah peternakan, limbah pertanian, dan sisa makanan
manusia bisa diubah babi menjadi daging.
Perlakuan ini diberikan kepada 16 ternak babi fase grower yang dibagi dalam 4 kelompok,
masing –masing kelompok terdiri dari 4 ekor ternak. Penempatan ternak dalam kelompok
dilakukan secara acak. Perlakuan pakan yang digunakan yaitu tanpa mengandung tepung
bonggol pisang kepok fermentasi (TBPKF) (R0) sebagai pakan kontrol; pakan mengandung 7
% TBPKF (R1); pakan mengandung 14 % TBPKF (R2); dan pakan mengandung 21 %
TBPKF (R3). Lalu ternak dalam kelompok mengkonsumsi salah satu dari 4 perlakuan pakan.
Pakan diberi 3 x sehari secara ad libitum yaitu pada pukul 6.00 pagi, 12.00 siang dan 17.00
sore, air minum tersedia sepanjang hari dan kandang dibersihkan dua kali sehari yakni pagi
dan sore hari.
Bab 4 Pembahasan
Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk 24 jam (Anggorodi, 1994).
Suatu ransum seimbang menyediakan semua zat makanan yang dibutuhkan untuk memberi
makan ternak selama 24 jam. Konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh berat badan dan
umur ternak. Konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan
ternak. Jumlah ransum yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur
ternak.
Ternak babi membutuhkan ransum yang imbangan nutrisinya baik atau sempurna, untuk
memperoleh reproduksi dan produksi daging yang optimal. Ternak babi membutuhkan
energi, protein, mineral, vitamin dan air. Setiap zat mempunyai fungsi dan kaitan spesifik di
dalam tubuh. Kekurangan atau ketidakseimbangan zat-zat makanan dapat memperlambat
pertumbuhan dan berdampak pada performans. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
ransum yaitu cara pemberian pakan, aroma pakan, kondisi lingkungan atau suhu kandang,
ketersedian air minum, jumlah ternak dan kesehatan ternak (Sihombing, 1997).
Menurut Sihombing (2006), batasan penggunaan serat kasar dalam ransum fase stater
mencapai 3,5−4,0% dan fase grower 4,0−5,0%. Kandungan serat kasar yang cukup tinggi
dalam ransum ternak babi akan berpengaruh terhadap kualitas ransum, dimana semakin tinggi
serat kasar dalam ransum, maka kecernaan bahan kering dan bahan organik semakin rendah
serta pertumbuhan ternak babi menurun karena tidak dapat mencerna serat kasar dan
akibatnya zat-zat makanan yang lain dalam ransum tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
4.2 Pengaruh Kecernaan dan Konsumsi Bahan Kering dan Bahan organik
Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserap tubuh
yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam
feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah
kecernaan bahan kering (Ranjhan, 1980). Kecernaan bahan organik suatu pakan
menunjukkan kualitas dari pakan yang dicerna oleh tubuh.
Menurut penelitihan pakan ternak babi yang di tambah fermentasi tepung bongol pisang
kepok data yang didapat tidak menunjukan pengaruh yang nyata pada konsumsi bahan kering
beda diantara perlakuaan R1, R2, R3 tetapi nyata lebih tinggi pada ternak yang
mengkonsumsi R0 (Kontrol ). Rataan konsumsi BK dan B0 tertinggi pada perlakuaan R0
diikuti berturut turut perlakuaan R1 R2 R3.
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi 1870,99±37,62c 1654,70 ±28,92b 1610,07±47,93a 1 1610,07±42,95a
BK
Konsumsi 1665,19±33,48c 1595,32±26,11b 1482,77±42,95a 1457,75±54,95a
B0
Kencernaan 65,05±5,45bc 66,57±6,34c 60,90±1,50ab 57,21±2,64a
BK
Kencernaan 68,95±4,72bc 70,48±6,34c 65,21±1,35ab 62,04±2,64a
BO
Hasil analisi menunjukan rataan konsumsi BK dan B0 cenderung menurun tidak ada temuan
perbedaan yang nyata. Nilai konsumsi pakan relatif sama karena kandungan nutrien pakan
sama. Perbedaan angka konsumsi disebabkan karena perbedaan bajan pakan , walapun ternak
babi yang digunakan difase sama. Jumlah konsumsi dipengaruhi oleh kosentrasi energi,
palatabilitas, nutiren, bangsa dan ladju pertumbuhan ternak. Konsumsi BO, sebagaimana
halnya dengan konsumsi BK cenderung menurun sejalan dengan meningkatnya level
penggunaan pakan TBPK fermentasi. Hal ini akibat kandungan energi dalam pakan yang
relatif sama sehingga konsumsi BO tidak nyata berbeda. Nilai konsumsi yang cenderung
menurun pada penelitian ini diduga karena pati yang tinggi masih sukar dicerna oleh saluran
pencernaan ternak babi fase grower sebagai akibat masih terbungkus oleh polisakarida
nonpati. Pakan mengandung 7 % tepung BPKF (R1), belum secara nyata (P>0,05)
menurunkan kecernaan BK dan BO bila dibanding dengan pakan kontrol. Kecernaan BK dan
BO pakan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara perlakuan R0 dengan R1 dan
perlakuan R2 dengan R3. Hal ini mengindikasikan peningkatan level penggunaan BPKF dari
14 ke level 21 % belum nyata menurunkan kecernaan BK dan BO. Rataan kecernaan pakan
pada penelitian ini cenderung menurun diduga akibat kandungan serat kasar dan pati yang
tinggi dalam TBPK fermentasi belum tercerna secara optimal. Hal ini akibat kadar serat kasar
tinggi dapat mengurangi kecernaan komponen nutrien dan mempengaruhi lama digesta dalam
saluran pencernaan menjadi lebih singkat (Ngoc et al., 2013).
Kandungan protein dan energi yang sama dalam ransum akan menghasilkan jumlah konsumsi
ransum yang tidak berbeda nyata, ternak babi sangat memerlukan energi, protein, mineral,
vitamin dan air. Kekurangan atau ketidakseimbangan zat-zat makanan dapat memperlambat
pertumbuhan dan berdampak pada performans.
Bonggol pisang merupakan salah satu bahan pakan yang berpotensi menggantikan dedak
padi. Hal ini karena bonggol pisang mempunyai kandungan nutrisi seperi karbohidrat sebesar
66,20%, protein 3,4% serta mineral dan vitamin (Munadjim, 1983).
Ditinjau dari komposisi nutrisinya, bonggol pisang mempunyai kandungan protein, mineral
dan vitamin yang rendah serta kandungan serat kasar yang tinggi sehingga perlu dilakukan
manipulasi nutrisi. Salah satu cara adalah dengan melakukan fermentasi menggunakan yeast
(khamir) sebagai sumber enzim oksidase dan sakarosidase (Kaur dan Sehon, 2012).
Fermentasi bertujuan untuk meningkatkan kandungan protein kasar dan menurunkan
kandungan serat kasar.
Konsumsi protein dipengaruhi oleh konsumsi ransum dan konsumsi ransum dipengaruhi oleh
palatabilitas (daya kesukaan) ransum. Artinya bahwa, apabila tingkat palatabilitas ransum
rendah maka konsumsinya semakin menurun. Sebaliknya, apabila tingkat palatabilitas
ransum tinggi maka konsumsinya semakin meningkat. (Church 1991); (Parakkasi, 1994;
Tillman dkk,1998). Tingkat konsumsi ransum yang sama dan memiliki kandung protein yang
hampir sama menyebabkan konsumsi protein yang sama pula.
Beberapa peneliti dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa kecernaan protein babi fase
finisher berkisar 75 – 90%.
Kecernaan protein yang relatif sama seiring dengan peningkatan penggunaan bonggol pisang
disebabkan kerja fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae, yang dapat merombak senyawa
kompleks menjadi lebih sederhana sehingga ikatan kompleks protein dapat dirombak
sehingga dapat meningkatkan kecernaan protein (Bourgaize, dkk. 1999).
Kecernaan energi dipengaruhi oleh jumlah konsumsi makanan. Semakin tinggi konsumsi
energi dalam ransum akan menekan konsumsi zat-zat makanan lainnya termasuk konsumsi
protein, sebaliknya semakin rendah konsumsi energi semakin tinggi konsumsi zat-zat
makanan lainnya termasuk konsumsi protein.
Tillman dkk. (1998) menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti palatabilitas, kandungan gizi, bangsa dan laju pertumbuhan ternak. Konsumsi ransum
yang sama disebabkan palatabilitas yang sama. Ransum yang mengandung bonggol pisang
terfermentasi, menggantikan dedak 66,7-100% terjadi peningkatan konsumsi energi. Hal ini
disebabkan Saccharomyces cerevisiae dapat meninggkat tingkat kesukaan ternak terhadap
ransum (Umiyasih dan Anggraeni 2008); Kaligis, dkk (2016) menyatakan semakin tinggi
konsumsi energi dalam ransum akan menekan konsumsi zat-zat makanan lainnya.
Sebaliknya, semakin rendah konsumsi energi semakin tinggi konsumsi zat-zat makanan
lainnya.
Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penggantian dedak padi dengan TBPKF
berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kecernaan energi. Hal ini disebabkan karena
kecernaan dari ransum yang digantikan TBPKF dalam ransum dengan level yang berbeda
menunjukkan tingkat kecernaan energi ransum yang relatif sama. (Bourgaize dkk, 1999);
(Warouw, 2014). Perlakuan tidak berpengaruh terhadap kecernaan energi dapat juga karna
zat-zat makanan (terutama serat kasar) dapat dicerna dengan sama baiknya pada semua
perlakuan. Hal ini karena Saccharomyces cerevisiae mampu menurunkan serat kasar dalam
bonggol pisang sehingga walaupun penggunaan bonggol pisang meningkat tetapi kecernaan
tetap sama (Ahmad, 2005).
Penggantian 66,7% atau lebih dedak padi dengan tepung bonggol pisang terfermentasi secara
singnifikan meningkatkan konsumsi energi tetapi tidak mempengaruhi kecernaan energi.
Bab 5 Penutup
5.1 Kesimpulan
Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk 24 jam (Anggorodi, 1994).
Jumlah ransum yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur ternak.
Ternak babi membutuhkan ransum yang imbangan nutrisinya baik atau sempurna, untuk
memperoleh reproduksi dan produksi daging yang optimal. Tepung bonggol pisang yang
dipakai adalah produk fermentasi menggunakan kombinasi khamir dan kapang. Kandungan
BK dan BO dalam TBPK yang digunakan sebagai komponen penyusun pakan ternak babi
masing-masing adalah 89,35 dan 86,36 %. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan
jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering (Ranjhan, 1980). Kecernaan bahan
organik suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan yang dicerna oleh tubuh. Perbedaan
angka konsumsi disebabkan karena perbedaan bajan pakan , walapun ternak babi yang
digunakan difase sama. Hal ini akibat kandungan energi dalam pakan yang relatif sama
sehingga konsumsi BO tidak nyata berbeda. Protein dan energi merupakan dua faktor penting
yang menentukan kualitas pakan dan harus memenuhi standar kebutuhan dalam ransum
ternak. Kandungan protein dan energi yang sama dalam ransum akan menghasilkan jumlah
konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata, ternak babi sangat memerlukan energi, protein,
mineral, vitamin dan air. Bonggol pisang merupakan salah satu bahan pakan yang berpotensi
menggantikan dedak padi. Ditinjau dari komposisi nutrisinya, bonggol pisang mempunyai
kandungan protein, mineral dan vitamin yang rendah serta kandungan serat kasar yang tinggi
sehingga perlu dilakukan manipulasi nutrisi. Konsumsi protein dipengaruhi oleh konsumsi
ransum dan konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas (daya kesukaan) ransum. Tingkat
konsumsi ransum yang sama dan memiliki kandung protein yang hampir sama menyebabkan
konsumsi protein yang sama pula. Kecernaan protein yang relatif sama seiring dengan
peningkatan penggunaan bonggol pisang disebabkan kerja fermentasi oleh Saccharomyces
cerevisiae, yang dapat merombak senyawa kompleks menjadi lebih sederhana sehingga
ikatan kompleks protein dapat dirombak sehingga dapat meningkatkan kecernaan protein
(Bourgaize, dkk. Kecernaan energi dipengaruhi oleh jumlah konsumsi makanan. Semakin
tinggi konsumsi energi dalam ransum akan menekan konsumsi zat-zat makanan lainnya
termasuk konsumsi protein, sebaliknya semakin rendah konsumsi energi semakin tinggi
konsumsi zat-zat makanan lainnya termasuk konsumsi protein. (1998) menyatakan bahwa
konsumsi ransum dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti palatabilitas, kandungan gizi, bangsa
dan laju pertumbuhan ternak. Konsumsi ransum yang sama disebabkan palatabilitas yang
sama. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penggantian dedak padi dengan
TBPKF berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kecernaan energi. Hal ini disebabkan
karena kecernaan dari ransum yang digantikan TBPKF dalam ransum dengan level yang
berbeda menunjukkan tingkat kecernaan energi ransum yang relatif sama.
5.2 Saran
Makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan tentunya,
enulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran tentang pembahasan makalah diatas.
Daftar Pustaka
Parakkasi A. 1994. Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak. Fakultas peternakan IPB Bogor.
Sumadi IK, IM Suasta, IPA Astawa, AW Puger. 2016. Pengaruh ME/CP Ratio Ransum
terhadap Performan Babi Bali. Majalah Ilmiah Peternakan.
Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Cetakan II. IPB. Bogor.