Abstrak
Peningkatan daya saing produk domestik (yang menjadi harga mati untuk tidak
tergilas oleh derasnya arus masuk produk-produk China ke Indonesia) harus dilakukan, selain
itu kita juga harus memaksimalkan pengelolaan Intellectual Capital (IC) yang dimiliki oleh
masing-masing perusahaan. Strategi ini mutlak diperlukan karena ACFTA ini merupakan
pertanda dari munculnya era baru dalam ekonomi, dari old economy kepada new economy.
Dalam old economy, kesejahteraan diciptakan melalui peningkatan unit produk dan sistem
pengukurannya berdasarkan pada pendapatan (revenue), kos (cost), dan laba (profit).
Sedangkan dalam new economy, kesejahteraan diciptakan melalui peningkatan incorporated
value added dari produk dan jasa.
Setiap perusahaan memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai dan solusi yang unik
yang dapat ditransformasikan ke dalam nilai di pasar. Jika pengelolaan sumberdaya tak
berwujud (intangible resources) dapat membantu meraih keunggulan kompetitif, maka
peningkatan produktivitas dan nilai pasar (market value) bukan lagi sebuah pilihan, tetapi
adalah sebuah kepastian (Pulic and Kolakovic, 2003). Hal inilah yang disebut sebagai
intellectual capital, yang menjadi kunci bagi perusahaan untuk memanangi kompetisi dalam
ACFTA.
IC adalah suatu istilah yang diberikan kepada kombinasi aktiva tidak berwujud dari
pasar (intangible assets of market), intellectual property, human-centred dan infrastruktur
yang memungkinkan perusahaan untuk bisa berfungsi (Brooking, 1996). IC umumnya
diidentifikasikan sebagai perbedaan antara nilai pasar perusahaan (bisnis perusahaan) dan
nilai buku dari aset perusahaan tersebut atau dari financial capitalnya. Hal ini berdasarkan
suatu observasi bahwa sejak akhir 1980-an, nilai pasar dari bisnis kebanyakan dan secara
khusus adalah bisnis yang berdasar pengetahuan telah menjadi lebih besar dari nilai yang
dilaporkan dalam laporan keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh akuntan
(Roslender & Fincham, 2004).
PENDAHULUAN
Tahun 2010 lalu diwarnai situasi yang menegangkan dalam kiprah perdagangan Indonesia.
Bagaimana tidak, pasca pemerintah meratifikasi Asean-Cina Free Trade Area (ACFTA) yang
mulai berlaku implementatif sejak awal tahun 2010 lalu, pasar domestik Indonesia mulai
didera oleh kompetisi yang sangat sengit dengan Cina. Siap atau tidak siap, kita tidak lagi
mempunyai pilihan dalam menghadapi situasi perdagangan internasional. Tuntutan
munculnya suatu mekanisme perdagangan yang borderless, telah memicu lahirnya berbagai
kesepakatan yang membebaskan keluar masuknya barang dan jasa dari berbagai Negara
seperti halnya barang dan jasa dari Cina. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
kemudian ACFTA ini menimbulkan polarisasi opini publik yang pecah dalam dua kubu yakni
pro dan kontra dalam menanggapi ratifikasi ACFTA oleh pemerintah.. Kalangan yang kontra
menilai bahwa kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini merupakan ajang bunuh
diri, karena kapabilitas pasar domestik yang masih tertinggal jauh di belakang Cina. Argumen
yang diberikan rata-rata berkisar pada anggapan bahwa industri kita, terutama industri kecil
dan menengah, belum siap dan tidak akan mampu bersaing dalam menghadapi derasnya arus
masuk produk-produk China ke Indonesia Namun sebagian publik lain yang pro terhadap
produk kebijakan ini beragumen bahwa sebenarnya kebijakan ini merupakan langkah
strategis yang harus didukung. Karena kebijakan ini mengindikasikan komitmen Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II untuk menyukseskan proses debottlenecking arus ekspor barang
Indonesia ke pasar Cina. Sehingga sirkulasi produk Indonesia dalam kuantitas yang lebih
masif dapat lebih ekspansif ke pasar Cina, yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya
neraca perdagangan Indonesia. Selain itu, tidak sedikit yang dengan penuh optimisme
menyambut era ACFTA. ACFTA ditempatkan sebagai sebuah peluang besar untuk
mengembangkan diri dan meningkatkan efisiensi produksi. Tentu saja dengan setumpuk
argumentasi untuk meyakinkan diri bahwa perusahaan dan industri kita dapat memetik
keuntungan dari ACFTA. Salah satunya (menurut saya) adalah karena kita memahami betul
karakter konsumen kita, dan apa yang mereka butuhkan. Kekayaan kita atas informasi
tentang konsumen, jaringan distribusi untuk menjangkaunya, dan sebagainya adalah
merupakan sumberdaya yang luar biasa akan memberikan dampak positif kepada organisasi
ketika dikelola secara efektif. Kekayaan tersebut, yang merupakan intangible resources
adalah bagian penting dari intellectual capital yang diyakini merupakan driver bagi
penciptaan nilai (value creation) bagi perusahaan.
