PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkataan “hukum perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat
materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
Perkataan “perdata” juga lazim digunakan sebagai lawan dari “pidana”. Ada juga orang yang
menggunakan perkataan “hukum sipil” untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan
“sipil” itu juga lazim digunakan sebagai lawan dari “militer”, maka lebih baik kita memakai
istilah “hukum perdata” untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Perkataan “hukum perdata”, adakalanya digunakan dalam arti yang sempit, sebagai
lawan “hukum dagang”, seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang
menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap hukum Perdata dan
Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan
Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.
a. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli, berlaku “Hukum Adat”, yaitu hukum yang
sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum
tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam
kehidupan masyarakat.
b. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa
berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata 9Burgerlijk Wetboek) dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian,
bahwa bagi golongan tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit
penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang
mendahului pernikahan dan “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka,
sedangkan untuk mereka ada pula “Burgerlijk Stand” tersendiri. Selanjutnya, ada
pula suatu peraturan perihal pengankatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal
di dalam Burgelijk Wetboek.
Hukum Perdata memiliki pembahasan ruang lingkup yang sangat luas dan beragam, serta
memasuki segala aspek kehidupan masyarakat. Tidak heran jikalau segala pembahasannya
memiliki sangkut paut pada hukum-hukum yang ada pada Hukum Adat dan Hukum Syariat,
seperti tentang Hukum Waris, Hukum Kekerabatan, Hukum Perikatan, dan lain-lain. Adapun
pada kesempatan kali ini pemakalah akan memfokuskan kepada pembahasan tentang Hukum
Perikatan
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberitahu tentang pembahasan dan seperti apa
karakteristik dari Hukum Perikatan. Adapaun kegunaannya adalah untuk menambah wawasan
dan pengetahuan pemakalah serta pembaca mengenai pembahasan Hukum Perikatan.
D. Metode Penulisan
Adapaun dalam hal penulisan makalah, pemakalah menggunakan media e-book dan
jurnal yang tersedia agar terciptanya makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian perikatan
Abdul Kadir Muhammad, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara
orang yang satu dengan yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan, sehingga
dapat dikatakan bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan,
bidang hukum keluarga, bidang hukum waris, dan dalam bidang hukum pribadi.
Salim H. S,. Perikatan mempunyai beberapa unsur pokok, anatara lain: (1)
adanya kaidah hukum; (2) adanya subyek hukum; (3) adanya prestasi (obyek perikatan);
(4) dan dalam bidang tertentu. Kaidah Hukum Perikatan meliputi :
1. Kaidah Hukum Tertulis, yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam undang-
undang, traktat, atau jusriprudensi.
2. Kaidah Hukum Tidak Tertulis, yaitu kaidah hukum yang hidup, tumbuh, dan
timbul dalam praktik kehidupan masyarakat (kebiasaan).
1
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, 2003, Jakarta: Intermasa, hal. 81.
Subyek Hukum terdiri dari : (1) Kreditur, yaitu orang (badan hukum) yang
berhakat asprestasi, (2) debitur, yaitu orang (badan hukum) yang berkewajiban untuk
memenuhi prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.
Prestasi terdiri dari : (1) memberikan sesuatu, (2) dapat ditentukan, (3) mungkin dan
diperkenankan, (4) dapat terdiri dari satu perbuatan saja atau terus-menerus. Bidang yang
dimaksud adalah bidang hjarta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang
dapat dinilai uang.
Obyek perikatan adalah hak dari kreditur dan kewajiban dari debitur, yang
menjadi obyek perikatan adalah prestasi, yaitu hal yang memenuhi perikatan. Adapun
prestasi terdiri dari berbagai macam, yaitu :
Subyek perikatan adalah para pihak pada suatu perikatan, yaitu kreditur yang
berhak dan debitur yang berhak atas prestasi. Pada debitur terdapat dua unsur, anatar lain
scuhld adalah uang debitur terhadap kreditur dan haftung adalah harta kekayaan debitur
yang dipertanggung jawabkan bagi pelunasan utang.2
Buku III B.W terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian
Umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya
tentang bagaimana lahir dan hapusnya suatu perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian Khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian
yang banyak digunakan dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama-nama
tertentu, misalnya jual beli, sewa-menyewa, perjanjian perburuhan, pemberian
(schenking), dan sebagainya.
Buku III itu, menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel
der contractsvrijheid). Sistem yang dianut pun juga lazim dinamakan dengan sistem
“terbuka”, yang merupakan sebaliknya yang dianut oleh Buku II perihal hukum
perbendaan. Pada buku tersebut orang tidak diperkenankan untuk membuat atau
2
Yulia, HUKUM PERDATA, 2015, Lhoksumawe: BieNa Edukasi, hal. 88-89 dan Amelia,Nanda, Hukum
Perikatan, 2012, Nanggroe Aceh Darussalam: Unimal Press, hal. 1-2.
memperjanjikan hak-hak kebendaan yang lain, selain dari yang diatur dalam B.W.
sendiri. Buku II menganut suatu sistem “tertutup”3.
c). Ada tujuan yang akan di capai yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak.
3
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, 2003, Jakarta: Intermasa, hal. 84-85..
undang tidak memberikan aturan-aturan umum, artinya apabila hendak mengetahui
peraturan-peraturan dari berbagai perikatan-perikatan tersebut, hal ini harus dilihat pada
peraturan yang bersangkutan.
3. Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan
terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para
pihak.
4. Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan
nasional, yaitu:
1. Asas kepercayaan;
5. Asas moral;
6. Asas kepatutan;
7. Asas kebiasaan;
8. Asas perlindungan.