Anda di halaman 1dari 45

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Tujuan........................................................................................................2

1.2.1 Tujuan umum.....................................................................................2

1.2.2 Tujuan Khusus...................................................................................2

1.3 Sasaran.......................................................................................................2

BAB II INFORMASI DASAR TENTANG HIV....................................................4

2.1 Pengertian.......................................................................................................4

2.2 Penularan........................................................................................................6

2.3 Faktor Resiko.................................................................................................7

2.4 Perjalanan Alamiah Infeksi HIV..................................................................10

2.5 stadium klinis infeksi HIV menurut WHO ..................................................12


BAB III TERAPI IBU HAMIL DENGAN HIV...................................................14

3.1 Tes HIV dan konseling ................................................................................14

3.2 Pengambilan informasi sebelum tes ............................................................16

3.3 Pengambilan darah dan tes HIV .....................................................................17


3.4 Pengumpulan hasil tes ....................................................................................19
3.5 konseling ........................................................................................................19
3.6 Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan............................................21
3.7 Pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV.........................22

3.8 Perencanaan kehamilan ..................................................................................23

i
3.9 Pemberian ARV pada ibu hamil dengan infeksi HIV ....................................25
3.10 Pemberian ARV dan Kontrimaksasol profilaksis pada bayi .......................31
3.11 Diagnosis pada bayi .....................................................................................33
3.12 pelayanan Imunisasi ................................................................................... .35
3.13 Pemberian Nutrisi bagi bayi dari ibu dengan HIV .......................................35
Daftar Pustaka........................................................................................................39

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Resiko penularan HIV dari ibu ke anak ...............................................7


Tabel 2 Faktor resiko penularaan HIV dari ibu ke bayi ....................................9
Tabel 3 Stadium klinis ifeksi HIV menurut WHO ....................................12
Tabel 4 pemberian obat ARV pada ibu hamil ..........................................25
Tabel 5 efek samping obat dan kontraindikasi pemberian ARV ..................28
Tabel 6 Keuntungan dan kerugian jenis persalinan ...................................29
Tabel 7 jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu dengan HIV ........36
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Riwayat perjalanan alamiah infeksi HIV ............................ 11

iii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Alur layanan KIE mengenai HIV dan sifilis pada wanita subur............. 13
Bagan 2 Alur Tes Hiv – Sifilis TIPK ....................................................................15
Bagan 3 Alur tes HIV untuk diagnosis dengan “strategi tiga serial”....................18
Bagan 4 Alur pemberian ARV pada ibu hamil .....................................................25
Bagan 5 pemberian kontrimaksasol pada bayi dari ibu dengan HIV ....................32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa jumlah

penderita HIVdi dunia mencapai 34 juta orang. Sekitar 50% di antaranya adalah

perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di wilayah Asia

Selatan dan Tenggara terdapat sekitar 4 juta orang dengan HIV dan AIDS.

Menurut Laporan Kemajuan Program HIV dan AIDS WHO/SEARO 2011, di

wilayah Asia Tenggara terdapat sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi

HIV. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin

meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya mereka menularkan pada

pasangan seksualnya yang lain. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga

memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa

pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut meninggal sebelum ulang

tahun kedua. Sampai dengan tahun 2013, kasus HIV dan AIDS di Indonesia

telah tersebar di 368 dari 497 kabupa- ten/kota (72 %) di seluruh propinsi. Jumlah

kasus HIV baru setiap tahunnya mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2013

tercatat 29.037 kasus baru, dengan 26.527 (90,9%) berada pada usia reproduksi

(15-49 tahun) dan 12.279 orang di antaranya adalah perempuan. Kasus AIDS baru

pada kelompok ibu rumah tangga sebesar 429 (15%), yang bila hamil berpotensi

menularkan infeksi HIV ke bayinya. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular

dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat

1
persalinan dan selama menyusui. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak

(PPIA) atau Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission (PMTCT)

merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.

Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis

meningkatkan risiko penularan HIV di samping mengakibatkan berbagai

gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan kepada bayi seperti pada infeksi

HIV.

1.2 Tujuan

.2.1 Tujuan umum

Menurunkan angka morbiditas sesuai penyebab HIV pada ibu hamil.

1.1.1.2.2 Tujuan Khusus

1. Menurunkan angka mortalitas sebagai akibat infeksi HIV terhadap kondisi

ibu dan bayi

2. Membuat rekomendasi berdasarkan bukti ilmiah untuk membantu para tenaga

kesehatan dalam melakukan diagnosis, tata laksana serta evaluasi sehubungan

dengan keluhan HIV.

3. Memberi rekomendasi bagi fasilitas kesehatan untuk menyusun kebijakan

tatalaksana setempat.

1.3 Sasaran

1. Seluruh tenaga medis yang terlibat dalam penanganan kasus ibu hamil dengan

HIV yaitu bidan, dokter umum, dan dokter spesialis obstetri ginekologi, dan

diharapkan dapat diterapkan pada layanan kesehatan primer maupun rumah

sakit.

2
2. Penentu kebijakan di lingkungan fasilitas kesehatan baik primer maupun

rujukan, institusi pendidikan, serta kelompok profesi terkait.

