Adapun hak-hak yang ada dalam UUPA tersebut mencakup Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, Hak Guna Usaha, dan lain-lain.
Bentuk surat girik tanah sendiri bisa disertai Surat Keterangan Tanah (SKT) yang ditandatangani
kepala desa atau lurah setempat. Lantaran UUPA tidak mengenal girik dan hanya mengakui
sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan, maka status girik tanah tidak bisa dipersamakan dengan
SHM maupun sertifikat tanah lainnya.
Prosedur mengurus tanah girik Mengurus di kantor kelurahan Ada beberapa hal yang perlu pemilik
ketahui untuk melalui tahapan pengurusan sertifikat untuk tanah girik. Adapun hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam mengurus tanah girik adalah: Surat Keterangan Tidak Sengketa Pemilik tanah
girik perlu memastikan bahwa tanah yang diurus bukan merupakan tanah sengketa. Hal ini merujuk
pada pemohon sebagai pemilik yang sah. Sebagai buktinya, dalam surat keterangan tidak sengketa
perlu mencantumkan tanda tangan saksi-saksi yang dapat dipercaya. Saksi-saksi tersebut adalah
pejabat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) setempat. Hal tersebut karena mereka
adalah kalangan tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah penguasaan tanah girik yang
dimohonkan.
Surat Keterangan Riwayat Tanah Berikutnya, pemilik tanah perlu membuat Surat Keterangan
Riwayat Tanah. Fungsinya, untuk menerangkan secara tertulis riwayat penguasaan girik tanah awal
mula pencatatan di kelurahan sampai dengan penguasaan sekarang ini. Termasuk pula di dalamnya
proses peralihan berupa peralihan sebagian atau keseluruhan. Biasanya, tanah girik awalnya sangat
luas kemudian dijual atau dialihkan sebagian. Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara
Sporadik Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik ini mencantumkan tanggal
perolehan atau penguasaan tanah.
Eigendom Verponding
Memang tidak dapat dipungkiri saat ini bahwa masih ada masyarakat yang memiliki
tanah Eigendom Verponding yang belum dikonversi menjadi sertifikat Hak Milik. Beberapa
minggu yang lalu saya pernah bertemu dengan seorang ibu di daerah Menteng Jakarta Pusat. Ibu
ini menyewakan beberapa bidang tanah miliknya yang masih berbentuk Eigendom
Verponding. Kemudian saya bertanya kenapa tanahnya tidak di konversi saja menjadi Sertifikat
Hak Milik, Ibu tersebut langsung menjawab dengan tegas "ini kan sudah kuat pak dan
dilindungi hukum jadi tidak perlu lagi sertifikat".
Saat ini istilah verponding dikenal dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT-PBB) sedangkan eigendom seperti di atur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Agraria (UUPA) harus dikonversi menjadi jenis hak atas tanah.
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
proses konversi hak atas tanah yang berasal dari hak-hak barat (termasuk Eigendom) dapat
langsung dilakukan konversinya sepanjang Pemohonnya masih tetap sebagai pemegang hak atas
tanah dalam bukti-bukti lama tersebut atau belum beralih ke atas nama orang lain, dan Ada
peta/surat ukurnya.
Pembukuannya cukup dilakukan dengan memberi tanda cap/stampel pada alat bukti tersebut
dengan menuliskan jenis hak dan nomor hak yang dikonversi. Setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pelaksanaan konversi hak atas
tanah tersebut disebut dengan istilah pembuktian hak lama.
Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 mengatur bahwa:Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah
yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan : Alat-alat bukti mengenai adanya
hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau, pernyataan yang bersangkutan
yang diakui kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau
oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Konversi hak dari Eigendom tidak selalu menjadi hak milik, karena pengkoversian harus
memperhatikan persyaratan pemberian suatu hak yang diatur dalam UUPA. Sebenarnya konversi
harus dilakukan setelah UUPA diundangkan, atau paling lama dua puluh tahun setelahnya,
namun karena ketidaktahuan masyarakat atau ketidakmampuan mengurus konversi hak
Eigendom menjadi sertifikat saat ini masih banyak tanah-tanah yang masih melekat hak
berupa Eigendom Verponding. Sampai saat inipun pemerintah melalui Kantor Pertanahan masih
melayani konversi dari Eigendom Verponding menjadi sertifikat asalkan syarat konversi seperti
diatur dalam undang-undang terpenuhi.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUPA, dapat diketahui bahwa salah satu terjadinya hak milik
adalah karena undang-undang. Sehingga, ketentuan konversi dalam UUPA, yang menentukan
bahwa hak Eigendom atas tanah sejak berlakunya UUPA menjadi hak milik merupakan salah
satu dasar terjadinya hak milik. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa Pasal 23 UUPA
memberikan suatu pengertian bahwa hak milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya,
dan pembebanannya harus didaftarkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena berdasarkan UUPA hak Eigendom atas tanah secara hukum menjadi hak milik,
maka dapat disimpulkan bahwa hak Eigendom atas tanah tersebut pada dasarnya tunduk pada
pengaturan dalam Pasal 23 UUPA, yaitu ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran hak
milik. Adapun pendaftaran tersebut ditujukan untuk memberikan suatu kepastian hukum, yang
meliputi :
1. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah.
2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, sebagai pembuktian yang kuat.
Secara prinsip, pendaftaran tersebut sangat diperlukan demi kepastian hukum dan perlindungan
hukum karena hak Eigendom atas tanah tersebut berasal dari sistem hukum yang masih
menggunakan hukum perdata barat, serta hukum agraria yang pada saat itu disusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan (konsiderans dari UUPA). Sedangkan, UUPA
ditujukan sebagai hukum agraria nasional yang berbeda dengan sistem hukum perdata barat atau
hukum agraria yang berlaku sebelum adanya UUPA.
Berdasarkan ketentuan dalam PP No. 24/1997, data fisik dan data yuridis dari tanah yang
didaftarkan wajib untuk diumumkan sebelum penerbitan sertifikat. Adapun, dalam jangka waktu
pengumuman tersebut, setiap orang diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan. Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah kadaluwarsanya suatu penuntutan atas penerbitan suatu sertifikat
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997. Sehingga, pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah
tidak dapat lagi mengajukan suatu penuntutan.