Anda di halaman 1dari 5

 

KOLOM
Bersihar Lubis
Pancasila (Kecil):
Tak Puah, Lalu Jadilah
 
Jika Pancasila itu sakti, kok, keadilan sosial
yang merata bagi  seluruh rakyat Indonesia
belum terwujud? Tiba-tiba saya ingat Bung
Karno, yang pada pidatonya 1 Juni 1945
berkata, bahwa, “bahkan perintah Tuhan
yang tertulis di dalam kitab suci Al Qur’an
pun tidak dapat menjelma menjadi realitas
zonder perjoangan (dilaksanakan umat).”
 
Sesungguhnya, ideologi bukanlah sesuatu
yang sudah terwujud. Bukan sesuatu yang
given (gratis). Dengan begitu, setiap orang
akan berjuang tanpa kenal lelah, dan terus
menerus untuk mewujudkannya. Ada
imajinasi yang menggoda, nun jauh di
depan sana, yang agung dan mulia.
 
Pancasila bukanlah mantra-mantra, yang
kalau diucapkan lalu terwujud. Bagaikan,
puah, lalu, jadilah.
 
Diperlukan implementasi ideologi berupa
konstitusi, yakni UUD 1945. Salah satu
fasalnya, fasal 4 ayat 1 berbunyi, bahwa
“fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh negara.”
 
Orang yang cerewet akan berkata dengan
sinis. “Tapi mengapa masih banyak fakir
mskin dan anak terlantar, yang
bergeladangan di lampu setopan jalanan
kota menjadi pengemis?”
 
Orang bagai melupakan bahwa ideologi
dan konstitusi adalah sebuah kondisi yang
ideal. Karena itulah kemudian, muncul
berbagai program untuk mengentaskan
kemiskinan.
 
Akan berbeda sama sekali manakala
pemerintah dan masyarakat tidak peduli.
Tidak ada program dan ikhtiar untuk
mensejahterakan masyarakatnya.
 
Saya tak bisa membayangkan, apa
gerangan yang terjadi jika Pancasila
disingkirkan.  Saya cemas, konflik ideologi
akan kembali meletus. Kita terbayang era
kabinet parlementer di era 1950-an, yang
kerap jatuh bangun karena pertikaian
ideologi.
 
Nafas Pancasila yang menyatu dengan
Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, mungkin
perlahan akan rontok, dan Indonesia
terpecah belah. Akan meletus
pemberontakan di dalam negeri. Tak
mustahil berbagai daerah akan melepaskan
diri dari NKRI, seperti pernah dilakukan
oleh PRRI/Permesta dan DI TII.
 
Sistem berupa UU, PP, Keppres, Perda
dan adanya Badan Pembinaan Ideologi
Pancasla (BPIP) saja tidak cukup. Tapi
mesti dibarengi dengan unsur manusia
yang pancasilais, yang sesuai kata dengan
perbuatan. Sistem hanya cara mencapai
tujuan. Yang melaksanakannya adalah
orang, Bak kata Bung Karno, zonder
perjoangan tak akan menjadi realitas.**
 
 
 
 

Anda mungkin juga menyukai