Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI 1
EKLAMSIA

Di susun oleh :
Lili Tamala (180105057)
Mella Saptaningtyas (180105064)
Nur Aini (180105113)
Qiqi Milata Ilahina (180105082)
Riska setyaningsih (180105086)
Tiara Indah Lestari (180105099)

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tesusun hingga selesai. Penyusunan makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi 1 .Selain itu tujuan dari penyusunan
makalah ini juga untuk menambah wawasan kita tentang farmakoterapi Gynekology
Eklamsia.
Tak lupa ucapan terimakasih kami kepada dosen mata kuliah Farmakoterapi 1 atas
bimbingan, dorongan dan ilmu yanng telah diberikan kepada kami. Sehingga kami
dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan semoga
sesuai yang kami harapkan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan, bahwa kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua untuk mengenal lebih jauh tentang farmakoterapi Gynekology Eklamsia.

23 Oktober 2020
EKLAMSIA
A. DASAR TEORI
1. Obesitas
1.1. Definisi
Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal dan
fisik sebagai akibat dari akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh.3 Sedangkan WHO
mengemukakan bahwa obesitas merupakan penimbunan lemak yang berlebihan di
seluruh jaringan tubuh secara merata yang mengakibatkan gangguan kesehatan dan
menimbulkan berbagai penyakit seperti diabetes, tekanan darah tinggi, serangan jantung
yang dapat menyebabkan kematian..Prinsip dasar obesitas adalah ketidakseimbangan
antara intake dengan output. Dalam suatu keadaan dimana energi yang masuk lebih
banyak dibandingkan energi yang keluar, kelebihan dari energi akan disimpan menjadi
lemak, yang pada akhirnya akan meningkatkan berat badan. Jika hal ini berlangsung
terus menerus, akan terjadi obesitas (Wafiyatunisa & Rodiani, 2016).
Obesitas merupakan faktor risiko yang telah banyak diteliti terhadap terjadinya
preeklampsia. Obesitas memicu kejadian preeklampsia melalui beberapa mekanisme,
yaitu berupa superimposed preeclampsia, maupun melalui pemicu-pemicu metabolit
maupun molekul-molekul mikro lainnya. Pada seseorang baik dengan kehamilan
maupun tidak, terjadi disfungsi endotel yang dipicu oleh adanya obesitas, dimana hal ini
akan menyebabkan kerusakan dari endotel dan semakin mempresipitasi terjadinya
preeklampsia. Obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia dengan
beberapa mekanisme (Wafiyatunisa & Rodiani, 2016).
Pada wanita dengan preeklampsia dapat ditemukan adanya lesi pada arteri
uteroplasentalnya. Karakteristik lesinya adalah adanya daerah dengan nekrosis fibrinoid
yang diliputi oleh sel makrofag yang memfagosit lipid. Lesi mikroskopis ini mirip
dengan lesi yang ada pada atheroskeloris. Penumpukan lemak juga dapat ditemukan
pada glomerulus dari pasien dengan preeklampsia dan biasa disebut glomerular
endotheliosis. Adanya lesi pada glomerular ini berhubungan dengan terjadinya
proteinuria. Pada kadar LDL dan trigliserida yang tinggi juga berhubungan dengan
kerusakan ginjal diatas. Perubahan pada metabolisme lemak dapat berperan terhadap
lesi endotel yang ditemukan pada pasien preeklampsia. Keparahan dari hipertensi dan
proteinuria mencerminkan keparahan dari kerusakan endotel yang terjadi (Wafiyatunisa
& Rodiani, 2016).
1.2. Etaologi
Etiologi obesitas bersifat multifaktorial, namun penyebab dasarnya adalah
ketidakseimbangan antara kalori yang dikonsumsi dan yang dikeluarkan.
Ketidakseimbangan ini menyebabkan terjadinya penimbunan kelebihan energi di sel
adiposit sehingga sel tersebut mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Bertambahnya
massa lemak tubuh berdampak pada bertambahnya ukuran sel adiposit (hipertrofi) dan
bertambahnya jumlah sel lemak (hiperplasia) yang berhubungan dengan disfungsi
adiposit intraselular terutama stress pada retikulum endoplasma dan mitokondria. Hal
ini menyebabkan diproduksinya sel adiposit abnormal, asam lemak bebas/free fatty acid
(FFA), dan penanda inflamasi. Makin berat disfungsi adiposit yang terjadi, makin nyata
manifestasi klinis dan komorbiditas obesitas (Kumar & Kelly, 2016).
1.3. Patofisiologi
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran
energi (energy expenditures), sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan
oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energi yang rendah (Stolzman dan
Bement, 2012). Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan yang
berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme
tubuh, aktivitas fisis, dan efek termogenesis makanan yang ditentukan oleh komposisi
makanan. Lemak memberikan efek termogenesis lebih rendah (3% dari total energi
yang dihasilkan lemak) dibandingkan karbohidrat (6-7% dari total energi yang
dihasilkan karbohidrat) dan protein (25% dari total energi yang dihasilkan protein)
(Estrada, 2014).
1.4. Manifestasi klinik
Distribusi lemak pada obesitas juga mempengaruhi bentuk fisik seseorang yang
menderitanya. Pada obesitas terdapat tiga bentuk distribusi lemak yaitu: apple shape
body (android), pear shape body (gynoid), dan intermediate. Pada apple shape body
(android), distribusi lemak cenderung bertumpuk pada bagian atas tubuh (dada dan
pinggang). Pada pear shape body (gynoid), distribusi lemak cenderung lebih banyak
pada bagian bawah (pinggul dan paha). Sedangkan bentuk tubuh intermediate lemak
terdistribusi ke seluruh bagian tubuh secara hampir merata (Sjarif, 2011).
Berdasarkan kondisi selnya maka obesitas dapat digolongkan dalam beberapa tipe
(Purwati, 2001) yaitu :
1. Tipe Hiperplastik, adalah obesitas yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak
dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai dengan ukuran sel normal
terjadi pada masa anak-anak. Upaya menurunkan berat badan ke kondisi normal pada
masa anak-anak akan lebih sulit.
2. Tipe Hipertropik, obesitas ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan
ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa dan upaya untuk
menurunkan berat akan lebih mudah bila dibandingkan dengan tipe hiperplastik. 3. Tipe
Hiperplastik dan Hipertropik, obesitas tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel
melebihi normal. Obesitas tipe ini dimulai pada masa anak-anak dan terus berlangsung
sampai setelah dewasa. Upaya untuk menurunkan berat badan pada tipe ini merupakan
yang paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit, seperti penyakit
degeneratif.
1.5. Tatalaksana
Tatalaksana menurut Sjarif (2011), terhadap individu dengan overweight dan obesitas,
antara lain sebagai berikut :
1) Diet Pendekatan terhadap pola makan bergantung pada penurunan penyerapan
energi total.
2) Aktivitas Fisik Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dalam
program penurunan berat badan.
3) Terapi Perilaku Diperlukan suatu strategi untuk menghadapi hambatan yang muncul.
Strategi spesifik tersebut meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan
aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan massalah, serta
dukungan sosial.
4) Farmakoterapi terhadap obesitas masih menjadi tantangan yang sulit karena beberapa
diantaranya memiliki efek yang tidak baik. Sibutaramine dan orlistat merupakan contoh
obat-obatan penurun berat badan yang telah disetujui FDA(Food and Drug
Administration) di Amerika Serikat.
5) Terapi Bedah Terapi ini hanya diberikan pada pasien obesitas berat secara klinis
dengan IMT≥ 40 atau ≥35 dengan kondisi komorbid.Terapi Bedah merupakan alternatif
terakhir pada pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi
obesitas yang ekstrem.

2. Eklamsia
2.1. Definisi
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan preeklampsia
yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan edema yang bukan
disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurologi lain. Eklampsia merupakan
kelainan akut pada wanita hamil, bersalin atau nifas yang ditandai dengan timbunya
kejang atau koma, yang sebelumnya telah menunjukan gejala-gejala preeklampsia.
Eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut dipakai
karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh
tanda-tanda lain. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang
diikuti oleh koma. Eklampsia lebih sering pada primigravida daripada multipara.
Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia gravidarum (eklampsia
antepartum), eklampsia parturientum (eklampsia intrapartum), dan eklampsia puerperale
(eklampsia postpartum) (Alpiansyah & Rodiani, 2017).
2.2. Etiologi
Etiologi eklampsia hingga saat ini masih belum diketahui. Adapun faktor risiko
terjadinya preeklampsia yang mendahului eklampsia adalah primigravida,
hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, hydrops
fetalis dan bayi besar, umur yang terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan ada
riwayat dalam keluarga yang pernah preeklamsia/eklamsia, ada penyakit-penyakit ginjal
dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan, dan obesitas (Alpiansyah & Rodiani,
2017).
2.3. Patofisiologi
Menurut Alpianyah dan Rodiani (2017), Ada beberapa teori tentang patofisiologi
eklampsia adalah sebagai berikut :
Inhibisi perkembangan uterovaskular
Terdapat banyak perubahan uterovaskular yang terjadi ketika seorang wanita
hamil. Dipercayai bahwa perubahan tersebut disebabkan karena interaksi antara
allograft fetus dan ibu sehingga terjadi perubahan vaskular lokal dan sistemik. Pada
pasien dengan eklampsia, perkembangangan arteri uteroplasenta terhambat.
Hambatan regulasi aliran darah serebral
Dipercaya bahwa pada eclampsia terdapat aliran darah serebral abnormal yang
diakibatkan oleh hipertensi yang ekstrem. Regulasi perfusi serebral dihambat,
pembuluh darah mengalami dilatasi dengan peningkatan permeabilitas, dan terjadilah
edema serebral, sehingga terjadi iskemia dan enselopati. Pada hipertensi yang ekstrem,
vasokontriksi kompensasi normal dapat terganggu. Beberapa temuan otopsi
mendukung model ini dan secara konsisten menunjukkan pembengkakan dan nekrosis
fibrinoid dinding
Tumor necrosis factor-α *TNF-α+ Selain itu, dipercaya bahwa faktor
antiangiogenik, seperti protein plasenta fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) dan activin
A, antagonis Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Peningkatan kadar protein
tersebut menyebabkan reduksi VEGF dan menginduksi disfungsi endotel lokal dan
sistemik. Kebocoran protein dari sirkulasi dan edema generalisata merupakan sekuele
disfungsi endotel dan menjadi faktor penentu yang berhubungan dengan preeklampsia
dan eklampsia.
Stres oksidatif
Terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa molekul leptin meningkat pada sirkulasi
wanita dengan eklampsia, menginduksi stres oksidatif, faktor lain pada eklampsia, pada
sel. Peningkatan leptin juga menyebabkan agregasi trombosit, yang berkontribusi
terhadap koagulasi yang berhubungan dengan eklampsia. Stres oksidatif diketahui
menstimulasi produksi dan sekresi faktor antiangiogenik activin A dari sel endotel dan
plasenta.
2.4. Manifestasi klinik
Preeklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, odema dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan pada usia kehamilan diatas 20 minggu . Penyebabnya
belum diketahui. Pada kondisi preeklamsia berat dapat menjadi eklamsia dengan dengan
penambahan kejang-kejang. Peningkatan gejala dan tanda tersebut jika tidak cepat di
tangani akan dapat membahayakann keadaan ibu dan bayi (Alpiyansyah & Rodiani,
2017).
2.5. Tatalaksana
Prinsip dasar dalam pengelolaan eklampsia antara lain terapi suportif untuk
stabilisasi penderita, selalu diingat masalah airway, breathing, circulation, monitoring
kesadaran dan dalamnya koma dengan “Glasgow-Pittsburg Coma Scale”. Kontrol
kejang dengan pemberian magnesium sulfat intravena dipilih karena kerjanya di perifer
tidak menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan sampai 24 jam paska persalinan
atau 24 jam bebas kejang. Dilakukan pemberian obat antihipertensi secara intermitten,
sebagai obat pilihan adalah nifedipin. Pada pasien eklampsia juga dilakukan koreksi
hipoksemia dan asidosis, hindari penggunaan diuretik kecuali jika ada edema paru,
gagal jantung kongestif dan edema anasarka, batasi pemberian cairan intravena kecuali
pada kasus kehilangan cairan berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan,
hindari penggunaan cairan hiperosmotik, dan segera dilakukan terminasi kehamilan
(Alpiyansyah & Rodiani, 2017).