3
BAB II

INFORMASI DASAR TENTANG HIV

2.1 Pengertian

HIV (Human Imunnodefisiensi Virus) adalah retrovirus golongan

(Rebonucleid Acid) RNA yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh

manusia. Penuruna sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV

memudahkan munculnya berbagai infeksi,sehingga dapat menyebabkan timbulnya

(Acquired Immunodefisiency Syndrom) AIDS. AIDS adalah sekumpulan gejala

atau tanda klinis pada penghidap HIV akibat infeksi oportunistik yang

disebabkan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit

karena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman

yang biasanya tidak menimbulkan penyakit pada orang sehat. Infeksi oportunistik

ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri, dan parasit sehingga

dapat meheyerang berbagi organ, antara lain kulit, saluran cerna/usus, paru-paru

dan otak.

Berbagai jenis keganasan juga mungkin timbul pada penderita HIV.

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS , jika tidak

diberikan pengobatan dengan ARV. Kecepatan perubahan dari infeksi HIV

menjadi AIDS sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus status gizi serta

cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibagi menjadi 3 tipe yaitu : i)

rapid progresor berlangsung 2-5 tahun; ii) average progresor, berlangsung 7-15

tahun ; dan iii) slow progressor lebih dari 15 tahun.

4
Leukosit (sel darah putih) merupakan sel imun utama, disamping sel

plasma, makrofag dan sel mast. Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit

didalam darah dan jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit : yaitu

limfosit B yang diproses dibursa omentalis dan limfosit T yang diproses di

kelenjar thymus. Limfosit B adalah limfosit yang berperang penting pada respon

imun humoral melalui aktivasi imun humoral, yaitu antibodi berupa

imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD, IgE). Limfosit T berperan penting pada

respon imun seluler, yaitu mengenai kemampuannya mengenali kuman patogen

dan mengaktivasi imun seluler lainnya seperti fagosit, limfosit B, dan sel-sel

pembunuh alami. Limfosit T berfungsi menghancurkan sel yang terinfeksi kuman

patogen. Limfosit T ini memiliki kemampuan memori, evolusi, aktivasi dan

replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik terhadap antigen guna mempertahankan

kekebalan tubuh.

Cluster of differentiation (CD) adalah reseptor tempat melekatnya virus

pada dinding limfosit T. Pada infeksi HIV. Virus dapat melekat pada reseptor

CD4 (atau disingkat CD4), merupakan indikator tingkat kerusakan sistem

kekebalan tubuh karena pecah atau rusaknya limfosit T pada infeksi HIV. Nilai

normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/ml ; bila jumlahnya menurun drastis, berarti

kekebalan tubuh sangat rendah, sehingga memungkinkan berkembangnya infeksi

oportunistik. Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada

infeksi HIV, Viral Load dapat diukur dengan alat tertentu misalnya dengan teknik

Polimerase Chain Reaction (PCR). Semakin besar jumlah viral load pada

penderita HIV, semakin besar pula kemungkinan penularan HIV kepada orang

lain.

5
2.2 Penularan

Cara penularan HIV melalui jalur sebagai berikut :

1. Cairan genital : cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki

jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan

penularan, terlebih jika disertai infeksi menular seksual (IMS) lainnya.

Karena itu semua hubungan seksual yang beresiko dapat menularkan HIV,

baik melalui rute genital, oral maupun anal.

2. Kontaminasi darah atau jaringan : penularan HIV dapat terjadi melalui

kontaminasi darah seperti transfusi dan produknya (plasma, trombosit),

transplantasi organ yang tercemar virus HIV, atau melalui penggunaan

peralatan medis yang tidak steril, seperti penggunaan alat suntik bersama

pada penasung, tatto dan tindik tidak steril .

3. Perinatal : penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin dapat

terjadi selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke

bayi melalui kontak dengan darah atau cairan genital saat persalinan dan

melalui ASI pada saat laktasi.

6
2.3 Faktor Resiko

Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa uapaya pencegahan atau

intervensi berkisar antara 20-50% (tabel 2). Dengan praktik pencegahan

penularan HIV dari ibu ke anak yang baik, resiko penularan dapat diturunkan

menjadi kurang dari 2%. Pada masa kehamilan plasenta melindungi janin dari

infeksi HIV; namun bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan barier

plasenta, HIV bisa menembus plasenta sehingga terjadi penularan dari ibu ke

anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih sering terjadi pada saat persalinan

dan masa menyusui.

Selama kehamilan 5-10%


Saat persalinan 10-20%
Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20%
Resiko penularan keseluruhan 20-50%

Tabel 1. Resiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Ada tiga faktor resiko penularan HIV dari ibu ke anak yaitu sebagai berikut :

1. Faktor ibu

a. Kadar HIV dalam darah ibu (Viral Load) : merupakan faktor yang

paling utama menyebabkan terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak,

semakin tinggi kadarnya semakin tinggi kemungkinan penularan virus

kususnya pada saat/menjelang persalinan dan masa menyususi bayi.

b. Kadar CD4 : ibu dengan kadar CD4 yang rendah, Khusunya bila

jumlah CD4 berada dibawah 350 sel/mm3, menunujukan daya tahan

tubuh yang rendah krena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar

CD4 tidak selalu berbanding terbalik denga viral load. Pada fase awal

7
keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah

kalau penderita mendapat terapi anti retro virus (ARV)

c. Status gizi selama kehamilan : berat badan yang rendah serta kekurang

an zat gizi (Malnutrisi) terutam aprotein, vitamin, dan mineral selama

kehamilan membuat ibu beresiko mengalami penyakit infeksi yang

dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah sehingga menambah

resiko penularan kepada bayi.

d. Penyakit infeksi selama kehamilan (IMS) : misalnya sifilis, infeksi

organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis beresiko meningkatkan

kadar HIV dalam darah ibu, sehingga resiko penularan HIV kepada

bayi semakin besar.

e. Masalah pada payudara : misalnya puting lecet, mastitis dan abses

pada payudara akan meningkatkan resiko penularan HIV melalui

pemberian ASI.

