PENDAHULUAN
1
maupun wali kelas perlu membentuk hubungan interpersonal yang baik dengan
anak.
Hubungan interpersonal yang baik antara orang tua, guru BK dengan
siswa tentu akan membentuk sebuah komunikasi yang efektif pula. Secara
spesifik komunikasi jenis ini dapat dikatakan sebagai komunikasi interpersonal.
Menurut Theodorson, komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu
orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
kepada suatu orang atau suatu kelompok lain. Suatu komunikasi dapat
dikatakan efektif apabila terjalin suatu hubungan interpersonal yang baik
diantara kedua belah pihak, sedangkan kegagalan komunikasi disebabkan
faktor hubungan interpersonal itu sendiri.
Komunikasi interpersonal merupakan salah satu bentuk komunikasi
yang sering digunakan setiap hari, dimana komunikasi interpersonal
merupakan hubungan harmonis antara pelaku yang dapat bertindak sebagai
komunikator ataupun komunikan dengan tingkat keintiman yang mendalam
diantara keduanya langsung berhubungan secara tatap muka. Dalam
perkembangannya komunikasi tidak hanya bersifat komunikatif akan tetapi
bersifat persuasif, yang berarti komunikasi tidak hanya bertujuan untuk
menyampaikan informasi akan tetapi juga pentingnya mengerti dan memahami
suatu maksud yang ditujukan dalam bentuk simbol-simbol kepada suatu
kelompok atau orang lain.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Peranan Komunikasi Interpersonal Guru Bimbingan Konseling
(BK) dengan siswa dalam menangani kenakalan siswa.
2. Apa faktor pendukung dan penghambat Peranan Komunikasi Interpersonal
Guru Bimbingan Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani
kenakalan siswa.
2
3. Bagaimana Efektivitas Peranan Komunikasi Interpersonal Guru
Bimbingan Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani kenakalan
siswa.
3
1.4. Sistematika Penulisan
1.4.1. BAB 1 PENDAHULUAN
Bab pendahuluan merupakan tahapan awal penelitian. Pada bab ini
didiskusikan mengenai parameter-parameter di dalam penelitian seperti
latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, tujuan serta manfaat
dari penelitian tersebut.
1.4.2. BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Bab ini berisi paradigma serta landasan teori mulai dari definisi, dasar
teori, konsep dan penelitian lain yang terkait dengan peranan Guru
Bimbingan Konseling dalam komunikasi interpersonal dalam
menangani kenakalan siswa.
1.4.3. BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi metodologi penelitian, yaitu metode langkah-langkah
yang dilakukan di dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan
Case Study (Studi Kasus).
4
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
5
2.2 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan studi kepustakaan yang peneliti telah lakukan, terdapat
judul tesis yang berkaitan dengan peranan komunikasi interpersonal Guru
Bimbingan Konseling dalam menangani kenakalan siswa, antara lain:
a. Basril Bading, 2013. Penerapan Prinsip-Prinsip Komunikasi Interpersonal
Guru Bimbingan Konseling Terhadap Tingkat Kenakalan Siswa SMP
Negeri 2 Enrekang (Dibimbing oleh Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, M.Si
dan Drs. Mursalim, M.Si) Penelitian ini dilakukan kurang lebih 2 bulan
lamanya, adapaun tujuan-tujuan dari penelitian ini adalah; (1) Untuk
mengetahui prinsip-prinsip komunikasi interpersonal guru Bimbingan
Konseling terhadap tingkat kenakalan siswa SMP Negeri 2 Enrekang, (2)
Untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip-prinsip komunikasi
interpersonal guru Bimbingan Konseling terhadap tingkat kenakalan siswa
di SMP Negeri 2 Enrekang.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Enrekang, Kecamatan Enrekang,
khususnya di SMP Negeri 2 Enrekang. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
diperoleh dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, kearsipan,
dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan dianalisis kemudian dijabarkan
dalam bentuk uraian naratif berdasarkan dengan teori yang digunakan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, komunikasi yang dilakukan oleh konselor
kepada konselee dalam hal ini adalah guru Bimbingan Konseling dan siswa
sudah memuat prinsip-prinsip komunikasi interpersonal didalamnya,
namun penerapan prinsip-prinsip komunikasi interpersonal dalam proses
konseling masih perlu untuk ditingkatkan. Penelitian ini juga menemukan
beberapa hambatan-hambatan dalam proses konseling, salah satu hambatan
itu adalah masih kurangnya keterbukaan dari siswa selaku konselee untuk
mengungkapkan perasaan-perasaan atau masalah-masalahnya.
b. Sulaeman (2016) Efektivitas Komunikasi Interpersonal Guru dan Siswa
dalam Mencegah Peningkatan Perilaku Menyimpang Lesbi dan Gay di
SMK Kesehatan Samarinda Kelas XII Program Studi Analis Kesehatan.
6
Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas komunikasi
interpersonal guru dan siswa dalam mencegah peningkatan perilaku lesbi
dan gay di SMK Kesehatan Samarinda.
Tipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu
penelitian yang berusaha menggambarkan, menganalisis mengenai
efektivitas komunikasi interpersonal guru dan siswa dalam mencegah
peningkatan perilaku menyimpang lesbi dan gay di SMK Kesehatan
Samarinda Kelas XII Program Studi Analis Kesehatan. Pengumpulan data
dilakukan dengan penelitian melalui observasi dan wawancara yang
berkaitan dengan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan komunikasi interpersonal
yang efektif sangat dibutuhkan dalam melayani/melakukan komunikasi
dengan siswa, karena guru BK merupakan wadah atau tempat curhat siswa
terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi, oleh sebab itu guru BK
harus memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang baik khususnya
pada siswa. Komunikasi interpersonal yang baik dalam melayani keluhan
siswa adalah keberhasilan akan tercapainya informasi yang sesuai dengan
tujuan guru bimbingan konseling dalam mengubah atau memperbaiki
mental dan sikap siswa.
c. Alamsyah Nugraha (2014). Komunikasi Antarpribadi Guru Bimbingan
Penyuluhan dengan Siswa dalam Mengurangi Tingkat Kenakalan Remaja
di SMK Bunda Kandung Jakarta. Penelitian ini menganalisis seberapa
efektif komunikasi yang dilakukan oleh guru kepada siswa menggunakan
teori ABX Newcomb yang menyangkut antara komunikator dan komunikan
dalam proses komunikasi antar pribadi. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
diperoleh dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, kearsipan,
dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan dianalisis kemudian dijabarkan
dalam bentuk uraian naratif berdasarkan dengan teori yang digunakan.
7
2.3 Kajian Penelitian Terdahulu
Untuk membedakan posisi teoritis maupun metodologis dari penelitian
sebelumnya dengan penelitian ini, berikut disajikan dalam bentuk tabel di
bawah ini:
Masalah Posisi
Penulis Judul Posisi Teori
Penelitian Metodologis
Basril Penerapan Fokus utama Menganalisis Metode yang
Bading Prinsip- penelitian keefektifan digunakan
Prinsip terletak pada komunikasi dalam
Komunikasi bagaimana interpersonal penelitian ini
Interpersonal layanan Melalui adalah metode
Guru Bk bimbingan beberapa deskriftif
Terhadap Konseling indikator kualitatif.
Tingkat (BK) aktifitas Teknik
Kenakalan layanan pengumpulan
Siswa SMP bimbingan data diperoleh
Negeri 2 konseling, dengan
Enrekang penanganan menggunakan
kasus siswa teknik
serta observasi,
penyelesaian wawancara,
masalah untuk kearsipan, dan
siswa dokumentasi.
Data yang
diperoleh
akan
dianalisis
kemudian
dijabarkan
dalam bentuk
uraian naratif
berdasarkan
dengan teori
yang
digunakan.
Sulaeman Efektivitas Mengetahui Menggunakan Metode yang
Komunikasi efektivitas deskriptif digunakan
Interpersonal komunikasi kualitatif yaitu dalam
Guru dan interpersonal penelitian yang penelitian ini
Siswa dalam guru dan berusaha adalah metode
Mencegah siswa dalam mengambarkan, deskriftif
Peningkatan mencegah menganalisis kualitatif.
Perilaku peningkatan mengenai Teknik
Menyimpang perilaku lesbi efektivitas pengumpulan
8
Lesbi dan Gay dan gay di komunikasi data diperoleh
di SMK SMK interpersonal dengan
Kesehatan Kesehatan guru dan siswamenggunakan
Samarinda Samarinda dalam teknik
Kelas XII mencegah observasi,
Program Studi peningkatan wawancara,
Analis perilaku kearsipan, dan
Kesehatan. menyimpang dokumentasi.
lesbi dan gay di
Data yang
Smk Kesehatan diperoleh
Samarinda akan
Kelas XII dianalisis
Program Studi kemudian
Analis dijabarkan
Kesehatan. dalam bentuk
uraian naratif
berdasarkan
dengan teori
yang
digunakan.
Alamsyah Komunikasi Menganalisis menggunakan Motode
Nugraha Antarpribabdi seberapa teori ABX deskriptif
Guru efektif Newcomb yang kualitatif dan
Bimbingan komunikasi menyangkut analisa kasus
Penyuluhan yang antara
dengan Siswa dilakukan komunikator
dalam oleg guru dan komunikan
Mengurangi kepada siswa dalam proses
Tingkat komunikasi
Kenakalan antar pribadi
Remaja di
SMK Bunda
Kandung
Jakarta
Tabel 2.1
Kajian Penelitian Terdahulu
9
hanya untuk sekedar mempererat hubungan antar pribadi maupun pribadi
dengan kelompok.
Carl I Hovland mengatakan bahwa “communication is the process
by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually
verbal symbols) to modify the behavior of the other individuals
communicant.” Komunikasi adalah sebuah proses yang mana seorang
individu (komunikator) mengirimkan rangsangan (biasanya dalam bentuk
simbol-simbol verbal) untuk mengubah perilaku dari individu lain
(komunikan).
Siahaan, S.M. (2000:4) mengatakan bahwa komunikasi merupakan
proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan atau sikap) dari
komunikator untuk merubah serta membentuk perilaku komunikan (pola,
sikap, pandangan dan pemahamannya) ke pola dan pemahaman yang
dihendaki komunikator.
Arni Muhammad (2002:158) mengatakan bahwa proses pertukaran
atau penyampaian informasi dapat berlangsung di antara dua orang atau
lebih, serta dapat langsung diketahui timbal baliknya. Proses penyampaian
informasi di antara seseorang dengan seorang lainnya disebut komunikasi
interpersonal.
Seperti yang diungkapkan William F. Glueck dalam Widjaja
(2000:8), komunikasi interpersonal merupakan salah satu komunikasi yang
dianggap sebagai komunikasi yang paling efektif karena dilakukan secara
langsung antara komunikator dan komunikan, sehingga bisa
mempengaruhi satu sama lain.
Julia T. Wood (2013:9) mengemukakan definisi komunikasi
interpersonal yang lebih lengkap, yaitu: pertama, selektif (setiap orang
akan memilih dengan siapa akan berkomunikasi). Kedua, sistemik
(dipengaruhi oleh beberapa sistem seperti budaya, pengalaman pribadi dan
sebagainya), dan ketiga, unik (masing-masing hubungan mengembangkan
ritme dan pola tersendiri yang khas). Keempat, proses yang berlangsung
(ongoing) dan berkesinambungan (continous), dan kelima, transaksi adalah
10
proses transaksi diantara orang-orang yang berkomunikasi secara
berkelanjutan dan bersamaan (simultaneously).
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, maka dapat disintesiskan
bahwa komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian pesan dan
atau informasi oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu,
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik secara langsung maupun
melalui media guna mencapai tujuan yang diharapkan.
11
Tujuan komunikasi interpersonal yang lainnya adalah untuk
melakukan kerjasama antara seseorang dengan orang lain untuk
mencapai tujuan tertentu.
5) Menceritakan Kekecewaan atau Kekesalan
Seseorang dapat menceritakan kekecewaan atau kekesalan yang
sedang dirasakannya kepada orang lain dengan harapan apa yang
dirasakannya
berkurang.
6) Menumbuhkan Motivasi
Melalui komunikasi interpersonal, seseorang dapat memotivasi orang
lain untuk melakukan sesuatu yang babik dan positif. Motivasi adalah
dorongan kuat dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan. Sebagai contoh, siswa yang memiliki permasalahan dapat
diberikan motivasi oleh guru bimbingan dan konseling yang ada di
sekolah.
Selain itu, menurut Arni Muhamad (2009:165) beberapa tujuan
komunikasi interpersonal, yaitu:
1) Menemukan diri sendiri
Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada seseorang
untuk bericara mengenai apa yang disukai atau hal-hal yang terkait
dengan dirinya. Membicarakan diri sendiri kepada orang lain dapat
memberikan sumer balikan yang luar iasa.
2) Menemukan dunia luar
Ketika seseorang dapat memahami lebih banyak tentang dirinya dan
orang lain, maka orang tersebut akan mampu memahami lebih banyak
dunia luar, kejadian-kejadian maupun orang lain.
3) Membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti
Komunikasi interpersonal juga dapat dipergunakan untuk membentuk
dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan yang
demikian dapat membantu untuk mengurangi rasa kesepian dan
depresi.
12
4) Merubah sikap dan tingkah laku
Komunikator memiliki banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk
mengubah sikap dan tingkah laku komunikan dalam pertemuan
interpersonal. Komunikator dapat memengaruhi komunikan hingga
komunikan menujukkan perubahan sikap.
5) Untuk bermain dan kesenangan
Bermain dapat diartikan mencakup semua akivitas yang mempunyai
tujuan utama yaitu mencari kesenangan.
6) Untuk membantu menyelesaikan permasalahan
Ahli-ahli kejiwaan atau psikologis klinis menggunakan komunikasi
interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan
kliennya. Pun hal yang sama dapat dilakukan oleh orang biasa untuk
membantu orang lain.
Berdasarkan beberapa tujuan komunikasi di atas, peneliti memfokuskan
beberapa tujuan komunikasi interpersonal menjadi :
1) Menyampaikan informasi,
2) Menceritakan kekecewaan atau kekesalan,
3) Menumbuhkan Motivasi,
4) Membantu menyelesaikan permasalahan,
5) Menemukan jati diri,
6) Merubah sikap dan tingkah laku, serta
7) Membentuk dan menjaga hubungan penuh arti
13
1) Interaksi Intim. Interaksi intim termasuk komunikasi diantara
teman baik, pasangan, anggota keluarga, dan orang-orang yang
mempunyai ikatan emosional yang kuat.
2) Percakapan Sosial. Percakapan sosial adalah interaksi untuk
menyenangkan seseorang secara sederhana dengan sedikit bicara.
3) Interogasi atau Pemeriksaan. Interogasi atau pemeriksaan adalah
interaksi antara seseorang yang ada dalam kontrol, yang meminta
atau bahkan menuntut informasi daripda yang lain.
4) Wawancara. Wawancara adalah satu bentuk komunikasi
interpersonal di mana dua orang terlibat dalam percakapan yang
berupa tanya jawab.
Model komunikasi interpersonal lain dikemukakan oleh Julia T.
Wood (2007:15) yaitu;
1) Linier models. Merupakan model komunikasi verbal yang terdiri
dari lima pertanyaan yang menggambabrkan urutan tindakan yang
membentuk komunikasi: apa topik utama, katakanlah apa yang
ingin dikomunikasikan, dalam media apa komunikasi akan
dilangsungkan, untuk siapa manfaat dari komunikasi serta apa efek
dari komunikasi yang berlangsung.
2) Interactive models. Model interaktif digambarkan komunikasi
sebagai proses dimana pendengar memerikan umpan balik yang
merupakan respon terhadap pesan. Selain itu, model interaktif
mengakui komunikasi menciptakan dan menafsirkan pesan
berdasarkan pengalaman pribadi. Semakin banyak pengalaman
komunikator, semakin baik mereka dapat saling memahami.
3) Transactional models. Model ini menggambarkan dinamika
komunikasi interpersonal dan peran ganda orang selama proses
tersebut. Selain itu, model ini mencakup fitur waktu untuk
memanggil perhatian pada fakta bahwa pesan, kebisingan dan
bidang pengalaman bervariasi dari waktu ke waktu.
14
d. Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Sesuai dengan kajian teori komunikasi interpersonal tersebut, jika
hubungan antara seseorang dengan seorang yang lain dalam berkomunikasi
dapat menciptakan hubungan yang harmonis, maka hal tersebut
menciptakan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change)
pada orang yang terlibat dalam komunikasi.
Dapat dikatakan komunikasi yang efektif merupakan proses saling
bertukar informasi, ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang
yang hasilnya sesuai dengan harapan. Komunikasi interpersonal yang
efektif juga sangat penting bagi guru BK dengan siswa agar komunikasi
tersebut diharapkan dapat membawa hasil pertukaran informasi dan saling
pengertian (mutual understanding).
Menurut Devito, komunikasi interpersonal yang efektif memiliki
indikator antara lain:
1) Keterbukaan (openess). Kualitas keterbukaan mengacu pada
sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama,
komunikator interpersonal yang efektif terbuka kepada orang yang
diajaknya berinteraksi. Hal ini tidak berarti bahwa orang harus dengan
segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin
menarik tapi biasanya membantu komunikasi. Aspek keterbukaan yang
kedua, mengacu kepada komunikator untuk beraksi secara jujur
terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis dan tidak
tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan jemuk. Kita
ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan.
Aspek ketiga, menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran. Terbuka
dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran
yang anda lontarkan adalah memang milik kita, kita bertanggung jawab
atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah
dengan pesan yang menggunakan kata saya (kata ganti orang pertama
tunggal).
15
2) Empati (Empathy). Henry Backrack mendefiniskan empati sebagai
kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami
orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu
melalui kacamata orang lain itu. Bersimpati dipihak lain adalah
merasakan bagi orang lain atau merasa ikut sedih. Berbeda dengan
empati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya,
berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan
cara yang sama.
3) Sikap mendukung (supportiveness). Hubungan interpersonal yang
efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung.
Komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat berlangsung dalam
suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap
mendukung dengan bersikap deskriptif tidak evaluatif, spontan tidak
strategi, dan proposional tidak sangat yakin.
4) Rasa positif (positiveness). Rasa Positif adalah perasaan positif
terhadap diri sendiri, kemampuan mendorong orang lain lebih aktif
berpartisipasi dan kemampuan menciptakan situasi komunikasi
kondusif untuk berinteraksi yang efektif.
5) Kesetaraan (Equality). Di setiap situasi, barangkali terjadi
ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai, lebih kaya, lebih
tampan atau cantik, atau lebih besar dari pada yang lain. Tidak pernah
ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari
ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila
suasananya setara. Artinya harus ada pengakuan secara diam-diam
bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga dan bahwa
masing masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan. Suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh
kesetaraan, ketidakpuasaan, ketidaksependapatan dan konflik lebih
16
dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada
daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.1
Sedangkan menurut Rusdiana, Komunikasi antarpribadi atau
komunikasi interpersonal berorientasi pada perilaku hingga penekanannya
sampai pada proses informasi, dari satu orang kepada orang lain.
Komunikasi antarpribadi bisa efektif apabila memerhatikan:
1) Keterbukaan bagi setiap orang untuk berinteraksi;
2) Empati, mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan orang
lain;
3) Dukungan dengan orang lain;
4) Perhatian positif dikomunikasikan;
5) Kesamaan di antara orang yang berkomunikasi.2
1
Joseph A. Devito, op.cit., h. 256-264.
2
A. Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2016),
h.181.
3
Hallen A, Bimbingan dan Konseling dalam Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Hal. 3.
4
W. S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta: PT Grasindo, 1997).
Hal. 67.