3. Acute Lung Oedema (ALO)


3.1. Definisi
Edema paru didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi perpindahan cairan
dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada edema paru terdapat
penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang
interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut dan luas sering disusul oleh
kematian dalam waktu singkat. Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru
kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik (Rampengan,2014).
3.2. Etiologi
Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru
dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler
paru sering disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru
dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan
edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan
volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau
malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru. Pada
tahap awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial
antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler
paru perlu dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang
berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan
beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan
berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin,
dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau
penyakit dengan hasil akhir kerusakan endotel yang berakibat peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya
protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk
membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
ialah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal) (Rampengan,
2014)
3.3. Patofisiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui
celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan selisih antara
tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan
dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat
rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang interstisial, cairan tersebut akan
dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh siistem
limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan.
Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari kirosirkulasi paru
sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien
tekanan onkotik protein (Rampengan, 2014).
3.4. Manifestasi klinik
Menurut Kamila (2013), Manisfestasi klinis edema paru dibagi menjadi 3 stadium :
a. Stadium 1 : Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas diparu dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas
CO2.keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
b. Stadium 2 : Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan intersisial, akan lebih memperkecil
saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin
pula terjadi refleks bronkokontriksi. Sering terdapat takhipnea merupakan tanda
gangguan fungsi vertikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe
sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.
c. Stadium 3 Pada stadium ini terjadi edema alveplar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemiadan hipokpnia.penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt, penderita biasanya menderita hipokapnia. Pada
keadaan ini momrphin hams digunakan dengan hati-hati. Diperkirakan bahwa dengan
menghambat cyclooxygenase akan mengurangi edema paru-paru sekunder akibat
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler.
3.5. Tatalaksana
Menurut Kamila (2013), penatalaksanaan pada penyakit acute long oedema sebagai
berikut:
a. Pemberian oksigen
b. Infus emergensi,monitor tekanan darah, monitor EKG , oksimetri bila ada.
c. Nitrogliserin sublingual atau intravena.
d. Morfin sulfat 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaikknya
dihindari).
e. Diuretik furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapi produksi urine 1 ml/kgBB/jam
f. Dopamin 2-5 μg/kg/BB/ menit atau dobutamin 2-10 μg/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik.
g. Trombolitik atau revaskulari pada pasien miokard
h. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
i. Operasi pada komplikasi akut seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel.
4. Pneumonia
4.1. Definisi
Pneumonia merupakan suatu proses peradangan atau infeksi, dimana terdapat
konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat (Somantri, 2012).
Pneumonia adalah salah satu peradangan pada paru-paru yang sering dihubungkan
dengan meningkatnya cairan pada alveoli. Pneumonia dalam arti umum adalah
peradangan atau infeksi yang terjadi pada parenkim paru yang disebabkan oleh
beberapa mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur dan parasit (Djojodibroto, 2016).
Gangguan pertukaran gas merupakan kelebihan atau kekurangan oksigenasi atau
eleminasi karbondioksida pada membrane alveolus-kapiler. Gangguan pertukaran gas
merupakan keadaan individu mengalami penurunan gas baik oksigen maupun karbon
dioksida antara alveoli paru dengan sistem vascular, dapat dipicu oleh sekresi yang
kental atau imobilisasi akibat adanya penyakit pada sistem neurologis, terjadi depresi
pada susunan saraf pusat, atau terjadi enyakit radang pada paru.
4.2. Etiologi
Etiologi Penyebab dari pneumonia adalah virus, bakteri, mikroplasma, protozoa dan
jamur.Virus penyebab pneumonia yaitu influenza, parainfluenza, dan andenovirus.
Bakteri penyebab terjadinya pneumonia adalah bakteri gram positif(Streptococcus
pneumonia atau pneumococcal pneumonia, staphylococcus aureus) dan bakteri gram
negatif (haemophilus influenza, pseudomonas aeruginosa, kleibsiella pneumoniae dan
anaerobic bacteria). Sedangkan jamur penyebab pneumonia adalah kandidiasis,
histoplasmosis, kriptokokkis. Protozoa penyebab pneumonia yaitu pneumokistis karini
pneumonia. Sedangkan penyebab dari gangguan pertukaran gas adalah
ketidakseimbangan ventilasi perfusi dan perubahan membran alveolus kapiler (Padila,
2013).
4.3. Patofisiologi
Menurut (Padila, 2013) mikroorganisme penyebab pneumonia yaitu bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Mikroorganisme tersebut masuk ke dalam saluran pernafasan
melalui inhalasi udara dari atmosfer, tidak hanya itu mikroorganisme penyebab
pneumonia dapat masuk ke dalam paru-paru melalui aspirasi dari nasofaring atau
urofaring dan berkembang biak pada jaringan paru , kuman masuk menuju alveolus
melalui poros kohn setelah masuk ke dalam alveolus akan terjadi reaksi peradangan atau
imflamasi hebat hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permiabilitas
kapiler di tempat infeksi yang mengakibatkan membrane pada paru-paru akan meradang
dan berlubang, dari reaksi inflamasi tersebut akan menimbulkan reaksi seperti demam,
anoreksia dan nyeri pleuritis, selanjutnya Red Blood Count (RBC) dan White Blood
Count (WBC) dan cairan akan keluar masuk alveoli sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya sekresi, edema, dan bronkospasme yang dapat meninmbulkan manifestasi
klinis seperti dispnea, sianosis dan batuk, selain itu hal ini juga dapat menyebabkan
terjadinya partial oklusi yang dapat menjadikan daerah paru-paru menjadi padat
(konsolidasi), maka kapasitas vital dan compliance paru menurun dimana kelainan ini
dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk mempertahankan kemampuan
pertukaran gas terutama O2 dan CO2 , konsolidasi ini juga mengakibatkan meluasnya
permukaan membrane respirasi dan penurunan rasio ventilasi perfusi kedua hal ini dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas difusi gas, karena oksigen kurang larut
dari pada karbon dioksida , perpindahan oksigen ke dalam darah sangat terpengaruh,
yang sering menyebabkan penurunan saturasi oksigen haemoglobin sehingga timbul
masalah gangguan pertukaran gas (Somantri, 2012).
4.4. Manifestasi klinik
Menurut (Padila, 2013) tanda gejala yang dapat timbul pada pneumonia yaitu: a.
Sesak nafas atau dispnea b. Bunyi nafas yang berada di atas area yang mengalami
konsolidasi c. Adanya gerakan dada tidak simetris d. Menggigil dan demam 38,80C
sampai 41,10C dan mengalami gangguan kesadaran delirium e. Mengalami diaphoresis
atau keluarnya keringat secara berlebihan yang tidak wajar f. Mengalami rasa lemas,
tidak nyaman atau malaise 9 g. Batuk kental, produktif yaitu terdapat spputum berwarna
kuning kehijauan kemudia dapat berubah menjadi kemerahan seperti berkarat h. Gelisah
i. Terjadi sianosis yaitu kulit mengalami warna kebiruan akibat kekurangan oksigen
dalam darah j. Terjadi Masalah-masalah psikososial seperti disorientasi, ansietas dan
takut mati.
4.5. Tatalaksana
Pada tata laksana pneumonia oleh Infectious Diseases Society of America menggunakan
flurokuinolon sebagai terapi tunggal pada pasien pneumonia komuniti
merekomendasikan golongan beta laktam digunakan sebagai terapi tunggal pada pasien
pneumonia. Terapi antibiotik dianjurkan berbeda antara berbagai pedoman dan ini
mungkin karena persepsi yang berbeda tentang pentingnya infeksi yang disebabkan oleh
organisme atipikal, perbedaan resistensi antibiotik, perbedaan dalam penafsiran
relevansi klinis resistensi antibiotik serta resistensi antibiotik. Resistensi Penisillin
antara Streptococcus pneumoniae dengan tingkat 9,2% di Spanyol dan 15,9% pada
USB. Resistensi di Inggris dan Belanda jauh lebih rendah (1,5 dan 0.5%), sehingga
mendukung penggunaan antibiotik beta laktam dan menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (2003), pasien pneumonia rawat inap menggunakan kombinasi golongan beta
laktam dan anti betalaktamasi atau sefalosporin generasi II, III atau flurokuinolon.Salah
satu penggunaan obat antibiotik yang di gunakan ceftriaxone (sefalosporin generasi
kedua) dengan dosis bayi dan anak 50-75 mg/kg sekali sehari sedangkan pada dewasa 1
gr sekali sehari selama 5-10 hari (Usman, 2014).