Namun sayangnya fakta yang terjadi malah sebaliknya. Karena kurang kompetitifnya
produk Indonesia dalam spektrum pertarungan kualitas, kuantitas, maupun harga, akhirnya
secara otomatis menyebabkan fenomena superioritas produk Cina di pasar domesik. Kuota
produk Cina dalam kuantitas super masif telah berhasil membanjiri pasar domestik Indonesia.
Bahkan lebih jauh, realita pasar membuktikan bahwa bagi konsumen lokal: produk Cina jauh
lebih “magnetis” dibanding produk lokal dimana harga produk Cina yang jauh lebih murah
telah menarik perhatian konsumen lokal yang notabene-nya memiliki daya beli rendah.
Sehingga konsumen lokal berbondong-bondong mengkonsumsi produk Cina. Jadi intinya,
produk Cina tidak hanya telah berhasil membanjiri pasar domestik secara territorial tetapi
juga telah berhasil merampas pangsa pasar domestik.
Indonesia juga menyadari kehadiran China sebagai great power yang memiliki
pengaruh yang sangat kuat di kawasan Asia Timur. Indonesia mau tidak mau akan berusaha
menerapkan berbagai strategi untuk merespon hegemoni China di kawasan Asia Timur.
Sebagai negara great power, China memiliki empat tujuan dasar yang ingin dicapai
(Mearsheimer,2001). Pertama, menjadi dan mempertahankan keberadaanya sebagai hegemon
di kawasan. China secara perlahan telah memperluas jangkauan pengaruhnya di kawasan,
baik secara militer maupun politik. Kedua, China sebagai great power memiliki tujuan untuk
memaksimalkan kekayaannya. Ketiga, mendominasi perimbangan kekuatan sekaligus
memaksimalkan kekuatan militernya di darat, laut dan udara. Tujuan ini dapat dilihat dari
jumlah anggaran pertahanannya yang besar dan mulai menggeser kekuatan lain di kawasan.
Keempat, superioritas nuklir yang ingin dimiliki untuk memastikan keunggulannya dari great
power lainnya.
Indonesia memiliki landasan visi dalam melakukan hubungan luar negeri. Visi ini
tercantum dalam UUD 45 sebagai landasan konstitusional dan UU No. 37 tentang Hubungan
Luar Negeri sebagai landasan operasional. Prinsip bebas aktif menjadi landasan prinsipil dari
kebijakan luar negeri. Untuk menyesuaikan dan bertahan dalam pergeseran konstelasi politik
internasional, Indonesia membutuhkan inovasi kebijakan luar negeri bebas aktif untuk
mengantisipasi kehadiran China sebagai hegemoni. Inovasi yang berupa cara-cara kreatif,
luwes, dan berpandangan ke depan dalam mengantisipasi hegemoni Cina. Inovasi yang
berbeda dari biasanya yang menghadirkan terobosan-terobosan baru.