2. Faktor bayi

a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir : bayi prematur atau

bayi dengan berat lahir rendah lebih rentang tertular HIV karena sistem

organ dan kekebalan tubuh belum berkembang baik.

b. Periode pemberian ASI : resiko penularan melalui pemberian ASI bila

tanpa pengobatan berkisar antara 5-20% .

c. Adanya luka dimulut bayi : resiko penularan meningkat ketika bayi

menyusui.

8
3. Faktor tindakan Obstetri

Resiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat

persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa

menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain

itu bayi akan terpapar darah dan lendir ibu dijalan lahir. Faktor-faktor yang

dapat meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak selama

persalinan adalah sebagai berikut :

a. Jenis persalinan : resiko penularan pada persalinan pervaginam

lebih besar daripada persalinan seksio sesaria; namun seksio

sesaria memberikan banyak resiko lainnya untuk ibu.

b. Lama persalinan : semakin lama proses persalinan, resiko

penularan hiv dari ibu ke anak juga semakin tinggi karena kontak

antara bayi dan darah

c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan

resiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkat jika ketuban

pecah kurang dari 4 jam.

d. Tindakan episiotomi,ekstrasi vakum dan forsep meningkatkan

resiko penularan HIV.

Tabel 2. Faktor resiko penularan HIV dari ibu ke bayi1

Faktor Ibu Faktor Bayi Faktor Obstetrik


1. Kadar HIV/viral 1. Prematuritas dan 1. Jenis persalinan
load dalam berat lebih rendah 2. Lama persalinan
darah. 2. Lama menyusui, 3. Ketuban pecah
2. Kadar CD4. bila tanpa dini
3. Status gizi pengobatan 4. Tindakan
selama 3. Luka pada mulut episiotomi,
kehamilan. bayi, jia bayi ekstrasi vakum
4. Penyakit infeksi menyususi. dan forsep.
selama

9
kehamilan
5. Masalah
payudara, jika
menyusui.

2.4 Perjalanan Alamiah Infeksi HIV

Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Gambar 7) sebagai

berikut:

1. Fase I : masa jendela (window period) tubuh sudah terinfeksi HIV,pada

pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan anti bodi anti-HIV Pada

masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai

tiga bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan

HIV kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi

akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah

bening,ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti

gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan sembuh dengan atau

tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome" ini terjadi akibat

serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebatpada

infeksi primer HIV.

2. Fase II : masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga

gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif,

wulaupun gejala penyakit belum timbul. Pada fase inipenderita tetap

dapat menularkan HIV kepada oraang lain. Masa tanpa gejala rata-rata

berlangsung selama 2-3 talun, sedangkan masa dengan gejala ringan

dapat berlangsung selama 5-8 tahun,ditandai oleh berbagai radang kulit

seperti ketombe, folikulitis yang hilang timbul walaupun diobati.

10
3. Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan

kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan.

timbulnya berbagai infeksi opartunistik berupa peradangan berbagai

mukosa,misalnya mfeksi jemur d mulut,kerongkongan dan paru-paru.

Infeksi TB hanyak ditemukan di Paru-paru dan organ lain di luar paru-

paru. Sering ditemukan diare Kronis dan penurunan berat badan

sampai lebih dan 10% dari berat awal.

Gambar 1. Riwayat Perjalan Alamiah infeksi HIV dan AIDS.

Gambar 8 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah)

sangat tinggi sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun

tajam saat viral load mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load

menurun dan relatif stabil, namun limfosit T CD4 berangsur-angsur

menurun; dan iil) Fase III dengan viral load makin tinggi dan limfosit T

CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala berkurangnya daya tahan tubuh

yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit, misalnya tuberkulosis

(TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakis(OHL), oral

candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP) cytomegalovirus

(CMV), popular pruritic eruption (PPE) danMycobacterium avium

(MAC).

11
2.5 Stadíum Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
World Health Organization (WHO) membuat stadium klinis infeksi HIV

yang dapat digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara

komprehensif berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan

metode tiga reagen secara serial menunjukkan hasil reaktif. (Tabel 3)

Tabel 3. Stadium Klinik Infeksi HIV Menurut WHO


Standium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4
Asimtomatik Sakit Ringan Sakit Sedang Sakit berat
Berat Tidak ada Penurunan BB 5- Penurunan BB > 10 % Sindrom wasting
Badan penurunan BB 10% HIV
(BB)
Gejala Tidak ada gejala  Luka  Kandidiasis  Kandidiasis
atau hanya : disekitar oral atau esophageal
 Limfadeno bibir vaginal  Herpes
pati (Kelitis  Oral Hairy simpleks
generalisata angularis) leukoplakia ulseratif
presisten  Ruam  Diare, demam lebih dari 1
kulit yang tidak bulan
yang diketahui  Limfoma
gatal penyebabnya  Sarkoma
(seboroik lebih dari satu kaposi
atau bulan  Kanker
prurigo) serviks
 Herpes invasif
zoster  Renitis
dalam 5 cytogalovir
tahun us
terakhir
 ISPA  Infeksi  Pneumonia
berulang bakterial yang pnemusistis
misalnya berat  TB ekstra
sinusitis (pneumoni,pio paru
atau otitis miositis, dll)  Abses otak
 Ulkus  TB paru dalam toksoplasm
mulut 1 tahun osis
berulang terakhir  Meningitis
 TB kriptokokus
limfodenopati  Encefalopat
 Gingivitis/peri i HIV
odontitis  Gangguan

12
ulseratif fungsi
nekrotika akut neurologis
dan tidak
oleh
penyebab
lainnya,
seringkali
membeik
dengan
ARV

wanita usia reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja dan

pasangan suami-isteri yang mengunjungi fasilitas pelayanan KIA, KB dan

pelayanan keschatan peduli remaja. Di puskesmas, pemberian KIE tentang

pencegahan penularan HIV dan sifilis diintegrasikan dengan layanan KIA, KB,

keschatan peduli remaja, kelas ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu;

dan layanan IMS, tuberkulosis dan gizi.