5. Hellp Syndrome
5.1. Definisi
Sindrom hellp merupakan suatu kondisi yang berbahaya yang dijumpai pada ibu
hamil dengan pre eklamsia. Sindrom hellp terjadi 10-20% dari kasus pre eklamsia.
Istilah HELLP merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low
Platelet Counts. Sindroma ini merupakan kumpulan dari gejala multisistim pada
preeklampsia berat dan eklampsia dengan karakteristik trombositopenia, hemolisis
(anemia hemolisis mikroangiopatik) dan enzym hepar yang abnormal. Sebagai
parameter terjadinya hemolisis digunakan hasil gambaran hapusan darah tepi, yaitu
adanya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell. Menurut Weinstein (1982)
dan Sibai (1986) hasil ini merupakan gambaran yang spesifik terjadinya hemolisis pada
sindroma HELLP. Hemolisis terjadi karena kerusakan dari sel darah merah
intravaskuler, yang menyebabkan hemoglobin keluar dari intravaskuler. Lepasnya
hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks hemaglobin-
haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat. Hemoglobin bebas pada sistim
retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin
menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar bilirubin berkisar
0,1 –1,0 mg/ dL. Dan pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu >1,2 mg/dL
(Sumarni,2017
5.2. Etiologi
Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yangendotelnya
rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes,
schistocytes, triangular cells dan burr cells. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan
sekunder akibat obstruksi alirandarah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini
menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan
intrahepatik,hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan
perdarahanmerupakan gambaran histopatologik yang paling sering
ditemukan.Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau
destruksitrombosit (Jayakusuma A. 2005).
5.3. Patofisiologi
Dasar patofisiologi sindrom HELLP adalah adanya aktivasi endotel pembuluh
darah, trombosit, hemolisis dan kerusakan hati, hal tersebut berisiko berkembang
menjadi DIC. Dalam sebuah penelitian kohort retrospektif, 38%wanita hamil dengan
sindrom HELLP dapat berkembang menjadi DIC (trombosit < 100.109/L, konsentrasi
fibrinogen < 3g/L, degradasi fibrin > 40mg/L). Pada DIC, rendahnya kadar antitrombin
mungkin disebabkan karenadisfungsi hati, penurunan sintesis, dan peningkatan
konsumsi. Sindrom HELLP mempunyai konsentrasifi bronektin dan D-dimer yang lebih
tinggi, serta kadar antitrombin yang lebihrendah jika dibandingkan dengan kehamilan
normal dan preeclampsia. Solusio plasenta yang berhubungan engan sindrom HELLP
meningkatkan risiko DICserta risiko edema pulmo, gagal ginjal (oliguria, anuria,
peningkatan kadarkreatinin serum) dan membutuhkan transfusi darah. Faktor yang
berkontribusiterhadap gagal ginjal akut adalah mikroangiopati dan DIC. Gangguan
visual, termasuk ablasio retina, perdarahan corpus vitreus, dan kebutaan
kortikalmerupakan komplikasi yang jarang terjadi dimana DIC juga memberikan
kontribusi (Baxter et,al. 2004).
5.4. Manifestasi klinik
Pasien sindroma HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat
bervariasi, dari yang berniali daignostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien
preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP. Pasien biasanya muncul
dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa
mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian
besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum tanda
lain. Mual dan atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran
darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom
HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema
menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik160 mmHg,
diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan (Jayakusuma, A., 2005 ; Angsar, M.,
2003)

5.5. Tatalaksana
Evaluasi awal terhadap wanita yang didiagnosa dengan sindrom HELLP harus
dilakukan seperti pada preeklamsia berat. Pasien harus dirawat di pusat perawatan
tersier. Penatalaksanaan awal harus mencakup penilaian maternal dan fetal,
pengendalian hipertensi berat, jika ada, inisiasi infus MgSO4, koreksi koagulopati, jika
ada, dan stabilisasi maternal. Komplikasi sindrom HELLP yang berpotensi mengancam
jiwa adalah sebuah hematoma hepar subkapsuler. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi
terhadap keberadaan hematoma hepar subkapsuler yang tinggi, maka sebaiknya
dilanjutkan dengan melakukan computed tomography scan (Cunningham FG, 2014).
Terapi dari sindrom HELLP bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kondisi umum penderita minimal stabil.
2. Menghindari lebih jauh gangguan koagulasi darah.
3. Meningkatkan kesejahteraan janin dalam uterus.
4. Persalinan sebaiknya segera dilaksanakan:
a. Bergantung pada umur kehamilan.
b. Lakukan induksi persalinan
c. Bila serviks tidak matang atau terdapat pertimbangan lainnya dapat
dilakukan seksio sesarea.
6. IUFD
6.1. Defisini
Kematian janin biasanya didefinisikan sebagai kematian intra uterine dari janin
dengan berat 500 gram atau lebih atau janin pada umur kehamilan sekurang-kurangnya
20 minggu. Adapun pengertian kematian janin dalam Rahim adalah tidak adanya
tandatanda kehidupan janin dan belum dikeluarkannya janin dengan sempurna dari
ibunya (Mahyuni, 2013). Menurut WHO dan the American, college of obstetricians and
Gynecologists yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan
berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada 20 minggu atau
lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, atau
infeksi. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, atau
akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak diobati (Saifuddin,
2010).
6.2. Etiologi
Penyebab kematian janin dalam rahim yaitu (Winkjosastro, 2009) :
a. 50 % kematian janin bersifat idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
b. Kondisi medis ibu (hipertensi, pre-eklamsi, diabetes mellitus) berhubungan dengan
peningkatan insidensi kematian janin. Deteksi dini dan tata laksana yang sesuai akan
mengurangai risiko IUFD.
c. Komplikasi plasenta (plasenta previa, abruption plasenta) dapat menyebabkan
kematian janin. Peristiwa yang tidak diinginkan akibat tali pusat sulit diramalkan, tetapi
sebagian besar sering ditemukan pada kehamilan kembar monokorionik/monoamniotik
sebelum usia gestasi 32 minggu.
d. Penentuan kariotipe janin harus dipertimbangkan dalam semua kasus kematian janin
untuk mengidentifikasi abnormalitas kromosom, khususnya dalam kasus ditemukannya
abnormalitas struktural janin. Keberhasilan analisis sitogenetik menurun pada saat
periode laten meningkat. Kadang-kadang, amniosentesis dilakukan untuk mengambil
amniosit hidup untuk keperluan analisis sitogenet.
e. Perdarahan janin-ibu aliran sel darah merah transplasental dari janin
f. menuju ibu dapat menyebabkan kematian janin. Kondisi ini terjadi pada semua
kehamilan, tetapi biasanya dengan jumlah minimal (<0,1 ml). Pada kondisi yang jarang,
perdarahan janin-ibu mungkin bersifat masif. Uji Kleuhauer-Betke (elusi asam)
memungkinkan perhitungan estimasi volume darah janin dalam sirkulasi ibu.
g. Sindrom antibodi antifosfolipid. Diagnosis ini memerlukan pengaturan klinis yang
benar (>3 kehilangan pada trimester pertama >1) kehilangan kehamilan trimester kedua
dengan penyebab yang tidak dapat dijelaskan, peristiwa tromboembolik vena yang tidak
dapat dijelaskan.
h. Infeksi intra-amnion yang mengakibatkan kematian janin biasanya jelas terlihat pada
pemeriksaan klinis. Kultur pemeriksaan histologi terhadap janin, plasenta/selaput janin,
dan tali pusat akan membantu.
6.3. Patofisiologi
Menurut Sastrawinata (2005), kematian janin dalam pada kehamilan yang telah lanjut,
maka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
a) Rigor mortis (tegang mati) berlangsung 2,5 jam setelah mati kemudian lemas
kembali.
b) Stadium maserasi I : timbulnya lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula terisi
cairan jernih, tetapi kemudian menjadi merah coklat.
c) Stadium maserasi II : timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi
merah coklat. Terjadi 48 jam setelah anak mati.
d) Stadium maserasi III : terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin
sangat lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat longgar edema di bawah kulit.
6.4. Manifestasi klinik
Menurut Achadiat (2004), criteria diagnostic kematian janin dalam rahim meliputi :
a. Rahim yang hamil tersebut tidak bertambah besar lagi, bahkan semakin mengecil.
b. Tidak lagi dirasakan gerakan janin.
c. Tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan.
d. Bentuk uterus menjadi tidak tegas sebagaimana suatu kehamilan normal.
e. Bila kematian itu telah berlangsung lama, dapat dirasakan krepitasi, yakni akibat
penimbunan gas dalam tubuh.
6.5. Tatalaksana
penatalaksanaan yang lakukan yaitu dibantu partus normal karena pada saat datangnya
ibu sudah dalam keadaan inpartu dan partus yang dilakukan secara spontan.
Sebelumnya diberikan IVFD RL 24 tpm, Drips Oxytocin ½ Amp 8 tpm, Inj. Cefotaxime
1 gr/12 jam /IV dan Drips Metronidazole 1 ml/8 jam/IV. Pada penatalaksaan kasus ini
sudah sesuai dengan protap dan dari penanganan KJDR.
7. Patofisiologi patway

B. KASUS
FORMULIR PEMANTAUAN TERAPI OBAT

PTO – 1. SUBJEKTIF
A. IDENTITAS PASIEN

TANGGAL MRS :28/3/2010 TGL LAHIR / UMUR : 23 TH


BB/TB/LPT : 80 Kg /
NAMA : Ny M
150 cm /
NO. RM : JENIS KELAMIN : (Laki-laki / Perempuan)
R. RAWAT : ALERGI OBAT :-
NAMA DPJP : TANGGAL KRS :
KONDISI KHUSUS :

a. Hamil/Menyusui b. Gangguan Ginjal c. Gangguan Hati


d. ………………
KELUHAN UTAMA : Sesak nafas, Pusing, Mual, Muntah

DIAGNOSIS DOKTER:
Diagnosa masuk : Eklamsia
Diagnosa akhir : P1000 Ab000 Post A/T/IUFD kala 1 + Eklamsia + Pneumonia +
HELLP Syndrome + Obesitas

II. RIWAYAT PASIEN

Riwayat Penyakit
Hipertensi sebelum hamil (Disangkal)

Riwayat
Pengobatan

Riwayat Keluarga
PTO – 2. OBJEKTIF
A. DATA PEMERIKSAAN KLINIK (TTV)

Pemeriksaa Nilai Tanggal

n Normal 28/3 29/3 30/3 31/3 1/4 2/4


Nadi 80-100 92 130 88 80 88 88
Suhu 36-37 38 38 37,2 36,2 36,7 36,5
TD 120-180 180/120 144/76 130/90 120/80 190/100 170/80
RR 20 20 36 36 24 20 20
Kontraksi +
Kesadaran + + + + +
(CM)
Sesak + + + + +
Pusing + + + + + +
Mual + + + +
BAB,BAK + + +
Udema kaki +

Interpretasi Klinik :

1. Pada tanggal 28 29 30 31 Maret pasien mengalami kenaikan suhu yang dilihat


dari data klinik berturut-turut 38,38 dan 37,5o c dari yang nilai normal 36-37oc
yang menujukan pasien mengalami demam (Sherwood, 2014). Pada tanggal 24
Maret pasien mengalamai kenaikan nadi yang dilihat dari data klinik yaitu
130/penit dari nilai normal 80-100/menit yang menandakan paien mengalami
takikardi. Pada tanggal 29,30 dan 31 Maret pasien mengalami kenaikan
resoiratory rate (tingkat pernafasan) yang dilihat dari data klinik yaitu 36,36,
4/menit dari nilai normal 20/menit yang menandakan paien mengalami takipena
dan huperventilasi (Arini, 2017).
Berdasarkan data klinik diatas, menunjukkan bahwa pasien mengalami SIRS
(Putra, 2019).
2. Pada tanggal 28, 29, 30, Maret dan 1, 2 April pasien mengalami kenaikan
tekanan darah yang dilihat dari data klinik yaitu berturut-turut 180/120 144/76
130/90 190/100 170/80 mmHg dari normal yait 120/80 mmHg. Hal ini
menjukan pasien mengalami hipersensitivitasi. Hipertensi merupakan salah satu
tanda terjadi eklamsia (Alpiansyah & Rodiani 2017).
3. Dilihat dari data klinik, pasien mempunyai berat badan 80 kg dengan tinggi
badan 150 yanng menunjukan berat badan pasien tidak ideal, yang menunjukkan
pasien mengalami obesitas. Pada seseorang baik dengan kehamilan maupun
tidak, terjadi disfungsi endotel yang dipicu oleh adanya obesitas, dimana hal ini
akan menyebabkan kerusakan dari endotel dan semakin mempresipitasi
terjadinya preeclampsia. Obesiatas dapat meningkatkan risiko terjadinya
preeclampsia dengan beberapa mekanisme, salah satunya yaitu berupa
superimposed preeclampsia, maupun melalui pemicu-pemicu metabolit maupun
molekul mikro lainnya (Wafiatunisa & Rodiani, 2016).

B. DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Data Nilai Normal Tanggal
Laboratorium 28/3 29/3 30/3 31/3 1/4
WBC 4,5 – 10,5 K/uL 37.600 34.300 28.800 22.600 28.800

RBC 4,5 – 5,5.106/uL


Hb 12,0 – 16 g/dL 12,0 7,7 6,0 7,8 7,9
PLT 150 – 450.103/uL 314.000 203.000 239.000 187.000 301.000
Hct 36 – 48% 37,8 24,2 18,4 24,2 24,4
LDH 210-425 1017 1284 1250
PPT 10 – 14 14,6
APTT 23 – 35 28,7
BUN 5 – 23 mg/dL
Creatinin 0,5 – 1,2 mg/dL 1,60
SGOT 0 – 38 / uL 21,6 202 120
SGPT 0 – 41 / uL 73 145 163
Ureum 20 – 50 4,01
Albumin 3,5 – 5 3,18 2,87
Urine :
Protein 3,5-5,9 mg/dL 4+ 3+ 3+
albumin
Eritrosit 4,2-5,4 mcL 5+ 5+ 5+
Leukosit 5000-10000 mcL 2+ 2+ 3+
Ph 7,38-7,42 6,5 7 6,5
SG/BJ 1.003-1.030 1,020 1,010 1,015
Bilirubin total 0,3 – 1 mg / dl 0,98
Bilirubin direk 0,1 - 0,3 mg /dl 0,02
Bilirubin 0,2 – 0,8 mg/dl 0,94
indirek
BGA
pH 7,35 – 7,45 7,225
P CO2 35 – 45 24,3
P O2 80 – 100 77,8
HCO3 21-28 12,1
O2 Saturasi > 95% 93,9%
Arterial
Base Excess -1,0 -16,2

INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN LAB:


1. Pada tanggal 28 Maret pasien mengalami kenaikan nilai keratin sebesar 1,60
mg/dL dari nilai normal mg/dL. Dan dilihat dari data lab pada tanggal 28
dan 29 Maret mengalami penurunan secara berturut-turut sebesar 3,18 dan
2.87 dari normalnya 3,5-5. Hal ini menandakan terjadinya poroteinurea
mayor dan peradangan system dan menyebabkan pneumonia. Albumin
serum dan tekanan plasma diginjal yang menyebabkan komplikasi hipertensi
pada kehamilan (Setiawan, 2019).
2. Pada tanggal 29 31 Maret dan 1 April konsentrasi SGPT mengalami
kenaikan secara berturut-turut sebesar 73, 145, 163/uL dari nilai normal 0-
41/uL. Hal ini menandakan pasien mengalami obesitas dan preeklamsia
(Kemenkes, 2011).
3. Pada tanggal 28 29 30 Maret dan 1 April WBC mengalami kenaikanan yaitu
37, 600 ; 24,300 ; 28,800 ; 22,600 ; 28,800 dari nilai normal 4,5 – 10,5 K/uL.
Hal ini mengakibatkan pasien mengalami leukosit mengikat leukosit
sehingga terjadi pneumonia (Kemenkes, 2011).
4. Pada tanggal 28 Maret Hb normal, pada tanggal 29 30 31 Maret dan 1 April
mengalami penuruna secara berturut-turut yaitu 7,2; 6,0; 7,8; 7,9 dari nilai
normal. Hal ini dakarenakan anemia yang sel darahnya merah mengalami
hemolosis dan berikatan dengan help syindrom (Kemenkes, 2011).
5. Pada tanggal 28 Maret hematokira normal dan pada tanggal 29 30 31 Maret
1 April mengalami penurunan yaitu 24,2 18,4 24,2 24,4 dari nilai normal 36-
48 %. Hal ini mengakibatkan Anemia dan menyebabkan IUFD (Kemenker,
2011).
6. Pada tanggal 28 Maret PCO2 mengalami penurunan dengan menunjukan
hiperventilasi dimana penurunan diakibatkan oleh karbon dioksida yang
berlebihan dari paru-paru pada keadaan produksi normal (Nelson, 2000).
7. Pada tanggal 28 Maret bilirubin mengalami peningkatan dari normal
dikarenakan eletrosit dihemolisis secara cepat sehingga tidak bias
mengekresikan secepat pembentukannya (Wong, 2008).
8. Pada tanggal 28 Maret pH mengalami penurunan pH urine menandakan
bahwa tubuh mengalami keadaan asidosis metabolic yaitu ganguan
keseimbangan asam-basa yang ditandai dengan penurunan pH darah sebagai
tanda akibat rendahnya bikarbonat (corwin, 2009).
9. Pada tanggal 28 Maret O2 mengalami penurunan dari nilai normalnya > 95
%. Hal ini menandakan terjadinya jumlah oksigen yang terikat pada
hemogoblin yang beresiko terjadinya help syindrom (Kemenkes, 2011).
10. Pada tanggal 29 Maret LDH mengalami kenaikan yaitu (1,017) pada tamggal
1 April mengalami kenaikan (1,250) dari nilai normal sehingga beresiko
Acut Long Odema (Kemenkes, 2011).
11. Pada tanggal 29 Maret konsentrsi SGPT mengalami penurunan, pada tanggal
31 Maret mengalami kenaikan sebesar 2024 dan tanggal 1 April sebesar 129.
Hal ini menandakan adanya masalah pada hati dan paru-paru sel darah
merah berfregmentasi saat melewati sel darah kecil, yang rusak dengan
timbangan fibrin. Adanya timbiunan fibrin yang akan mengakibatkan
hambatan darah hepar dan akibatnya enzim hepar meningkat (Ariyani,
2019).
C. DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENDUKUNG SPESIFIK
(CT-SCAN, FOTO THORAX, DAN LAIN SEBAGAINYA)

PTO – 3. ASSESSMENT
A. PROFIL PENGGUNAAN OBAT
JENIS OBAT Tanggal Pemberian Obat (Mulai MRS)
Regimen
No Nama Dagang/ Rute 28/3 39/3 30/3 3103 1/4 2/4
Dosis
Generik KRS
1. O2 n.c √ √ // - - -
2. RD 5% 8 tpm i.v √ √ // - - -
3. Oxytocin dalam RD 8 - 20 tpm i.v √ // - - - -
5%
4. NS 0,9% 16 tpm i.v √ // - - -
5. NaBic dalam NS 1 ampul drip √ // - - -
6. HES 1 fls i.v √ // - - -
7. MgSO4 20% 1x i.v √ // - - - -
8. MgSO4 40% Tiap 6 jam i.v √ √ // - - -
9. Furosemid 20 mg 1x1 i.v √ √ // - - -
10 Ceftriaxone 2x1 i.v √ √ √ √ √ //
.
11 Metronidazole 3x500 mg i.v √ √ √ √ √ //
.
12 Ciprofloxacin 400 mg 2x1 i.v √ √ √ √ //
.
13 Amoxiclav tab 625 mg 3x1 p.o √
.
14 Cimetidine (ulsikur) 3x1 i.v √ √ // - - -
.
15 Dexamethason 2x1 i.v √ √ √ √ √ √
.
16 Ketorolac 3x1 i.v √ √ // - - -
.
17 As mefenamat 3x1 p.o √ √ √ √
.
18 Nifedipin 10 mg 3x1 p.o √ √ √ √ √ √
.
19 Glisodin (Ext. Melon) 3x1 p.o √ √ √ √ √ √
.
20 Kalk 1x1 p.o √ √ √ √ √ √
.
21 Vitamin E 2x1 p.o √ √ √ √
.
22 Albumin 5% 1 flash drip √ // - - -
.
23 PRC 2lb/ hari drip √ // - -
.
B. MASALAH KLINIK & DRUG RELATED PROBLEM
1. UNTREATED INDICATION, IMPROPER DRUG SELECTION & MEDICATION USE WITHOUT INDICATION
Indikasi pada Pasien dan Pemilihan Obat
Masalah klinik Drug-related Problems (DRPs) Resep dokter Kesesuaian Rekomendasi dan Alasan Monitoring
pada Pasien & Reference Study Obat (Literature Study)
(DRPs)
Obesitas Berdasarkan data pasien berat Vitamin E Sesuai Vitamin E merupakan BB
badan pasien sebesar 150kg antioksidan yang memiliki efek
positif terhadap stres oksidatif,
yang merupakan suatu proses
yang berkaitan erat dengan
obesitas (Dienny & Dziky,
2016).

Glisodin Sesuai Glisodin merupakan antioksidan


alami yang mengandung SOD
(superoxide dismutase) dan
glidan yang berfungsi sebagai
penangkal radikal bebas
(Suryadinata, 2017). Glisodin
berfungsi untuk perlindungan
dari stres oksidayif yang dapat
menyenbabkan resistensi insulin
dan kelebihan berat badan
(Favier, 2016).
Pneumonia Pada tanggal 28 29 30 maret dan Dexametasone Sesuai Steroid adalah zat anti inflamasi
- infeksi 1 april WBC mengalami yang menekan ekspresi sitokin WBC
kenaikan yaitu 37, 600; 24,300; proinflamasi dan berpotensi
28,800;22600;28,800; 22,600 ; untuk mencegah respon
28,800 dari nilai normal 4,5-10,5 inflamasi. Regimen steroid yang
K/uL. Hal ini mengakibatkan digunakan sebagai terapi
pasien mengalami leukosit tambahan yaitu dexamethasone
mengikat leukosit sehingga (Darmawan, 2017).
terjadi pneumonia (Kemenkes,
2011). Ciprofloxacin + Sesuai ceftriaxon merusak dinding sel
ceftriaxone mikroba dengan menghambat
sintesis enzim atau inaktivasi
enzim, sehingga menyebabkan
hilangnya viabilitas dan sering
menyebabkan sel lisis
sedangkan ciprofloxacin aktif
terhadap bakteri gram posisif
dan negatif. Berdasarkan
pedoman tata laksana Infectious
Diseases Society of America
pada pasien rawat inap non-ICU
pengobatan antibiotik pasien
pneumonia komuniti ialah
rekomendasi pertama terapi
tunggal flurokuinolon dan terapi
kombinasi beta laktam (beta
laktam meliputi cefotaxime,
ceftriaxone dan ampisilin)
dan makrolida (Usman, 2014).

-demam Untreated indication - - Antipiretik yang Suhu


Pada tanggal 28 29 30 31 Maret direkombinasikan yaitu
pasien mengalami kenaikan suhu paracetamol. Indikasi pemberian
yang dilihat dari data klinik paracetamol pada pasien ini
berturut-turut 38,38 dan 37,5o c adalah adanya peningkatan suhu
dari yang nilai normal 36-37oc mencapai 38oC (Dicky &
yang menujukan pasien Anggraini, 2017).
mengalami demam (Sherwood,
2014).
ALO (Acute Pada tanggal 29 maret LDH Furosemide Tidak Sesuai Pada pemberian antibiotik
long Oedema) mengalami kenaikan yaitu ceftriaxone dapat menyebabkan
(1,017) pada tanggal 1 April masalah ginjal sehingga
mengalami kenaikan (1,250) dari penggunaan furosemid dapat
nilai normal sehingga beresiko meningkatkan resiko tersebut
Acute Long Oedema (Listyaindra, A.2016)
(Kemenkes,2011).

Sesuai
-Sesak pasien mengalami kenaikan O2 O2 diberikan untuk mencukupi RR, HR
resoiratory rate (tingkat kekurangan oksigen pada paru-
pernafasan) yang dilihat dari data paru (Somantri, 2012).
klinik yaitu 36,36, 4/menit dari Sesuai
nilai normal 20/menit yang NaBiC Pasien mengalami asidosis pH, PCO2,
menandakan paien mengalami karena terdapat banyak asam PO2, HCO3,
takipena dan huperventilasi dalam cairan tubuh. Asidosis ini Base Excess
(Arini, 2017). terjadi ketika asam menumpuk
Hiperventilasi merupakan upaya atau bikarbonat berkurang,
tubuh dalam meingkatkan jumlah natrium bikarbonat diberikan
O2 dalam paru-paru agar untuk mengatasi asidosis
pernapasan lebih cepat dan (Merdiana, 2013).
dalam (Somantri, 2012).
Eklamsia Pada tanggal 28,29,30 maret dan TD, SGOT<
- hipertensi 1,2 april pasien mengalami Nifedipine Sesuai Hipertensi diberikan nifedipin SGPT
kenaikan tekanan darah yang karena menyebabkan hipotensi
dilihat dari data klinik yang pada bayi baru lahir dan
dilihat dari data klinik berturut- nifedipine secara efektif dapat
turut 180/120 144/76 130/90 menurunkan tekanan darah pada
190/100 170/80 mmHg dari wanita hamil (Kurniawati,2018)
normal yaitu 120/80 mmHg. Hal
ini menunjukan pasien Selain digunakan untuk kejang
mengalami hipersensitivitasi. Mgso4 20% Sesuai MgSO4 juga dapat digunakan
Hipertensi merupakan salah satu Mgso4 40% untuk penurunan tekanan darah
tanda terjadi eklamsia dan sebagai agen neufroktis
(Alpiansyah & Rodiani, 2017) pada janin (Amalia,2020)

Hellp Pada tanggal 28 maret O2 HES Sesuai Dengan berat molekul tinggi
Syndrome mengalami penurunan dari nilai menurunkan fungsi koagulasi
normalnya >95%. Hal ini (faktor ekstrinsik dan intrinsik)
menandakan terjadinya jumlah dan memperpanjang waktu
oksigen yang terkait pada paruh dalam darah dan
hemoglobin yang beresiko membuktikan perpanjangan PT
terjadinya hellp syndrom dan PTT pada pemberian larutan
(Kemenkes,2011). HES 40 kD dan 200 kD terhadap
pasien yang menjalani operasi
dengan pendarahan sampai 20%
EBV (Wilkes, 2002).

-Anemia Pada tanggal 29,30,31 maret dan Kalk Sesuai Pasien memerlukan suplemen Hb
1 april dilihat dari data lab pasien penambah darah ferrosis sulfat
mengalami penurunan nilai HB dan kalk karena ibu hamil
dan HCT berturut-turut untuk berpotensi akan banyak
HB 7,7;6,0;7,8 & 7,9 dari nilai mengeluarkan darah yang bisa
normal yaitu 12-16 g/dL. mengakibatkan anemia pada saat
Sedangkan untuk HCT berturut - persalinan (Purnasari, 2016).
turut sebesar 29,2 ;24,2; 18,4;
24,2 & 24,4 % dari nilai normal PRC Sesuai Transfusi darah yang biasa
yaitu 36-48% dari data tersebut diberikan di anemia kronis yaitu
menunjukan bahwa pasien PRC merupakan komponen
mengalami anemia (Kemenkes, yang terdiri dari eritrosit yang
2011) telah dipekatkan dengan
memisahkan komponen lain.
Packed Red Cells
banyak dipakai dalam
pengobatan anemia Sehingga
pasien anemia yang diakibatkan
penyakit kronis perlu diberikan
transfusi darah
PRC (Indayanie & Banundari,
2015).
IUFD Pada tanggal 28 maret Amoxiclav & Sesuai Salah satu obat yang digunakan
hemotokira normal dan pada Metronidazole selama kehamilan adalah
tanggal 29 30 31 Maret 1 April antibiotika. Dari hasil studi eze
mengalami penurunan yaitu 24,2 dkk (2007), ditemukan
18,4 24,2 24,4 dari nilai normal penggunakan antibiotika sebesar
36-48%. Hal ini mengakibatkan 8,8% (502 resep) dari total
Anemia dan menyebabkan IUFD peresepan ibu hamil. Penisilin
(Kemenkes, 2011). (55,6%) adalah antibiotika yang
paling sering
digunakan,antibiotika lainya
meliputi metronidazol (11,8%),
makrolida (10,6%), kotrimazol
(7,6%). Umumnya pemberian
antibiotika pada ibu hamil
digunakan untuk mengobati
penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernapasan atas (12,8%),
infeksi gangguan pencernaan
(11,6%), infeksi saluran kemih
(10,7%) dan infeksi lainya
(2,6%) (Erni safitri,2018)
Post Partum
- kontraksi Improper drug selection Oksitoksin Tidak Sesuai Karena obat oksitoksin
meerangssang kontraksi otot
polos uterus pada pendarahan
postpartum (Desi,2011).
sedangkan pada pasien telah
mengalami kontraksi.

- nyeri Improper drug selection Asam Mefenamat Sesuai Karena pada ibu hamil yang
mengalami keguguran, janin
mati lalu diberikan asam
mefenamat agar meredakan
nyeri karena asam mefenamat
termasuk golongan amntipiretik
dan untuk meredakan nyeri
ringan sampai penengahan dan
mengurangi peradangan
(Murdiani,2018)

Mencegah ketorolak Sesuai Ketorolak sudah terbukti


infeksi memiliki efek analgetik, anti
inflamasi, dan antipiretik. Telah
banyak digunakan pada terapi
nyeri akut maupun kronis.
Ketorolak bekerja dengan
menghambat sintesis
prostaglandin (PG) melalui
penghambatan enzim
siklooksigenase-1 (COX-1) dan
siklooksigenase-2 (COX2) (Gan,
2010).

Metronidazole Sesuai Karena obat metronidazole


dapat mengatasi berbagai
peradangan dan infeksi akibat
protozoa dan bakteri anaerob
(Suardi,2014)
Mual&Muntah Pada tanngal 28/3 - 29/3 Cimetidin Sesuai Pada pemeriksaan klinis pasien Mual, muntah
diberikan cimetidin secara i.v mengalami mual karena
sudah sesuai karena tidak terjadi stimulasi tekanan intrakranial.
mual & muntah pada hari Sehungga pusat munatah
berikutnya. diterima impuls afren dari CTZ
yang mealui stimulasi langsung
maupun tidak langsung pada
saluran pencernaaan. Pada
daerah muntah tersebut banyak
terdapat reseptor yang berperan
dalam proses mual dan muntah
(Pratami, 2016).
Hipoalbumin Pada tanggal 29 maret dilihat Infus Albumin Sesuai Wiegand dan Thomas (2013) albumin
dari data lab pasien mengalami 5% menyatakan bahwa pasien
penurunan albumin yaitu 2,87 sirosis hati basisnya mengalami
dari nilai normal yaitu 3,5-5 hal penurunan kadar albumin dalam
tersebut menunjukan bahwa darah <43 g/dl) atau
pasien mengalani hipoalbumin hipoalbumenia karena
(Amalia, 2016). penurunan sintesis hati dapat
terjadi karena hari mengalamoi
redistribusi dan peningkatan
katabolisme serta penurunan
sintesis hati (Maulidah,2015)
2. SUBTHERAPEUTIC DOSAGE & OVERDOSAGE
Analisis Kesesuaian Dosis
Nama Obat Dosis dari literature Dosis pemberian Rekomendasi/Sar
an
Furosemide 2 x 1 (ISO Vol. 51,2017) 1 X 1 (i.v)
Vitamin E 2 X 1 (ISO Vol. 51,2017) 2 x 1 (p.o)

Deksametasone 2 X 1(ISO Vol. 51,2017) 2 X 1 (i.v)

Ciprofloxacin 2 X 1(ISO Vol. 51,2017) 2 X 1 (i.v)

Ceftriaxone 1 x 1 (ISO Vol. 51,2017) 2 X 1 (i.v)


Nifedipin 3 X1 (ISO Vol. 51,2017) 3 X 1 (p.o)
Metronidazole 3x 500mg (ISO Vol. 3x 500mg (i.v)
51,2017)
Mgso4 20% 4-6 gram (Nasruddin, 1x1 (i.v)
dan mgso4 40 2015)
%
Cimetidine 3 x1 (i.v)

PRC 150 -220 ml/ kantong


HES 10 - 20 ml
Glisodin (Ext. 1 x 1 (ISO Vol. 51,2017) 3 X 1 (p.o)
Melon
Kalk 1 X 1(ISO Vol. 51,2017) 1 X 1 (p.o)
Amoxiclav 3x1 (ISO Vol. 51, 2017) 3x1 (p.o)
625mg
3. FAILURE TO RECEIVE MEDICATION
Obat Yang Gagal Diterima Pasien
Nama Obat Dosis Indikasi Rekomendasi/Saran
Furosemide 1x1 Diuretic Obat dihentikan
Oxitoksin kontraksi Obat dihentikan

4. ADVERSE DRUG REACTIONS

Nama Obat Efek Samping Efek Samping Yang Rekomendasi/Saran


Potensial Timbul
5. DRUG INTERACTIONS

OBAT A OBAT B EFEK MEKANISME INTERAKSI MANAJEMEN


FARMAKOKINETIK FARMAKODINAMIK
INTERAKSI INTERAKSI
PTO – 4. PLAN
1. MONITORING HASIL TERAPI OBAT

Parameter
Evaluasi Hasil
Indikasi pada Monitoring
Nama Obat Dosis yang
Pasien (Data Lab, Data
diperoleh
Klinik)
Obesitas Vitamin E 3 x 1 p.o BB 80kg

Glisodin 2 x 1 p.o
Pneumonia Dexamethasone 2 x 1 i.v WBC

Ciprofloxacin + 2 x 1 i.v
ceftriaxone

ALO (Acute O2 n.c


long Oedema)
Eklamsia Nifedipine 10mg 3 x 1 tekanan darah .
p.o

1 x i.v
MgSO4 20%
Tiap 6jam i.v
MgSO4 40%
Hellp Syndrome HES 1 fls O2

PRC 2lb/hari
IUFD Amoxiclav & 3 x 1 p.o HCT
Metronidazole
3 x 500mg i.v
Post Partum Oksitoksin 20 - 8 tpm

Asam mefenamat 3 x 1 p.o

Ketrolac 3 x 1 i.v

Metronodazol 3 x 500mg i.v


Mual&Muntah Cimetidine 3 x 1 i.v
Hipoalbumin Infus Albumin 5% 1 flash albumin
Anemia kalk 1x1 (p.o) HB dan HCT

PRC 2lb/hari

2. TERAPI NON FARMAKOLOGI


1. penurunan tekanan darah
-lebih aman untuk ibu dan janin : konsumsi yogurt sebanyak dua sampai tiga
kali sehari pemberian ekstrak kelopak rosella (9,6 mg setiap hari selama 4)
Minggu (Diana Sulis 2016)
-dengan melakukan terapi rendam kaki dengan air hangat dan serai dapat
menurunkan tekanan darah pada ibu hamil yang mengalami preeklamsia (Fery
dan Sri, 2019)

2. anemia : dengan mengonsumsi pisang ambon untuk mengendalikan


kekurangan zat besi dan mengandung vitamin c yang dapat meningkatkan zat
besi (Andina et al, 2018)

