Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH


Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak,
mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan dirinya. Melalui
kelompok sebaya, anak dapat memenuhi kebutuhannya untuk belajar
berinteraksi sosial (berkomunikasi dan bekerja sama), belajar menyatakan
pendapat dan perasaan, belajar merespon atau menerima pendapat dan perasaan
orang lain, belajar tentang norma-norma kelompok serta memperoleh
pengakuan dan penerimaan sosial. Masa remaja merupakan masa-masa proses
pencarian jati diri. Remaja seringkali membentuk kelompok agar lebih mudah
mendapatkan perhatian atau mengekspresikan diri. Oleh karena itu, kelompok
teman sebaya sangat berpengaruh untuk masa remaja seorang anak.
Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap anak dapat berupa pengaruh
positif atau negatif. Berpengaruh positif apabila para anggota kelompok itu
memiliki sikap dan perilaku positif atau berakhlak mulia. Sementara negatif,
apabila para anggota kelompok berperilaku menyimpang, kurang memiliki tata
krama atau berakhlak buruk. Sering kali remaja merasa membutuhkan
pengakuan dan penerimaan sosial dari kelompok temannya, hal ini dilakukan
agar mereka mendapatkan pengakuan dan penerimaan. Akibatnya sering kali
para remaja terpaksa mengikuti teman agar terlihat tidak berbeda dari teman
satu sekelompoknya.
Hal ini juga sering terjadi di sekolah yang mana sekolah adalah salah
satu tempat terbentuknya kelompok teman sebaya. Kelompok remaja ini
terbentuk karena adanya kesamaan nasib dan sikap konformitas di antara
mereka, minat atau keinginan untuk tampil sama, bergaya bahasa yang sama,
gaya berpakaian yang relatif sama serta sikap solidaritas yang kuat. Untuk
mencegah terjadinya penyimpangan perilaku remaja, khususnya dalam
kelompok teman sebaya, maka orang tua serta pihak sekolah melalui guru BK

1
maupun wali kelas perlu membentuk hubungan interpersonal yang baik dengan
anak.
Hubungan interpersonal yang baik antara orang tua, guru BK dengan
siswa tentu akan membentuk sebuah komunikasi yang efektif pula. Secara
spesifik komunikasi jenis ini dapat dikatakan sebagai komunikasi interpersonal.
Menurut Theodorson, komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu
orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
kepada suatu orang atau suatu kelompok lain. Suatu komunikasi dapat
dikatakan efektif apabila terjalin suatu hubungan interpersonal yang baik
diantara kedua belah pihak, sedangkan kegagalan komunikasi disebabkan
faktor hubungan interpersonal itu sendiri.
Komunikasi interpersonal merupakan salah satu bentuk komunikasi
yang sering digunakan setiap hari, dimana komunikasi interpersonal
merupakan hubungan harmonis antara pelaku yang dapat bertindak sebagai
komunikator ataupun komunikan dengan tingkat keintiman yang mendalam
diantara keduanya langsung berhubungan secara tatap muka. Dalam
perkembangannya komunikasi tidak hanya bersifat komunikatif akan tetapi
bersifat persuasif, yang berarti komunikasi tidak hanya bertujuan untuk
menyampaikan informasi akan tetapi juga pentingnya mengerti dan memahami
suatu maksud yang ditujukan dalam bentuk simbol-simbol kepada suatu
kelompok atau orang lain.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Peranan Komunikasi Interpersonal Guru Bimbingan Konseling
(BK) dengan siswa dalam menangani kenakalan siswa.
2. Apa faktor pendukung dan penghambat Peranan Komunikasi Interpersonal
Guru Bimbingan Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani
kenakalan siswa.

2
3. Bagaimana Efektivitas Peranan Komunikasi Interpersonal Guru
Bimbingan Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani kenakalan
siswa.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peranan Komunikasi Interpersonal Guru
Bimbingan Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani
kenakalan siswa.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat
Komunikasi Interpersonal dalam menangani kenakalan remaja.
3. Untuk mengetahui efektivitas Peranan Komunikasi Interpersonal
Guru Bimbingan Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani
kenakalan siswa.
1.3.2. Manfaat Penelitian
1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah kajian di
bidang ilmu pengetahuan bimbingan konseling, sehingga dapat
mengembangkan pemikiran dan tambahan pengetahuan dalam
komunikasi dalam penanggulangan kenakalan remaja.
2. Bagi Sekolah dan Orangtua siswa
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi kepada
pihak terkait baik orangtua siswa sebagai bahan pertimbangan
dalam membimbing anak-anaknya, untuk sekolah sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil kebijakan untuk antisipasi
kenakalan remaja.

3
1.4. Sistematika Penulisan
1.4.1. BAB 1 PENDAHULUAN
Bab pendahuluan merupakan tahapan awal penelitian. Pada bab ini
didiskusikan mengenai parameter-parameter di dalam penelitian seperti
latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, tujuan serta manfaat
dari penelitian tersebut.
1.4.2. BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Bab ini berisi paradigma serta landasan teori mulai dari definisi, dasar
teori, konsep dan penelitian lain yang terkait dengan peranan Guru
Bimbingan Konseling dalam komunikasi interpersonal dalam
menangani kenakalan siswa.
1.4.3. BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi metodologi penelitian, yaitu metode langkah-langkah
yang dilakukan di dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan
Case Study (Studi Kasus).

4
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

2.1 Paradigma Penelitian


Untuk melihat sebuah kenyataan terdapat sebuah cara pandang yang
dikenal dengan istilah paradigma. Cara pandang ini akan memberi gambaran
mengenai hal yang penting untuk diteliti (Patton, Michael Quin, 2002:132).
Dalam penelitian ilmu komunikasi terdapat empat paradigma yaitu positivisme,
post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Keempat paradigma ini tentu saja
memandang komunikasi dari sudut pandang yang berbeda. Paradigma
positivisme memandang komunikasi merupakan sebuah proses linier atau
proses sebab akibat yang mencerminkan upaya pengirim pesan untuk
mengubah pengetahuan penerima pesan yang pasif. Paradigma postpositivisme
bertujuan menjelaskan, prediksi dan kontrol, bebas nilai dan ilmuwan yang
tidak berpihak. Paradigma konstruktivisme, merupakan paradigma yang
toleran, longgar serta tidak terlalu mementingkan tahap penelitian. Sedangkan
paradigma kritis selalu mempertanyakan situasi yang sedang berlangsung.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan paradigma post-
positivisme. Paradigma post-positivisme disebut kritis atau realitas nyata, yang
meyakini bahwa ilmu pengetahuan dapat mempelajari realitas secara mandiri
(Denzin & Lincoln, 2009:135). Terdiri atas berbagai hipotesis yang dapat
digugurkan dan dapat dipandang sebagai fakta atau hukum yang mungkin
(falsifikasi). Paradigma ini digunakan untuk mengetahui peranan komunikasi
interpersonal antara guru dengan siswa dalam menangani permasalahan
kenakalan remaja. Penelitian ini menggunakan pola induktif yang melihat suatu
permasalahan dari hal-hal yang bersifat khusus (empiris) menuju kepada hal-
hal yang bersifat umum dengan membandingkan konsep yang digunakan
dengan data yang telah diperoleh.

