Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

TRAUMA KEPALA

Dosen Mata Kuliah :


Dr. Tigor Situmorang, M.Kes

Di Susun Oleh :
Jihan Rizki Annisa 201601067
3A Keperawatan

STIKes WIDYA NUSANTARA PALU


Prodi S1 Keperawatan
Tahun Akademik 2018/2019
BAB I

KONSEP DASAR

A. Definisi
Cidera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai / tanpa perdarahan
intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak
(P.Syamsuhidayat, dkk, 1996, 1110 ).
Cidera kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari
luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat
menyebabkan gangguan kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi emosional. Gangguan
ini dapat bersifat sementara atau permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total
dan juga gangguan psikososial. (Donna, 1999).
Cidera kepala adalahsuatu keadaan traumatic yang mengenai otak dan menyebabkan
perubahan-perubahan fisik, intelektual, emosional, social, dan vokasional. (Joyce, M Black,
1997).
Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak
dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan
pekerjaan atau gangguan traumatic yang menimbulkan perubahan fungsi otak (Black M.
1997).
Cedera kepala pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada ssuunan saraf pusat,
selaput otak, saraf kranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada
kepala dan wajah, baik terjadi secara langsung (kerusakn primer) maupun tidak lansung
(kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan
fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat sementara atau menetap.
B. Anatomi Fisiologi

a. Anatomi kepala

Tengkorak terbagi atas :

1. Tengkorak Otak

Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak otak terdiri dari

a) Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi rongga tengkorak
dari atas dan dari sisi. Kubah tengkorak terdiri atas beberapa tulang ceper yang
dihubungkan oleh sutura tengkorak. Dari depan ke belakang terdapat berturut-
turut sebuah tulang dahi, sepasang tulang ubun-ubun dan sebuah tulang belakang
kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak terdapat sepasang tulang pelipis.
Tulang dahi, tulang belakang kepala turut pula membentuk dasar tengkorak ( lihat
gambar 1 ).
b) Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk tengkorak
depan, lekuk tengkorak tengah dan lekuk tengkorak belakang. Bagian tengah
dasar lekuk tengkorak depan dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai
banyak lubang halus untuk memberi jalan kepada serabut-serabut saraf penghidu,
oleh karena itu bagian tulang lapisan tersebut dinamakan lempeng ayakan yang
merupakan atap bagi rongga hidung.
Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua bagian sisi,
bagian tengah adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak belakang letaknya lebih
rendah daripada dasar lekuk tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya
lebih rendah lagi daripada lekuk tengkorak tengah (lihat gambar 1).
2. Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak. Lubang-lubang
lekuk mata dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan tulang rahang atas. Dinding
belakang lekuk mata juga dibentuk oleh tulang baji (sayap besar dan kecil). Dinding
dalamnya dibentuk oleh tulang langitan, tulang lapisan dan tulang air mata. Selain
oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf penglihat maka dinding lekuk
mata itu tembus oleh toreh lekuk mata bawah yang terletak antara tulang baji, tulang
pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu mangarah ke lekuk wajah pelipis. Tulang air
mata mempunyai sebuah lekuk yang jeluk, yaitu lekuk kelenjar air mata yang
disambung kearah bawah oleh tetesan air mata yang bermuara di dalam rongga
hidung.

b. Kulit kepala
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan mengakibatkan banyak kehilangan darah, (American College of
Surgeons 1997)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
1. Kulit
2. jaringan penyambung (connective tissue)
3. galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan
tengkorak.
4. Perikranium.

c. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga tengkorak
dasar adalah tempat lobus frontalis, fosa medis adalah tempat lobus temporalis dan fosa
posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum, (American College of
Surgeons 1997).
d. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri dari 3 lapisan,
yaitu dura meter, arakhnoid dan pia meter. Dura meter adalah selaput keras terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam kranium. Di
bawah dura meter terdapat lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut selaput
arakhnoid. Lapisan ketiga adalah pia mater yang melekat pada permukaan kortek serebri,
(American College of Surgeons 1997).
e. Sistem Saraf Pusat (SSP)
Sistem saraf pusat di sini adalah otak dan medula spinalis yang tertutup di dalam
tulang dan terbungkus dalam selapu-selaput (meningen) pelindung, serta rongga yang
berisi cairan.
1. Otak dan pembagiannya
Otak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu : serebrum,
batang otak, dan serebelum.
a. Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis, parietal,
oksipital, temporalis. Fungsi dari setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan
dari masing-masing fungsi lobus :
1) Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar, merancang,
psikologi, lobus frontalis bagian belakang untuk proses motorik termasuk
bahasa (lihat gambar 3)
2) Lobus parietal, bekerja khusus untuk sensorik somatik (misal sensibilitas
kulit) dan peran asosiasinya, beberapa areanya penting bagi proses kognitif
dan intelektual (lihat gambar 3).
3) Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan (lihat gambar 3).
4) Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan asosiasinya, beberapa
pusat bicara, pusat memori. Bagian anterior dan basal lobus temporalis
penting untuk indra penghidu (lihat gambar 3).
b. Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Masing-
masing struktur mempunyai tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya
sebagai unit untuk menjalankan saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan
lajur spinal (lihat gambar 2)
1) Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di
atas pons. Bagian ini terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri
dari bagian bagian kolikuli superior dan kolikuli inferior dan bagian anterior
yaitu pedunkulus serebri. kolikuli superior berperan dalam refleks
penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan, sedangkan kolikuli inferior
berperan dalam reflek pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke arah
datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri dari berkas serabut-serabut
motorik yang berjalan turundari serebelum.
2) Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons berupa
jembatan serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum,
serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata
bawah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras
kortikoserebelaris yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.bagian
bawah pons berperan dalam pengaturan saraf kranial trigeminus, abdusen dan
fasialis (lihat gambar 2)
3) Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis. Pada medula
ini merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung. Vasokonstriktor,
pernapasan,bersin,batuk,menelan, pengeluaran air liur dan muntah.
c. Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh
durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang menisahkan dari
bagian posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah, vermis dan dura
hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas
serabut yang dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli superior berhubungan
dengan mesensefalon ; pendukulus serebeli media menghubungkan kedua
hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli inferior berisi serabut-serabut
traktus spinosere belaris dorsalis dan berhubungan dengan medula oblongata.
Semua aktivitas serebelum berada di bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum
adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot,
serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh.

2. Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari kolumna vertebra, berjalan
ke bawah dan memenuhi kanalis neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua.
Sepasang saraf spinalis berada diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna
vertebra. Di bawah ujung tempat medula spinalis berakhir. Di dalam ujung tempat
medula spinalis terletak interneuron, serabut sensori, asenden, serabut motorik
desenden dan badan sel saraf dan dendrit somatik sekunder (volunter) dan motor
neurons otonom utama. Area sentral medula spinalis merupakan massa abu-abu yang
mengandung badan sel saraf dan neuron internunsial.

f. Sistem Saraf Tepi (SST)


Menurut Price & Wilson, (1995) susunan saraf tepi terdiri dari saraf kranial
bervariasi, yaitu sensori motorik dan gabungan dari kedua saraf. Saraf motorik dipersarafi
oleh beberapa percabangan saraf kranial, 12 pasang saraf kranial adalah :
1) Nervus I (Olfaktorius) : Sifatnya sensorik mensarafi hidung membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari aroma rongga hidung ke otak.
2) Nervus II (Optikus) : Sifatnya sensorik, mensarafi bola mata membawa rangsangan
penglihatan ke otak
3) Nervus III (Okulomotorius) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot
penggerak bola mata)/sebagai pembuka bola mata.
4) Nervus IV (Trochlear) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital, sebagai pemutar
bola mata
5) Nervus V (Trigeminus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) bertanggung jawab
untuk pengunyah.
6) Nervus VI (Abdusen) : Sifatnya motorik, sebagai pemutar bola mata ke arah luar
7) Nervus VII (Fasial) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik), sebagai mimik wajah
dan menghantarkan rasa pengecap, asam, asin dan manis.
8) Nervus VIII (Vestibulokokhlearis): Sifatnya sensorik, saraf kranial ini mempunyai dua
bagian sensoris yaitu auditori dan vestibular yang berperan sebagai penterjemah.
9) Nervus IX (Glosofharyngeal) : Berperan dalam menelan dan respons sensori terhadap
rasa pahit di lidah.
10) Nervus X (Vagus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) mensarafi faring, laring
dan platum
11) Nervus XI (Asesoris) : Sifatnya motorik, saraf ini bekerja sama dengan vagus untuk
memberi informasi ke otot laring dan faring.
12) Nervus XII (Hipoglosal) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.

