Anda di halaman 1dari 3

TUGAS REFLEKSI DIRI

Modul Kolaborasi Kesehatan Rumpun Ilmu Kesehatan


Oleh : Florencia Natasya P.S. / Fakultas Kedokteran Gigi / IPE 9.A

Selama berada di Fakultas Kedokteran Gigi, sudah berbagai kelas kolaborasi


yang saya ikuti sejak kuliah tingkat pertama hingga saat ini. Sudah banyak juga
pengalaman berharga yang saya dapatkan selama di kedokteran gigi, terutama di
RSUD Kabupaten Tangerang, dimana saya sebagai koas kedokteran gigi banyak
mengalami sendiri kolaborasi antar tim kesehatan dalam menangani pasien dengan
berbagai macam penyakit sistemik, trauma, yang tentunya sebagian dari kasusnya
bukan merupakan kompetensi saya. Pengalaman tersebut sungguh dapat saya rasakan
dalam modul kolab ini. Saya bisa membandingkan dan membayangkan praktik yang
sempat saya jalankan di RSUD dengan teori yang seharusnya dilakukan dan diajarkan
pada modul ini. Saya bisa menilai apakah yang saya alami sudah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan clinical pathway yang dirancang pada modul ini, ataukah
masih ada hal-hal yang belum berjalan sesuai aturan.
Saya sebagai tenaga kesehatan di bidang kedokteran gigi tidak mungkin mampu
bekerja sendirian tanpa konsultasi dengan tim lain yang lebih berkompeten, misalnya
pada kasus cedera kepala yang melibatkan fraktur mandibula. Ketika pasien datang,
diterima oleh perawat dan dokter jaga yang ada, dilakukan asesmen awal, diberikan
pertolongan pertama terlebih dahulu. Disini perawat banyak memegang peran penting
bersama dengan dokter. Perawat harus memastikan kondisi pasien agar tetap stabil
dan melaporkan kondisi kepada dokter yang berwenang. Perawat juga mempersiapkan
pasien (membersihkan luka, menjahit bagian luka terbuka, memberikan infus dan
injeksi obat sesuai resep dokter) sebelum diberikan tindakan lanjutan. Dokter jaga
(dokter umum) di sini juga tidak bisa bekerja sendirian, melainkan harus dikonsulkan
dengan dokter di bidang neurologi untuk memeriksa kondisi cedera kepala terlebih
dahulu dan memastikan kesadaran pasien sebelum dikonsulkan kepada dokter gigi
spesialis bedah mulut. Dokter bedah mulut pun dalam melakukan tindakan lanjutan
mungkin bekerja sama dengan dokter spesialis lain, contohnya pada kasus abses
mandibula yang mencapai mediastinum, dimana harus bekerja sama dengan spesialis
bedah thorak. Adapula tumpeng tindah kompetensi, seperti pada kasus fraktur maksila
yang bisa ditangani oleh spesialis bedah plastik. Dengan kata lain, saya sebagai dokter
gigi tidak mungkin bisa menangani pasien dengan kasus kompleks tanpa campur
tangan dari peran tenaga kesehatan lain yang lebih penting.
Di sisi lain, dokter gigi juga bisa menjadi pengamat pertama pada pasien yang
memiliki penyakit sistemik. Misalnya pada pasien yang hanya memiliki keluhan di
rongga mulut saja, namun tidak pernah memeriksakan dirinya ke laboratorium, atau
bahkan tidak merasa ada keluhan lain sehingga tidak pernah ke dokter. Dalam hal ini
dokter gigi bisa menjadi gerbang utama yang merujuk pasien ke dokter yang lebih
kompeten di bidang penyakit terkait, dan dokter gigi harus sadar akan kewajiban
tersebut demi kepentingan pasien.
Hambatan yang saya rasakan dalam proses belajar kolaborasi yaitu FKG
memang ranah kesehatan yang paling berbeda sendiri sehingga paling asing bagi FK,
FF, dan FIK. Dalam diskusi, saya harus berpikir sendiri dengan teman fakultas untuk
penanganan area gigi dan mulut. Sedangkan untuk fakultas lain lebih bisa
berkolaborasi menentukan obat apa yang akan diberikan, dan sebagainya. Namun hal
tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi saya, karena saya harus paham betul
kondisi pasien keseluruhan dan harus banyak berkoordinasi dengan fakultas lain,
apakah ada interaksi obat dengan obat-obatan yang diresepkan dari dokter umum,
sehingga dapat menyusun rencana perawatan pasien dengan tepat.
Hambatan dan tantangan itu didukung oleh kekuatan yang saya punya,
contohnya saya memiliki relasi yang luas karena sudah beberapa kali bekerja sama
dengan tenaga kesehatan di RIK Universitas Indonesia. Saya juga memiliki
pengalaman bekerja di rumah sakit saat bertugas sebagai koas kedokteran gigi
sehingga kurang lebih sudah memiliki gambaran pembagian kerja dan kolaborasi tim
kesehatan di rumah sakit. Di samping itu, saya memiliki kelemahan yaitu masih harus
belajar agar bisa melihat diri pasien secara menyeluruh, tidak melihat semata-mata
hanya diagnosis dalam kedokteran gigi saja, tapi memerhatikan semua aspek seperti
latar belakang dan riwayat medis pasien, sehingga memperhatikan kaidah dan etika
kedokteran. Saya tidak boleh meremehkan hal-hal detail yang selayaknya
dikonsultasikan ke dokter di bidang terkait, misalnya ketika ada pasien dengan riwayat
diabetes, hipertensi, penyakit hepar, dan lain-lain.
Ke depannya, saya masih harus memperluas wawasan, berkenalan dengan
banyak tenaga kesehatan lain, sehingga dalam praktik kerja nanti saya sudah lebih
terbiasa berkoordinasi dengan rekan kerja tim kesehatan dan tidak merasa bingung
dengan pembagian kerja masing-masing. Saya juga harus menggali lebih banyak lagi
mengenai hubungan kedokteran gigi dengan bidang kesehatan lainnya, memperbanyak
referensi mengenai manifestasi penyakit di area rongga mulut, sehingga dokter gigi
semakin cepat tanggap dan tepat dalam mendiagnosis pasien secara komperhensif.

Anda mungkin juga menyukai