5
2.2 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan studi kepustakaan yang peneliti telah lakukan, terdapat
judul tesis yang berkaitan dengan peranan komunikasi interpersonal Guru
Bimbingan Konseling dalam menangani kenakalan siswa, antara lain:
a. Basril Bading, 2013. Penerapan Prinsip-Prinsip Komunikasi Interpersonal
Guru Bimbingan Konseling Terhadap Tingkat Kenakalan Siswa SMP
Negeri 2 Enrekang (Dibimbing oleh Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, M.Si
dan Drs. Mursalim, M.Si) Penelitian ini dilakukan kurang lebih 2 bulan
lamanya, adapaun tujuan-tujuan dari penelitian ini adalah; (1) Untuk
mengetahui prinsip-prinsip komunikasi interpersonal guru Bimbingan
Konseling terhadap tingkat kenakalan siswa SMP Negeri 2 Enrekang, (2)
Untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip-prinsip komunikasi
interpersonal guru Bimbingan Konseling terhadap tingkat kenakalan siswa
di SMP Negeri 2 Enrekang.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Enrekang, Kecamatan Enrekang,
khususnya di SMP Negeri 2 Enrekang. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
diperoleh dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, kearsipan,
dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan dianalisis kemudian dijabarkan
dalam bentuk uraian naratif berdasarkan dengan teori yang digunakan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, komunikasi yang dilakukan oleh konselor
kepada konselee dalam hal ini adalah guru Bimbingan Konseling dan siswa
sudah memuat prinsip-prinsip komunikasi interpersonal didalamnya,
namun penerapan prinsip-prinsip komunikasi interpersonal dalam proses
konseling masih perlu untuk ditingkatkan. Penelitian ini juga menemukan
beberapa hambatan-hambatan dalam proses konseling, salah satu hambatan
itu adalah masih kurangnya keterbukaan dari siswa selaku konselee untuk
mengungkapkan perasaan-perasaan atau masalah-masalahnya.
b. Sulaeman (2016) Efektivitas Komunikasi Interpersonal Guru dan Siswa
dalam Mencegah Peningkatan Perilaku Menyimpang Lesbi dan Gay di
SMK Kesehatan Samarinda Kelas XII Program Studi Analis Kesehatan.

6
Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas komunikasi
interpersonal guru dan siswa dalam mencegah peningkatan perilaku lesbi
dan gay di SMK Kesehatan Samarinda.
Tipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu
penelitian yang berusaha menggambarkan, menganalisis mengenai
efektivitas komunikasi interpersonal guru dan siswa dalam mencegah
peningkatan perilaku menyimpang lesbi dan gay di SMK Kesehatan
Samarinda Kelas XII Program Studi Analis Kesehatan. Pengumpulan data
dilakukan dengan penelitian melalui observasi dan wawancara yang
berkaitan dengan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan komunikasi interpersonal
yang efektif sangat dibutuhkan dalam melayani/melakukan komunikasi
dengan siswa, karena guru BK merupakan wadah atau tempat curhat siswa
terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi, oleh sebab itu guru BK
harus memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang baik khususnya
pada siswa. Komunikasi interpersonal yang baik dalam melayani keluhan
siswa adalah keberhasilan akan tercapainya informasi yang sesuai dengan
tujuan guru bimbingan konseling dalam mengubah atau memperbaiki
mental dan sikap siswa.
c. Alamsyah Nugraha (2014). Komunikasi Antarpribadi Guru Bimbingan
Penyuluhan dengan Siswa dalam Mengurangi Tingkat Kenakalan Remaja
di SMK Bunda Kandung Jakarta. Penelitian ini menganalisis seberapa
efektif komunikasi yang dilakukan oleh guru kepada siswa menggunakan
teori ABX Newcomb yang menyangkut antara komunikator dan komunikan
dalam proses komunikasi antar pribadi. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
diperoleh dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, kearsipan,
dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan dianalisis kemudian dijabarkan
dalam bentuk uraian naratif berdasarkan dengan teori yang digunakan.

7
2.3 Kajian Penelitian Terdahulu
Untuk membedakan posisi teoritis maupun metodologis dari penelitian
sebelumnya dengan penelitian ini, berikut disajikan dalam bentuk tabel di
bawah ini:
Masalah Posisi
Penulis Judul Posisi Teori
Penelitian Metodologis
Basril Penerapan Fokus utama Menganalisis Metode yang
Bading Prinsip- penelitian keefektifan digunakan
Prinsip terletak pada komunikasi dalam
Komunikasi bagaimana interpersonal penelitian ini
Interpersonal layanan Melalui adalah metode
Guru Bk bimbingan beberapa deskriftif
Terhadap Konseling indikator kualitatif.
Tingkat (BK) aktifitas Teknik
Kenakalan layanan pengumpulan
Siswa SMP bimbingan data diperoleh
Negeri 2 konseling, dengan
Enrekang penanganan menggunakan
kasus siswa teknik
serta observasi,
penyelesaian wawancara,
masalah untuk kearsipan, dan
siswa dokumentasi.
Data yang
diperoleh
akan
dianalisis
kemudian
dijabarkan
dalam bentuk
uraian naratif
berdasarkan
dengan teori
yang
digunakan.
Sulaeman Efektivitas Mengetahui Menggunakan Metode yang
Komunikasi efektivitas deskriptif digunakan
Interpersonal komunikasi kualitatif yaitu dalam
Guru dan interpersonal penelitian yang penelitian ini
Siswa dalam guru dan berusaha adalah metode
Mencegah siswa dalam mengambarkan, deskriftif
Peningkatan mencegah menganalisis kualitatif.
Perilaku peningkatan mengenai Teknik
Menyimpang perilaku lesbi efektivitas pengumpulan

8
Lesbi dan Gay dan gay di komunikasi data diperoleh
di SMK SMK interpersonal dengan
Kesehatan Kesehatan guru dan siswamenggunakan
Samarinda Samarinda dalam teknik
Kelas XII mencegah observasi,
Program Studi peningkatan wawancara,
Analis perilaku kearsipan, dan
Kesehatan. menyimpang dokumentasi.
lesbi dan gay di
Data yang
Smk Kesehatan diperoleh
Samarinda akan
Kelas XII dianalisis
Program Studi kemudian
Analis dijabarkan
Kesehatan. dalam bentuk
uraian naratif
berdasarkan
dengan teori
yang
digunakan.
Alamsyah Komunikasi Menganalisis menggunakan Motode
Nugraha Antarpribabdi seberapa teori ABX deskriptif
Guru efektif Newcomb yang kualitatif dan
Bimbingan komunikasi menyangkut analisa kasus
Penyuluhan yang antara
dengan Siswa dilakukan komunikator
dalam oleg guru dan komunikan
Mengurangi kepada siswa dalam proses
Tingkat komunikasi
Kenakalan antar pribadi
Remaja di
SMK Bunda
Kandung
Jakarta
Tabel 2.1
Kajian Penelitian Terdahulu

2.4 Komunikasi Interpersonal


a. Definisi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
manusia yang tidak dapat dihindari. Seseorang harus melakukan
komunikasi kepada orang lain agar kegiatan berjalan dengan lancar atau

9
hanya untuk sekedar mempererat hubungan antar pribadi maupun pribadi
dengan kelompok.
Carl I Hovland mengatakan bahwa “communication is the process
by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually
verbal symbols) to modify the behavior of the other individuals
communicant.” Komunikasi adalah sebuah proses yang mana seorang
individu (komunikator) mengirimkan rangsangan (biasanya dalam bentuk
simbol-simbol verbal) untuk mengubah perilaku dari individu lain
(komunikan).
Siahaan, S.M. (2000:4) mengatakan bahwa komunikasi merupakan
proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan atau sikap) dari
komunikator untuk merubah serta membentuk perilaku komunikan (pola,
sikap, pandangan dan pemahamannya) ke pola dan pemahaman yang
dihendaki komunikator.
Arni Muhammad (2002:158) mengatakan bahwa proses pertukaran
atau penyampaian informasi dapat berlangsung di antara dua orang atau
lebih, serta dapat langsung diketahui timbal baliknya. Proses penyampaian
informasi di antara seseorang dengan seorang lainnya disebut komunikasi
interpersonal.
Seperti yang diungkapkan William F. Glueck dalam Widjaja
(2000:8), komunikasi interpersonal merupakan salah satu komunikasi yang
dianggap sebagai komunikasi yang paling efektif karena dilakukan secara
langsung antara komunikator dan komunikan, sehingga bisa
mempengaruhi satu sama lain.
Julia T. Wood (2013:9) mengemukakan definisi komunikasi
interpersonal yang lebih lengkap, yaitu: pertama, selektif (setiap orang
akan memilih dengan siapa akan berkomunikasi). Kedua, sistemik
(dipengaruhi oleh beberapa sistem seperti budaya, pengalaman pribadi dan
sebagainya), dan ketiga, unik (masing-masing hubungan mengembangkan
ritme dan pola tersendiri yang khas). Keempat, proses yang berlangsung
(ongoing) dan berkesinambungan (continous), dan kelima, transaksi adalah

10
proses transaksi diantara orang-orang yang berkomunikasi secara
berkelanjutan dan bersamaan (simultaneously).
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, maka dapat disintesiskan
bahwa komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian pesan dan
atau informasi oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu,
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik secara langsung maupun
melalui media guna mencapai tujuan yang diharapkan.

b. Tujuan Komunikasi Interpersonal


Sebagaimana telah diuraikan, komunikasi antarpribadi atau
komunikasi interpersonal dapat dipergunakan untuk beberapa tujuan.
Djoko Purwanto (2006:22) mengatakan ada 6 (enam) tujuan komunikasi
antarpribadi yang dianggap penting untuk dipelajari, yaitu:
1) Menyampaikan Informasi
Salah satu tujuan seseorang menjalin komunikasi kepada orang lain
aalah untuk menyampaikan informasi. Guru berkomunikasi dengan
siswa untuk menyampaikan informasi mengenai pencapaian hasil
belajar siswa.
2) Berbagi Pengalaman
Komunikasi interpersonal dapat juga bertujuan untuk berbagi
pengalaman seseorang yang menurutnya sangat perlu diketahui oleh
seseorang. Pengalaman yang disampaikan dapat berupa pengalaman
menyenangkan atau tidak menyenangkan.
3) Menumbuhkan Simpati
Simpati merupakan suatu positif yang ditujukan oleh seseorang yang
mucul dari lubuk hati yang paling dalam untuk ikut merasakan
bagaimana beban derita, musibah, kesedihan maupun kepiluan yang
sedang dirasakan oleh orang lain.
4) Melakukan Kerja Sama

11
Tujuan komunikasi interpersonal yang lainnya adalah untuk
melakukan kerjasama antara seseorang dengan orang lain untuk
mencapai tujuan tertentu.
5) Menceritakan Kekecewaan atau Kekesalan
Seseorang dapat menceritakan kekecewaan atau kekesalan yang
sedang dirasakannya kepada orang lain dengan harapan apa yang
dirasakannya
berkurang.
6) Menumbuhkan Motivasi
Melalui komunikasi interpersonal, seseorang dapat memotivasi orang
lain untuk melakukan sesuatu yang babik dan positif. Motivasi adalah
dorongan kuat dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan. Sebagai contoh, siswa yang memiliki permasalahan dapat
diberikan motivasi oleh guru bimbingan dan konseling yang ada di
sekolah.
Selain itu, menurut Arni Muhamad (2009:165) beberapa tujuan
komunikasi interpersonal, yaitu:
1) Menemukan diri sendiri
Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada seseorang
untuk bericara mengenai apa yang disukai atau hal-hal yang terkait
dengan dirinya. Membicarakan diri sendiri kepada orang lain dapat
memberikan sumer balikan yang luar iasa.
2) Menemukan dunia luar
Ketika seseorang dapat memahami lebih banyak tentang dirinya dan
orang lain, maka orang tersebut akan mampu memahami lebih banyak
dunia luar, kejadian-kejadian maupun orang lain.
3) Membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti
Komunikasi interpersonal juga dapat dipergunakan untuk membentuk
dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan yang
demikian dapat membantu untuk mengurangi rasa kesepian dan
depresi.

12
4) Merubah sikap dan tingkah laku
Komunikator memiliki banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk
mengubah sikap dan tingkah laku komunikan dalam pertemuan
interpersonal. Komunikator dapat memengaruhi komunikan hingga
komunikan menujukkan perubahan sikap.
5) Untuk bermain dan kesenangan
Bermain dapat diartikan mencakup semua akivitas yang mempunyai
tujuan utama yaitu mencari kesenangan.
6) Untuk membantu menyelesaikan permasalahan
Ahli-ahli kejiwaan atau psikologis klinis menggunakan komunikasi
interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan
kliennya. Pun hal yang sama dapat dilakukan oleh orang biasa untuk
membantu orang lain.
Berdasarkan beberapa tujuan komunikasi di atas, peneliti memfokuskan
beberapa tujuan komunikasi interpersonal menjadi :
1) Menyampaikan informasi,
2) Menceritakan kekecewaan atau kekesalan,
3) Menumbuhkan Motivasi,
4) Membantu menyelesaikan permasalahan,
5) Menemukan jati diri,
6) Merubah sikap dan tingkah laku, serta
7) Membentuk dan menjaga hubungan penuh arti

c. Model Komunikasi Interpersonal


Ada beberapa macam nama dalam komunikasi interpersonal
diantaranya komunikasi diadik, dialog, wawancara, percakapan, dan
komunikasi tatap muka. Redding yang dikutip oleh Arni Muhammad
(2009:159), mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal
menjadi:

13
1) Interaksi Intim. Interaksi intim termasuk komunikasi diantara
teman baik, pasangan, anggota keluarga, dan orang-orang yang
mempunyai ikatan emosional yang kuat.
2) Percakapan Sosial. Percakapan sosial adalah interaksi untuk
menyenangkan seseorang secara sederhana dengan sedikit bicara.
3) Interogasi atau Pemeriksaan. Interogasi atau pemeriksaan adalah
interaksi antara seseorang yang ada dalam kontrol, yang meminta
atau bahkan menuntut informasi daripda yang lain.
4) Wawancara. Wawancara adalah satu bentuk komunikasi
interpersonal di mana dua orang terlibat dalam percakapan yang
berupa tanya jawab.
Model komunikasi interpersonal lain dikemukakan oleh Julia T.
Wood (2007:15) yaitu;
1) Linier models. Merupakan model komunikasi verbal yang terdiri
dari lima pertanyaan yang menggambabrkan urutan tindakan yang
membentuk komunikasi: apa topik utama, katakanlah apa yang
ingin dikomunikasikan, dalam media apa komunikasi akan
dilangsungkan, untuk siapa manfaat dari komunikasi serta apa efek
dari komunikasi yang berlangsung.
2) Interactive models. Model interaktif digambarkan komunikasi
sebagai proses dimana pendengar memerikan umpan balik yang
merupakan respon terhadap pesan. Selain itu, model interaktif
mengakui komunikasi menciptakan dan menafsirkan pesan
berdasarkan pengalaman pribadi. Semakin banyak pengalaman
komunikator, semakin baik mereka dapat saling memahami.
3) Transactional models. Model ini menggambarkan dinamika
komunikasi interpersonal dan peran ganda orang selama proses
tersebut. Selain itu, model ini mencakup fitur waktu untuk
memanggil perhatian pada fakta bahwa pesan, kebisingan dan
bidang pengalaman bervariasi dari waktu ke waktu.

14
d. Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Sesuai dengan kajian teori komunikasi interpersonal tersebut, jika
hubungan antara seseorang dengan seorang yang lain dalam berkomunikasi
dapat menciptakan hubungan yang harmonis, maka hal tersebut
menciptakan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change)
pada orang yang terlibat dalam komunikasi.
Dapat dikatakan komunikasi yang efektif merupakan proses saling
bertukar informasi, ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang
yang hasilnya sesuai dengan harapan. Komunikasi interpersonal yang
efektif juga sangat penting bagi guru BK dengan siswa agar komunikasi
tersebut diharapkan dapat membawa hasil pertukaran informasi dan saling
pengertian (mutual understanding).
Menurut Devito, komunikasi interpersonal yang efektif memiliki
indikator antara lain:
1) Keterbukaan (openess). Kualitas keterbukaan mengacu pada
sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama,
komunikator interpersonal yang efektif terbuka kepada orang yang
diajaknya berinteraksi. Hal ini tidak berarti bahwa orang harus dengan
segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin
menarik tapi biasanya membantu komunikasi. Aspek keterbukaan yang
kedua, mengacu kepada komunikator untuk beraksi secara jujur
terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis dan tidak
tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan jemuk. Kita
ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan.
Aspek ketiga, menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran. Terbuka
dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran
yang anda lontarkan adalah memang milik kita, kita bertanggung jawab
atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah
dengan pesan yang menggunakan kata saya (kata ganti orang pertama
tunggal).

15
2) Empati (Empathy). Henry Backrack mendefiniskan empati sebagai
kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami
orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu
melalui kacamata orang lain itu. Bersimpati dipihak lain adalah
merasakan bagi orang lain atau merasa ikut sedih. Berbeda dengan
empati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya,
berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan
cara yang sama.
3) Sikap mendukung (supportiveness). Hubungan interpersonal yang
efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung.
Komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat berlangsung dalam
suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap
mendukung dengan bersikap deskriptif tidak evaluatif, spontan tidak
strategi, dan proposional tidak sangat yakin.
4) Rasa positif (positiveness). Rasa Positif adalah perasaan positif
terhadap diri sendiri, kemampuan mendorong orang lain lebih aktif
berpartisipasi dan kemampuan menciptakan situasi komunikasi
kondusif untuk berinteraksi yang efektif.
5) Kesetaraan (Equality). Di setiap situasi, barangkali terjadi
ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai, lebih kaya, lebih
tampan atau cantik, atau lebih besar dari pada yang lain. Tidak pernah
ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari
ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila
suasananya setara. Artinya harus ada pengakuan secara diam-diam
bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga dan bahwa
masing masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan. Suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh
kesetaraan, ketidakpuasaan, ketidaksependapatan dan konflik lebih

16
dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada
daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.1
Sedangkan menurut Rusdiana, Komunikasi antarpribadi atau
komunikasi interpersonal berorientasi pada perilaku hingga penekanannya
sampai pada proses informasi, dari satu orang kepada orang lain.
Komunikasi antarpribadi bisa efektif apabila memerhatikan:
1) Keterbukaan bagi setiap orang untuk berinteraksi;
2) Empati, mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan orang
lain;
3) Dukungan dengan orang lain;
4) Perhatian positif dikomunikasikan;
5) Kesamaan di antara orang yang berkomunikasi.2

2.5 Bimbingan dan Konseling


a) Pengertian Bimbingan
Secara etimologis, kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata
“Guidence” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti
“menunjukan, membimbing, menuntun, ataupun membantu". 3
Sedangkan secara terminologi menurut W.S. Winkel menyatakan
bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang
dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat
memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat
bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta
masyarakat.4
Menurut Deni Febrini menjelaskan bimbingan adalah suatu proses
pemberian bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis,
yang dilakukan oleh konselor, dimaksudkan agar individu dapat

1
Joseph A. Devito, op.cit., h. 256-264.
2
A. Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2016),
h.181.
3
Hallen A, Bimbingan dan Konseling dalam Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Hal. 3.
4
W. S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta: PT Grasindo, 1997).
Hal. 67.

17
memahami dirinya, lingkungannya serta dapat mengarahkan diri dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk dapat mengembangkan
potensi dirinya secara optimal untuk kesejahteraan dirinya serta
kesejahteraan masyarakat.5
Sedangkan menurut Bimo Walgito bahwasanya bimbingan adalah
suatu bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau
sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-
kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu
itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.6
Dari beberapa pengertian bimbingan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada
individu atau sekumpulan individu agar tercapai kemandirian dalam
pemahaman diri, penerimaan diri, dan pengarahan diri dan perwujudan diri
dalam mencapai tingkat perkembangan optimal dan penyesuaian diri
dengan lingkungan sebagai untuk mensejahteraan dirinya serta
kesejahteraan masyarakat.

b) Pengertian Konseling
Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris, “to counsel” yang
secara etimologis berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat.7
Sedangkan secara terminologi, menurut Burks dan Stefflre menyatakan
bahwa konseling adalah hubungan profesional antara konselor terlatih
dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu,
walaupun terkadang melibatkan lebih dari satu orang.
Konseling didesain untuk menolong klien memahami dan
menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu
mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui

5
Deni Febrini, Bimbingan Konseling (Yogyakarta: Teras, 2011). Hal. 9.
6
Bimo Walgito, Bimbingan & Konseling (Studi dan Karir) (Yogyakarta: ANDI, 2005). Hal. 5-6.
7
Jamal Ma’mur Asmani, Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Jogjakarta: Diva
Press, 2010). Hal. 36.