g. Sistem Saraf Otonom (SSO)


Sistem Saraf Otonom merupakan sistem saraf campuram. Serabut-serabut
aferennya membawa masukan dari organ-organ viseral (menangani pengaturan denyut
jantung, diameter pembuluh darah, pernafasan, percernaan makanan, rasa lapar, mual,
pembuangan dan sebagainya). Saraf aferen motorik SSO mempersarafi otot polos, otot
jantung dan kelenjar-kelenjar viseral-SSO terutama menangani pengaturan fungsi viseral
dan interaksinya dengan lingkungan dalam.
Sistem Saraf Otonom dibagi menjadi dua bagian : Bagian Pertama adalah Sistem
Saraf Otonom parasimpatis (SSOp) dan Sistem Saraf Otonom simpatis (SSOs), bagian
simpatis meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah thorakal dan lumbal (torakolumbal)
medula spinalis. Bagian parasimpatis ke luar otak (melalui komponen-komponen saraf
karanial) dan bagian sakral medula spinalis (kraniosakral).
Fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan,
serta menurunkan aktivitas saluran cerna.tujuan utama fungsinya adalah mempersiapkan
tubuh agar siap menghadapi stress atau apa yang dinamakan respon bertempur/ lari.
Fungsi parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut jantung dan
pernapasan dan meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan kebutuhan
pencernaan dan pembuangan. Jadi saraf parasimpatis membantu konservasi dan
hemostatis fungsi-fungsi tubuh.

1. Cairan Serebrospinal
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran, menjaga jaringan
SSP yang sangat halus dari benturan terhadap struktur tulang yang mengelilinginya
dan dari cedera mekanik. Juga berfungsi dalam pertukaran nutrien antara plasma dan
kompartemen selular. Cairan serebrospinal merupakan filtrat plasma yang
dikeluarkan oleh kapiler di atap dari keempat ventrikel otak. Seperti yang telah
disebutkan, ini serupa dengan plasma minus plasma protein yang besar, yang ada di
balik aliran darah. Sebagaian besar cairan ini dibentuk dalam ventrikel bagian lateral,
yang terletak pada masing-masing hemisfer serebri. Cairan mengalir dari ventrikel
lateral ini melalui duktus ke dalam ventrikel ketiga diensefalon. Dari ventrikel ketiga
cairan mengalir melalui aquaduktus Sylvius midbrain dan masuk ke ventrikel
keempat medula. Kemudian sebagian dari cairan ini masuk melalui lubang (foramen)
di bagian atas dari ventrikel ini dan masuk ke dalam spasium subarakhnoid (sejumlah
kecil berdifusi ke dalam kanalais spinalis). Dalam spasium subarakhnoid, CSS
diserap kembali ke dalam aliran darah pada tempat tertentu yang disebut pleksus
subarakhnoid.
Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan osmotik koloid dan
hidrostatik yang sama yang mengatur perpindahan cairan dan partikel-partikel kecil
antara plasma dan kompartemen cairan interstisial tubuh. Secara singkat direview,
kerja dari tekanan ini adalah sebagai berikut : dua tim yang berlawanan dari tekanan
mendorong dan menarik mempengaruhi gerakan air dan partikel-partikel kecil
melalui membran kapiler semipermiabel. Satu tim terdiri atas tekanan osmotik
plasma dan tekanan hidostatik CSS. Ini memudahkan gerakan air dari kompartemen
CSS ke dalam plasma. Gerakan air dari arah yang berlawanan dipengaruhi oleh tim
dari tekanan hidrostatik plasma dan tekanan osmotik CSS. Tim yang berpengaruh
bekerja secara simultan dan kontinu. Dalam ventrikel, aliran CSS menurunkan
tekanan hidrostatik CSS. Hal ini memungkinkan tim bersama mempengaruhi gerakan
air dan partikel kecil dari plasma ke ventrikel.
Tekanan hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus bersebelahan dengan
vili arakhnoid menunjukkan skala untuk gerakan air dan terlarut dari kompartemen
CSS kembali ke dalam aliran darah. Kematian sel-sel yang melapisi kompartemen
CSS akan mengeluarkan protein ke dalam CSS. Ini akan meningkatkan tekanan
osmotik CSS dan memperlambat reabsorbsi (sementara juga mempercepat
pembentukan bila kerusakan terjadi di dalam dinding ventrikel). Peningkatan protein
CSS karena hal ini atau penyebab lain dapat merangsang atau mencetuskan kondisi
kelebihan CSS yang disebut hidrosefalus.
2. Tekanan Intrakranial
Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai proses patologis yang
mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya
akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan
penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi
yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan
penderita. Jadi kenaikan intrakranial tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah
serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal
pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mm H2O), TIK lebih tinggi dari 20
mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam
kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya.