C. PEMBAHASAN
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan
preeklampsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan edema
yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurologi lain. Eklampsia
merupakan kelainan akut pada wanita hamil, bersalin atau nifas yang ditandai dengan
timbunya kejang atau koma, yang sebelumnya telah menunjukan gejala-gejala
preeklampsia. Eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba
tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Eklampsia lebih sering pada primigravida
daripada multipara. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia
gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum (eklampsia intrapartum),
dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum) (Alpiansyah & Rodiani, 2017).
Etiologi eklampsia hingga saat ini masih belum diketahui. Adapun faktor risiko
terjadinya preeklampsia yang mendahului eklampsia adalah primigravida,
hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus,
hydrops fetalis dan bayi besar, umur yang terlalu muda atau terlalu tua untuk
kehamilan ada riwayat dalam keluarga yang pernah preeklamsia/eklamsia, ada
penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan, dan
obesitas (Alpiansyah & Rodiani, 2017).
Ada beberapa teori tentang patofisiologi eklampsia adalah sebagai berikut:
Inhibisi perkembangan uterovaskular. Terdapat banyak perubahan uterovaskular yang
terjadi ketika seorang wanita hamil. Hambatan regulasi aliran darah serebral.
Dipercaya bahwa pada eclampsia terdapat aliran darah serebral abnormal yang
diakibatkan oleh hipertensi yang ekstrem. Regulasi perfusi serebral dihambat,
pembuluh darah mengalami dilatasi dengan peningkatan permeabilitas, dan terjadilah
edema serebral, sehingga terjadi iskemia dan enselopati. Stres oksidatif, Terdapat
bukti yang mengindikasikan bahwa molekul leptin meningkat pada sirkulasi wanita
dengan eklampsia, menginduksi stres oksidatif, faktor lain pada eklampsia, pada sel.
Peningkatan leptin juga menyebabkan agregasi trombosit, yang berkontribusi
terhadap koagulasi yang berhubungan dengan eklampsia. Stres oksidatif diketahui
menstimulasi produksi dan sekresi faktor antiangiogenik activin A dari sel endotel
dan plasenta.
Tujuan penatalaksaan eklamsia adalah pengelolaan eklampsia antara lain terapi
suportif untuk stabilisasi penderita, selalu diingat masalah airway, breathing,
circulation, monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan “Glasgow-Pittsburg
Coma Scale”. Kontrol kejang dengan pemberian magnesium sulfat intravena dipilih
karena kerjanya di perifer tidak menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan
sampai 24 jam paska persalinan atau 24 jam bebas kejang. Dilakukan pemberian obat
antihipertensi secara intermitten, sebagai obat pilihan adalah nifedipin. Pada pasien
eklampsia juga dilakukan koreksi hipoksemia dan asidosis, hindari penggunaan
diuretik kecuali jika ada edema paru, gagal jantung kongestif dan edema anasarka,
batasi pemberian cairan intravena kecuali pada kasus kehilangan cairan berat seperti
muntah ataupun diare yang berlebihan, hindari penggunaan cairan hiperosmotik, dan
segera dilakukan terminasi kehamilan (Alpiyansyah & Rodiani, 2017).
Terdapat kasus, Seorang pasien perempuan dengan Umur 23 tahun, Berat Badan
80 Kg dan Tinggi Badan 150 Cm datang ke Rumah Sakit tanpa menjelaskan keluhan
utamanya. Setelah dilakukan pemeriksaa, diagnose dokter yaitu P1000 Ab000 Post
Part A/T/IUFD Kala 1 + eklamsia + Acute Lung Oedema (ALO) + Pneumonia +
HELLP Syndrome + Obesitas. Kondisi khusus pasien dalam keadaan hamil.
Pada saat pasien tersebut melakukan pengecekan, diperoleh pemeriksaan.
Pada tanggal 28 29 30 31 Maret pasien mengalami kenaikan suhu yang dilihat
dari data klinik berturut-turut 38,38 dan 37,5 o c dari yang nilai normal 36-37oc yang
menujukan pasien mengalami demam (Sherwood, 2014). Pada tanggal 24 Maret
pasien mengalamai kenaikan nadi yang dilihat dari data klinik yaitu 130/penit dari
nilai normal 80-100/menit yang menandakan pen mengalami takikardi. Pada tanggal
29,30 dan 31 Maret pasien mengalami kenaikan resoiratory rate (tingkat pernafasan)
yang dilihat dari data klinik yaitu 36,36, 4/menit dari nilai normal 20/menit yang
menandakan paien mengalami takipena dan huperventilasi (Arini, 2017).
Berdasarkan data klinik diatas, menunjukkan bahwa pasien mengalami SIRS
(Putra, 2019). Pada tanggal 28, 29, 30, Maret dan 1, 2 April pasien mengalami
kenaikan tekanan darah yang dilihat dari data klinik yaitu berturut-turut 180/120
144/76 130/90 190/100 170/80 mmHg dari normal yait 120/80 mmHg. Hal ini
menjukan pasien mengalami hipersensitivitasi. Hipertensi merupakan salah satu tanda
terjadi eklamsia (Angga & Rodiani 2017).
Dilihat dari data klinik, pasien mempunyai berat badan 80 kg dengan tinggi badan
150 yanng menunjukan berat badan pasien tidak ideal, yang menunjukkan pasien
mengalami obesitas. Pada seseorang baik dengan kehamilan maupun tidak, terjadi
disfungsi endotel yang dipicu oleh adanya obesitas, dimana hal ini akan menyebabkan
kerusakan dari endotel dan semakin mempresipitasi terjadinya preeclampsia.
Obesiatas dapat meningkatkan risiko terjadinya preeclampsia dengan beberapa
mekanisme, salah satunya yaitu berupa superimposed preeclampsia, maupun melalui
pemicu-pemicu metabolit maupun molekul mikro lainnya (Wafiatunisa & Rodiani,
2016).
Pada tanggal 28 Maret pasien mengalami kenaikan nilai keratin sebesar 1,60
mg/dL dari nilai normal mg/dL. Dan dilihat dari data lab pada tanggal 28 dan 29
Maret mengalami penurunan secara berturut-turut sebesar 3,18 dan 2.87 dari
normalnya 3,5-5. Hal ini menandakan terjadinya poroteinurea mayor dan peradangan
system dan menyebabkan pneumonia. Albumin serum dan tekanan plasma diginjal
yang menyebabkan komplikasi hipertensi pada kehamilan (Setiawan, 2019).
Pada tanggal 29 31 Maret dan 1 April konsentrasi SGPT mengalami kenaikan
secara berturut-turut sebesar 73, 145, 163/uL dari nilai normal 0-41/uL. Hal ini
menandakan pasien mengalami obesitas dan preeklamsia (Kemenkes, 2011).
Pada tanggal 28 29 30 Maret dan 1 April WBC mengalami kenaikanan yaitu 37,
600 ; 24,300 ; 28,800 ; 22,600 ; 28,800 dari nilai normal 4,5 – 10,5 K/uL. Hal ini
mengakibatkan pasien mengalami leukosit mengikat leukosit sehingga terjadi
pneumonia (insilo)
Pada tanggal 28 Maret Hb normal, pada tanggal 29 30 31 Maret dan 1 April
mengalami penuruna secara berturut-turut yaitu 7,2; 6,0; 7,8; 7,9 dari nilai normal.
Hal ini dakarenakan anemia yang sel darahnya merah mengalami hemolosis dan
berikatan dengan help syindrom (Kemenkes, 2011).
Pada tanggal 28 Maret hematokira normal dan pada tanggal 29 30 31 Maret 1
April mengalami penurunan yaitu 24,2 18,4 24,2 24,4 dari nilai normal 36-48 %. Hal
ini mengakibatkan Anemia dan menyebabkan IUFD (Kemenker, 2011).
Pada tanggal 28 Maret PCO2 mengalami penurunan dengan menunjukan
hiperventilasi dimana penurunan diakibatkan oleh karbon dioksida yang berlebihan
dari paru-paru pada keadaan produksi normal (Nelson, 2000).
Pada tanggal 28 Maret bilirubin mengalami peningkatan dari normal dikarenakan
eletrosit dihemolisis secara cepat sehingga tidak bias mengekresikan secepat
pembentukannya (Wong, 2008).
Pada tanggal 28 Maret pH mengalami penurunan pH urine menandakan bahwa
tubuh mengalami keadaan asidosis metabolic yaitu ganguan keseimbangan asam-basa
yang ditandai dengan penurunan pH darah sebagai tanda akibat rendahnya bikarbonat
(corwin, 2009).
Pada tanggal 28 Maret O2 mengalami penurunan dari nilai normalnya > 95 %.
Hal ini menandakan terjadinya jumlah oksigen yang terikat pada hemogoblin yang
beresiko terjadinya help syindrom (Kemenkes, 2011).
Pada tanggal 29 Maret LDH mengalami kenaikan yaitu (1,017) pada tamggal 1
April mengalami kenaikan (1,250) dari nilai normal sehingga beresiko Acut Long
Odema (Kemenkes, 2011).
Pada tanggal 29 Maret konsentrsi SGPT mengalami penurunan, pada tanggal 31
Maret mengalami kenaikan sebesar 2024 dan tanggal 1 April sebesar 129. Hal ini
menandakan adanya masalah pada hati dan paru-paru sel darah merah berfregmentasi
saat melewati sel darah kecil, yang rusak dengan timbangan fibrin. Adanya timbiunan
fibrin yang akan mengakibatkan hambatan darah hepar dan akibatnya enzim hepar
meningkat (Ariyani, 2019).
Obat yang direkomendasikan:
1. Pada Obesitas dianjurkan menggunakan Vitamin E dan Glisodin. Vitamin
E untuk antioksidan yang memiliki efek positif terhadap stres oksidatif,
yang merupakan suatu proses yang berkaitan erat dengan obesitas(Dienny
& Dziky, 2016). Glisodin merupakan antioksidan alami yang
mengandung SOD (superoxide dismutase) dan glidan yang berfungsi
sebagai penangkal radikal bebas (Suryadinata, 2017). Glisodin berfungsi
untuk perlindungan dari stres oksidayif yang dapat menyenbabkan
resistensi insulin dan kelebihan berat badan (Favier, 2016).
2. Untuk Pneumonia (radang paru) dianjurkan untuk menggunakan
Dexamethasone adalah zat anti inflamasi yang menekan ekspresi sitokin
proinflamasi dan berpotensi untuk mencegah respon inflamasi. Regimen
steroid yang digunakan sebagai terapi tambahan (Darmawan, 2017). Dan
ceftriaxone+ ciprofloxsasin ceftriaxon merusak dinding sel mikroba
dengan menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga
menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis
sedangkan ciprofloxacin aktif terhadap bakteri gram posisif dan negatif
(Usman, 2014).
3. Demam, Antipiretik yang direkombinasikan yaitu paracetamol. Indikasi
pemberian paracetamol pada pasien ini adalah adanya peningkatan suhu
mencapai 38oC (Dicky & Anggraini, 2017).
4. Untuk ALO (udem paru) tidak dianjurkan untuk menggunakan furosemid
e masalah ginjal sehingga penggunaan furosemid dapat meningkatkan
resiko tersebut (Listyaindra, 2016).
5. Untuk sesak dianjurkan menggunakan O2, O2 diberikan untuk mencukupi
kekurangan oksigen pada paru-paru (Somantri, 2012). dan diberikan
NaBiC Pasien mengalami asidosis karena terdapat banyak asam dalam
cairan tubuh. Asidosis ini terjadi ketika asam menumpuk atau bikarbonat
berkurang, natrium bikarbonat diberikan untuk mengatasi asidosis
(Merdiana, 2013). parameter yang digunakan untuk pemeriksaan ini yaitu
BGA.
6. Untuk Eklamsia dianjurkan untuk menggunakan nifedipine Hipertensi
diberikan nifedipin karena menyebabkan hipotensi pada bayi baru lahir
dan nifedipine secara efektif dapat menurunkan tekanan darah pada
wanita hamil (Kurniawati,2018) dan mgso4 40% dan 20% Selain
digunakan untuk kejang MgSO4 juga dapat digunakan untuk penurunan
tekanan darah dan sebagai agen neufroktis pada janin (Amalia,2020)
7. Untuk hellps syndrome dianjurkan untuk menggunakan HESS Dengan
berat molekul tinggi menurunkan fungsi koagulasi (faktor ekstrinsik dan
intrinsik) dan memperpanjang waktu paruh dalam darah dan
membuktikan perpanjangan PT dan PTT pada pemberian larutan HES 40
kD dan 200 kD terhadap pasien yang menjalani operasi dengan
pendarahan sampai 20% EBV (Wilkes, 2002).
8. Untuk anemia parameter yang dilihat yaitu Hemoglobin, obat yang
dianjurkan menggunakan kalk, Pasien memerlukan suplemen penambah
darah ferrosis sulfat dan kalk karena ibu hamil berpotensi akan banyak
mengeluarkan darah yang bisa mengakibatkan anemia pada saat
persalinan (Purnasari, 2016). dan PRC Transfusi darah yang biasa
diberikan di anemia kronis yaitu PRC merupakan komponen yang terdiri
dari eritrosit yang telah dipekatkan dengan memisahkan komponen lain.
Packed Red Cells banyak dipakai dalam pengobatan anemia Sehingga
pasien anemia yang diakibatkan penyakit kronis perlu diberikan transfusi
darah PRC (Indayanie & Banundari, 2015).
9. Untuk IUFD dianjurkan menggunakan amoxiclav dan metronidazole
karena Salah satu obat yang digunakan selama kehamilan adalah
antibiotika. Dari hasil studi eze dkk (2007), ditemukan penggunakan
antibiotika sebesar 8,8% (502 resep) dari total peresepan ibu hamil.
Penisilin (55,6%) adalah antibiotika yang paling sering
digunakan,antibiotika lainya meliputi metronidazol (11,8%), makrolida
(10,6%), kotrimazol (7,6%). Umumnya pemberian antibiotika pada ibu
hamil digunakan untuk mengobati penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pernapasan atas (12,8%), infeksi gangguan pencernaan (11,6%), infeksi
saluran kemih (10,7%) dan infeksi lainya (2,6%) (Erni, 2018).
10. Untuk prostartum
- Kontraksi tidak dianjurkan menggunakan oksitoksin Karena obat
oksitoksin meerangssang kontraksi otot polos uterus pada pendarahan
postpartum (Desi,2011).
- Nyeri dianjurkan menggunakan asam mefenamat Karena pada ibu
hamil yang mengalami keguguran, janin mati lalu diberikan asam
mefenamat agar meredakan nyeri karena asam mefenamat termasuk
golongan amntipiretik dan untuk meredakan nyeri ringan sampai
penengahan dan mengurangi peradangan (Murdiani,2018).
- Mencegah infeksi dianjurkan menggunakan ketorolac Ketorolak sudah
terbukti memiliki efek analgetik, anti inflamasi, dan antipiretik. Telah
banyak digunakan pada terapi nyeri akut maupun kronis. Ketorolak
bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin (PG) melalui
penghambatan enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan
siklooksigenase-2 (COX2) (Gan, 2010) dan metronidazole karena
Karena obat metronidazole dapat mengatasi berbagai peradangan dan
infeksi akibat protozoa dan bakteri anaerob (Suardi,2014).
11. Untuk mual muntah
Diberikan cimetidine Pada pemeriksaan klinis pasien mengalami mual
karena stimulasi tekanan intrakranial. Sehungga pusat munatah diterima
impuls afren dari CTZ yang mealui stimulasi langsung maupun tidak
langsung pada saluran pencernaaan. Pada daerah muntah tersebut banyak
terdapat reseptor yang berperan dalam proses mual dan muntah (Pratami,
2016).
12. Untuk Hipoalbumin
Diberikan infus albumin 5% Wiegand dan Thomas (2013) menyatakan
bahwa pasien sirosis hati basisnya mengalami penurunan kadar albumin
dalam darah <43 g/dl) atau hipoalbumenia karena penurunan sintesis hati
dapat terjadi karena hari mengalamoi redistribusi dan peningkatan
katabolisme serta penurunan sintesis hati (Maulidah,2015).
DAFTAR PUSTAKA

Alpiansyah. A & Rodiani. 2017 .Wanita Usia 20 tahun Primigravida hamil 37 Minggu
dengan Eklamsia Antepartum).Jurnal Medula Unila. Volume 7 (1) Hall: 1-6.\
Amalia, F. Fitri. 2020. PENGARUH PENGGUNAAN MGSO4 SEBAGAI TERAPI
PENCEGAHAN KEJANG PADA PREEKLAMPSIA. Jurnal Ilmu Kedokteran
Dan Kesehatan. Vol 7 ( 1) : 393-399.
Andina, Diah. 2018. Asuhan Kebidanan Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika
Arini, F. N., Winny A. & Masniari N. 2017 . Perubahan Tanda Vitals Sebagai Gejala
Rasa Cemas Sebelum Melaksanakan tindakan pencambutan gigi pada mahasiswa
profesi klinik bedah Mulut RCCM Universitas Jember. Jural pustaka Kesehatan.
Vol 5 (2): 323-328
Ariyani L, Lely R S & Dini I. Y 2009. Pengarauh Indek Hemolisis Terhadap
Peningkatan Kadar Serum Glutamate Oxaloeaceat Trasmate (SGOT). Jurnal
Kesehatan. Vol 5 (1) : 42-50
Baxter, J. K., L. Weinstein. 2004. HELLP syndrome : the state of the art.
Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3, EGC, Jakarta
Darmawan, E Nurcholid U Kurniawan. 2017. Pengaruh Seteroid Sebagai Terapi
Tambahan Terhadap Rata-Rata Lamna pasien diawat di rumah sakit dan tanda
kllinis pada anak Dengan Pneumonia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol
6(3):181-189
Desi S, Masrul,Meilinda A. 2015. Pengaruh Perbedaan Kadar Oksitosin Melalui
Pemijatan Oksitosin Terhadap Jumlah Perdarahan pada Ibu 2 Jam Postpartum.
Jurnal Kesehatan Andalas. Volume 4(3) hall: 744-749.
Diana Sulis, 2016. Model Asuhan Kebidanan Conituny Of Care. Surakarta: CV Keaka
Group
Dicky K. N. A & Anggraeni Janar Wulan . 2017. Tata Laksana Terkini
Bronkopenomenia pada Anak di Rumah Sakit Moedoek. Jurnal Medula Unila.
Vol 7(2):6-11
Dipiro, J. T., Dipiro, C.V., Wells, B.G., & Scwinghammer, T.L. 2008.
Djojodibroto, R. D. (2016). Respirologi : respiratory medicine (2nd ed.). Jakarta:
EGC.
Donna L. Wong. et all. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pedriatik. Cetakan
Erni, dan Kurniawan. 2017. Pengantar manajemen, edisi 1, Kencana-Jakarta
Estrada JA, Contreras I, Rivero FB, Otero GA. (2014) : Review Molecular
mechanisms of cognitive impairment in iron deficiency: Alterations in brain
derived neurotrophic factor and insulin like growth factor expression and
function in the central nervous system, Nutritional Neuroscience, vol 17 no 5.
Favier H, Osman M, Intes L, Montanari B. 2016. Positive effects of an oral
supplementation by Glisodin, a gliadin-combined SOD-rich melon extract, in an
animal model of dietary-induced oxidative stress. Phytothérapie. Vol 14 (1) :
29–34.
Gan,T.J. 2010. 'Diclofenac: an update on its mechanism of action and safety profile',
Current Medical Research and opinion. Vol 26(7), pp. 1715-1731. doi:
10.11.85/03007995.2010.486301
Hijra Novia Suardi, 2014.ANTIBIOTIK DALAM DUNIA KEDOKTERAN GIGI.
Cakradonya Dent J; 6(2):678-744.
I Made Bakta, Ketut Suega, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi In: Sudoyo AW,
Setyohadi B, I A, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 5 Ed., Jakarta,
Internal Publishing, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2009; 1127–31.
Ikatan Apoteker Indonesia, 2016, ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia, Vol. 50.
Jakarta : ISFI penerbitan
Indayanie. N, & Banundari. R. 2015. Packed Red Cell Dengan Delta Hb Dan Jumlah
Eritrosit Anemia Penyakit Kronis. Indonesian Of Journal Clinical Pathology
And Medical Laboratory. Vol 21 (3) : 220-223.
Jayakusuma A. Sindroma HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK UNUD.
2005. 25- 43
Kamila .S (2013). Laporan Profesi Ners Acute Lung Oedema (ALO). Malang :
Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaaya.
Kemenkes 2011 Pedoman Inerpretasi Data Klinik. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Kurniawati F., Anis R & Nanang M.Y. 2018. Studi Eksplorasi Penatalaksanaan
Hipertensi pada Wanita Hamil. JMPF Vol 8(4) : 189-198
Listyaindra A. Identifikasi Interaksi Obat Potensial Pada Pasien Gagal Jantung
Kongestif di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X Tahun 2016. Universitas
Muhammadiyah Surakarta; 2018.
Mardiana, Chairlan, Siti.R, & E. Ekawati. 2013. Penggunaan Perhitungan Manual
Nilai Baase Excess Pada Keadaan Asidosis. Jurnal Ilmu & Teknologi Ilmu
Kesehatan. Vol 1 (1) : 1-4.
Murdiani, Zola E. H. 2018. Frekuensi Penggunaan Obat Analgesik Pada Pasien Pasca
Bedah Sesar Di Rumah Sakit Umum Tanjung Pura Kabupaten Langkat Periode
Januari Samoai Juni 2018. Jurnal Ilmiah Farmasi Imelda. Volume 2(2). Hall:
73-80.
Nasrudin. M. F. P. 201. Wanita hamil 23 Minggu Dengan Pereklamsia Berat. Jurnal
Medula Unila Vol 4 (20): 102-106
Nelson, Behrmen, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol
Nugroho, Y. A. 2016, Perbandingan Efektivitas Terapi Albumin Eksrak Ikan Gabus
Murni Dibanding dengan Human Albumin 20% Terhadap Kadar Albumin dan
pH Darah Pada Pasien Hipoalbuminemia, Tesis, Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
ObstetGynecol Surv,59: 838-45.
Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
pertama. Jakarta : EGC.
Pharmacoteraphy Handbook Seventh Edition. USA : McGraw-Hill Company.
Pratami, E. (2016). Evidence Based Dalam Kebidanan. Jakarta: EGC.
Purnasari. G, Dodik. B, & Cesilia. M. D. 2016. Kepatuhan Konsumsi Suplemen
Kalsuim Serta Hubungannya Dengan Tingkat Kecukupan Kalsium Pada Ibu
Hamil Di Kabupaten Jember. Jurnal kesehatan Reproduksi. Vol 7 (2) :83-92.
Purwati, S. 2001. Perancanaan Menu Untuk Penderita Kegemukan. Jakarta: Penebar
Swadaya
Putra, I. A. S Update TAtalaksana Spesis. Analisis. Vol 46 (11): 681-685
Rampengan, S. H. 2014. EDEMA PARU KARDIOGENIK AKUT. Jurnal Biomedik
(JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 149-156
Sastrawinata, dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi. Jakarta :
EGC.
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Sjarif, D.R. 2011. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Badan
Penerbit IDAI. Jakarta
Somantri, Irman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Styawan,A.H Prananda S.A.E Eddy R. 2019 Komplikasi Edema Paru Pada Kasus
Preeklamsia Berat Dan Eklamsia. Jurnal Anasteilogi Indonesia Vol 11(3) : 136-
143
Sumarni.2017.Hubungan Umur Kehamilan, Distolik dan Diastolik Terhadap
Sindrome Hellp Pada Ibu Hamil Dengan Pre Eklamsia Berat Di Rs Margono
Soekardjo Purwokerto. Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 8 (1).Hall 71-72.
Suryadinata. R.V, Bambang. W., & Merryana. A. 2017. Efektivitas Penurunan
Melondialdehyde Dengan Kombinasi Suplemen Antioksidan Superoxide
Dismutase Melon Dan Gliadin Akibat Paparan Rokok. Artikel Penelitian Global
Medical And Health Communication. Vol 5 (2) : 79-82.
Taju. SO, Syuul K. A. & Maelani T. 2018. Hubungan Eklamsia Dengan Intrateria
Fetal Death Di RSUP Prof Dr. R. D Kndas Manda. Jurnal Ilmiah Bidan. Vol 5
(2) : 110-116
Usman. D.A.P., Hendra H, & Andi E. 2014. Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Terhadap Pasien Pneumonia Komuniti Di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar. As-
Syifaa Vol 06 (01) : Hal. 61-72.
Utama
Wafiyatunisa.Z &.Rodiani.2016.Hubungan Obesitas dengan Terjadinya Preeklampsia.
MAJORITY. Vol 5 (5) : 184-185
Wilkes NJ, Woolf RL, Powanda MC, Gan TJ, Machin SJ, Webb A.2002.
Hydroxyethyl Starch in Balanced Electrolyte Solution. Pharmacokinetic and
Pharmacodynamic Profiles. Anesth Analg. 94: p 538-44.

Anda mungkin juga menyukai