18
pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka,
dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal.8
Menurut Sugiyo bahwasanya konseling merupakan proses yang
dinamis di mana klien setelah memperoleh bantuan dapat mengembangkan
dirinya, mengembangkan bakat dan potensi-potensi yang lain serta dapat
mengentaskan masalah yang dihadapinya. 9
Dari beberapa pengertian konseling di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa konseling adalah suatu proses pemberian bantuan dari seorang
konselor kepada seorang konseli (klien) dengan tujuan agar individu (klien)
tersebut dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya di
dirinya serta lingkungannya.

c) Tujuan Bimbingan dan Konseling


Tujuan bimbingan dan konseling kemasyarakatan pada dasarnya
sama dengan bimbingan dan konseling pada umum dibagi menjadi 2,
yaitu:10
1) Tujuan Umum
i. Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir
serta kehidupan di masa yang akan datang.
ii. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya
seoptimal mungkin.
iii. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan
masyarakat serta lingkungan kerjanya.
iv. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi,
penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun
lingkungan kerja.
2) Tujuan Khusus

8
John McLeod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana, 2006). Hal. 5-7.
9
Sugiyo, Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Semarang: Widya Karya, 2012). Hal.
4.
10
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling,(Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2012). Hal. 13

19
i. Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat.
ii. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang
lain.
iii. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk
komitmen terhadap tugas atau kewajiban.
iv. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial, yang diwujudkan dalam
bentuk hubungan persahabatan, atau silaturahim dengan sesama
manusia.
v. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah)
baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang
lain.
vi. Memliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif
untuk diri sendiri maupun orang lain.11

d) Fungsi Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan


Adapun fungsi- fungsi yang terkait dalam bimbingan dan
konseling kemasyarakatan pada dasarnya sama dengan bimbingan dan
konseling pada umumnya diantaranya:
1) Fungsi preventif, yaitu membantu individu mencegah timbulnya
masalah bagi dirinya.
2) Fungsi kuratif, yaitu membantu individu mencegah masalah yang
dihadapinya dan atau dialaminya.
3) Fungsi preservatif, yaitu membantu individu menjaga agar situasi
dan kondisi yang semula tidak baik itu menjadi baik.
4) Fungsi developmental, yaitu membantu individu memelihara atau
mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik
atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya sebab
munculnya maslaah baginya. 12

11
Ibid. Hal. 14
12
Thohari Musnamar, Dasar- Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UII
Press). hal. 34.

20
e) Unsur-Unsur Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan
1) Konselor
Konselor adalah orang yang memberikan pertolongan
ataupun pelayanan kepada orang lain dalam menyelesaikan
masalah pribadi.13 Adapun syarat menjadi konselor antara lain:
i. Kemampuan professional
ii. Sifat kepribadian yang baik
iii. Kemampuan bermasyarakat dengan baik
iv. Takwa kepada Tuhan
v. Rasa tanggung jawab yang baik.14
Dari beberapa syarat diatas, pada hakikatnya seorang
konselor haruslah mempunyai kemampuan melakukan bimbingan
dan konseling, serta bisa mempertanggung jawabkan pekerjaannya
sebagai konselor.
2) Klien
Klien adalah setiap individu yang diberikan bantuan
professional oleh seorang konselor atas permintaan dirinya sendiri
atau orang lain. Menurut Rogers mengartikan bahwa klien sebagai
individu yang datang kepada konselor dalam keadaan cemas dan
tidak kongruensi.15 Setidaknya ada beberapa sikap dan sifat yang
mesti dimiliki klien untuk memudahkan dalam proses konseling:
i. Terbuka
Klien yang terbuka akan sangat membantu jalannya proses
konseling

13
Sri Astutik, Pengatar Bimbingan dan Konseling,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014). Hal.
84
14
Ibid. Hal. 45
15
Naroma Lumongga Lubis, “Memahami Dsar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik”.(Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2011). Hal. 46

21
ii. Bersikap jujur
Klien harus mengemukakan semua permasalahannya dengan
jujur tanpa ada yang ditutupi.
iii. Sikap percaya
Klien harus percaya bahwa konselor adalah orang yang tidak
akan membocorkan rahasia kliennya.
iv. Bertanggung jawab
Tanggung jawab klien untuk mengatasi permasalahannya
sendiri sangat penting bagi kesuksesan proses konseling.
3) Masalah
Masalah adalah semua hal yang dapat menghambat di dalam
mencapai tujuan. Menurut Sri Astutik mengartikan bahwa masalah
adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

2.6 Teori Perkembangan Anak Usia Sekolah


Permasalahan individu (siswa) ditinjau dari tugas-tugas dan aspek-
aspek perkembangan yang meliputi: perkembangan fisik, perkembangan
bahasa, perkembangan intelektual, perkembangan sosial, perkembangan
emosi, perkembangan moral dan etika, perkembangan kepribadian, dan
perkembangan agama.16
a) Perkembangan Fisik-Motorik
Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu
determinant factor kelancaran proses belajar, baik dalam bidang
pengetahuan maupun keterampilan. Oleh karena itu, perkembangan
motorik sangat menunjang keberhasilan belajar peserta didik.
Usia sekolah (7 – 12 tahun) ditandai dengan gerak atau aktivitas
motorik yang lincah. Usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar
keterampilan yang berkaitan dengan motorik, baik halus maupun kasar.

16
Syamsu Yusuf & Nani M. Sugandi, Perkembabngan Peserta Didik, (Depok : PT. Rajagrafindo
Persada, 2016) hal. 59-68

22
Tingkat keaktifan anak pada usia ini cenderung tinggi, untuk itu
sekolah perlu memfasilitasi perkembangan motorik anak secara
fungsional. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah
diantaranya sebagai berikut :
1) Merancang pelajaran keterampilan yang bermanfaat babgi
perkembangan atau kehidupan anak seperti menjahit,
mengetik atau keterampilan lainnya.
2) Memberikan pelajaaran senam atau olahraga sesuai dengan
usianya.
3) Merekrut guru-guru yang memiliki keahlian dalam bidang-
bidang tersebut.
4) Menyediakan sarana untuk keerlangsungan penyelenggaraan
pelajaran.
b) Perkembangan Intelektual.
Menurut Piaget, dilihat dari aspek perkembangan kognitif usia
7 – 12 tahun sedang berada pada tahap operasi konkret. Tahap ini
ditandai dengan kemampuan mengklasifikasikan benda-benda
bebrdasarkan ciri yang sama , menyusun atau mengasosiasikan angka-
angka atau bilangan dan memecahkan masalah yang sederhana. Untuk
mengembangkan daya nalarnya, daya cipta atau kreativitas anak, maka
kepada anak perlu diberi peluang-peluang untuk bertanya, berpendapat
atau menilai (memberikan kritik) tentang bebrbagai hal yang terkait
dengan pelajaran atau peristiwa yang terjadi di lingkungannya.
c) Perkembangan Bahasa
Pada awal masa ini, anak sudah menguasai sekitar 2500 kata,
dan pada masa akhir (11-12 tahun) anak telah dapat menguasai sekitar
5000 kata. Di sekolah, perkembangan bahasa anak ini diperkuat dengan
diberikannya mata pelajaran bahasa. Melalui pelajaran bahasa siswa
diharapkan dapat menguasai dan menggunakannya sebagai alat untuk
(1) berkomunikasi secara baik dengan orang lain, (2) mengekspresikan

23
pikiran, perasaan, sikap atau pendapatnya, (3) memahami isi dari setiap
bahan bacaan yang dibacanya.
d) Perkembangan Emosi
Pada usia sekolah anak mulai menyadari bahwa pengungkapan
emosi secara kasar tidak diterima atau tidak disenangi oleh orang lain.
Oleh karena itu, anak perlu mulai belajar untuk mengontrol dan
mengendalikan ekspresi emosi dari dalam diri. Kemampuan
mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan
(pembiasaan).
Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua atau guru dalam
mengendalikan emosi sangat berpengaruh. Apabila anak tumbuh
dalam lingkungan yang pengendalian emosinya stabil, maka
perkembangan emosi anak cendrung stabil dan sebaliknya.

No Karakteristik Emosi yang No Karakteristik Emosi yang


Stabil (Sehat) Tidak Stabil (Tidak Sehat)
1 Menunjukkan wajah yang ceria 1 Menunjukkan wajah yang
murung
2 Bergaul dengan teman secara 2 Mudah Tersinggung
baik
3 Bergairah dalam belajar 3 Tidak mau bergaul dengan orang
lain
4 Dapat berkonsentrasi dalam 4 Lebih sering marah
belajar
5 Menghargai diri sendiri dan 5 Sering mengganggu teman
orang lain
6 Tidak percaya diri
Tabel 2.2
Karakteristik Emosi Anak

Emosi merupakan faktor determinan yang memengaruhi


tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar.

24
Emosi positif seperti senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin
tahu yang tinggi akan memengaruhi individu untuk berkonsentrasi
tinggi ketika melakukan aktivitas pembelajaran. Sebaliknya, jika yang
menyertai proses belajar adalah emosi yang negatif, maka proses
belajar akan mengalami hambatan.
Dalam artian, individu tidak dapat memusatkan perhatiannya
untuk belajar sehingga kemungkinan besar individu tersebut akan
mengalam kegagalan dalam belajar. Perhatian yang tidak fokus juga
dapat menyebabkan perilaku mengganggu teman sebaya saat belajar.
e) Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial yang dimaksud adalah pencapaian
kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Perkembangan
sosial pada anak usia sekolah ditandai dengan adanya perluasan
hubungan dengan teman sebaya sehingga gerak hubungan sosialnya
bertambah luas.
Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan
diri dari sikap egosentris, sikap kooperatif atau sikap sosiosentris.
Sikap egosentris adalah sikap anak yang berpusat pada diri sendiri.
Sikap Kooperatif adalah sikap bekerja sama dengan orang lain.
Sedangkan sikap sosiosentris adalah sikap mau memerhatikan
kepentingan orang lain.
Anak juga mulai berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman
sebaya serta bertambah kuat keinginnya untuk diterima menjadi
anggota kelompok dan merasa tidak senang apabila tidak diterima oleh
kelompoknya. Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan
dirinya dengan kelompok teman sebaya mauoun lingkungan
masyarakat sekitarmya.
f) Perkembangan Kesadaran Beragama
Pada masa ini, kesadaran beragama anak ditandai dengan ciri-
ciri sebagai berikut :

25
1) Sikap keagamaan anak masih ersifat reseptif namun sudah
disertai dengan pengertian.
2) Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional
berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman kepada
indikator-indikator alam semesta sebagai manifestasi dari
keagungan-Nya.
3) Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan
kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
Pendidikan agama di sekolah merupakan dasar bagi pembinaan
sikap postif terhadap agama dan pembentukan kepribadian dan akhlak
anak. Apaila berhasil maka pengembangan sikap keagamaan pada
masa remaja akan mudah, karena anak telah mempunyai pegangan atau
bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada
masa remaja.

2.7 Kenalakan Remaja


a. Teori Kenakalan Remaja
Istilah kenakalan remaja berasal dari bahasa inggris juvenile
delinquency, dua kata ini digunakan bersamaan sehingga menjadikan
istilah ini bermakna remaja yang nakal (Simanjuntak, 1984: 43). Juvenile
yang artinya anak-anak, anak muda, sedangkan delinquent yang berarti
terabaikan, mengabaikan, kemudian diperluas artinya menjadi jahat,
asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak
dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain (Kartono, 2002: 6).
Kartono (2002: 6) mengartikan Juvenile Delinguency ialah perilaku
jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala
sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan
oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan
bentuk tingkah-laku yang menyimpang.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan
remaja adalah suatu tindakan anak muda di bawah 18 tahun yang

26
menyimpang yang melanggar aturan sehingga dapat mengakibatkan
kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
b. Bentuk-bentuk Kenakalan remaja
Jenis-jenis kenakalan remaja dipaparkan oleh Jensen (dalam
Sarwono, 2001: 200). Terdapat 4 macam jenis kenakalan remaja,
diantaranya yaitu:
a. Kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang
lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan
lain-lain.
b. Kenakalan remaja yang menimbulkan korban materi: perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain: Pelacuran, penyalahgunaan obat, seks sebelum nikah, dan
lain-lain.
d. Kenakalan yang mengingkari status: misalnya mengingkari status
anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status
orang tua dengan cara kabur dari rumah atau membantah perintah
mereka dan sebagainya.
Menurut Jensen (dalam Sarwono, 2001: 200) tentang jenis
kenakalan remaja, perilaku-perilaku tersebut memang tidak melanggar
hukum dalam arti sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-
status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang
memang tidak diatur secara rinci. Tetapi menurut Jensen, kalau remaja ini
kelak dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap
atasannya di kantor atau petugas hukum di masyarakat, sehingga Jensen
menggolongkan pelanggaran status ini sebagai perilaku kenakalan remaja
dan bukan sekedar perilaku menyimpang.
c. Faktor Kenakalan Remaja
Suatu kenakalan yang dilakukan oleh remaja tidak hanya
disebabkan oleh satu faktor saja namun ada banyak faktor yang
menyebabkan remaja menjadi nakal. Seperti yang dipaparkan oleh Rice