C. Etiologi
1. Cidera setempat (benda tajam)
Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan trauma yang dapat
menyebabkan cedera setempat atau kerusakan terjadi terbatas dimana benda tersebut
merobek otak.Misal: pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur
tengkorak.
2. Cidera Difus (cidera tumpul)
Trauma oleh benda tumpul dapat menyebabkan / menimbulkan kerusakan
menyeluruh (difuse) karena kekuatan benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh
lapisan pelindung spt : rambut, kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi
diteruskan keotak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan
pada jaringan otak sehingga dipandang lebih berat. Misal : terkena pukulan atau
benturan.
Berat ringannya masalah yg timbul akibat trauma bergantung pd beberapa factor
yaitu:

a. Lokasi benturan
b. Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik
c. Kekuatan benturan
d. Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala diam) dan deselerasi
(kepala bergerak membentur benda yang diam)
e. Ada tidaknya rotasi saat benturan
Dapat pula dibagi menjadi :

1. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung ataupun tak langsung (akselerasi/deselerasi otak)
2. Trauma otak sekunder
Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
D. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat
cedera kepaka. Cedera kepaladiklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi  yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh
peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu
cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio cerebral maupun hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi
atau hematoma intracranial.
Skala Koma Glasgow

No RESPON NILAI

1 Membuka Mata :

-Spontan 4

-Terhadap rangsangan suara 3

-Terhadap nyeri 2

-Tidak ada 1

2 Verbal :

-Orientasi baik 5

-Orientasi terganggu 4

-Kata-kata tidak jelas 3

-Suara tidak jelas 2

-Tidak ada respon 1

3 Motorik :

- Mampu bergerak 6

-Melokalisasi nyeri 5

-Fleksi menarik 4

-Fleksi abnormal 3

-Ekstensi 2

-Tidak ada respon 1

Total 3-15
3. Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain :

1) Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)


2) Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
3) Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
4) Parese nervus facialis ( N VII )

Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam,
lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.

b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis
lesi sering terjadi bersamaan. Termasuk lesi lesi local :

1) Perdarahan Epidural
2) Perdarahan Subdural
3) Kontusio (perdarahan intra cerebral)
4) Cedera otak difus

Umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan


klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.
Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus
dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona
Difus ( CAD).
1) Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya  terjadi
pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea
media ( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran
sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini
disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist
unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil
anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus
lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan
epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
2) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering
terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek
cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga
akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural.
3) Kontusio dan perdarahan intracerebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,
walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan
cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari
atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.  Apabila
lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut.
4) Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi
dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada
cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam
berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali
tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad (
keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio
cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible.
Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang
dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali
tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit
neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan
mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-
gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita
mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan
oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan
koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering
menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.