Alternatif strategi yang baik untuk dikedepankan adalah dengan menciptakan proses
distribusi ide yang seimbang. Suatu proses yang melibatkan Indonesia, Cina dan negara-
negara lain dalam suatu wadah untuk membangun saling kesepahaman dalam mengatasi
tantangan global saat ini. Proses distribusi ide yang seimbang dapat meminimalisir praduga-
praduga yang keliru mengenai kebangkitan Cina. Proses ini dapat dilakukan secara aktif
melalui ASEAN dan berbagai konferensi tingkat tinggi lainnya dimana Indonesia memainkan
peran sentral di dalamnya. Usaha membangun saling kesepahaman antara Indonesia dan Cina
serta negara-negara lain di kawasan dapat membangun hubungan internasional yang solid dan
harmonis antar negara.
Kehadiran Cina sebagai great power di kawasan Asia Timur perlu dihadapi dengan
inovasi kebijakan luar negeri Indonesia. Inovasi yang dapat mengarahkan dan memanfaatkan
kekuatan Cina ke dalam wadah yang bermanfaat demi kepentingan nasional Indonesia.
Inovasi yang juga dapat memberikan stabilitas dan mendorong kesejahteraan kawasan.
Inovasi ini juga diharapkan dapat mendorong Cina sebagai great power yang menyadari
peran dan tanggung jawabnya untuk mewujudkan perkembangan positif dan perdamaian di
kawasan Asia.
1. Sejauh mana respon pemerintah dan pengusaha lokal dalam menanggapi “hegemoni
produk Cina di pasar lokal” pasca ratifikasi ACFTA?
2. Apa saja faktor yang menghambat perkembangan produk lokal sehingga kalah saing
dengan produk Cina?
3. Apa rekomendasi solutif untuk membuat Indonesia bisa “survive” dalam arena
pertarungan dengan Cina tersebut?
2. Untuk menganalisa dan memaparkan mengenai apa saja yang dilakukan pemerintah
Indonesia untuk melawan hegemoni produk Cina di pasar domestik pasca ratifikasi
ACFTA.
2. Sebagai referensi dan bahan kajian tambahan bagi pihak lain yang tertarik untuk
mempelajari maupun mengetahui lebih jauh mengenai penerapan ACFTA di
Indonesia khususnya dampak hegemoni produk Cina di pangsa pasar Indonesia
serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk siap bersaing di era
ACFTA.
Kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat dalam pembuatan
tugas akhir guna menempuh sidang sarjana strata satu (S1) pada jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
1. Konsep “Variabel Sistemile” dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri yaitu untuk
menganalis alasan di balik kebijakan Indonesia dalam meratifikasi ACFTA walaupun
tanpa disertai oleh kesiapan pasar domestik tersebut-variabel yang paling relevan
adalah Variabel Sistemile yang diadopsi dari pemikiran James N. Rosenau dan
disempurnakan oleh Holsti. Konsep ini menyebutkan bahwa: “kebijakan suatu negara
juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang merujuk pada situasi politik-ekonomi
internasional”. Seperti diketahui bahwa fenomena integrasi pasar kini telah melanda
seluruh dunia (adanya Uni Eropa, NAFTA, dll) maka sebagai negara yang berdaulat
pasar bebas, dimulai dengan Cina karena Cina kini merupakan “The Emerging
Power” di Asia.
2. Ratifikasi
b. Variabel dependen:
Hubungan Internasional bertkaitan erat dengan aktivitas manusia baik secara individu
maupun kelompok dari suatu negara yang berinteraksi secara resmi maupun tidak resmi
dengan individu atau kelompok lainnya yang melintasi batas-batas wilayah negara.
Hubungan internasional mempunyai cakupan diberbagai bidang kehidupan masyarakat
internasional. Salah satunya adalah kerjasama dibidang ekonomi. Kerjasama ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara dalam kehidupan masyarakat global.
Hubungan antar negara dibidang ekonomi ini disebut hubungan ekonomi internasional.
