diperkenalkan Presiden Jokowi kepada publik di halaman Istana Negara, Ahad (26/10) lalu cocok juga dinamai sebagai Golongan Putih. Maklum, 34 menteri yang diumumkan itu tampil memakai kemeja putih. Namun tentu saja tak ada hubungannya dengan Golongan Putih yang dulu dipimpin Arief Budiman dengan memboikot Pemilu 1971, yang dinilai tidak demokratis.
Kosa kata putih memang selalu dikonotasikan sebagai
suci atau bersih. Barangkali karena ke 34 menteri ini telah lolos dari saringan KPK dan PPATK, sesuai permintaan Jokowi-JK. Setidaknya, memang begitulah, bahwa sejauh penelitian KPK dan PPAK, ke 34 menteri yang dilantik Senin (27/10) tidak tersangkut dengan kasus korupsi.
Sekarang, ke 34 menteri ini tinggal menjaga komitmen
untuk tidak tercebur ke dalam lembah korupsi. Maklum, sebagai menteri mereka mempunyai kebijakan dan kewenangan, yang juga menyangkut penggunaan dana kementerian. Semoga tidak terjebak dengan abused of power, penyalah-gunaan kewenangan, satu langkah lagi menuju perbuatan korupsi.
Namun bersih saja tidak cukup. Tapi juga harus
berprestasi, dengan cara meluncurkan terobosan program yang inovatif. Tentu saja terobosan itu tak bisa dicapai dengan cara-cara biasa, tetapi harus dengan cara yang luar biasa dengan metode berfikir out of the box. Pokoknya, harus terasa ada perbedaan antara kabinet sekarang, dan yang digantikannya.
Kemudian, semua terobosan yang merupakan gerakan
pembaharuan tersebut haruslah berorientasi kepada kepentingan rakyat. Bukan hanya kepentingan kelas menengah, yang selama ini justru paling banyak menikmati pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kabinet berbaju putih inipun harus mampu
menyeimbangkan antara pembangunan kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, Indonesia Barat dan Indonesia Tengah serta Timur. Bahkan, juga perimbangan antara sektor pertanian, termasuk perikanan dengan dunia industri dan perdagangan.
Sekali lagi, putih tidak hanya bersih, tetapi juga
berprestasi dan mengutamakan kepentingan rakyat. Selamat bekerja! **