Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lainyya.
Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelamatkan dunia yang
terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisi yang
belum diketahui bagaimana cara mengatasinya.
Tidak mudah membahas karakterisitik ajaran islam, karena ruang lingkupnya sangat luas,
mencakup berbagai aspek kehidupan umat islam. Untuk mengkaji secara rinci semua karakteristik
ajaran islam perlu di telusuri, mulai dari risalah Allah terakhir dan menjadi agama yang di ridhoi
Allah, untuk dunia dan seluruh umat manusia sampai datangya hari kiamat.
Karakteristik yang dimiliki islam, yakni karakteristik ilmu dan kebudayaan, pendidikan,
social, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, dan disiplin ilmu. Karakteristik ajaran islam adalah
suatu karakter yang harus dimiliki oleh umat muslim dengan bersandarkan Al-Qur’an dan Hadist
dalam berbagai bidang ilmu, kebudayaan, pendidikan, sosial,  ekonomi, kesehatan, politik,
pekerjaan, disiplin ilmu, dan berbagai macam ilmu khusus. Karakteristik ini banyak terdapat di
dalam sumber-sumber ajaran Al-Quran dan Al-Hadits. Maka dari itu kedua sumber ini telah
menjadi pedoman hidup bagi setiap umat Islam sekaligus menjadi sumber dari pembuatan makalah
ini. Aspek-aspek sumber kehidupan ini diberi karakter tersendiri dalam berbagai ilmu pengetahuan,
ekonomi, social, politik, pekerjaan, kesehatan, dan disiplin ilmu untuk sepanjang masa.

1.2   RUMUSAN MASALAH
1 Bagaimana Islam dan wacana pembaharuan?
2 Bagaimana hubungan antara Islam dan kemanusiaan, manusia, allah dan khalifatullah?
3 Bagaimana hubungan antara Islam dan moralitas?
4 Bagaimana hubungan anatara Islam, keluarga dan masyarakat?
5 Bagaimana hubungan antara Islam dan politik ekonomi?
6 Bagaimana hubungan antara Islam dan agama lain?

1.3 TUJUAN MASALAH


1. Untuk mengetahui Islam dan wacana pembaharuan
2. Untuk mengetahui hubungan antara Islam dan kemanusiaan, manusia, allah dan khalifatullah
3. Untuk mengetahui hubungan antara Islam dan moralitas
4. Untuk mengetahui hubungan anatara Islam, keluarga dan masyarakat
5. Untuk mengetahui hubungan antara Islam dan politik ekonomi
6. Untuk mengetahui hubungan antara Islam dan agama lain

BAB II
PEMBAHASAN

1
2.1 Islam dan Wacana Pembaharuan
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan
perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi modern. Dengan
demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-
Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan
perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan
para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh
kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa
sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah
banyak yang tidak sesuai lagi.
Dalam kaitannya dengan itulah, Harun Nasution [1], mendefinisikan pembaharuan Islam sebagai
“pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan teknologi modern”. Dengan pengertian itu tampaknya
Nasution mengidentik  pembaharuan Islam dengan modernitas Islam. Kata “modern” berasal dari kata
latin modo, yang berarti “masa kini” atau “mutakhir” [2]. Dari pengertian modern demikian definisi
yang dikemukakan Nasution juga mengandung arti Islam harus mampu menjawab tantangan yang
diakibatkan oleh perkembangan zaman.
2.1.1 Landasan Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan dalam Islam merupakan keharusan bagi suatu upaya aktualisasi dan
kontekstualisasi  Islam. Maka, berkaitan dengan hal ini  persoalan yang perlu dijawab adalah hal-
hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan
pembaruan Islam (tajdid). Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya
pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan historis.
a. Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman
sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya
berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam)[3]. Selanjutnya masih menurut Achmad Jainuri
bahwa landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu: Pertama,
keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme Islam). Sebagai agama
universal, Islam memiliki misi rahmah lil al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau finalitas
fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah.

[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, h. 11-12
[2] David B.Guralnik, Websters New World Dictionary of the American Language, (New York: Warners Book, 1987), h. 387
[3] Jainuri, Ahmad, Landasan Teologis Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI. Tahun 1995, Hal. 38

Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir
jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti paska Islam sudah tidak ada lagi
agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang
dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan
mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya[4]. Al-Qur’an adalah kitab yang
2
lengkap, sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan
dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw
sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang pun
Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Muhammad diyakini sebagai
risalah yang lengkap dan sempurna.
a. Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari
teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan
pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi
keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang
kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah
apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah
menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah
sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-
kekuatan pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat
melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
b. Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih
terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan dipatuhi
tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”.
Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar
luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam
itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir,
filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna
diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil
mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII
M, di masa inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam
bidang agama maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim
dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang
kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
[4] Lihat, Maulana Muhammad Ali, The Religion Of Islam, Cairo: The Arab Writer Publisher & Printers, t.t, Hal. 3

2.1.2 Faktor penyebab kemunduran umat islam:


Isu pintu ijtihad tertutup telah meluas dikalangan umat islam. Berpaling pikiran untuk
menggali secara langsung pada sumber  pertama dan utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Apabila mereka menemukan persoalan baru, pikiran mereka hanya terpusat pada kepentingan
mazhab. Praktek bermazhab dan ta’assuk terhadap mazhab tertentu sangat marak dilakukan.
Karena itulah ilmu pengetahuan mulai berkurang, kehidupan berkelompok dengan pengaruh
negatifnya tersebar hampir disemua tempat di dunia islam.

3
Keutuhan umat islam dalam bidang politik mulai terpecah, kekuasaan khalifah menurun,
masyarakat islam yang berbentuk persatuan dan kesatuan dalam seiman telah pindah. Tidak ada
satu ikatan di dalamnya kecuali nama dan tatanan. Umat Islam terpecah belah dan saling
bermusuhan, masyarakat islam berubah dan kerajaan islam telah mewariskan kota-kota dan
kerajaan yang telah bertikai selama berabad-abad, dalam sekejap mata sejarah kemanusiaan
telah dirobek-robek oleh kelemahan strategi politik.
Adanya perang salib dibawah arahan gereja katolik Roma dan serbuan tentara barbar.
Karena itu khalifah sebagai lambang kesatuan politik umat islam hilang. Tentara salib ingin
menguasai baitul maqdis untuk menyebarkan pengaruhnya dan mengajak bersatu dalam
keyakinan. Masa kemunduran ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga muncul gerakan
yang dikumandangkan oleh pelopor-pelopor pembaharuan seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad
Ibnu ‘Abdul Wahab, dan lain-lain.

2.2. Islam dan kemanusiaan, manusia, Allah dan khalifatullah


Dalam berbagai literatur yang membahas mengenai kedudukan manusia dalam alam semesta ini
selalu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan manusia di muka bumi dan konsep ibadah. Quraish
Shihab dalam bukunnya Membumikan Al-Qur’an, misalnya telah membahas masalah kekhalifahan ini.
Menurut hasil penelitiannya, bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat kata khalifah ini. Menurut hasil
penelitiannya, bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat kata khalifah dalam bentuk tunggal sebanyak dua
kali, yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan shad ayat 26; dan dapat bentuk plural (jamak),
yaitu  khala’if  dan khulafa’ yang masing-masing diulang sebanyak empat tiga kali. Qs.al-An’am,
6:165; Yunus, 10:14, 73; Fathir, 35:39; al-‘Araf, 7:69, 74 dan al-Naml, 27:62.
Keseluruhan kata tersebut menurutnya berakar dengan kata Khulafa yang mulannya berarti di
belakang. Dari sini, kata khalifah sering kali diartikan sebagai pengganti (karena yang menggantikan
selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).
Dalam uraian selanjutnya Quraish Shihab menguraikan segi penggunaan istilah-istilah tersebut.
Dengan mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur’an Quraish Shihab berpendapat bahwa kekhalifahan yang
telah dianugerahkan bertalian dengan kekuasaan mengolah wilayah tertentu. Hal ini di perolahnya
berkat anugrah ilahi yang mengajarkan kepada al-hikmah dan pengetahuan. istilah kekhalifahan yang
dikaitkan dengan upaya Tuhan yang mengajarkan al-Hikmah dan ilmu pengetahuan sebagaimana
disebutkan itu memberikan petunjuk yang jelas tentang adannya kaitan yang erat antara pelaksanaan
fungsi kekhalifahan dengan pendidikan dan pengajaran. Selanjutnnya menurut Quraish Shihab makna
pengolahan wilayah tertentu atau berkaitan dengan politik yang menggunakan bentuk khulafa sehingga
pada akhirnya kita berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai Al-
Qur’an Khalaif, tanpa menggunakan bentuk tunggal kata khalifah.
Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan umum adalah manusia sebagai khalifah di
muka bumi karena dalam istilah khala’if sudah terkandung dalam istilah khalifah dan berfungsi
menggantikan orang lain dan menempati kedudukannya dalam kepemimpinan atau kekuasaan seperti
yang telah di tegaskan dalam arti ayat-ayat di  bawah ini:
         
            
4
“ dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS.al-An’am, 6:165)”.

             
           
 
“ Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka
(akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain
hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (Qs.Fathir,35:39).

Kedudukan lainnya manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar adalah sebagai
hamba yang harus beribadah kepada Allah. Hal ini biasannya di dasarkan para petunjuk ayat yang
artinnya:
      
“danaku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs.al-
Dzariyyat,51;56)

Pengertian ibadah dalam ayat ini adalah merupakan pengembangan fitrah itu setinggi-tingginya,
oleh aliran kemanusiaan disebut perwujudan diri (Self actualization). Penjelasan ini erat dengan
kaitannya pelaksanaan fungsi kekhalifahan sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan ungkapan lain
bahwa pelaksanaan ibadah itu pada hakikatnnya adalah dalam rangka melaksanakan fungsi
kekhalifahan sebagaimana telah di sebutkan di atas.
Jika pengertian ibadah ini di hubungkan dengan pengertian khalifah sebagaimana diuraikan
sebelumnnya dapat di peroleh pemahaman yaitu bahwa khalifah adalah pengganti yang memegang
kepemimpina dan kekuasaan yang ada.
Sebagai seorang pemimpin dan penguasa, ia mempunyai wewenang untuk menentukan pilihan
dan bebas untuk menggunakan akalnnya, sedangakan ‘abd adalah seorang yang telah kehilangan
wewenang untuk menentukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat. Esensi seorang khalifah
adalah kebebasan dan kreatiitas, sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
2.2.1 Tugas Manusia Di Dunia
Di dalam Al-Quran, ada tiga hal utama yang menjadi tugas manusia diantaranya:
a. Menjadi khalifah Allah
Sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha besar
maka manusia sebagai wakil Nya di muka bumi diberi tangung jawab pengelolaan alam
semesta untuk kesejahteraan ummat manusia, karena alam semesta memang diciptakan
Tuhan untuk manusia.
b. Menyembah Allah
Sebagai hamba Alah, manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan, oleh karena itu
tugasnya hanya menyembah kepada Nya dan berpasrah diri kepada Nya. Allah tidak
menciptakan manusia kecuali untuk mengabdi kepadanya. Mengabdi dalam bentuk apa?
5
Ibadah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya seperti tercantum dalam
Al-Qur’an. Seperti  dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: ”Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Allah
dalam menjalankan agama yang lurus,dan supaya mereka mendirikan shalat,dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”.(Q.S Al Bayyinah :5)
c. Memakmurkan dan Memelihara Bumi
Dalam rangka ikhtiar memakmurkan bumi manusia telah diberi modal dasar yang telah
melekat pada diri manusia di awal penciptaan nya.Yakni beupa akal dan
pikiran.Makadengan ada nya akal dan pikiran maka manusia dapat melakukan penelitian
dan mencari pengetahuan bagaimana mengelola semua amanah yang di berikan Allah SWT.

2.3 Islam dan moralitas


Walaupun manusia boleh dipisahkan daripada bidang ilmu atau pemikiran,bahkan juga boleh
dipisahkan daripada agama dan kepercayaan, tetapi tidak boleh dipisahkan dengan akhlak atau moral.
Ini karena setiap perbuatan, amalan atautindakan yang diambil tidak terlepas atau terkeluar daripada
lingkungan hukuman sama ada terhadap dirinya atau orang lain ataupun benda lain iaitu adakah baik
atau tidak segala tindakan tersebut. Jika baik jawapannya perkara itu akan dilakukan tetapi jika jahat
perkara itu akan ditinggalkan. Itulah akhlak yang baik. Tetapi jika sebaliknya yang dilakukan itulah
akhlak yang buruk. Dari sini ternyata kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia sehingga di
kalangan orang yang tidak bermoral mereka merasakan perlu adanya suatu akhlak yang diakui bersama
oleh mereka supaya dapat mengatur kehidupan yang lebih baik menurut pandangan mereka. Islam
merangkumi aqidah, dan syariat itu mengandungi roh akhlak. Akhlak adalah roh kepada risalah Islam
sementara syariat adalah lembaga jelmaan daripada roh tersebut. Ini bererti Islam tanpa akhlak seperti
rangka yang tidak mempunyai isi, atau jasad yang tidak bernyawa. Sabda Rasulullah saw yang
bermaksud : "Islam itu akhlak yang baik". Begitu juga sabda Baginda yang bermaksud : "Tidak ada
sesuatu yang lebih berat timbangannya selain daripada akhlak yang mulia."
2.3.1 Ruang lingkup Akhlak Islam
Skop akhlak Islam adalah luas merangkumi segenap perkara yang berkaitan dengan
kehidupan manusia diantaranya seperti :
a. Akhlak dengan Allah
b. Akhlak dengan manusia
c. Akhlak dengan Rasulullah
d. Akhlak dengan orang tua (ibu & bapa)
e. Akhlak dengan guru
f. Akhlak kepada
g. Akhlak suami isteri
h. Akhlak dengan anak-anak
i. Akhlak dengan kaum
j. Akhlak terhadap makhluk selain manusia :

6
2.3.2 Sumber Akhlak Islam
Dalam Islam akhlak adalah bersumber dari dua sumber yang utama iaitu Al Quran dan
al-Sunnah. Ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sepotong hadith yang bermaksud :
"Sesungguhnya aku diutuskan hanya semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."
Allah swt telah memuji Rasulullah kerana akhlaknya yang baik seperti yang terdapat dalam al-
Quran, firman Allah swt yang bermaksud : "Sesungguhnya engkau seorang memiliki peribadi
yang agung (mulia)."

2.3.3 Kepentingan Akhlak dalam Kehidupan Manusia


Akhlak merupakan garis pemisah antara yang berakhlak dengan orang yang tidak
berakhlak. Akhlak juga merupakan roh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti
jasad yang tidak bernyawa. Oleh itu salah satu misi yangdibawa oleh Rasulullah saw ialah
membina kembali akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu
penyembahan berhala oleh pengikutnya yang telah menyeleweng.

2.3.4 Ciri-ciri Akhlak Islami


Ada dua pembagian akhlak, yaitu akhlaaqul mahmudah atau akhlak yang terpuji dan
akhlaaqul madzmuumah atau akhlak tercela. Akhlak terbentuk menjadi watak seseorang akibat
beberapa faktor. Di antaranya faktor gen atau keturunan, faktor psikologis atau kejiwaan, faktor
lingkungan atau syariah istijmaiah, dan Al-Qiyam atau nilai-nilai Islam yang telah dipelajarinya
selama hidup. Pedoman akhlak adalah Al-Quran dan hadist. Bila seseorang telah berdekatan
dengan nilai-nilai Islam, yang akan terbentuk adalah akhlak Islaminya. Pembentukan akhlak
yang baik dapat dilakukan dengan,
a. Ilmu. Banyak membaca buku agar bisa mengambil keteladanan dari sahabat-sahabat nabi
dan mengikuti kajian-kajian Islam. Kemudian, berusaha mengelompokkan nilai-nilai iman
yang sudah kita ketahui ke dalam perilaku kita sehari-hari.
b. Latihan ibadah, mengurangi maksiat, membentuk lingkungan yang baik, melatih amal atau
kerja kita, bergaul dengan orang-orang saleh, meninggalkan lingkungan yang buruk, dan
mengambil hal positif dari lingkungan di sekitar kita.

2.4 Islam, keluarga dan masyarakat


2.4.1 Peran Keluarga dalam Islam
Sekedar untuk menunjukan arti penting keluarga, ada ungkapan yang menyatakan
bahwa “Keluarga adalah tiang masyarakat dan sekaligus tiang negara; bahkan juga tiang
agama.” Atas dasar ini, maka mudahlah difahami manakala agama Islam menaruh perhatian
sangat serius terhadap perkara keluarga. Di antara indikatornya, dalam Al-qur’an dan atau Al-
hadits, tidak hanya dijumpai sebutan keluarga dengan istilah “al-ahl” – jamaknya “al-ahluna,”
atau “dzul qurba,” “al-aqarib” dan lainnya; akan tetapi, juga di dalamnya dijumpai sejumlah
ayat dan bahkan surat Al-qur’an yang mengatur ihwal keluarga dan kekeluargaan.

7
Di antara surat yang menyimbolkan arti penting tentang peran keluarga dalam
kehidupan sosial adalah surat ketiga, yakni surat Ali Imran (3) yang terdiri atas: 200 ayat, 3,460
kata dan 14,525 huruf. Secara umum dan garis besar, surat Ali Imran memuat perihal:
keimanan, hukum, dan kisah di samping lain-lain. Yang menariknya lagi surat Ali Imran ini
diiringi surat An-Nisa (4), yang mengisyaratkan arti penting bagi kedudukan seorang ibu
khususnya dan kaum wanita pada umumnya dalam hal pembentukan dan pembinaan keluarga
ideal yang disimbolkan dengan Keluarga Imran.
Masih dalam konteks peduli Al-qur’an terhadap peran keluarga, bisa difahami dari isi
kandungan ayat 6 surat Al-tahrim yang telah dikutibkan sebelum ini. Ayat tersebut pada
dasarnya mengingatkan semua kepala keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu bahkan para
wali, supaya membangun, membina, memelihara dan atau melindungi semua dan setiap anggota
keluarga yang menjadi tanggungannya dari kemungkinan mara bahaya yang disimbolkan
dengan siksaan api neraka. Sebab, dalam pandangan Islam, berkeluarga itu tidak hanya untuk
sebatas dalam kehidupan duniawi; akan tetapi juga sampai ke kehidupan akhirat.
Indikator lain dari peduli Islam terhadap eksistensi dan peran keluarga dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan ialah adanya hukum keluarga Islam yang secara spesifik mengatur
persoalan-persoalan hukum keluarga mulai dari perkawinan, hadhanah (pengasuhan dan
pendidikan anak), sampai kepada hukum kewarisan dan lain-lain yang lazim dikenal dengan
sebutan “al-ahwal al-syakhshiyyah,” “ahkam al-usrah,” Islamic family law dan lainnya. Hukum
Keluarga Islam benar-benar mengatur semua dan setiap urusan keluarga mulai dari hal-hal yang
bersifat filosofis dan edukatif, sampai hal-hal yang bersifat akhlaqi yang teknis operasional
sekalipun. Itulah sebabnya mengapa Islam memerintahkan pemeluknya agar selalu saling
menyayangi dan bekerjasama antara sesama keluarga.

2.4.2 Keluarga adalah Fondasi Masyarakat


Keluarga menurut pengertian yang umum adalah satuan kekerabatan yang sangat
mendasar di masyarakat yang terdiri atas ibu, bapak dan anak sedangkan menurut Hasan Ayub
menjelaskan bahwa keluarga adalah suatu kumpulan manusia dalam kelompok kecil yang
terdiri atas suami, istri, dan anak-anak. Kumpulan dari beberapa keluarga disebut masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan organisasi terkecil dari suatu
masyarakat, masyarakat terus berkembang baik secara horizontal maupun vertical menjadi suku
dan atau bangsa.
Proses lahirnya sebuah rumah tangga atau keluarga dimulai dari hasrat dan keinginan
individu untuk menyatu dengan individu lainnya. Hasrat itu merupakan fitrah yang dibawa
sejak individu itu lahir, menurut soerjono soekanto hasrat manusia sejak dilahirkan adalah:
pertama. Menjadi satu dengan manusia yang lainnya; kedua,menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya. Oleh karena itu terbentuknya sebuah keluarga diawali dengan proses memilih
yang dilakukan oleh individu yang berlainan jenis klamin, lalu melamar dan diakhiri dengan
perkawinan.

8
Masyarakat di seluruh dunia memandang keluarga dengan signifikansi sakral, dan
menjadikannya sebagai dasar bagi hubungan interpersonal lainnya, termasuk kewajiban
komunitas dan politik. Keluarga merupakan satuan dasar bagi ketaatan ritual maupun sebagai
tempat berpengaruh bagi pendidikan agama dan sekular dan bagi penyaluran pengetahuan
agama dan duniawi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam organisasi terkecil yang membentuk bangsa ini terdapat berbagai instrument.
Insrumen-instrumen itu harus harus berfungsi secara sistemik dan organic, baik yang
menyangkut maupun kewajiban, guna menopang laju dan berkembangnya organisasi terrkecil
tersebut. Jika instrument-innstrumen itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, perjalanan
keluarga akan mengalami goncangan yang bisa mempengaruhi keajegan masyarakat dan
bangsa. Oleh karena itu, setiap anggota yang terlibat didalamnaya yaitu suami, istri dan anak
harus mengetahui dan menjalankan hak dan kewajiban mereka masing-masing secara
fungsional. Dilihat dari segi ini keluarga berperan sebagai tiang dan penyangga masyarakatyang
menentukan arah dan gerak laju bangsa menuju kehidupan sejahtera yang diridhai Allah SWT,
Negara yang baik dibawah naungan ampunan Tuhan.
Konsep masyarakat ideal menurut islam ialah masyarakat sejahtera seutuhnya. Ia bisa
dimulai dari penataan dan pembinaan keluarga melalui pendekatan nilai-nilai islam yang secara
terus menerus diterapkan dalam kehidupan keluarga. Keberhasilan suatu kelurga dalam
menerapgunakan konsep ideal akan melahirkan masyarakat ideal, seperti yang digambarkan
terdahulu. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keluarga merupakan fondasi
masyarakat.

2.5 Islam dan politik ekonomi


2.5.1 Pandangan Islam Terhadap Ekonomi
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat harus menyentuh semua lapisan masyarakat
baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier sesuai dengan kemampuan tiap individu.
Dalam hal ini Islam mengarahkan bagaimana barang-barang ekonomi tersebut bisa
diperoleh secara cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu menunjukkan
pentingnya seseorang untuk dapat bekerja mencari rezeki. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadist yang menjelaskan mengenai pentingnya seseorang harus bekerja.
Pandangan Islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan Islam terhadap
masalah pemanfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan kegunaan
(utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility) adalah masalah lain.
Karena itu kekayaan dan tenaga manusia, dua-duanya merupakan, sekaligus sarana yang bisa
memberikan kegunaan (utility) atau manfaat sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam
pandangan Islam, dari segi keberadaan dan produsinya dalam kehidupan, berbeda dengan
kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya. 
Islam telah memberikan pandangan (konsep) yang sangat jelas tentang sistem
ekonomi. Selain itu Islam telah menjadikan pemanfaatan kekayaan serta dibahas dalam
ekonomi. Sementara, secara mutlak Islam tidak menyinggung masalah bagaiamana cara

9
memproduksikekayaan dan faktor prodok yang bisa menghasilkan kekayaan. Inilah hukum
yang hakiki.

2.5.2  Politik Ekonomi Islam


Negara mengintervensi aktifitas ekonomi untuk menjamin adaptasi hukum islam yang
terkait dengan aktifitas ekonomi masyarakat secara lengkap. Negara dipandang ikut serta dalam
ekonomi islam yang mana untuk menyelaraskan dalil-dali yang ada di dalam nash. Disamping
itu Negara dituntut untuk membuat suatu aturan-aturan yang belum ada di dalam nash Al
Quran, sehingga tidak ada istilah kekosongan hukum. Disamping itu,  landasan kebijakan
pembangunan ekonomi diantaranya: tauhid, keadilan  dan keberlanjutan. Selain itu kebijakan
ekonomi menurut Islam harus ditopang oleh empat hal, diantaranya: Tanggung jawab sosial,
kebebasan ekonomi yang terbatas oleh syari’ah, pengakuan multiownership, dan etos kerja yang
tinggi. Pilar-pilar pembangunan ekonomi Islam sangat indah yakni: menghidupkan faktor
manusia, pengurangan pemusatan kekayaan, restrukturisasi ekonomi publik, restrukturisasi
keuangan, dan perubahan struktural.
Secara terminologis politik ekonomi adalah tujuan yang akan dicapai oleh kaidah-
kaidah hukum  yang dipakai untuk berlakunya suatu mekanisme pengaturan kehidupan
masyarakat. Sedangkan politik ekonomi Islam adalah suatu jaminan untuk tercapainya
pemenuhan semua kebutuhan hidup pokok (basic needs) tiap orang secara keseluruhan tanpa
mengabaikan kemungkinan seseorang dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya
sesuai dengan kadar potensi yang dimilikinya sebagai seorang individu yang hidup ditengah
komunitas manusia. Dalam hal ini politik ekonomi Islam tidak hanya berupaya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat saja dalam suatu negara dengan mengabaikan
kemungkinan terjamin tidaknya kebutuhan hidup tiap-tiap individu. Politik ekonomi Islam juga
tidak hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu semata tanpa kendali tanpa
memperhatikan terjamin tidaknya kehidupan tiap individu lainnya.
Sistem politik ekonomi Islam merupakan seperangkat instrumen agar dapat terwujudkan
kehidupan masyarakat yang harmonis. Namun cita-cita ini sangat sulit untuk diwujudkan
mengingat besarnya kekuatan raksasa dari ideologi sekuler yang menghambat, menghalangi dan
ingin menghancurkan sistem ekonomi Islam melalui berbagai strategi seperti pendidikan,
kebudayaan, ekonomi, kependudukan, politik dsb. Beberapa strategi yang diterapkan imperialis
modern dalam menghalangi berkembangnya sistem kehidupan Islam misalnya: budaya non-
Islami. Dengan menggunakan berbagai macam bentuk pertunjukan dan hiburan serta ditunjang
dengan jaringan informasi global menyebarkan berbagai budaya yang tidak Islami.
Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan
primernyasecara menyeluruh.  Islam juga memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.
Secara bersamaan Islam memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam
dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan gaya
hidup tertentu pula. Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk

10
meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin
tidaknya tiap orang menikmati kehidupan tersebut. Islam telah mensyariatkan hukum-hukum
ekonomi pada tiap pribadi. Dengan itu, hukum-hukum syara’ telah menjamin tercapainya
pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga negara Islam secara menyeluruh, baik
sandang, pangan, papan, jasmani maupun rohani. Islam mewajibkan bekerja tiap manusia yang
mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya sendiri, berikut
kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Islam mendorong manusia
agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum  mencari
rezeki tersebut. Adalah fardhu. Allah SWT Berfirman: 
            
  
“ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
2.6 Islam dan agama lain
2.6.1 Pengakuan Al-Qur’an Terhadap Agama lainnya
Pengakuan terhadap plurlisme atau keragaman agama dalam al-qur’an, ditemukan dalam
banyak terminolgi yang merujuk kepada komonitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab, utu
al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara, al-
Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya.[5] Al-qur’an disamping membenarkan, mengakui
keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebeasan untuk menjalankan ajaran
agamanya masing-masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural
menghargai keragaman, tetapi sekaligus secara teologis mempersatukan keragaman tersebut
dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi. Karena memang pada dasarnya tiga agama
yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah bersudara, kakak adek, masih terikat hubungan
kekeluargaan yaitu sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as.[6] Pengakual al-Qur’an terhadap
agama lain, diantaranya berdasarkan firman Allah swt, yang berbunyi :
           
           
        
“dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah
hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-
Nya.” (Q.S. Ali Imran : 199)
“Bagaimana islam memandang agama lain?”
Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bagi umat islam tatkala kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam kenyataannya tidak monolitik. Oleh karena itu, sejatinya,
teologi islam didialogkan dengan pluralitas agama, dengan kata lain umat islam perlu
mendefinisikan diri di tengah agama lain, agar tidak terjadi pelontaran lebel “kafir” dengan
gampang.[7]

11
2.6.2 Pandangan Islam tentang Metafisik & Teologi dalam agama-agama lain
Pandangan Islam tentang Metafisik dengan agama-agama lain nya, sangatlah berbeda
terlebih-lebih dalam aspek Tauhid.[8]. Kita telah ketahui bahwa teologi adalah ilmu tentang
ketuhanan yang berisikan tentang konsep ketuhanan. Dalam tradisi keilmuan Islam terhitung
sangat baru sekali. Ilmu ini dipopulerkan di Indonesia sejak Harun Nasution memasukkannya
menjadi mata kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sejak tahun 1975. Berbeda dengan
ilmu Tauhid, yang hanya mengajarkan “cara bertuhan” atau “cara beriman” menurut satu model
atau satu aliran pemikiran saja, yang oleh seorang guru Tauhid saat itu di pandang sebagai
“doktrin”, tetapi Teologi, mengajarkan “banyak cara menuju Tuhan”.
Teologi yang berkembang di kalangan umat Islam dapat di bedakan menjadi dua, yaitu
teologi eksklusif dan teologi pluralis.
a. Teologi eksklusif mendorong penganutnya menutup diri terhadap relasi sosial dengan
pemeluk agama lain. Didasari pandangan bahwa non-muslim sesat, jahat, dan senantiasa
ingin merusak umat Islam.
b. Teologi pluralis mendorong pemeluknya bersikap terbuka terhadap kelompok dari agama
lain (non Muslim). Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang sehat dan
harmonis antar sesama warga masyarakat. Pluralisme yang dilandasi toleransi itu tidak
berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu penghormatan
akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak boleh
menjadi penghalang untuk saling menghargai, menghormati, dan kerjasama.
Belakangan ini kita sering melihat aksi-aksi Islam Fundamentalis yang bersikap
Intoleran dan selalu berpikir bahwa makin bersikap ekstrem dan anti sosial maka makin dekat
kita pada Tuhan dan sorga. Tentu ini sangat bertentangan dengan sikap yang ditunjukan oleh
Rasullullah. Rasullullah pernah menyuapi dengan kasih sayang seorang Yahudi tua buta yang
tiap hari selalu memfitnah dan menghinanya. Bahkan Rasullullah pernah mendapat lemparan
batu dan kotoran, tetapi beliau justru tetap sabar dan mendoakan supaya mereka diampuni dosa-
dosanya oleh Allah SWT. Begitu juga dengan Ali Bin Abi Thalib yang terpaksa telat mengikuti
sholat berjamaah karena sepanjang jalan ke masjid beliau tidak ingin melewati seorang Yahudi
tua yang sedang berjalan.
Sikap pluralis jauh dari itu semua, bahkan sebaliknya, mempromosikan toleransi dan
kerjasama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi interaksi dan aksi. Sejak awal
(periode rasul saw), Islam senantiasa menganjurkan untuk merangkul umat non muslim
bekerjasama membangun masyarakat. Maka dengan sendirinya Islam mempromosikan
perdamaian, bukan kekerasan.[9]

12
[5] Hasan Ibrahim Hassan, hal : 69-71
[6] Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djah dan Humam,
[7] Max Waber, sosioligi agama, 1962. diterjemahkan oleh Samsul Bahri, Yogyakarta : Irsyad Press,2002, hal:205
[8] Komaruddin Hidayat dan Ahmad, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal : 91
[9] Tarmizi Taher, pluralisme islam, harmonisasi agama, Yogyakarta : Jarsa Rezeki, 2004, hal : 35-37

BAB III
PENUTUP

Kata islam menurut istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang
datang dari Allah SWT,. Bukan dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Posisi nabi dalam agama islam diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah untuk menyebarkan ajaran
islam tersebut kepada umat manusia.
            Selanjutnya dilihat dari segi ajarannya, Islam adalah agama yang sepanjang srejarah manusia.
Agama dari seluruh nabi dan rosul yang pernah diutus oleh Allah SWT., pada bangsa-bangsa dan
kelompok-kelompok manusia. Islam itulah agama bagi Adam as, Nabi Ya’kub, Nabi Musa, Nabi Daud,
Nabi Sulaiman, dan nabi Isa as. Hal demikian dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-
Qur’an yang menegaskan bahwa nabi tersebut termasuk orang yang berserah diri kepada Allah. Namun
demikian perlu ditegaskan, bahwa meskipun para nabi tersebut telah meyatakan diri, akan tetapi agama
yang mereka anut itu bukan bernama agama islam. Misi agama yang mereka anut adalah islam, tetapi
agama yang mereka bawa namanya dikaitkan dengan nama daerah atau nama penduduk yang
menganut agama tersebut.

13
Daftar Pustaka

Al-Qur’anul Karim

An-Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan, Hak Asasi Manusia dan
Hubungan International dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKiS,
1994.

Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam,  Bandung: CV. Pustaka Islamika, 2008.

Nasution, Harun, pembaharuan dalam Islam; sejarah pemikiran dan gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.

Rachman, Budy Munawwar, Ensiklopedi Nurkholis Majdid jilid III, Ed Digital, Jakarta: Mizan, 2012.

Siddiqi, Amir Hasan, Studies In Islamic Historiy, Ed, Bahasa Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1997.

Syafe’i, Makhmud, Perkembangan Modern Dunia Islam, Bandung: CV. Yasindo Multi Aspek dan
Value Press, 2008.

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Melacak akar-akar sejarah, sosial,
politik, dan budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Yatim, Badri, pemikiran Modern dalam Islam, (Dirasah slamiah V)  Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997.

Fauzi, Jurnal IBDA (Studi Islam dan Budaya), Pembaharuan Islam, Memahami Makna, Landasan,
dan Substansi Metode), P3M STAIN Purwekerto: Vol.2, No. 1, Jan-Jun 2004.

Prof. Dr. H. Nata, Abuddin, M.A. Metodologi Studi Islam Nasutin, Harun, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya  

Drs. Hakim, Abd, Atang., MA. Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam  

Nata Abuddin.( 2001). Filsafat Pendidikan Islam, PT.Logos Wacana Ilmu:Ciputat

Max Waber, sosioligi agama, 1962. diterjemahkan oleh Samsul Bahri, Yogyakarta : Irsyad Press,2002.

http:/en.wikipedia.org/

14

Anda mungkin juga menyukai