Penelitian ini menggunakan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) sebagai suatu
bentuk perjanjian perdagangan bebas antara kawasan Asia tenggara dengan negara
Cina yang berupaya untuk menjalin kerjasama di bidang ekonomi antara negara-
negara Asia Tenggara dengan Cina, termasuk Indonesia. ASEAN-Cina Free Trade
Area (ACFTA) terdiri dari indikator-indikator sebagai berikut:
a. Peluang (opportunities)
b. Ancaman (threat)
Penelitian ini menggunakan dampak hegemoni produk Cina bagi pangsa pasar
Indonesia sebagai faktor utama yang diperhatikan pemerintah pasca ratifikasi ACFTA di
Indonesia. Dampak hegemoni produk Cina di Indonesia akan menjelaskan bahwa pasca
ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), produk Cina semakin menguasai pasar
domestik dengan kata lain lambat laun akan menggeser produk dalam negeri di pasaran.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang tantangan dan peluang ekonomi yang dihadapi Indonesia
pasca ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).
Bab ini berisikan analisis tentang dampak hegemoni produk Cina bagi pasar domestik.
Bab ini berisikan kesimpulan berupa uraian secara singkat mengenai permasalahan
yang diteliti dan saran yang peneliti ajukan untuk melengkapi hasil penelitian.
Pembahasan
Menurut peta perdagangan dunia, ACFTA saat ini merupakan salah satu blok
perdagangan terbesar di dunia. Dengan didukung jumlah akumulatif penduduk ASEAN plus
Cina yang mencapai 1,9 milyar jiwa, ACFTA pantas dinobatkan sebagai blok perdagangan
dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Apalagi dilihat dari sisi volume perdagangan,
nilai perdagangan ACFTA yang mencapai 200 milyar dollar AS, membuat blok perdagangan
ini pantas dianugerahi kategori sebagai blok perdagangan terbesar ke-3 setelah Uni Eropa dan
NAFTA. Data ini mengindikasikan bahwa pasar ACFTA adalah blok perdagangan yang
sangat potensial dan prosfektif. Sehingga kemudian, data itulah yang menstimulasi para
kepala Negara ASEAN dan RRC untuk meratifikasi ACFTA pada tanggal 4 November 2002
yaitu dengan ditandatanginya Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja.
Esensialnya, dalam formulasi tujuan blok perdagangan ini, tercantumlah 4 poin elementer
yang menjadi landasan utama tujuan kerjasama negara-negara anggota ACFTA ini. Ke-4 poin
tersebut terdiri dari:
2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta
menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi
3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan
yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif bagi para anggota ASEAN baru
(Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan
pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota. Namun tak diduga akhirnya
ACFTA malah menyebabkan Indonesia terjerat dalam tentakel Cina.
Menyadari implikasi negatif tersebut, publik domestik pun bergolak, lahirlah aksi-aksi
demonstrasi menentang ACFTA – yang marak terjadi di awal hingga pertengahan tahun
2010. Tema utama yang diangkat adalah “bahwa pelaku bisnis Indonesia, yang mayoritas
UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) belum siap bertarung dengan Cina”. Keterlibatan
Indonesia dalam ACFTA ini diyakini sebagai sebuah ajang bunuh diri bagi pasar domestik,
karena banyak pihak meragukan kapabilitas pelaku bisnis domestik untuk memenangkan
pertarungan melawan Cina tersebut. Tanpa ACFTA saja, produk Cina, baik legal maupun
selundupan, telah membanjiri pasar Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-Cina terbukti
defisit sejak tahun 2008. Ekspor Indonesia ke Cina sebesar US$11,6 milyar, sedangkan impor
dari Cina ke Indonesia mencapai US$ 15,2 milyar pada tahun 2008. Data Januari hingga
September 2009, defisit perdagangan Indonesia-Cina mencapai US$1,7 milyar karena ekspor
Indonesia lebih rendah daripada impor dari Cina. Ini hanya sekelumit bukti otentik bahwa
produk Indonesia terpuruk menghadapi serbuan produk Cina dengan harga murah dan jumlah
yang jauh lebih banyak.