Wanita usia subur

Poli KB Poli Gizi Konseling Poli Kelas ibu


Poli KIA
remaja IMS/TB hamil

Informasi, edukasi HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis kongenital

Bagang 1. Alur layanan KIE mengenai HIV, dan sifilis pada wanita usia subur

13
BAB III

TERAPI IBU HAMIL DENGAN HIV

3.1 Tes HIV dan Konseling

Tes atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK),

adalah tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling

kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatannya. TIPK

dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan pada fasilitas pelayanan

kesehatan. TIPK dilaksanakan dengan memperhatikan dengan prinsip 3C

(confidential, Consent dan counseling); dan 2R (recording-reporting dan

referral). Penawaran tes HIV dan sifilis pada ibu hamil dilakukan pada saat

kunjungan antenatal atau menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin

lainnya. Bila ibu menolak untuk diperiksa dengan tes HIV dan sifilis, maka ia

diminta untuk menyatakan ketidaksetujuannya secara tertulis. Apapun

pilihannya, ibu hamil tetap diberikan bantuan dan tatalaksana klinis sesuai

dengan kondisinya dan tetap dianjurkan untuk pemeriksaan ulang seperti

biasa. Pada kunjungan berikutnya, ibu hamil diberi penjelasan tentang

pentingnya tes HIV dan sifilis demi keselamatan diri dan bayinya, terutama

didaerah epidemi tinggi dan terkonsentrasi HIV –AIDS. Bila ibu hamil

tersebut belum bisadiyakinkan , Maka ia dapat dirujuk untuk mengikuti

koseling dan tes sukarela (KTS), bila ada. Langkah –langkah TIPK (Gambar

9) meliputi:

1. Pemberian informasi sebelum tes ;

2. Pengambilan darah ;

3. Penyampaian hasil tes;

14
4. Konseling ;

Ibu hamil

Bidang/dokter/klin Puskesmas, rumah Polindes/poskades/ Poliklinik,B Ruang


sakit pustu
ik praktek swasta p,IMS,TB bersali
n

Pelayanan ANC Poli KIA


1. Anamnesa
2. Pemeriksaan :
 Tinggi berat,badan Kunjungan atenatal
 Ukur tekanan darah,
ukur lingkar lengan
atas
 Ukur tinggi ffundus Penawaran tes HIV dan sifilis
uteri bersamaan dengan pemeriksaan
 Denyut jantung janin
laboratorium rutin lainnya
 Imunisasi TT
 Tablet Fe 90 tablet
 Tes lab: Hb,
Golongan darah,
protein Tidak setuju
setuju
urea,HIV,Sifilis, dll
 Tatalaksana kasus
 Temuwicara dan
konseling Tawarkan kembali pada saat
Rujuk ke laboratorium
3. Tatalaksana kasus kunjungan ulang ANC

Tes HIV dan Sifilis


Tetap menolak

HIV HIV Sifilis Sifilis


positif negatif positif negati Perkenalam KTS
f

Konselin Konselin Konselin Konselin


g setelah g setelah g setelah g setelah
tes tes tes tes

Rujuk ibu hamil Rujuk kepoli  Terapi sifilis


untuk IMS/BP  Anjuran terapi
mendapatkan ARV bagi pasagan

Bagang 2.Alur tes HIV-Sifilis atas inisiatif pemberian pelayanan kesehatan dan
konseling

15
3.2 Pemberian Informasi Sebelum Tes

Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium pada layanan antenatal

terpadu, termasuk tes HIV dan sifilis, petugas kesehatan wajib memberikan

informasi yang meliputi hal-hal berikut-

1. Risiko penularan penyakit-penyakit tertentu, seperti TBC, malaria,

hepatitis, HIV dan sifilis, dari ibu kepada bayinya selama kehamilan,

saat persalinan dan masa menyusui.

2. Keuntungan diagnosis dini penyakit-penyakit tersebut ataupenyakit

lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal pada

kehamilan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan.

3. Layanan yang tersedia dan pengobatan bagi pasien yang hasil tesnya

positif

4. Informasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara rahasia dan tidak

akan diungkapkan tanpa seijin pasien kepada orang lain selain petugas

kesehatan yang terkait langsung dengan perawatan pasien.

5. Pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes laboratorium rutin.

Tes akan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku,

kecuali pasien menggunakan haktolaknya tersebut.Bila menolak, pasien

perlu membuat pernyataan tertulis.

6. Penolakan untuk menjalani pemeriksaan laboratorium, tidak akan

mempengaruhi layanan selanjutnya bagi klien/ibu hamil

7. Kesempatan diberikan kepada pasien untuk mengajkan pertanyaan

kepada petugas kesehatan.

16
3.3 Pengambilan Darah dan Tes HIV

Diagnosis HIV yang asimtomatik menggunakan strategi serial (Gambar

10) untuk daerah dengan prevalensi HIV di bawah 10% Tiga reagen yang

berbeda sensitivitas, spesifisitas dan preparasantigennya digunakan secara

serial, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/2006 tentang

Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi

Oportunistik. Pengambilan darah untuk tes HIV dilakukan sekaligus untuk tes

lainnya dilakukan oleh tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang

terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan atau teknisi laboratorium maka

tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat terlatih) dapat melakukannya. Cara

pengambilan darah seperti biasa, mengikuti prosedur standar.

17
Bagang 3. Alur tes HIV untuk diagnosis dengan "Strategi Tiga Serial"

Keterangan: Yang dimaksud berisiko dalam tabel diatas adalah kelompok

populasi kunci (Pekerja seks, Pengguna Napza Suntik, Lelaki berhubungan

intim dengan lelaki, waria) dan Pasien hepatitis, Ibu Hamil, Pasangan

diskordan, Pasien TB, Pasien IMS, Warga Binaan Pemasyarakatan.

18
Tes diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis.
Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode Rapid Diagnostic Test

(RDT) atau Enzyme Immuno Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau

fraksi protein. Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan virus

menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

3.4 Penyampaian Hasil Tes HIV

Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes lebih dahulu sebelum

disampaikan kepada ibu hamil. Kesesuaian nama pasien perlu diperiksa

kemudian semua hasil pemeriksaan disampaikan, di samping hasil tes

HIV. Maksud dari nilai hasil pemeriksaan dijelaskan, demikian

pulatatalaksana yang akan dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan

tersebut. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam medis; sedangkan

formulir hasil pemeriksaan dapat diberikan kepada pasien, sebagai haknya.

Jika pasien menghendaki, formulir hasil pemeriksaan tersebut dapat

disimpan di fasyankes sebagai lampiran rekam medis pasien.Pasien perlu

diberi kesempatan bertanya tentang hasil pemeriksaan dan tatalaksana

yang hendak dilakukan. Konseling diberikan setelahpasien/ibu hamil

memahami hasil tes dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Bila ada

keraguan, pasien dirujuk.

3.5 Konseling

Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah

diperiksa spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus

dilakukan secara tatap muka individual. Isi konseling pada ibu hamil,

berdasarkan hasil tes, sebagai berikut:

19
 Hasil tes HIV "non-reaktif" atau negatif:

 Penjelasan tentang masa jendela;

 Pencegahan infeksi di kemudian hari;

 Risiko penularan HIV dari ibu ke anak;

 Konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan tes

HIV.

 Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:

 Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan

 Penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau

terapi ARV, kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa didapat;

 Pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan

gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat

besi dan asam folat;

 Rencana pilihan persalinan

 Rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan

pilihannya;

 Konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia

atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);

 Tes HIV bagi bayi

 Tes HIV bagi pasangan;

 Informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA

yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan

ODHA;

 Rujukan bila perlu;

20
 Kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan; iii. Penjelasan mengenai

hasil indeterminate (meragukan): tes perlu diulang dengan spesimen baru

setelah dua minggu, tiga bulan, enam bulan dan setahun. Bila sampai satu

tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat

dinyatakan sebagai “non-reaktif”. Konseling diberikan seperti pada

penjelasan hasil tes non-reaktif dan reaktif. Bila terdapat reaksi psikologis,

misalnya pasien menolak hasil pemeriksaan atau marah yang terkait

dengan diagnosis HIV dan sifilis, maka diperlukan konseling khusus. Pada

keadaan ini, petugas kesehatan lebih baik mendengarkan dan mengarahkan

pencegahan penularan ke bayi serta tidak membuat keputusan untuk

pasien. Bila diperlukan, dapat ditawarkan rujukan untuk konseling kepada

psikolog atau konselor lain.

3.6 Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan

dengan HIV

Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya,

namun pada perempuan dengan HIV, perencanaan kehamilan harus dilakukan

dengan lebih hati-hati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada

bayinya. Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS,

termasuk HIV dan AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus dan benar.

Karena itu kondom harus digunakan oleh semua pasangan, baik yang hanya satu

maupunyang keduanya HIV positif. Kondom tidak melindungi infeksi vano

berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan yang tidak tertutup olehnya. Walaupun

telah menggunakan kondom, perempuan dengan HIV dianjurkan untuk

menggunakan metoda kontrasepsi lain untukpencegahan kehamilan (perlindungan

21
ganda).Kegiatan yang dilakukan meliputi: i) pencegahan dan penundaan

kehamilan pada ibu dengan HIV melalui konseling dan penyediaan sarana

kontrasepsi yang aman dan efektif; dan ii) perencanaan dan persiapan kehamilan

yang tepat, jika ibu ingin hamil.

3.7 Pencegahan dan Penundaan Kehamilan pada Ibu dengan HIV

Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap

perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. kontrasepsi

berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalahsebagai berikut:

1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV

ke bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup,

dipertimbangkan kontrasepsi mantap.

2. Kontrasepsi Pilihan jangka panjang:

a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila

risiko IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya

pemasangan dilakukan segera setelah plasenta lahir, walaupun tidak

tertutup kemungkinan dipasang pada fase interval.Syarat-syarat

pemasangan AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian

khusus bila ada keluhan efek samping, seperti nyeri dan perdarahan.

b. Hormonal: i. Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan

dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang

dapat meningkatkan enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil

KB kombinasi. ii. Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan

dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV

22
menurunkan efektivitas pil progesteron. iii. Suntik progesteron jangka

panjang: DMPA dapat digunakan bagi perempuan dengan HIV yang

diberi ART tanpa kehilangan efektivitas kontrasepsi. Metabolisme

DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan tetap dapat diberikan

dengan interval 12 minggu. Iv Implan progesteron: implan

etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat efektif dan aman pada

perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV.

Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV.

Progesteron mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV.

Namun, sebaiknya tetap diperhatikan pada pengguna polifarmasi

(misalnya perempuan HIV dengan tuberkulosis), karena semua

kontrasepsi homonal dimetabolisme di hati, demikian juga ARV.

Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.

3.8 Perencanaan Kehamilan

Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin

punya anak, maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang.

Persyaratan mencakup aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut:

Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Kadar virus tidak terdeteksi: bila kadar virus dalam darah sudah tidak

terdeteksi, maka kemungkinan penularan HIV dan ibu ke bayi rendah.

2. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3: kadar CD4 yang tinggi

merupakan tanda bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak

untuk hamil. Dengan kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu

23
akan rentan terhadap infeksi sekunder yang akan membahayakan ibu

dan dan janin di masa kehamilannya.

Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini:

1. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan

perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,

persalinan dan aspek pengasuhan anak

2. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran

pengasuhan anak di kemudian hari akihat yang menderita HIV, perlu

keterbatasan orang tua dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar

bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang

tuanya.

Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut:

1. Pemeriksaan kadar CD4 dan kadar virus dalam darah, untuk mengetahui

apakah sudah layak untuk hamil.

2. Bila kadar virus dalam darah tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari

350 sel/mm3, sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada

masa subur.

3. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara

teratur dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan

kondom selama berhubungan intim.

Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:

24
1. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh

sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempua dipastikan layak untuk

hamil

2. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load,

untuk mengetahui risiko penularan.

3. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan

pada masa subur pasangan.

4. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3,

maka sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.

3.9 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV

Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV

diberikan terapi ARV, tanpa harus mengetahui jumlah CD4 dan kadar

virus terlebih dahulu, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi

pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup (Gambar 11).pemeriksaan

CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan bukan sebagai acuan untuk

memulai terapi.
Ibu hamil

HIV non-reaktif HIV reaktif

Mulai terapi ARV tanpa memandang


umur kehamilan, jumlah CD4 dan
stadium klinis

Bagang 4. Alur pemberian ARV pada Ibu Hamil

25
Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

1. Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi

pra-pemberian ARV;

2. Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati

terlebih dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi

oportunistik diobati dan stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua

bulan pengobatan).

3. Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2,3,4 dan atau

CD4<200. Untuk mencegah Pneumocystis Carinii, Pneumonia (PCP),

toksoplasma, infeksi bakteri (pneumonia,diare) dan berguna juga untuk

mencegah malaria pada daerah endemis

4. Pada ibu hamil dengan tuberkulosis: Obat anti tuberkulosis selalu

diberikan mendahului ARV sampai kondisi klinis pasien memungkinkan

(kira-kira dua minggu sampai dua bulan) dengan fungsi hati baik untuk

memulai terapi ARV

Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu

sebagai berikut:

1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap

infeksi HIV.

2. Adherence: kepatuhan minum obat.

3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.

4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.

5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.

26
Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah

terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2NRTI+1 NNRTI). Perlu dihindari

penggunaan "triple nuke"(3 NRT).

Tabel 2. Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil


No Kondisi Rekomendasi pengobatan
1  ODHA hamil, segera  TDF(300mg) + 3TC (300mg)
terapi ARV EFV (600mg)
 ODHA datang pada masa
persalinan dan belum Alternatif
mendapat terapi ARV,  AZT (2x300mg) + 3TC
lakukan tes, bila hasil (2x150mg) NVP(1x200mg,
reaktif berikan ARV setolah 2 minggu 2200mg)
 TDF (1x300mg) +3TC (atau
FTC) (2x150mg)+NVP
(2x200mg)
 .AZT (2x300mg)
+3TC(2X150)+EFV
(1x600mg)

2  ODHA sedang  Lanjutkan dengan ARV yang


menggunakan ARV dan sama selama dan sesudah
kemudian hamil persalinan

3  ODHA hamil dengan  TDF (1x300mg) + 3TC (atau


Hepatitis B yang FTC) (1x300g)+EFV
memerlukan terapi (1x600mg) atau
 TDF (1x300mg) + 3TC (atau
FTC) (2x150mg)+NVP
(2x200mg)

4  ODHA hamil dengan  Bila OAT sudah diberkan,


tuberkulosis aktif maka dilanjukan. Bila belum
diberikan, maka OAT
diberikan terlebih dahulu
sebelum pemberian ARV.
 Rejimen untuk ibu bila OAT
sudah diberkan dan
tuberkulosis telah stabil: TDF
+ 3TC+EFV

Keterangan: AZTIZDV: zidovudin, 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin, NVP:


nevirapin, EFV:efavirens, TDF: tenovofir

27
1. Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap Fixed Dose Combination

(FDC): TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg).

2. Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah

mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat yang

sama seperti saat sebelam hamil

3. Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui ssat kehamilan, segera

diberikan ARV tanpa melihat umur kehamilan berapapun nilai CD4 dan

stadium klinisnya.

4. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera

diberikan ARV. Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan

HIV lainnya. Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6

Tabel 3. Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV

Nama obat Efek samping/efek toksik kontraindikasi


AZT  Anemia (makin  Alergi obat
lama pajanan makin  Hb<7 g/dL
berat, namun  Netropenia (<750
reversibel) sel/mm2)
 Mual, sakit kepaia,  Disfungsi hati dan
mialgia, insomnia  ginjal berat

NVP  Hepatotoksik (perlu  Alergi terhadap


observasi klinis benzodiazepin
dalam 12 minggu  Disfungsi hati
pertama)
 Ruam kulit

TDF  Netroloksik (perlu  Disfungsi ginjal


observasí klinis
selama 6 bulan
pertama)

28
Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV

Tujuan persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko

penularan HIV dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong

(medis/non-medis) dan pasien lainnya. Persalinan melalui bedah sesar berisiko

lebih kecil untuk penularan terhadap bayi, namun menambah risiko lainnya untuk

ibu. Risiko penularan pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup

aman bila ibu mendapat pengobatan ARV selama setidaknya enam bulan dan/atau

viral load kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu ke-36. Tabel 7 menampilkan

keuntungan dan kerugian kedua jenis persalinan.

Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan

Metode persalinan Keuntungan Kerugian

Pervaginam 1. Mudah dilakukan Risiko penularan pada


di sarana kesehatan bayi relatif tinggi 10-
yang terbatas 20%, kecuali ibu telah
2. Masa pemulihan minum ARV teratur ≥6
pasca persalinan bulan atau diketahui
singkat kadar viral load <1000
3. Biaya rendah Kopi/mm pada minggu
ke-36

Seksio sesarea elektif 1. Risiko penularan (2- 1. Lama perawatan bagi


4%) atau dapat ibu lebih panjang.
mengurangi risiko 2. Perlu sarana dan
penularan sampai 50-66% fasilitas pendukung yang
2.Terencana pada minggu lebih memadai
ke-38 3. Risiko komplikasi
selama operasi dan pasca
operasi lebih tinggi
4. Ada risiko komplikasi
anestesi
5. Biaya lebih mahal
.

29
Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan

persalinan yang optimal pada ibu dengan HIV:

1. Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per

vaginam, perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik.

2. Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan

dengan keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam

ataupun melalui seksio sesarea.

3. Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam

maupun seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum

yang berlaku untuk semua persalinan.

Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun

seksio sesarea dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang

mampu tanpa memerlukan alat pelindung diri khusus, selama fasilitas

tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar.

3.9 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV

Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan

perawatan nifas pada ibu nifas normal. Namun terdapat beberapa hal

tambahan yang perlu diperhatikan:

1. Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian

produksi ASI

2. Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan

diberikan, di samping tata laksana infeksi oportunistikterhadap

pengidap HIV/AIDS dan dukungan edukasi nutrisi

30
3. Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi

kehamilan yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin

yang dikandungnya.

4. Edukasi kepada ibu tentang cara membuang bahan yang berpotensi

menularkan infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan

darah.

3.10 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi

Pemberian ARV pada bayi mengikuti Pedoman HIV pada Anak

(2013). Sejak ARV dimulai, diperlukan kepatuhan terhadap aturan

pemberian obat setiap hari, karena ketidakpatuhan merupakan penyebab

utama kegagalan pengobatan.sebelum memulai pemberian ARV, yaitu

persiapan pengasuh bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan

pengobatan. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI

eksklusif maupun susu formula, harus diberi zidovudin sejak hari pertama

(umur 12 jam),Persiapan amat penting dilakukanselama enam minggu.

Dosis zidovudin/AZT:

1. Bayi cukup bulan: 4 mg/kg BB/12 jam selama enam minggu.

2. Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama empat

minggu, kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jamselama dua minggu

3. Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama dua minggu

pertama, kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu

diikuti 4 mg/kg BB/12 jam selama dua minggu

31
Bayi dari ibu dengan HIV

Mulai kotrimoksasol 4-6 mg/kg BB1x/hari pada usia 6


, minggu dan lanjutkan hingga diagnosis HIV disingkirkan

Lanjutkan kotrimoksasol hingga usia


Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu Tidak tersedia
12 bulan; atau hentikan bila
diagnosis HIV
Tersedia dengan cara lain menunjukkan hasil
negatif

Positif Negatif

Tata laksana HIV pada Hentikan kotrimoksasol,


bayi dan anak
kecuali bila mendapat ASI

Bagang 5. Pemberian kontrimoksasol pada bayi dari ibu dengan HIV

Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat

disingkirkan, maka diperlukan pemberian kotrimoksasol profilaksis

sampai usia 12 bulan atau sampai dinyatakan HIV negatifinon-reaktif

(Gambar 12). Keluarga pasien harus diberitahu bahwa kotrimoksazol tidak

mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah infeksi yang

umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV. Profilaksis kotrimoksazol

dapat dihentikan pada bayi yang terpajan HIV sesudah dipastikan TIDAK

tertular HIV (setelah ada hasil laboratorium baik PCR maupun antibodi

pada usia sesuai). Pada anak umur 1 sampai 5 tahun yang terinfeksi HIV,

cotrimoksazol profilaksis dihentikan jika CD4>25%

32
3.11 Diagnosis HIV pada Bayi

Mulai kehamilan trimester ketiga, antibodi dari ibu (termasuk

antibodi terhadap HIV) ditransfer secara pasif kepada janin, dan dapat

terdeteksi sampai anak berumur 18 bulan. Oleh karena itu, pemeriksaan

serologis HIV pada anak kurang dari 18 bulan dapat menunjukkan hasil

reaktif, walaupun anak tersebut tidak terinfeksi HIV. Diagnosis HIV pada

bayi dan anak dapat menggunakan uji virologi dan serologi:

1. Uji Virologi

Uji virologi digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik yang

biasanya dilakukan setelah bayi berumur enam minggu dan dianjurkan

untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan:

a. Uji virologi yang dianjurkan: PCR DNA pada sampel darah lengkap

(whole blood) atau DBS, PCR HIV RNA (viral load) pada plasma.

b. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa

dengan uji virologi pada umur 4-6 minggu atau sesegera mungkin.

c. Pada bayi dengan pemeriksaan virologi pertama yang hasilnya positif,

maka terapi ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan

pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologi kedua.

Hasil pemeriksaan virologi kedua harus segera diberikan kepada tempat

pelayanan, maksimal dalam empat minggu kemudian. Hasil positif harus

segera dikuti dengan di mulainya terapi ARV.

33
2. Uji Serologi

Uji serologi pada anak umur kurang dari 18 bulan digunakan sebagai uji

untuk menentukan adanya paparan/pajanan HIV selama kehamilan dan

persalinan, sedangkan pada anak umur lebih dari 18bulan digunakan

sebagai uji diagnostik:

a. Anak umur kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan

belum diuji virologi, dianjurkan untuk diuji serologi pada umur sembilan

bulan. Bila hasilnya positif, maka harus segera diikuti uji virologi untuk

identifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologi positif

dan uji virologi belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat

dan uji serologi ulang pada usia 18 bulan.

b. Anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala infeksi HIV, uji serologi

harus dilakukan dan jika positif diikuti uji virologi.

c. Anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh

infeksi HIV, namun uji virologi tidak dapat dilakukan, maka diagnosis

ditegakkan dengan menggunakan algoritme diagnosis presumtif.

d. Pada anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur

diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI

e. Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV

pada orang dewasa. Perhatian khusus diberikan untuk anak yang masih

mendapat ASI pada usia ini, karena tes HIV baru dapat ditafsirkan dengan

baik bila ASI sudah dihentikan selama lebih dari enam minggu. Pada usia

lebih dari 18 bulan, ASI bukan lagi sumber nutrisi utama, oleh karena itu

34
cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan

tindakan untuk diagnosis HIV.

Adapun syarat untuk pengujian virologi dan serologi pada bayi,yaitu:

 Uji virologi dianjurkan untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18

bulan, yang biasanya dimulai setelah bayiberumur enam minggu.

 Uji serologi pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakansebagai uji

diagnostik.

 Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV

pada orang dewasa.

3.12 Pelayanan Imunisasi

Prinsip umum semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk

memberikan vaksin hidup (BCG, polio oral, campak). kecuali bila terdapat gejala

klinis infeksi HIV. Jadwal pemberian imunisasi mengikuti buku KIA terbaru.

Tidak boleh ada pelabelan HIV, namun kewaspadaan standar tetap dilakukan.

Tabel 8 merangkum jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu HIV

positif.

3.13 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu dengan HIV

Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-nya

sebagai berikut:

1. Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko penularanHIV

diberikan sejak sebelum persalinan.

35
2. Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga

setelahmendapat informasi dan konseling secara lengkap. Pilihan apapun

yang diambil seorang ibu haruslah didukung.

3. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja

(bukan mixed feeding).

Tabel 5. Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV

36
1. Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula,

karena memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya penularan virus HIV

kepada bayi dibandingkan metode lainnya. Hal ini karena susu formula

adalah benda asing yang dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding

usus dan mempermudah masuknya virus HIV yang ada dalam ASI ke

aliran darah bayi.

2. Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV

negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika SELURUH syarat AFASS

(Affordable/terjangkau, Feasible/mampu laksana, Acceptable/dapat

diterima, Sustainable/berkesinambungan dan Safe/aman) dapat dipenuhi.

Pemenuhan syarat AFASS ditandai dengan adanya: i) rumah tangga dan

masyarakat yang memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang

baik; ii) ibu atau keluarganya sepenuhnya mampu menyediakan susu

formula dalam jumlah cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak; iii)

ibu atau keluarganya menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan

frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan

malnutrisi; iv) ibu atau keluarganya dapat memenuhi kebutuhan susu

formula secara terus-menerus sampai bayi berusia 6 bulan; v) keluarga

mampu memberikan dukungan dalam proses pemberian susu formula yang

baik; dan vi) ibu atau keluarganya dapat mengakses pelayanan kesehatan

yang komprehensif bagi bayinya.

3. Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula dapat

diberikan dengan cara penyiapan yang baik. Diberkembang, syarat tersebut

37
sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan pemberian ASI, yang cukup

aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.

4. Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5 terpenuhi)

bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan

terhenti secara berangsur. Sementara menunggu terhentinya produksi ASI,

untuk menghindari terjadinya mastitis pada payudara ibu, ASI diperah

dengan frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI

berhenti. ASI perah tersebut tidak diberikan kepada bayi.

5. Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-syarat pada Butir

5 belum dapat terpenuhi maka ASI tetap dapat diberikan dengan cara

diperah dan dipanaskan (heat-treated) dan diberikan dengan menggunakan

gelas kaca atau gelas/botol plastik No 5 (PP/Polypropilen), sementara bayi

mulai mendapat makanan pendamping seperti biasa. Pada usia 12 bulan

ASI harus dihentikan dan makanan keluarga diberikan sebagai sumber

nutrisi utama.

Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat dianjurkan untuk memberikan

ASI eksklusif sampai bayi berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi

diberikan makanan pendamping ASI dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak

berumur dua tahun.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu

dan Anak Pedoman pelaksanaan pencegahan nenularan HIV Dan sifilis dari ibu ke

anak bagi tenaga kesehatan Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. 2014

39

Anda mungkin juga menyukai