E. Manifestasi Klinis
1. Cidera kepala ringan-sedang

a. Disorientasi ringan
b. Amnesia post partum
c. Hilang memori sesaat
d. Sakit kepala
e. Mual dan Muntah
f. Vertigo dan perubahan posisi
g. Gangguan pendengaran

Tanda yang potensial berkembang :

a. Penurunan kesadaran
b. Perubahan pupil
c. Mual makin hebat
d. Sakit kepala semakin hebat
e. Gangguan pada beberapa saraf cranial
f. Tanda-tanda meningitis
g. Apasia
h. Kelemahan motorik

2. Cidera kepala sedang-berat

a. Tidak sadar dalam waktu lama


b. Fleksi dan ekstensi abnormal
c. Edema otak
d. Tanda herniasi
e. Hemiparese
f. Gangguan akibat saraf cranial
g. Kejang

Tanda dan gejala berdasarkan tipe trauma kepala dibagi atas :

1) Trauma kepala terbuka


Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam
jaringan otak dan melukai atau menyobek dura meter menyebabkan CSS
merembes. Kerusakan sarak otak dan jaringan otak.
2) Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.
Komosio / geger otak , dengan tanda-tanda :

a. Cedera kepala ringan


b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c. Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit
d. Tanpa kerusakan otak permanen
e. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f. Disorientasi sementara
g. Tidak ada gejala sisa
h. Tidak ada terapi khusus

Kontusio serebri / memar otak, dengan tanda-tanda:

a.       Ada memar otak


b.      Perdarahan kecil lokal / difus dengan gejala adanya gangguan lokal dan
adanya perdarahan. Gejala :
a)      Gangguan kesadaran lebih lama
b)      Kelainan neurologis positif
c)      Refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi
d)     Gejala TIK meningkat
e)      Amnesia retrograd lebih nyata.
F. Patofisiologi
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan
serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen,
glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak.
Cedera yang dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau
hematoma (injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan
(deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang
langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan
kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan
intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada
tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat
meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi.
Gejalanya akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk
dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan
adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena
dan perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan
arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat
dikaitkan dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam.
Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa
kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan
mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya
memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi,
anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak
yang mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Dalam jangka waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.  
G. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada cedera kepala menurut
Batticaca. FB. 2008 :
a. Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan kepala dan leher sejajar.
b. Traksi ringan pada kepala
c. Kolar servikal
d. Terapi untuk mempertahankan homeostatik otak dan mencegah kerusakan otak
sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk
mempertahankan perfusi serebral yang adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki
hipovolemi, dan evaluasi gas darah arteri.
e. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan TIK. Bila
terjadi peningkatan TIK, pertahankan oksigenasi yang adekuat, pemberian manitol
untuk mengurang edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi,
penggunaan steroid, meninggikan posisi kepala ditempat tidur, kolaborasi bedah
neuro untuk mengangkat bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi di kepala.
Pasang alat pemantau TIK selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di
tempat tidur. Rawat klien di ICU.
f. Tindakan perawatan pendukung yang lain yaitu, pemantauan ventilasi dan
pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik bila klien koma berat untuk mengontrol
jalan nafas. Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan
vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan TIK. Pemberian
terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma kepala yang
menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia (klorpromazin tanpa
tingkat kesadaran). Pasang NGT bila terjadi motilitas lambung dan peristaltik
terbalik akibat cedera kepala.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian yang dilakukan dalam penatalaksanaan keperawatan cedera kepala 
menurut Batticaca. FB. 2008 :
a) Riwayat kesehatan