Lebih parah lagi, jauh sebelum tahun 2010, Artikel 6 Perjanjian ACFTA
mencantumkan program penurunan tariff yang disebut Early Harvest Programme (EHP).
Program ini bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan bea masuk barang.
Cakupan produk yang masuk dalam EHP adalah:
• Chapter 01 s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-
buahan (SK Menkeu No 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA).
• Kesepakatan Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO, Coklat,
Barang dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004 tanggal 21 juli 2004
Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral
Indonesia-China FTA).
Program tersebut telah berlaku implementatif terhitung sejak 1 Januari 2004, hal ini
berarti jauh sebelum ACFTA efektif diberlakukan awal tahun 2010 lalu. Sayangnya, sebelum
meliberalisasi pasar domestik, pemerintah tidak sempat mengidentifikasi seberapa jauh
kesiapan sektor riil, UMKM, ekspor, dan industri domestik. Dengan sangat gegabah mereka
meratifikasi perjanjian ACFTA.
Kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini terlihat bagaikan keputusan yang
sangat prematur tanpa disertai kesiapan untuk menanggung konsekwensinya. Sehingga
akhirnya pasar domestik seolah menjadi “gudang” barang Cina. Namun semuanya sudah
terlanjur terjadi, perjanjian ACFTA tak mungkin lagi dapat diabrogasi. Namun sepanjang
tahun 2010, jika disoroti lebih dalam, pemerintah belum dapat sempat memformulasikan
kebijakan yang dapat mengeliminasi dampak negatif tersebut secara signifikan. Oleh karena
itu, pemerintah kini masih memiliki banyak 'pekerjaan rumah' yang berkaitan dengan export
chain di tahun 2011 ini.
Dari analisis di lapangan, sepanjang tahun 2010, lemahnya daya saing produk ekspor
Indonesia ternyata disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan “ekonomi biaya
tinggi” yang belum diatasi oleh pemeintah, yaitu:
1. Biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini masih
ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan.
2. Biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor. Pungli masih
ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di
pusat maupun daerah. Pemerintah belum secara signifikan berhasil mengurangi
sumber-sumber ekonomi biaya tinggi ini.
3. Rendahnya lokal konten dalam proses produksi industri domestic. Karena pengusaha
domestik masih bergantung pada penggunaan bahan baku impor yang berkisar antara
28-90 persen.
4. Masih lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri domestik masih
banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”, di samping juga permasalahan
rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum terintegrasinya UMKM dalam
satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim
persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi
mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan
Sumatra.
Kesimpulan
Disamping itu, ACFTA ini merupakan suatu ajang “uji kapabilitas”, sebelum
nantinya Indonesia berkompetisi di arena “ASEAN ECONOMY COMMUNITY” (AEC)
2015. Indonesia harus menempa diri untuk berlaga di arena pertarungan ACFTA, agar
nantinya ketika menghadapi AEC 2015, Indonesia tidak gugup karena telah tertempa
dengan baik. Liberalisasi pasar merupakan sebuah fenomena yang tak dapat terelakkan
lagi. Sepertinya fenomena ini merupakan konsekwensi dari episode globalisasi, daripada
terus mengkritik fenomena ini, lebih baik Indonesia segera berkomitmen untuk
meningkatkan kompetensi, kapabilitas, dan daya saing sebagai strategi untuk dapat
survive dan diperhitungkan di arena kompetisi regional maupun global. Selain itu,
optimalisasi Intellectual Capital untuk dapat bersaing di era ACFTA juga harus
dilakukan dengan menempatkan ACFTA sebagai peluang untuk meraih kesempatan
bisnis secara lebih luas, bukan hanya memenangi persaingan di dalam negeri, tetapi juga
untuk bisa menguasai pasar China. Optimisme ini harus dibangun, karenanIndonesia tidak
memiliki alternatif untuk tidak optimis. Ada beberapa hal yang dapat dielaborasi untuk
bisa bersaing di era ACFTA dengan memaksimalkan pengelolaan intellectual capital
diantaranya yaitu: