ABSTRAK
ABSTRACT
The development of technology and the increasing need for human life have caused the
declining quality of the environment to threaten the livelihoods of humans and other living
creatures, as well as increasing global warming resulting in climate change and this will exacerbate
environmental degradation. For this reason, environmental protection and management are truly
and consistently carried out by all stakeholders. Efforts to enforce preventive environmental law
in the context of controlling environmental impacts need to be carried out by maximizing the
supervision instruments and law enforcers. The Indonesian Penal Code only stipulates that those
who are subject to criminal law are individuals (natuurlijke persoon / legal person), in its
development the corporation is also used as a legal subject in criminal law, namely the existence
of rights and obligations attached to it. This is motivated by the fact that not infrequently the
corporation gets a lot of profits from the proceeds of crimes committed by its management.
Likewise, the losses experienced by the community are caused by the actions of corporate
managers. Therefore, it is considered unfair that corporations are not subject to rights and
obligations like humans. Between humans and corporations there are differences in characteristics
and basic characteristics, therefore legal sanctions that are appropriate for perpetrators of corporate
crime according to Law No. 32 of 2009 concerning Protection and Management of the
Environment is a sanction for action. This sanction is deemed capable of overcoming corporate
Edi, Penegakan Hukum Tindak Pidana... 29
crime, this is based on the characteristics of sanctions for the action itself, which are then linked
to the nature of the corporation. The process of investigation, the extent of the responsib ility of the
business entity (corporation) and the obstacles in the investigation process as well as efforts made
to prevent the occurrence of non-environmental crime.
I. PENDAHULUAN
Lingkungan hidup merupakan anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada
manusia yang wajib untuk dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi
sumber penunjang hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas hidup. Lingkungan hidup adalah bagian mutlak yang tidak terlepas dari
kehidupan manusia, manusia dengan segala aktifitasnya untuk mencari makan, minum serta
memenuhi kebutuhan lainnya karena lingkungan hidup sebagai sumber pertama dan terpenting bagi
pemenuhan beberapa kebutuhan tersebut.
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
layanan kesehatan. ”Sementara itu, Pasal 33 ayat (4) berbunyi: Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional”. Dengan diangkatnya persoalan hak atas lingkungan sebagai hak
asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 H ayat (1), dan dengan diadopsikannya prinsip
”pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan” ke dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4)
, sudah tergambar bahwa negara Republik Indonesia menyadari pentingnya menjaga kelestarian alam
dan lingkungan hidup.
Pada tahun 1950-an di Los Angles USA masyarakat mulai terganggu dengan asap-kabut
(SMOKE = SMOKE AND FOG ). Dampak yang dirasakan oleh masyarakat adalah gangguan pada
kesehatan manusia dan tumbuh-tumbuhan. Demikian pula sekitar tahun 1953, para nelayan Jepang
di teluk Minahata Barat Pulau Kiyusu mendapat serangan wabah, karena makanan ikan dilaut
tercemar oleh zat “Metil Merkuri” unsur limbah yang mengandung HG dari industri kimia oleh
perusahaan CHISO dan CO yang memproduksi pelastik (PVC) pada tahun 1969, di USA terbit
Undang-undang tentang Lingkungan Hidup “Nation Enviromental Policy Act”1.
Pada tanggal 05-12 Juni 1972, di Stockholm diadakan Konfersi dunia pertama oleh PBB
tentang lingkungan hidup. Pada tahun 1982, di Indonesia dibentuklah Undang-undang RI Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disebut PPLH), yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang
Pengelolahan Lingkungan Hidup, yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut
UUPPLH). Pasal 125 UUPPLH menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang ini secara normatif dan politik merupakan produk dari hak inisiatif DPR RI
yang disahkan melalui rapat paripurna. Tetapi secara empiris peran eksekutif, khususnya kementrian
lingkungan hidup sangat penting dalam mempersiapkan RUUPPLH ini. RUUPPLH itu diajukan oleh
1
Siswanto Sunarto, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Penerbit Rineka Cipta, cetakan
Pertama, Jakarta, 2005, Hal 2.
30. Jurnal Lex Justitia, Vol. 1 No. 1 Januari 2019 ISSN : 2656-1530
pihak eksekutif, tetapi karena dipertimbangkan jika melalui pihak eksekutif akan melalui
pembahasan yang lebih lama diantara sesasama instansi eksekutif, sementara masa kerja DPR akan
berakhir, maka pejabat-pejabat kementerian lingkungan hidup melakukan proses lobi yang intens
dengan pihak DPR, khususnya komisi VII DPR bersedia menjadikan RUUPPLH sebagai hak inisiatif
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. 2
UUPPLH terdiri dari 17 Bab, dan 127 Pasal yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Dalam UUPPLH ada beberapa hal
baru yang ditambahkan dan banyak substansi dari Undang-Undang lama (Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997) yang diperkuat. Ketentuan baru yang terdapat dalam UUPPLH antara lain :
kewajiban penyusuan inventarisasi lingkungan hidup, menetapkan daerah ekoregion (kesamaan ciri
wilayah geografis) serta penyusunan rencana perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup
(RPPLH) baik ditingkat pusat maupun daerah.
Beberapa aspek yang mendapat penguatan tersebut antara lain : Fungsi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) , Pengolahan Perijinan, serta kewenangan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Kementerian Negara Lingkungan Hidup (PPNS-KLH). Penguatan fungsi penegakan hukum,
terdapat pada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yaitu melakukan pengangkapan dan penahan
terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup. Sedangkan sanksi pidana diperluas, tidak hanya kepada
pelaku kejahatan, tetapi juga pejabat terkait.
Rumusan Masalah
Metode penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang dilakukan dalam upaya
menganalis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang
dikemukakan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian ke pustakaan. Sedangkan analisis data
yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu dengan menguraikan data secara bermutu dalam
kalimat yang teratu, runtun, logis, tidak tumpang tidih, dan efektif, sehingga memudahkan
interpretasi data dan analisis.
Perkembangan masalah lingkungan dar waktu kewaktu semakin parah seakan tidak diimbangi
dengan penegakan hukum yang memadai, meskipun segala peraturan telah dibuat, mulai dari
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak atas lingkungan. Pembukan Undang-Undang Dasar
1945 alinea ke 4 mengandung kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan
lingkungan hidup di Indonesia.
2
Takdir Rahmadani, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada,2011, hal 51-52.
Edi, Penegakan Hukum Tindak Pidana... 31
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kewajiban negara dan tugas Pemerintah
untuk melindungi segenap sumber-sumber alam Indonesia guna kebahagian seluruh rakyat Indonesia
dan segenap umat manusia. Pemikiran tersebut lebih dijabarkan dalam pasal 33 ayat (1). Ketentuan
tersebut membawa konsekuensi sebagai titik awal ketetapan konstitusional dalam sistem kenegaraan
Indonesia yang menjadi dasar acuan untuk perlindungan terhadap lingkungan hidup di Indonesia.Hal
ini dapat dilihat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 PPLH yang memuat prinsip-
prinsip lingkungan hidup yang berfungsi memberikan arahan bagi sistem hukum lingkungan
nasional.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997, tentang pengelohan lingkungan hidup, kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 UUPPLH dengan alasan menyesuaikan perkembangan zaman.
1) Asas Legalitas (principle of legality), yang artinya pemidanaan harus berdasarkan ketentuan
perundang-undangan. Artinya, dalam peraturan rumusan hukum pidana harus terkandung adanya
kejelasan yang berkaitan dengan apa yang dikatakan sebagai perbuatan-perbuatan pidana di
lingkungan hidup (delik lingkungan);
2) Asas Pembangunan yang berkesinambungan (The Principle Of Sustainabel Development) yang
diterima oleh The General Assembly PBB pada tahun 1992 yang menegaskan. Bahwa
pembangunan ekonomi jangan sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk
menikmati lingkungan hidup yang sehat.
3) Asas Pencegahan (The Precautionary Principle) asas ini menegaskan bahwa penindakan yang
dilakukan terhadap pelanggaran delik formil pada UUPPLH diupayakan tidak langsung
menjatuhkan penindakan yang berat, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan menyeluruh dari
yang teringan, sedang, dan yang terakhir yang terberat.
4) Asas Pengendalian (Principle Of Restraint) bahwa asas ini merupakan salah satu syarat
kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi pidana, hendaknya baru dimanfaatkan terhadap
tindak pidana lingkungan apabila terdapat ketidak efektifan sanksi hukum administrasi, hukum
perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Dalam hukum pidana,
hal ini dikenal asas subsidaritas atau “Ultima Rasio Principle” atau asas “Ultimum Remedium”
atau “Last Resort”atau merupakan upaya terakhir kali3.
Pasal 1 butir 32 UUPPLH, menentukan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Perseorangan atau badan
usaha yang berbadan hukum seperti BUMN, Persero, sedangkan yang tidak berbadan hukum seperti
perusahaan Komoditer (CV) dan Perusahaan firma (Fa).
Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu merupakan suatu pelanggaran tindak pidana,
pencemaran lingkungan hidup perlu dipenuhi beberapa unsur-unsur yakni;
3
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistim Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Penerbit Rafika
Aditama, Cetakan Pertama, Bandung, 2008, hal.26.
32. Jurnal Lex Justitia, Vol. 1 No. 1 Januari 2019 ISSN : 2656-1530
1. Setiap Orang
Orang atau manusia yang karena kesengajaannya atau kelalaiannya telah menyebabkan
kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup dengan kata lain selaku tindak pidana lingkungan itu.
Secara umum, pelaku tindak pidana adalah orang (manusia), sedangkan badan hukum tidak termasuk
sebagai subjek tindak pidana.
Subjek hukum dalam tindak pidana umum adalah orang atau manusia yang dalam hukum
pidana disebut naturlikje person. Karena itu dalam hukum pidana (umum), yang dapat dipersalahkan
sebagai pelaku hanyalah manusia. Hukum pidana umum tidak mengenal subjek hukum selain orang
atau manusia. Dalam hukum lingkungan subjek hukum tersebut tidak hanya terbatas pada orang atau
manusia, tetapi meliputi pula kelompok orang atau badan hukum sebagai orang yang diciptakan oleh
hukum, yang sering disebut rechts-persoonen.4
2. Dengan Sengaja
Menurut penjelasan Memorie van Toelichting (MvT), yang dimaksud kesengajaan ialah
“menghendaki dan menginsafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibat-akibatnya (Wilens en
wettens veroozaken van een gevolg). Artinya bahwa seseorang yang melakukan suatu tindakan
dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya. 5
4
Hanum M Husein, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 226.
5
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal 171.
6
R.Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, P.T AKA, Jakarta, 2005, hal 346.
Edi, Penegakan Hukum Tindak Pidana... 33
L.B. Curzzon mengatakan bahwa manfaat dari asas strict liability, yaitu;
1) Pentingnya jaminan untuk mematuhi peraturan-peraturan tertentu yang diperlukan untuk
kesejahteraan masyarakat.
2) Bukti kesalahan sangat sulit didapat atas pelanggaran-pelanggaran peraturan yang berhubungan
dengan kesejahteraan masyarakat.
3) Tingkat bahaya sosial yang tinggi yang timbul dari perbuatan-perbuatan itu.9
Bab XIV UUPPLH pada Pasal 94 sampai Pasal 96 mengatur tentang penyidikan dan
pembuktian. Berdasarkan Pasal 94 ayat (1) UUPPLH, selain penyidik Polri, Penyidik Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik.
Pasal 94 ayat 1 UUPPLH : menyebutkan selain penyidik pejabat polisi Negara Republik
Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintahan yang lingkup
dan tanggungjawabnya di bidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup diberi wewenang
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana lingkungan hidup. Sementara kewenangan penyidik PPNS- LH dapat dilihat
berdasarkan Pasal 94 ayat (2).
7
NHT. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2004, hal 316-317.
8
Rancangan KUHP, hal 14.
9
NHT.Siahaan, Op,cit hal 317-318.
34. Jurnal Lex Justitia, Vol. 1 No. 1 Januari 2019 ISSN : 2656-1530
Kewenangan PPNS-LH dalam menangkap dan menahan pelaku tindak pidana lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (2) huruf “k” UUPPLH, merupakan kewenangan yang lebih
dibandingkan dengan kewenangan PPNS-LH berdasarkan UUPLH, maupun wewenang PPNS yang
diatur dalam KUHAP. UUPLH maupun KUHAP, tidak memberi wewenang bagi PPNS untuk
melakukan penangkapan dan penahanan karena berdasarkan KUHAP hal tersebut merupakan
kewenangan Polri. Berdasarkan ketetentuan Pasal 94 ayat (3) UUPPLH, PPNS-LH dalam melakukan
penagkapan dan penahanan, ia (PPNS-LH) berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena PPNS-LH tidak memiliki sarana dan
prasarana yang lebih memadai dibandingkan Polri dalam hal melaksanakan wewenang penangkapan
dan penahanan.
Hubungan Penyidik Polri dengan Penyidik PNS dapat dilihat sebagai berikut; (a). Pasal 7 (2)
KUHAP, (b). Pasal 107 (1) KUHAP; (c). Pasal 107 (2) KUHAP; (d) Pasal 107 (3) KUHAP; Pasal
109 (3) KUHAP.10
(1) Dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan kasus lingkungan hidup yang berdampak
luas terhadap lingkungan hidup, menimbulkan keresahan masyarakat, bersifat strategis, atau
berdampak nasional/internasional, dapat dibentuk Tim Gabungan Penanganan Perkara Tindak
Pidana Lingkungan Hidup.
(2) Pembentukan Tim Gabungan Penanganan Tindak Pidana Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau Kejaksaan Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Tim Gabungan Penanganan Tindak Pidana Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
10
Lihat Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Edi, Penegakan Hukum Tindak Pidana... 35
dengan mempertimbangkan saran dan masukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Kejaksaan Republik Indonesia. 11
Skema Proses Penyidikan 12
Proses pelimpahan menjadi kurang optimal jika PPNS dan Polri tidak saling melakukan
koordinasi dalam penyidikan, sehingga adakalanya proses kelimpahan perkara menjadi lambat.
Ketika berkas perkara sudah sampai ditangan Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan Pasal 138 KUHAP
Jaksa Penuntut Umum diberi peluang untuk dapat diajukan ke persidangan. Pengambilan berkas
tersebut disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas tersebut, akan tetapi KUHAP tidak
mengatur sampai berapa kali proses ini dapat berlangsung. Hal ini menjadi kendala dalam
penanganan tindak pidana lingkungan hidup. Seharusnya PPNS, Polri, dan JPU memiliki
kebersamaan dan koordinasi yang baik sesuai dengan semangat yang tergambar dalam peradilan
pidana ( Criminal Justice System ).
Tindak pidana di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 bukan delik aduan melainkan
sebagai delik biasa. Konsekuensinya penyidik bersikap aktif dengan langsung melaksanakan
tugasnya untuk melakukan serangkaian tindakan seperti penangkapan dan penahanan kepada
pelakunya tanpa menunggu adanya pengaduan terlebih dahulu dari pihak korban. 13
Penegakan hukum pidana di bidang lingkungan tindak semudah apa yang dipikirkan oleh
sebagian orang, ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penegakannya, dampak yang
ditimbulkan dan berbagai regulasi baik pada tingkat global maupun nasional yang membawa pada
suatu kesimpulan bahwa penegakkan hukum pidana di bidang lingkungan pada saat ini belum
mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah ketiadaan
11
11 /MENLH/07/2011; B/20/ VII /2011; KEP- 156 /A/JA/07/2011
12
Sumber; Penyuluhan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara.
13
Gatot supramono, Peneyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hal 124.
36. Jurnal Lex Justitia, Vol. 1 No. 1 Januari 2019 ISSN : 2656-1530
sinkronisasi, koordinasi, keserempakan dan keselarasan secara kultural, struktural dan substansial
dalam sistim peradilan pidana.
Kejahatan pencemaran dan kerusakan lingkungan telah membawa dampak yang sangat besar
terhadap kehidupan manusia, seperti terjadinya pemanasan global, banjir bandang, kebakaran hutan,
tanah longsor yang menimbulkan korban baik manusia maupun sumber-sumber ekonomi
masyarakat, fasilitas-fasilitas sosial dan fasilitas umum, selain itu turunnya kualitas saya lingkungan
telah mengakibatkan berbagai endemi penyakit yang menimpa hampir di seluruh wilayah Indonesia,
seperti wabah penyakit demam berdarah, muntah ber, paru-paru, maupun diare dan lain-lain.
Kejahatan lingkungan dikategorikan sebagai kejahatan di bidang ekonomi dalam arti yang luas,
karena cakupan kriminalitas dan pelanggaran lingkungan lebih luas dari kejahatan konvensional
lainnya.
Penegakan hukum pidana lingkungan mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam
pemidanaan yaitu; (1). Untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang
berkaitan dengan perilaku yang dilarang: (2). Mencegah atau menghalangi prilaku potensial agar
tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dalam hal ini
benar-benar harus dipertimbangkan bahwa pelaku harus diberi tindakan untuk menganti sepenuhnya
keuntungan ekonomis yang diperoleh pelaku sebagai hasil tindak pidananya dan mengganti sebagian
dan seluruhnya biaya-biaya penyidikan dan perbaikan kembali dari berbagai kerusakan atau kerugian
yang disebabkan oleh perbuatan pelaku. Barang siapa merusak lingkungan harus dihukum. Setiap
orang yang merusak lingkungan harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang merusak. Jika
kita menghukum orang yang telah merusak lingkungan, maka pada saat yang sama kita melindungi
pelestarian lingkungan.
lingkungan hidup, sebab pencemaran dan kerusakan lingkungan bisa menggangu kelestarian
fungsi lingkungan hidup.
7. Masih ditemukannya sikap oknum yang arogan dengan kewenangan yang dimiliki, yang
seharusnya masing-masing dapat memperbaiki kapasitasnya dan saling mendukung kelancaran
setiap tahap penanganan perkara.
8. Masih adanya muatan korupsi dan bancking dari oknum pejabat dari Pemerintah Daerah, oknum
aparat keamanan dan lain-lain, sehingga penegakan hukum tidak bisa berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
9. Perbedaan psikologis antara pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas (penanganan di
bidang administratif) dengan penanganan melalui sarana hukum pidana, diantaranya: (1)Pejabat
Pemerintah (administratif) tidak banyak yang paham tentang hukum pidana. (2)Pejabat
Pemerintah bekerja dengan tujuan meningkatkan kerjasama pihak pemerintah dengan dunia
usaha, sehingga penanganan melalui sarana hukum pidana dianggap hal yang mengganggu untuk
membina hubungan dengan dunia usaha. (3) Ada pandangan yang mengganggap kejahatan
lingkungan hidup bukanlah suatu pelanggaran hukum yang serius, sehingga cukup diselesaikan
secara administrasi saja, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan oleh koorporasi. Pelaku
kejahatan koorporasi selalu “dianggap” warga yang baik dan terpandang dimata masyarakat. (4)
Adanya “kebijakan” untuk membiarkan pelaku tetap melakukan pelanggaran hukum lingkungan
untuk jangka waktu yang lama, karena penguasa (Pemerintah) masih melakukan perundingan
dengan pelaku untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang diperlukan untuk
menanggulangi hal tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya tindak pidana lingkungan
hidup.
Penegakan hukum berkaitan erat dengan ketaan bagi pemakai pelaksana peraturan perundang-
undangan, dalam hal ini baik masyarakat maupun penyelenggara negara yaitu penegak hukum.
Dengan adanya peraturan bahwa hukum itu dipatuhi oleh masyarakat merupakan pertanda tujuan
diciptakannya peraturan ini sudah tercapai. Penegakan hukum yang berisi kepatuhan, timbulnya tidak
secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang terbentuk dari kesadaran setiap insan manusia untuk
melaksanakannya.
Dalam menjaring sikap para pihak yang tidak bertanggung jawab, telah diciptakan berbagai
bentuk peraturan perundang-undangan dengan bentuk Undang-undang dan peraturan pelaksananya.
Penegakan hukum lingkungan yang cukup mendapat perhatian masyarakat tertentu adalam masalah
pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan industri, mengingat limbah-limbah banyak mengalir
sebagai hasil kegiatannya.
Sistim penegakan hukum lingkungan sudah cukup baik dengan melibatkan berbagai instansi
yang terkait secara aktif antara lain; (1) Pemerintah Daerah, (2) Departemen Industri, (3) Departemen
Kehakiman, (4) Kejaksaan, (5) Kepolisian.
Penanganan kasus pidana lingkungan hidup perlu memperhatikan aspek keseimbangan antara
pembangunan dan lingkungan hidup, antara kepentingan pembangunan ekonomi dan investasi
dengan kepentingan kelestarian lingkungan hidup, dalam kerangka mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, serta memperhatikan adanya keterpaduan dengan
aspek teknis (lingkungan).Adanya keterpaduan dengan aspek teknis (lingkungan) dalam penanganan
kasus lingkungan hidup, menyebabkan diperlukan adanya bantuan dan keterlibatan tenaga-tenaga
ahli lingkungan hidup dimulai dari tahap pengawasan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,
sehingga dalam mencapai sasaran dan tujuan penegakan hukum pidana lingkungan perlu dilakukan
hubungan koordinasi yang terbuka dan satu visi/misi antara penyidik, penuntut umum, dan aparat
pemerintah (pusat dan daerah) serta instansi sektoral yang terkait. Penanganan kasus pidana
lingkungan dilakukan dalam kerangka kerjasama terpadu mencengah dan meminimalkan adanya
perbedaan-perbedaan dalam persepsi dan aparat pemerintah daerah yang terkait memberikan
dukungan penuh. Selanjutnya juga perlu terbina persamaan presepsi dan pemahaman antara saksi-
saksi, ahli dan penuntut umum terhadap aspek lingkungan dan hukumnya guna dapat
dikontruksikannya aspek lingkungan dan aspek yuridis secara tepat.
Gagasan peneggakan hukum satu atap (khususnya untuk tindak pidana lingkungan) di
Indonesia perlu dilakukan penyiapan terhadap sistem pengembangan karir dan insentif bagi
sejumlah polisi dan jaksa yang akan direkrut. Selanjutnya, sistem rekruitment aparat yang masuk ke
dalam instusi penegak hukum satu atap didasarkan pada penilaian kualitas dan integritas (karakter)
yang baik. Sehingga akan didapatkan aparat penegak hukum yang propesifisonal dan memiliki hati
nurani dalam mewujudkan pembangunan di bidang lingkungan hidup.
Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Karena
selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja.
Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen,
pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang dianggap paling
menegerti hukum dan wajib menegakkanya, justru dari oknumnyalah yang melanggar hukum. Hal
ini menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi “teladan
bagi masyarakat”.
adalah apabila kesadaran hukum itu telah ada, namun kemudian menurun bahkan hilang karena
faktor eksternal, seperti penegakan hukum yang tidak tegas dan tebang pilih. Hal ini akan
menurunkan kesadaran hukum masayarakat dan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat
terhadap hukum. Jadi, upaya menumbuhkan kesadaran hukum tidak cukup dengan menuntut
masyarakat, tetapi juga harus disertai dengan teladan dan penegakan hukum.
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu;
Proses menumbuhkan kesadaran hukum lingkungan di atas, jangan sampai terjebak dengan
kata lingkungan saja, sehingga hanya UUPPLH saja yang dipahami masyarakat, tetapi juga Undang-
undang lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti Undang-undang tentang Perikanan,
Benda Cagar Budaya, Pertambangan, ZEE, Perindustrian, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistimnya, dan Pelayaran. Karena lingkungan hidup itu meliputi tanah, air, udara, ruang
angkasa, termasuk manusia dan perilakunya. UUPPLH pada dasarnya merupakan Undang-undang
induk atau Payung “umbrella Act” dibidang lingkungan hidup bagi semua Undang-undang tersebut.
IV. KESIMPULAN
1. Penegakan hukum lingkungan meruapakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsepkonsep dalam hukum lingkungan untuk menjadi kenyataan yakni ide berupa
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam proses penegakan hukum
pidana, dimulai dari tingkat penyelidikan yang dilakukan oleh Polri dan dibantu oleh Pegawai
Negeri Sipil Lingkungan Hidup, kemudian diteruskan ke Kejaksaan dan selanjutnya
dilimpahkan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan hakim. Di dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 94, memberikan kewenangan yang lebih bagi penyidik PPNS,
meskipun demikian harus tetap melakukan koordinasi dalam rangka efektivitas dan efisiensi
penanganan kasus lingkungan hidup yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup,
menimbulkan keresahan masyarakat, bersifat strategis, atau berdampak nasional/internasional,
dapat dibentuk Tim Gabungan Penanganan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup.
d) Adanya kecenderungan untuk saling menyalahkan antara satu aparat Kepolisian, Kejaksaan,
dan Pemerintah Daerah, yang seharusnya mereka saling berkoordinasi dalam menegakkan
hukum.
e) Dibutuhkannya waktu yang cukup panjang dalam proses pemeriksaaan perkara hingga
putusan hakim.
f) Kurang melibatkan para pakar yang ahli dalam bidang yang terkait kasus lingkungan hidup,
koorporasi dan lainnya yang seharusnya dilibatkan sejak awal pada tahap penyelidikan atau
setidak-tidaknya pada tahap penyidikan guna membantu melakukan kajiaan atau audit
lingkungan hidup guna membantu memberikan kesimpulan telah terjadinya pencemaran dan
atau kerusakan lingkungan hidup, sebab pencemaran dan kerusakan lingkungan bisa
menggangu kelestarian fungsi lingkungan hidup.
g) Masih ditemukannya sikap oknum yang arogan dengan kewenangan yang dimiliki, yang
seharusnya masing-masing dapat memperbaiki kapasitasnya dan saling mendukung
kelancaran setiap tahap penanganan perkara.
h) Masih adanya muatan korupsi dan bancking dari oknum pejabat dari Pemerintah Daerah,
oknum aparat keamanan dan lain-lain, sehingga penegakan hukum tidak bisa berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
i) Perbedaan psikologis antara pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas
(penanganan di bidang administratif) dengan penanganan melalui sarana hukum pidana,
diantaranya: (1)Pejabat Pemerintah (administratif) tidak banyak yang paham tentang hukum
pidana. (2)Pejabat Pemerintah bekerja dengan tujuan meningkatkan kerjasama pihak
pemerintah dengan dunia usaha, sehingga penanganan melalui sarana hukum pidana
dianggap hal yang mengganggu untuk membina hubungan dengan dunia usaha. (3) Ada
pandangan yang mengganggap kejahatan lingkungan hidup bukanlah suatu pelanggaran
hukum yang serius, sehingga cukup diselesaikan secara administrasi saja, apalagi jika
kejahatan tersebut dilakukan oleh koorporasi. Pelaku kejahatan koorporasi selalu “dianggap”
warga yang baik dan terpandang dimata masyarakat. (4) Adanya “kebijakan” untuk
membiarkan pelaku tetap melakukan pelanggaran hukum lingkungan untuk jangka waktu
yang lama, karena penguasa (Pemerintah) masih melakukan perundingan dengan pelaku
untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang diperlukan untuk
menanggulangi hal tersebut.
V. SARAN
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu;
Buku :
[1] Siswanto Sunarto, (2005). Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
[2] Muhamad Erwin, (2008). Hukum Lingkungan Dalam Sistim Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup. Bandung: Penerbit Rafika Aditama.
[3] Hanum M Husein, (1992). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika.
[5] R.Subekti, R. Tjitrosudibio, (2005). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: P.T
AKA.
[7] NHT. Siahaan, (2004). Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Undang-Undang:
[3] Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
[4] 11 /MENLH/07/2011; B/20/ VII /2011; KEP- 156 /A/JA/07/2011
Sumber :