27
(dalam Gunarsa 2006: 273) terdapat 3 faktor yang mendorong terjadinya
delikuensi:
1) Faktor Sosiologis
Faktor ini termasuk faktor eksternal yang menunjang kenakalan remaja,
sehingga dapat dikatakan adanya suatu lingkungan yang delikuen yang
mempengaruhi remaja tersebut. Termasuk di dalamnya adalah latar belakang
keluarga, komunitas di mana remaja berada, dan lingkungan sekolah.
Ketiganya tersebut salaing berinteraksi satu dengan yang lainnya.
2) Faktor Psikologis
Faktor ini meliputi hubungan remaja dengan orang tua dan faktor kepribadian
dari remaja itu sendiri. Suasana dalam keluarga, hubungan antara remaja
dengan orang tuanya memegang peranan penting atas terjadinya kenakalan
remaja. Misalnya orang tua yang mengabaikan anaknya. Faktor kepribadian
remaja misalnya harga diri yang rendah, kurangnya kontrol diri, kurang kasih
sayang, atau karena adanya psikopatologi.
3) Faktor Biologis
Yang dimaksud dengan faktor biologis adalah pengaruh elemen fisik dan
organik dari remaja itu sendiri. Misalanya adanya faktor keturunan dan juga
adanya kelainan pada otak.
Menurut Darajat, (1977: 89) hal-hal yang menyebabkan kenakalan remaja
adalah:
a) Kurang tentramnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam
masyarakat.
b) Keadaan masyarakat yang kurang stabil baik dari segi sosial,
ekonomi, maupun politik.
c) Suasana yang kurang harmonis.
d) Diperkenalkannya secara popular obat-obatan dan alat anti hamil
e) Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran,
kesenian- kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar
tuntutan moral.
f) Kurangnya bimbingan untuk mengisi waktu dan kurangnya
tempat- tempat bimbingan dan penyuluhan bagi remaja

28
2.8 Kerangka Konseptual
Menurut Nana Syaodih Sukadimata “ Kerangka penelitian atau desain
penelitian merupakan rancangan bagaimana peneilitan akan dilakasanakan”.
Untuk mengukur Peranan Komunikasi Interpersonal antara Guru Bimbingan
Konseling (BK) dengan siswa dalam menangani Kenalakan Siswa (Studi
Kasus) maka kerangka penelitian ini digambarkan sebagia berikut :

Proses Konseling
(Komunikasi Interpersonal)

Guru BK Siswa

Stimulus

Positif Negatif

Perubahan Perilaku
Sisswa

Gambar 3.1
BagianKerangka Konseptual

Pada gambar diatas dapat dijelaskan alur kerangka penelitian, yang


pertama peneliti menentukan tempat penelitian agar ruang lingkup penelitan
tidak jauh melebar dengan menentukan tempat penelitian di tingkat sekolah

29
menengah pertama, Kemudian penelitian mengumpulkan data mengenai kasus
kenakalan siswa sebagai panduan untuk mengukur efektifitas peranan
komunikasi interperosal guru bimbingan konseling dan terkakhir adalah
memberikan rekomendasi mengenai hal-hal yang dapat ditingkatkan supaya
terlaksana lebih ekfektif.

30
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis/Tipe Penelitian


Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan
penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah
(Moleong, 2007:6).
Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian
deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah
yang ada sekarang berdasarkan data-data.
Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan pada penelitian ini
dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai komunikasi interpersonal
Guru Bimbingan Konseling (BK) dalam menangani kenakalan siswa. Selain itu,
dengan pendekatan kualitatif diharapkan dapat diungkapkan situasi dan
permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan Konseling ini.

3.2 Metode Penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Metode Kualitatif dengan
pendekatan Studi Kasus. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1994:3)
mendefinisikan metodologi kualitatif sebagia prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati.
Secara khusus, pendekatan penelitian yang dipilih adalah Studi Kasus,
karena peneliti rasa paling tepat menggunakan metode ini untuk memperoleh
pemahaman yang mendalam tentang bagaimana gambaran proses konseling
dan kenakalan siswa yang terjadi. Yin (dalam Bungin 2005:64) menyatakan
bahwa studi kasus adalah suatu inquiry empiris yang mendalami fenomena

31
dalam konteks kehidupan nyata, ketika batas antara fenomena dan konteks
tak tampak secara tegas. Bungin (2005:65) menyatakan kelebihan studi
kasus sebagai berikut:
1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan
antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan
pemahaman yang lebih luas.
2. Studi kasus dapat memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan
mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia.
3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat
berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi
perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam, dalam rangka
pengembangan ilmu-ilmu sosial.

Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya


dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum
memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus
akan kehilangan artinya jika hanya ditujukan sekadar untuk memperoleh
gambaran umum namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek
khusus yang perlu dipelajari secara intensif dan mendalam. Studi kasus yang
baik harus dilakukan secara langsung dalam kehidupan sebenarnya dari
kasus yang diselidiki. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh
tidak hanya dari kasus yang diteliti, tetapi juga dapat diperoleh dari semua
pihak yang mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan
kata lain, data dalam studi kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun
terbatas dalam kasus yang akan diteliti (Nawawi, 2003:2).

Secara ringkasnya yang membedakan metode studi kasus dengan metode


penelitian kualitatif lainnya adalah kedalaman analisisnya pada kasus yang
lebih spesifik (baik kejadian maupun fenomena tertentu).

Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif. Tujuan dari penelitian


Deskriptif adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis,

32
akurat dan faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena
yang diselidiki.

3.3 Metode Pengumpulan Data


a. Sumber Data
Sumber data dalam suatu penelitian adalah subjek dari mana data
diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam
pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang
yang merespon atau menjawab pernyataan-pernyataan peneliti, baik
pertanyaan tertulis maupun lisan.17 Pada penelitian ini sumber data dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a) Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber yang
diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Termasuk sumber data
primer adalah:
1) Person, yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa
jawaban lisan melalui wawancara atau dalam konteks penelitian
ini disebut dengan informan.
2) Place, yaitu sumber data yang diperoleh dari gambaran tentang
situasi dan kondisi yang sedang berlangsung berkaitan dengan
masa yang akan dibahas dalam penelitian.
3) Paper, yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa
huruf, angka, gambar atau simbol-simbol lain.18
Pada penelitian ini data yang dihimpun adalah mengenai seberapa
Efektif komunikasi interpersonal Guru BK dalam proses konseling
untuk menangani kenakalan siswa. Data ini diperoleh melalui
penyebaran kuesioner, wawancara, observasi dan dokumentasi yang
dilakukan peneliti selama berada di lapangan.

17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu..., hal. 172
18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu..., hal. 172

33
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang mendukung atau memberi
informasi berkaitan dengan penelitian ini, baik data internal maupun
data eksternal. Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang
diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subjek penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data
dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia.19 Pada penelitian
ini data yang didapatkan berasal dari dokumen tertulis.
b. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara
metode atau teknik pengumpulan data dengan masalah, tujuan dan
hipotesis penelitian.20 Prosedur pengumpulan data dapat diartikan sebagai
suatu usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang
diperlukan dan dilakukan secara sistematis dengan prosedur yang standar.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kombinasi. Dalam
proses pengumpulan data peneliti menggunakan teknik penyebaran
kuesioner, wawancara, observasi dan studi dokumentasi.
1. Wawancara
Wawancara merupakan bentuk pengumpulan data yang paling
sering digunakan dalam penelitian kualitatif. “Wawancara adalah suatu
tanya jawab secara tatap muka yang dilaksanakan oleh pewawancara
dengan orang yang diwawancarai untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara
bebas terpimpin dengan cara wawancara mendalam (depth interview).
Cara ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mendalam
mengenai kepuasan responden.

19
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2013), hal. 91
20
Moh. Pabundu Tika, Metodologi Riset Bisnis..., hal. 58

34
Wawancara yang dilakukan dengan dua bentuk, yaitu wawancara
terstruktur (dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah
disiapkan sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti). Sedang
wawancara tak terstruktur dilakukan apabila ada jawaban berkembang
diluar dari pertanyaan-pertanyaan terstruktur namun tidak terlepas dari
permasalahan penelitian.
Wawancara tesebut bersifat terbuka, dalam hal ini peneliti harus
berusaha mendapatkan data-data yang tidak hanya bersifat eksplisit
tetapi data yang bersifat implisit (tersirat). Sepanjang wawancara
tersebut peneliti berinterpretasi dan mencatat dalam catatan khusus.
Dalam interpretasi tersebut peneliti juga sudah melakukan analisi yang
mengarah pada kategor-kategori dan klasifikasi dan memunculkan
tema-tema. Namun dalam hal ini peneliti tetap berusaha menjaga
kesadaran akan sifat tentatif dari tema-tema tersebut, sehingga tidak
terlalu mengikat peneliti dalam wawancara selanjutnya. Sepanjang
penemuan tersebut, peneliti berusaha mencari keterkaitan antar kategori
atau tema.
2. Observasi
Observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya
tujuan yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku
yang dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung,
dan dapat diukur. Notoatmodjo dalam Sandjaja mendefinisikan
“observasi sebagai perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian
untuk menyadari adanya rangsangan. Rangsangan tadi setelah mengenai
indra menimbulkan kesadaran untuk melakukan pengamatan.”
Tujuan dari observasi adalah untuk mendeskripsikan lingkungan
(site) yang diamati, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, individu-
individu yang terlibat dalam lingkungan tersebut beserta aktivitas dan
perilaku yang dimunculkan, serta makna kejadian berdasarkan
perspektif individu yang terlibat tersebut. Dalam pelaksanaannya,
peneliti menggunakan jenis observasi non sistematis. Pada observasi

35
non sistematis, peneliti tidak menggunakan panduan observasi dan alat
perekam.
3. Dokumentasi
Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang
bersumber dari arsip dan dokumen yang ada hubungannya dengan
penelitian tersebut. Setelah data –data terkumpul, selanjutnya dilakukan
kompilasi data dan kemudian diolah menggunakan metode analisis yang
akan dipilih.

3.4 Unit Analisis


Yang dimaksud dengan unit analisis dalam penelitian adalah satuan
tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek atau sasaran penelitian (sasaran
yang dijadikan analisis atau fokus yang diteliti). Unit analisis suatu penelitian
dapat berupa benda, individu, kelompok, wilayah, dan waktu tertentu sesuai
dengan fokus penelitiannya.
Dalam penellitian ini, unit analisisnya berupa individu dan kelompok,
peneliti akan memfokuskan penelitian pada tindakan-tindakan kenakalan siswa
yang terjadi di lingkungan sekolah dan peranan guru bimbingan konseling
dalam membantu menangani kenakalan siswa yang terjadi.

3.5 Metode Analisis Data


Analisis adalah proses mencari dan menyusun sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan
cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-
unit, melakukan sitesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting
dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehiingga mudah dipahami
oleh diri sendiri maupun orang lain.21
Mengacu pada Miles and Huberman (1992), dalam menganalisis data,
dilakukan 3 langkah sebagai berikut.

21
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D..., hal. 244

36
a. Reduksi data
Menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu, mengorganisasikan data. Reduksi data dapat dilakukan melalui
diskusi dengan teman atau dengan proses bimbingan
b. Penyajian data
Penyajian data disusun dengan menggunakan gambar, bagan, matriks,
grafik, atau jaringan. Semuanya dirancang untuk menggabungkan
informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Tahap ini akan dicari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-
pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, hubungan sebab akibat,
proposisi. Kesimpulan-kesimpulan juga dilakukan verifikasi selama
penelitian berlangsung. Secara sederhana, makna-makna yang muncul
dari data harus diuji kebenaran, kekuatan, dan kecocokannya. Analisis
dan pemaknaan atau pendeskripsian data bukan merupakan proses
berurutan, tetapi pada dasarnya merupakan hal yang berjalan dengan
bersamaan atau secara acak. Pemrosesan satuan dan kategorisasi data
sebagai uraian analisis data, dan penafsiran data dilakukan setelah
proses diatas. Analisis dilakukan berdasarkan temuan data di lapangan
dengan kajian teori yang telah ditentukan, karena penelitian dilakukan
dengan paradigma kualitatif, maka peran data primer yang berupa
temuan di lapangan memiliki peran yang vital dalam proses analisis
data penelitian. Analisis dilakukan dalam bentuk skema hubungan
temuan di lapangan dengan teori, gambar, dan peta yang mendukung
proses analisis, sehingga dapat menyajikan kajian analisis yang
informatif dan efisien.

37
DAFTAR PUSTAKA
.A, H. (2002). Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Arikunto, S. Prosedur Penelitian: Suatu...
Asmani, J. M. (2010). Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Jogjakarta: Diva Press.
Astutik, S. (2014). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press.
Azwar, S. (2013). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Devito, J. A. (t.thn.). op.cit.
Febrini, D. (2011). Bimbingan Konseling. Yogyakarta: Teras.
Ibid. (t.thn.).
Lubis, N. L. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik.
Jakarta: Kencana Predana Media Group.
McLeod, J. (2006). Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.
Musnamar, T. (t.thn.). Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam.
Yogyakarta: UII Press.
Rusdiana, A. (2016). Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia.
Sugiyo. (2012). Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Semarang:
Widya Karya.
Sugiyono. (t.thn.). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D...
Tika, M. P. (t.thn.). Metodologi Riset Bisnis...
Walgito, B. (2005). Bimbingan & Konseling (Studi dan Karir). Yogyakarta: ANDI.
Winkel, W. S. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta:
PT Grasindo.
Yusuf, S., & Nurihsan, J. (2012). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S., & Sugandi, N. M. (2016). Perkembangan Peserta Didik. Depok: PT.
Rajagrafindo Persada.

38

Anda mungkin juga menyukai