1.      Kapan cedera terjadi


2.      Apa penyebab cedera
3.      Apa peluru kecepatan tinggi
4.      Apa objek yang membentur
5.      Bagaimana proses terjadinya cedera pada kepala, apa karena jatuh
6.      Darimana arah datangnya pukulan, bagaimana kekuatan pukulan
7.      Apakah klien kehilangan kesadaranBerapa lama durasi dari periode sadar
8.      Dapatkah klien dibangunkan

b) Riwayat tidak sadar atau anamnesis setelah cedera kepala menunjukkan derajat
kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan
pemulihan atau terjadinya kerusakan otak sekunder.
c) Tingkat kesadaran dan responsivitas dengan GCS
d) Tanda vital
e) Fungsi motorik
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala menurut Grace,
Piere A. 2006 :
a. Rontgen tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne
b. CT Scan / MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema serebral.
c. Pengkajian neurologis (Batticaca. FB. 2008)
d. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
e. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
f. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
g. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur
dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).

I. Komplikasi
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala
adalah :

a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan


terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos, kemosis,dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d. Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari
sindrom distres pernapasan dewasa.
e. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu).
BAB II

KONSEP DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN

   

A. Pengkajian

1. Identitas pasien.

Identitas pasien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

alamat, status perkawinan, suku bangsa dan tanggal masuk ruangan.

2. Riwayat Kesehatan dan pemeriksaan fisik

Menurut Smeltzer & Bare, (2001), riwayat kesehatan yang perlu dikaji/

ditanyakan adalah kapan cedera terjadi? apa penyebab cedera? Peluru kecepatan

tinggi? Objek apa yang terbentur kepala? Dari mana arah dan kekuatan pukulan?

Apakah ada kehilangan kesadaran? Durasi periode tidak sadar? Dapatkah pasien

dibangunkan? Riwayat tidak sadar atau amnesia terhadap cedera kepala

menunjukkan derajat kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya

dapat menunjukkan terjadi pemulihan kerusakan otak sekunder.

Menurut Engram.B,(1999), riwayat kesehatan yang perlu dilakukan adalah

pengkajian neurologis cepat amati kepala dan belakang kepala bila terjadi luka atau

edema. Periksa hidung dan telinga kalau memungkinkan ada darah atau cairan

bening yang keluar. Bila ada gunakan kertas deabetik untuk memeriksa ada tidaknya

cairan serebrospinal (CSS). Bila tes glukosa positif menunjukkan adanya CSS, bila

pasien sadar dan orientasinya penuh, kaji respon klien terhadap kondisi dan

pemahamannya tentang kondisi serta rencana penanganan.


Menurut Suriadi & Yuliani, (2001), pada saat melakukan pengkajian riwayat

kesehatan perlu diperhatikan hal penting, saat kejadian, tempat, bagaimana posisi

saat kejadian, serangan, lamanya, faktor pencetus adanya fraktur dan status

kesadaran. Status neurologis yang perlu dikaji perubahan kesadaran, pusing kepala,

vertigo, menurunnya refleks, malaise, kejang, iritabel, kegelisahan atau agitasi. Pupil

yang diperiksa adalah ukuran, refleks terhadap cahaya, hemiparesis, letargi dan

koma, mual muntah, kesukaran bernafas atau sesak, napas lambat, hipotensi ,

bradikardi.

a. Aktivitas/ Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang kesimbangan

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia, cara

berjalan tak tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma) ortopedi,

kehilangan tonus otot, otot palstik. Penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan

rentang gerak pada area yang sakit, Gangguan massa otot, perubahan tonus.

b. Sirkulasi

Gejala      :   Hipotensi (syok), penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang

cedera, vaokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin,

takikardi (syok/ ansietas/ nyeri),disritmia (syok) pembentukan edema jaringan

Tanda      :   Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi

jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia).

c. Integritas Ego

Gejala      :   Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis),

Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan.