17
memahami dirinya, lingkungannya serta dapat mengarahkan diri dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk dapat mengembangkan
potensi dirinya secara optimal untuk kesejahteraan dirinya serta
kesejahteraan masyarakat.5
Sedangkan menurut Bimo Walgito bahwasanya bimbingan adalah
suatu bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau
sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-
kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu
itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.6
Dari beberapa pengertian bimbingan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada
individu atau sekumpulan individu agar tercapai kemandirian dalam
pemahaman diri, penerimaan diri, dan pengarahan diri dan perwujudan diri
dalam mencapai tingkat perkembangan optimal dan penyesuaian diri
dengan lingkungan sebagai untuk mensejahteraan dirinya serta
kesejahteraan masyarakat.
b) Pengertian Konseling
Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris, “to counsel” yang
secara etimologis berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat.7
Sedangkan secara terminologi, menurut Burks dan Stefflre menyatakan
bahwa konseling adalah hubungan profesional antara konselor terlatih
dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu,
walaupun terkadang melibatkan lebih dari satu orang.
Konseling didesain untuk menolong klien memahami dan
menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu
mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui
5
Deni Febrini, Bimbingan Konseling (Yogyakarta: Teras, 2011). Hal. 9.
6
Bimo Walgito, Bimbingan & Konseling (Studi dan Karir) (Yogyakarta: ANDI, 2005). Hal. 5-6.
7
Jamal Ma’mur Asmani, Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Jogjakarta: Diva
Press, 2010). Hal. 36.
18
pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka,
dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal.8
Menurut Sugiyo bahwasanya konseling merupakan proses yang
dinamis di mana klien setelah memperoleh bantuan dapat mengembangkan
dirinya, mengembangkan bakat dan potensi-potensi yang lain serta dapat
mengentaskan masalah yang dihadapinya. 9
Dari beberapa pengertian konseling di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa konseling adalah suatu proses pemberian bantuan dari seorang
konselor kepada seorang konseli (klien) dengan tujuan agar individu (klien)
tersebut dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya di
dirinya serta lingkungannya.
8
John McLeod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana, 2006). Hal. 5-7.
9
Sugiyo, Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Semarang: Widya Karya, 2012). Hal.
4.
10
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling,(Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2012). Hal. 13
19
i. Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat.
ii. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang
lain.
iii. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk
komitmen terhadap tugas atau kewajiban.
iv. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial, yang diwujudkan dalam
bentuk hubungan persahabatan, atau silaturahim dengan sesama
manusia.
v. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah)
baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang
lain.
vi. Memliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif
untuk diri sendiri maupun orang lain.11
11
Ibid. Hal. 14
12
Thohari Musnamar, Dasar- Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UII
Press). hal. 34.
20
e) Unsur-Unsur Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan
1) Konselor
Konselor adalah orang yang memberikan pertolongan
ataupun pelayanan kepada orang lain dalam menyelesaikan
masalah pribadi.13 Adapun syarat menjadi konselor antara lain:
i. Kemampuan professional
ii. Sifat kepribadian yang baik
iii. Kemampuan bermasyarakat dengan baik
iv. Takwa kepada Tuhan
v. Rasa tanggung jawab yang baik.14
Dari beberapa syarat diatas, pada hakikatnya seorang
konselor haruslah mempunyai kemampuan melakukan bimbingan
dan konseling, serta bisa mempertanggung jawabkan pekerjaannya
sebagai konselor.
2) Klien
Klien adalah setiap individu yang diberikan bantuan
professional oleh seorang konselor atas permintaan dirinya sendiri
atau orang lain. Menurut Rogers mengartikan bahwa klien sebagai
individu yang datang kepada konselor dalam keadaan cemas dan
tidak kongruensi.15 Setidaknya ada beberapa sikap dan sifat yang
mesti dimiliki klien untuk memudahkan dalam proses konseling:
i. Terbuka
Klien yang terbuka akan sangat membantu jalannya proses
konseling
13
Sri Astutik, Pengatar Bimbingan dan Konseling,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014). Hal.
84
14
Ibid. Hal. 45
15
Naroma Lumongga Lubis, “Memahami Dsar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik”.(Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2011). Hal. 46
21
ii. Bersikap jujur
Klien harus mengemukakan semua permasalahannya dengan
jujur tanpa ada yang ditutupi.
iii. Sikap percaya
Klien harus percaya bahwa konselor adalah orang yang tidak
akan membocorkan rahasia kliennya.
iv. Bertanggung jawab
Tanggung jawab klien untuk mengatasi permasalahannya
sendiri sangat penting bagi kesuksesan proses konseling.
3) Masalah
Masalah adalah semua hal yang dapat menghambat di dalam
mencapai tujuan. Menurut Sri Astutik mengartikan bahwa masalah
adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
16
Syamsu Yusuf & Nani M. Sugandi, Perkembabngan Peserta Didik, (Depok : PT. Rajagrafindo
Persada, 2016) hal. 59-68
22
Tingkat keaktifan anak pada usia ini cenderung tinggi, untuk itu
sekolah perlu memfasilitasi perkembangan motorik anak secara
fungsional. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah
diantaranya sebagai berikut :
1) Merancang pelajaran keterampilan yang bermanfaat babgi
perkembangan atau kehidupan anak seperti menjahit,
mengetik atau keterampilan lainnya.
2) Memberikan pelajaaran senam atau olahraga sesuai dengan
usianya.
3) Merekrut guru-guru yang memiliki keahlian dalam bidang-
bidang tersebut.
4) Menyediakan sarana untuk keerlangsungan penyelenggaraan
pelajaran.
b) Perkembangan Intelektual.
Menurut Piaget, dilihat dari aspek perkembangan kognitif usia
7 – 12 tahun sedang berada pada tahap operasi konkret. Tahap ini
ditandai dengan kemampuan mengklasifikasikan benda-benda
bebrdasarkan ciri yang sama , menyusun atau mengasosiasikan angka-
angka atau bilangan dan memecahkan masalah yang sederhana. Untuk
mengembangkan daya nalarnya, daya cipta atau kreativitas anak, maka
kepada anak perlu diberi peluang-peluang untuk bertanya, berpendapat
atau menilai (memberikan kritik) tentang bebrbagai hal yang terkait
dengan pelajaran atau peristiwa yang terjadi di lingkungannya.
c) Perkembangan Bahasa
Pada awal masa ini, anak sudah menguasai sekitar 2500 kata,
dan pada masa akhir (11-12 tahun) anak telah dapat menguasai sekitar
5000 kata. Di sekolah, perkembangan bahasa anak ini diperkuat dengan
diberikannya mata pelajaran bahasa. Melalui pelajaran bahasa siswa
diharapkan dapat menguasai dan menggunakannya sebagai alat untuk
(1) berkomunikasi secara baik dengan orang lain, (2) mengekspresikan
23
pikiran, perasaan, sikap atau pendapatnya, (3) memahami isi dari setiap
bahan bacaan yang dibacanya.
d) Perkembangan Emosi
Pada usia sekolah anak mulai menyadari bahwa pengungkapan
emosi secara kasar tidak diterima atau tidak disenangi oleh orang lain.
Oleh karena itu, anak perlu mulai belajar untuk mengontrol dan
mengendalikan ekspresi emosi dari dalam diri. Kemampuan
mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan
(pembiasaan).
Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua atau guru dalam
mengendalikan emosi sangat berpengaruh. Apabila anak tumbuh
dalam lingkungan yang pengendalian emosinya stabil, maka
perkembangan emosi anak cendrung stabil dan sebaliknya.
24
Emosi positif seperti senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin
tahu yang tinggi akan memengaruhi individu untuk berkonsentrasi
tinggi ketika melakukan aktivitas pembelajaran. Sebaliknya, jika yang
menyertai proses belajar adalah emosi yang negatif, maka proses
belajar akan mengalami hambatan.
Dalam artian, individu tidak dapat memusatkan perhatiannya
untuk belajar sehingga kemungkinan besar individu tersebut akan
mengalam kegagalan dalam belajar. Perhatian yang tidak fokus juga
dapat menyebabkan perilaku mengganggu teman sebaya saat belajar.
e) Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial yang dimaksud adalah pencapaian
kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Perkembangan
sosial pada anak usia sekolah ditandai dengan adanya perluasan
hubungan dengan teman sebaya sehingga gerak hubungan sosialnya
bertambah luas.
Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan
diri dari sikap egosentris, sikap kooperatif atau sikap sosiosentris.
Sikap egosentris adalah sikap anak yang berpusat pada diri sendiri.
Sikap Kooperatif adalah sikap bekerja sama dengan orang lain.
Sedangkan sikap sosiosentris adalah sikap mau memerhatikan
kepentingan orang lain.
Anak juga mulai berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman
sebaya serta bertambah kuat keinginnya untuk diterima menjadi
anggota kelompok dan merasa tidak senang apabila tidak diterima oleh
kelompoknya. Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan
dirinya dengan kelompok teman sebaya mauoun lingkungan
masyarakat sekitarmya.
f) Perkembangan Kesadaran Beragama
Pada masa ini, kesadaran beragama anak ditandai dengan ciri-
ciri sebagai berikut :
25
1) Sikap keagamaan anak masih ersifat reseptif namun sudah
disertai dengan pengertian.
2) Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional
berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman kepada
indikator-indikator alam semesta sebagai manifestasi dari
keagungan-Nya.
3) Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan
kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
Pendidikan agama di sekolah merupakan dasar bagi pembinaan
sikap postif terhadap agama dan pembentukan kepribadian dan akhlak
anak. Apaila berhasil maka pengembangan sikap keagamaan pada
masa remaja akan mudah, karena anak telah mempunyai pegangan atau
bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada
masa remaja.
26
menyimpang yang melanggar aturan sehingga dapat mengakibatkan
kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
b. Bentuk-bentuk Kenakalan remaja
Jenis-jenis kenakalan remaja dipaparkan oleh Jensen (dalam
Sarwono, 2001: 200). Terdapat 4 macam jenis kenakalan remaja,
diantaranya yaitu:
a. Kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang
lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan
lain-lain.
b. Kenakalan remaja yang menimbulkan korban materi: perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain: Pelacuran, penyalahgunaan obat, seks sebelum nikah, dan
lain-lain.
d. Kenakalan yang mengingkari status: misalnya mengingkari status
anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status
orang tua dengan cara kabur dari rumah atau membantah perintah
mereka dan sebagainya.
Menurut Jensen (dalam Sarwono, 2001: 200) tentang jenis
kenakalan remaja, perilaku-perilaku tersebut memang tidak melanggar
hukum dalam arti sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-
status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang
memang tidak diatur secara rinci. Tetapi menurut Jensen, kalau remaja ini
kelak dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap
atasannya di kantor atau petugas hukum di masyarakat, sehingga Jensen
menggolongkan pelanggaran status ini sebagai perilaku kenakalan remaja
dan bukan sekedar perilaku menyimpang.
c. Faktor Kenakalan Remaja
Suatu kenakalan yang dilakukan oleh remaja tidak hanya
disebabkan oleh satu faktor saja namun ada banyak faktor yang
menyebabkan remaja menjadi nakal. Seperti yang dipaparkan oleh Rice
27
(dalam Gunarsa 2006: 273) terdapat 3 faktor yang mendorong terjadinya
delikuensi:
1) Faktor Sosiologis
Faktor ini termasuk faktor eksternal yang menunjang kenakalan remaja,
sehingga dapat dikatakan adanya suatu lingkungan yang delikuen yang
mempengaruhi remaja tersebut. Termasuk di dalamnya adalah latar belakang
keluarga, komunitas di mana remaja berada, dan lingkungan sekolah.
Ketiganya tersebut salaing berinteraksi satu dengan yang lainnya.
2) Faktor Psikologis
Faktor ini meliputi hubungan remaja dengan orang tua dan faktor kepribadian
dari remaja itu sendiri. Suasana dalam keluarga, hubungan antara remaja
dengan orang tuanya memegang peranan penting atas terjadinya kenakalan
remaja. Misalnya orang tua yang mengabaikan anaknya. Faktor kepribadian
remaja misalnya harga diri yang rendah, kurangnya kontrol diri, kurang kasih
sayang, atau karena adanya psikopatologi.
3) Faktor Biologis
Yang dimaksud dengan faktor biologis adalah pengaruh elemen fisik dan
organik dari remaja itu sendiri. Misalanya adanya faktor keturunan dan juga
adanya kelainan pada otak.
Menurut Darajat, (1977: 89) hal-hal yang menyebabkan kenakalan remaja
adalah:
a) Kurang tentramnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam
masyarakat.
b) Keadaan masyarakat yang kurang stabil baik dari segi sosial,
ekonomi, maupun politik.
c) Suasana yang kurang harmonis.
d) Diperkenalkannya secara popular obat-obatan dan alat anti hamil
e) Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran,
kesenian- kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar
tuntutan moral.
f) Kurangnya bimbingan untuk mengisi waktu dan kurangnya
tempat- tempat bimbingan dan penyuluhan bagi remaja
28
2.8 Kerangka Konseptual
Menurut Nana Syaodih Sukadimata “ Kerangka penelitian atau desain
penelitian merupakan rancangan bagaimana peneilitan akan dilakasanakan”.
Untuk mengukur Peranan Komunikasi Interpersonal antara Guru Bimbingan
Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani Kenalakan Siswa (Studi
Kasus) maka kerangka penelitian ini digambarkan sebagia berikut :
Proses Konseling
(Komunikasi Interpersonal)
Guru BK Siswa
Stimulus
Positif Negatif
Perubahan Perilaku
Sisswa
Gambar 3.1
BagianKerangka Konseptual
29
menengah pertama, Kemudian penelitian mengumpulkan data mengenai kasus
kenakalan siswa sebagai panduan untuk mengukur efektifitas peranan
komunikasi interperosal guru bimbingan konseling dan terkakhir adalah
memberikan rekomendasi mengenai hal-hal yang dapat ditingkatkan supaya
terlaksana lebih ekfektif.
30
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
31
dalam konteks kehidupan nyata, ketika batas antara fenomena dan konteks
tak tampak secara tegas. Bungin (2005:65) menyatakan kelebihan studi
kasus sebagai berikut:
1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan
antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan
pemahaman yang lebih luas.
2. Studi kasus dapat memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan
mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia.
3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat
berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi
perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam, dalam rangka
pengembangan ilmu-ilmu sosial.
32
akurat dan faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena
yang diselidiki.
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu..., hal. 172
18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu..., hal. 172
33
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang mendukung atau memberi
informasi berkaitan dengan penelitian ini, baik data internal maupun
data eksternal. Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang
diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subjek penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data
dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia.19 Pada penelitian
ini data yang didapatkan berasal dari dokumen tertulis.
b. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara
metode atau teknik pengumpulan data dengan masalah, tujuan dan
hipotesis penelitian.20 Prosedur pengumpulan data dapat diartikan sebagai
suatu usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang
diperlukan dan dilakukan secara sistematis dengan prosedur yang standar.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kombinasi. Dalam
proses pengumpulan data peneliti menggunakan teknik penyebaran
kuesioner, wawancara, observasi dan studi dokumentasi.
1. Wawancara
Wawancara merupakan bentuk pengumpulan data yang paling
sering digunakan dalam penelitian kualitatif. “Wawancara adalah suatu
tanya jawab secara tatap muka yang dilaksanakan oleh pewawancara
dengan orang yang diwawancarai untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara
bebas terpimpin dengan cara wawancara mendalam (depth interview).
Cara ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mendalam
mengenai kepuasan responden.
19
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2013), hal. 91
20
Moh. Pabundu Tika, Metodologi Riset Bisnis..., hal. 58
34
Wawancara yang dilakukan dengan dua bentuk, yaitu wawancara
terstruktur (dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah
disiapkan sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti). Sedang
wawancara tak terstruktur dilakukan apabila ada jawaban berkembang
diluar dari pertanyaan-pertanyaan terstruktur namun tidak terlepas dari
permasalahan penelitian.
Wawancara tesebut bersifat terbuka, dalam hal ini peneliti harus
berusaha mendapatkan data-data yang tidak hanya bersifat eksplisit
tetapi data yang bersifat implisit (tersirat). Sepanjang wawancara
tersebut peneliti berinterpretasi dan mencatat dalam catatan khusus.
Dalam interpretasi tersebut peneliti juga sudah melakukan analisi yang
mengarah pada kategor-kategori dan klasifikasi dan memunculkan
tema-tema. Namun dalam hal ini peneliti tetap berusaha menjaga
kesadaran akan sifat tentatif dari tema-tema tersebut, sehingga tidak
terlalu mengikat peneliti dalam wawancara selanjutnya. Sepanjang
penemuan tersebut, peneliti berusaha mencari keterkaitan antar kategori
atau tema.
2. Observasi
Observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya
tujuan yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku
yang dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung,
dan dapat diukur. Notoatmodjo dalam Sandjaja mendefinisikan
“observasi sebagai perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian
untuk menyadari adanya rangsangan. Rangsangan tadi setelah mengenai
indra menimbulkan kesadaran untuk melakukan pengamatan.”
Tujuan dari observasi adalah untuk mendeskripsikan lingkungan
(site) yang diamati, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, individu-
individu yang terlibat dalam lingkungan tersebut beserta aktivitas dan
perilaku yang dimunculkan, serta makna kejadian berdasarkan
perspektif individu yang terlibat tersebut. Dalam pelaksanaannya,
peneliti menggunakan jenis observasi non sistematis. Pada observasi
35
non sistematis, peneliti tidak menggunakan panduan observasi dan alat
perekam.
3. Dokumentasi
Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang
bersumber dari arsip dan dokumen yang ada hubungannya dengan
penelitian tersebut. Setelah data –data terkumpul, selanjutnya dilakukan
kompilasi data dan kemudian diolah menggunakan metode analisis yang
akan dipilih.
21
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D..., hal. 244
36
a. Reduksi data
Menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu, mengorganisasikan data. Reduksi data dapat dilakukan melalui
diskusi dengan teman atau dengan proses bimbingan
b. Penyajian data
Penyajian data disusun dengan menggunakan gambar, bagan, matriks,
grafik, atau jaringan. Semuanya dirancang untuk menggabungkan
informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Tahap ini akan dicari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-
pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, hubungan sebab akibat,
proposisi. Kesimpulan-kesimpulan juga dilakukan verifikasi selama
penelitian berlangsung. Secara sederhana, makna-makna yang muncul
dari data harus diuji kebenaran, kekuatan, dan kecocokannya. Analisis
dan pemaknaan atau pendeskripsian data bukan merupakan proses
berurutan, tetapi pada dasarnya merupakan hal yang berjalan dengan
bersamaan atau secara acak. Pemrosesan satuan dan kategorisasi data
sebagai uraian analisis data, dan penafsiran data dilakukan setelah
proses diatas. Analisis dilakukan berdasarkan temuan data di lapangan
dengan kajian teori yang telah ditentukan, karena penelitian dilakukan
dengan paradigma kualitatif, maka peran data primer yang berupa
temuan di lapangan memiliki peran yang vital dalam proses analisis
data penelitian. Analisis dilakukan dalam bentuk skema hubungan
temuan di lapangan dengan teori, gambar, dan peta yang mendukung
proses analisis, sehingga dapat menyajikan kajian analisis yang
informatif dan efisien.
37
DAFTAR PUSTAKA
.A, H. (2002). Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Arikunto, S. Prosedur Penelitian: Suatu...
Asmani, J. M. (2010). Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Jogjakarta: Diva Press.
Astutik, S. (2014). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press.
Azwar, S. (2013). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Devito, J. A. (t.thn.). op.cit.
Febrini, D. (2011). Bimbingan Konseling. Yogyakarta: Teras.
Ibid. (t.thn.).
Lubis, N. L. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik.
Jakarta: Kencana Predana Media Group.
McLeod, J. (2006). Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.
Musnamar, T. (t.thn.). Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam.
Yogyakarta: UII Press.
Rusdiana, A. (2016). Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia.
Sugiyo. (2012). Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Semarang:
Widya Karya.
Sugiyono. (t.thn.). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D...
Tika, M. P. (t.thn.). Metodologi Riset Bisnis...
Walgito, B. (2005). Bimbingan & Konseling (Studi dan Karir). Yogyakarta: ANDI.
Winkel, W. S. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta:
PT Grasindo.
Yusuf, S., & Nurihsan, J. (2012). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S., & Sugandi, N. M. (2016). Perkembangan Peserta Didik. Depok: PT.
Rajagrafindo Persada.
38