Tanda      :   Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan

impulsif. Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.


d. Eliminasi

Gejala      :   Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi

Tanda      :   Pengeluaran urine menurun atau tak ada selama fase darurat, Diuresis

(setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi, Penurunan

bising usus/ tak ada

e. Makanan

Gejala      :   Mual, muntah dan mengalami perubahan selera

Tanda      :   Gangguan menelan, (batuk, air liur keluar, disfagia), Edema jaringan

umum, Anoreksia, mual/muntah

f. Neurosensori

Gejala      :   Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,

sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, bingung, baal pada ekstremitas. perubahan

dalam penglihatan seperti ketajamannya yang diplopia, kehilangan sebagian lapang

pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Kesemutan.

Tanda      :   Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental

orientasi kewaspadaan, perhatian, konsentrasi pemecahan masalah, perubahan pupil

(respons terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti

kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah

tidak simetris, gangguan lemah tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau

lemah, apraksia, hemiparese quadreplegia,postur (dekortikasi desebrasi). Kejang

sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan kehilangan sensasi sebagai posisi

tubuh, Perubahan orientasi, efek perilaku. Penurunan refleks tendon dalam pada

cedera extremitas.

g. Nyeri/ ketidaknyamanan

Gejala      :   Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama
Tanda      :   Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,

gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.

h. Keamanan

Gejala     :   Trauma baru/ trauma karena kecelakaan

Tanda      :   fraktur/ dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi, abrasi, perubahan

warna, tanda battle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya

aliran cairan (drainase) dari telinga/ hidung serebrospinal (CSS), gangguan kognitif,

gangguan rentang gerak, tonus otot hilang kekuatan secara umum mengalami

paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

i. Interaksi Sosial.

Tanda     :   Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-

ulang, disartia, anomia.

j. Pernapasan

Gejala      :   Serak, batuk, mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan

menelan sekresi oral, sianosis, indikasi cedera inhalasi.

Tanda      :   Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan

impulsif. Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.

3. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Tucker, et al (1998), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam

menegakkan diagnosa adalah :

a. pemeriksaan sinar X tulang tengkorak

b. pemeriksaan sinar X servikal

c. CT Scan

d. MRI (Magnetic Reaconance Imaging)


e. Punksi lumbal, pengambilan contoh CSS

f. Pneumoensefalogram

g. Sistogram

h. GDA (Gas Darah Arteri)

i. EEG (Elektro Ensefalo Grafi)

j. EKG (Elektro Kardio Grafi)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak


ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya paerdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara / cairan dan perubahan perbandingan O2 dan
CO2 kegagalan ventilaor.
3. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penunumpukan sputum
peningkatan sekresi sekret penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan kelatihan.
C. Intervensi Keperwatan.

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Resiko tinggi TIK Tujuan : dalam 1.      Kaji faktor 1.      Deteksi dini untuk
b/d desak ruang waktu 2x24 jam penyebab memprioritaskan
sekunder dari tidak terjadi peningkatan TIK intervensi, mengkaji
kompresi korteks peningkatan TIK sttus neurologis atau
serebri dar adanya pada klien. tanda kegagalan untuk
perdarahan baik Kriteria hasil : klien menentukan tindakan
bersifat tidak gelisah, tidak pembedahan
intraserebral mengeluh keala
hematoma, nyeri, mual dan
2.      Monito TTV tiap 2.      Suatu keadaan normal
subdural muntah, GCS 4,5,6,
empat jam bila sirkulasi serebral
hematoma, dan tidak terdapat
terpelihara debgan
epidural papiledema, TTV
baik atau fluktasi di
hematoma. normal.
tandai dengan tekanan
darah siskemik,
penurunan dari
autoreguer kebanyakan
merupakan tanda
penurunan difusi lokal
vaskularisasi daraj
serebral.
3.      Tindakan yang terus
3.      Berikan periode
menerus dapat
istirahat antara
meningkatkan TIK
tindakan
oleh efek rangsangan
perawatan dan
komulatif.
batasi lamanya
4.      Mengurangi tekanan
prosedur
4.      Cegah atau intratorakal dan
hindari intraabdominal
terjadinya sehingga menghindari
falsafah manufer peningkatan TIK.
2. Ketidakefektifan Tujuan : dalam 1.    Berikan posisi 1.Meningkatkan inspirasi
pola pernapasan waktu 3x24jam nyaman,biasanya maksimal, meningkatkan
yang berhubungan setelah intervensi dengan posisi ekspansi paru dan
dengan depresi adanya semi fowler. ventilasi pada sisi yang
pada pusat peningkatan, pola tidak sakit.
pernapasan di nafas kembali 2. distres pernafasan dan
2.      Observasi fungsi
otak, kelemahan efektif. perubahan pada tanda
pernafasan, catat
otot-otot Kriteria hasil : vital dapat terjadi sebagai
frekuensi,dispnea
pernapasan, Memperlihatkan akibat stres fisiologi dan
,perubahan TTV
ekspansi paru yang frekuensi nyri atau dapat menunjukn
tidak maksimal pernafasan yang dapat terjadinya syok
karena akumulasi efektif, mengalami sehubungna dengan
udara / cairan dan perbaikan hipoksia.
perubahan pertukaran gas2 3. melatih klien untuk
perbandingan O2 pada paru, daptif 3. bantulah mengatur nafas seperti
dan CO2 mengatasi faktor klien untuk nafas dalam,pengaturan

kegagalan penyebab. mengontro posisi dan teknik relaksasi

ventilaor l dapat membantu


pernafasan memaksimalkan fungsi
jika dari sistem pernafsan.
ventilator
tiba2
4. Untuk
berhenti.
mengevaluasi
perbaikan atas
4. kolaborasi dengan pengembangan
tim kesehatan lain parunya.
pemberian
antibiotik,analgesik,f
isoterapi dada dan
konsul foto toraks
3. Tidak efektif Tujuan : 1. Kaji keadaan 1.      Obstruksi mungkin
bersihan jalan Dalam waktu jalan nafas dapat disebabkan oleh
nafas yang 3x24jam terdapat akumulasi sekret,sisa
berhubungan perilaku cairan
dengan peningkatan mukus,perdarahan,dan
penunumpukan keefektifan jalan bronkospsame
sputum nafas.
peningkatan Kriteria hasil : 2. Evaluasi
2.      Pergerakan dada yang
sekresi sekret Bunyi nafas pergerakan dada
simetris dengan suara
penurunan batuk terdengar bersih, dan auskultasi
nafas yang keluar dari
sekunder akibat tidak ada suara suara nafas pada
paru-paru menandakan
nyeri dan kelatihan nafas tambahan kedua paru.
jalan nafas tidak
terganggu.

3. Catat adanya 3.      Selama intubasi klien


mengalami reflek
batuk,
batuk yang tidak dapat
bertambahnya
efektif. Semua klien
sesak napas dan
tergantung dari
pengeluaran
alternatif yang
sekret melalui
dilakukan seperti
endotrakeal dan
menghisap lendir dari
bertambahnya
jalan nafas.
bunyi ronki.

4.      Batuk yang efektif


4. Anjurkan klien dapat mengeluarkan
dengan teknik sekret dari saluran
batuk selama napas.
penghisapan
seperti waktu
bernapas panjang,
batuk kuat, bersin
jika ada indikasi. 5.      Ekspektoran untuk
5. Kolaborasi memudahkan
dengan tim mengeluarkan lendir
kesehatan lain dan mengevaluasi
pemberian perbaikan kondisi
ekspektoran, klien atas
entibiotik, pengembangan paru
fisioterapi dada nya.
dan konsul foto
thorak.
DAFTAR PUSTAKA

Arif mutataqin.2008.asuhan keperwatan klien dengan gangguan sistem persarafan.jakarta :

EGC.

Gyton dan hall.buku ajar fisiologi kedokteran.edisi 15.jakarta :EGC

Doenges, Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan

dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC : Jakarta

Brunner & Suddarth.2000.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai