Anda di halaman 1dari 9

HANDBOOK EDISI IV

Kebebasan yang Dibangun atas Realitas Bersama

ONLINE ONDERWIJS - KAT ITB 2020


Objektif
Dengan mempelajari materi ini peserta akan:

I. Memahami hakikat manusia sebagai makhluk individu


II. Memahami hakikat manusia sebagai makhluk sosial
III. Memahami implementasi konsep kebenaran ilmiah dalam kehidupan

Daftar Isi
Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial ................................................................. 3
Manusia Sebagai Individu dan Hak yang Membatasinya .................................................. 5
Batasan Manusia Sebagai Makhluk Sosial ....................................................................... 6
Konsep Kebenaran Ilmiah................................................................................................ 8
You become responsible forever for what you’ve tamed. You’re
responsible for your rose.”
― Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince

Kamu telah mengenali lingkunganmu. Saatnya kembali berlayar. Namun,


di perjalanan, kamu didatangi seseorang yang misterius. Bajunya
serba gelap, dan wajahnya tertutup topi.

“Pilihanmu harus disertai tanggung jawab!” katanya. “Kamu tidak


tinggal sendirian!”

Sebelum kamu sempat merespon apapun, ia pergi. Kamu menatap tempat


kosong di hadapanmu tempat tadi seseorang itu berdiri.

Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial

Manusia di dalam hidupnya selalu mencari dan membutuhkan kebebasan. Secara harfiah
kebebasan adalah kemampuan untuk melakukan segala sesuatu tanpa terbatasi apapun.
Meski dalam kenyataannya tidak ada hal yang benar-benar bebas, tidak ada kebebasan
yang tidak terbatas.

[Ada 7,6 miliar manusia di muka bumi dan setiap orang menginginkan kebebasan sehingga
tidak mungkin ada “ruang” yang cukup agar kebebasan itu tidak saling bergesekkan]

In philosophical discourse, freedom is discussed in the

context of free will and self-determination, balanced by


moral responsibility.

Jika ditarik ke pandangan filosofis, diskusi soal kebebasan selalu berkaitan dengan free-
will dan self determination yang seimbang dengan beban moral.
Manusia cenderung menciptakan kondisi chaos (Hobbes) dan saling menciptakan konflik
(Locke) sehingga akhirnya butuh kontrak sosial agar ada ruang bagi kebebasan untuk setiap
individunya dan menciptakan keteraturan. Adanya kebebasan artinya ada batasan untuk
hal-hal yang dapat menciptakan ketidakbebasan, ini yang dimaksud dengan kontrak sosial
itu sendiri. Kontrak sosial ini kemudian dijamin oleh institusi-institusi formal, contohnya
negara, yang kemudian mendefinisikan kebebasan sebagai hak.

Our lives go depends in part of individual choice. Still, the

rules make a difference. Nozick and Rawls both concluded that


utilitarianism fails to respect the “separateness of

persons.” The idea here is that all people are ends in

themselves with separate lives to lead. They are not tools to


be exploited for maximizing aggregate utility. We cannot

force people to suffer for the sake of others. (Jason

Brennan. 2016)

Sedikit mundur untuk kembali membahas kebebasan, kebebasan individu ini didasari atas
kehidupan yang bebas untuk dipilih oleh setiap individu (individual freedom), tidak ada
alasan untuk membuat bentuk-bentuk yang memaksa seakan ada arah yang harus dicapai
secara kolektif untuk meningkatkan keuntungan bersama. Bahkan jika untuk bergerak
sendiri, pencapaian tujuan bersama tanpa adanya pilihan pribadi masih bukan hal yang
benar untuk meningkatkan keuntungan bersama, coba baca “The One Who Walk Away
from Omelas”. Namun perlu diketahui tetap ada aturan yang membatasi kebebasan dan
pilihan individu, selain hukum dan norma di institusi tempat individu itu berada, yaitu hak itu
sendiri.

Manusia Sebagai Individu dan Hak yang Membatasinya

To say a person has rights is to say other people have


enforceable duties toward that person. (Jason Brennan, 2016)

Hak individu tiba-tiba seakan menciptakan tanggung jawab secara tidak langsung untuk
individu lainnya. Untuk seseorang yang memiliki hak hidup berarti setiap orang lainnya
memiliki tanggung jawab untuk tidak mengganggu hak hidup tersebut. Artinya ketika kita
sudah mendefinisikan kebebasan dalam sebuah institusi, kita sedang berbicara soal hak
dan hak setiap orang selalu dibatasi oleh hak orang lain dan untuk setiap hak individu lahir
tanggung jawab bagi individu lainnya untuk menjaga hak tersebut. Maka untuk saat ini kita
dapat menyimpulkan bahwa tanggung jawab sebagai kondisi tidak melanggar hak orang
lain. Ketika tanggung jawab ini tidak terlaksana akan ada konsekuensi yang harus diambil.

Kembali soal hak, hak mungkin bukan muatan yang absolut dan mungkin saja pro
tanto, artinya akan ada konsiderasi yang dapat mengakibatkan seseorang dapat kehilangan
haknya. Soal pro tanto ini berarti adanya presumsi moral yang menegaskan untuk tidak
melanggar hak, namun dalam situasi tertentu justru dapat menghilangkan tanggung jawab
untuk menjaga hak tersebut untuk menghindari bencana yang lebih besar. Contohnya saat
kondisi pandemi ini dan semua orang diimbau untuk melakukan self quarantine, ada
pembatasan hak individu, namun berdasarkan presumsi moral dan menimbang kerugian
yang mungkin ditimbulkan, maka mungkin hal ini dapat menjadi justifikasi.
To say a right is alienable is to say it can be transferred

to others—that is, that one person can lose the right and
another person can acquire it. To say a right is forfeitable

is to say that if people act in certain ways they can lose

that right. (Jason Brennan, 2016)

Hak dapat diberikan kepada orang lain artinya dengan consent hak dapat diganti
kepemilikannya, seperti pada saat proses jual beli barang. Tetapi hal ini mungkin tidak
berlaku untuk semua hak, seperti soal mendedikasikan diri untuk organisasi illuminati atau
human trafficking, yang seperti ini tidak terlihat benar untuk dilakukan. Hak dapat dibatasi
atau dihilangkan artinya ketidak absolutan hak berlaku sehingga individu dapat kehilangan
haknya, seperti ketika melakukan kejahatan maka beberapa hak dapat dihilangkan, dalam
kasus pelanggaran berat bahkan hak hidup dapat dihilangkan dengan hukuman mati.

Batasan Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Dalam realita kehidupan, batasan-batasan atas ketidakbebasan didasari karena manusia


tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan
sesamanya, karena sejatinya manusia selalu ingin berhubungan dengan manusia lain
sehingga menunjukkan kondisi yang interdependensi. Hidup dalam hubungan antaraksi dan
interdependensi itu mengandung konsekuensi berupa batasan -batasan yang terangkum
dalam norma-norma yang ada dan menyesuaikan pada kebenaran ilmiah.

Menurut Soerjono, norma adalah perangkat dalam masyarakat agar hubungan bisa terjalin
baik; Isworo mengatakan bahwa norma adalah sebuah petunjuk atau peraturan dalam hidup
yang mampu memberikan ancar-ancar tentang perbuatan mana saja yang harus dilakukan
atau dihindari. Dari pemaparan dua ahli tersebut, tercermin bahwa dalam menjalani
kehidupan bersosial penting untuk memahami norma-norma yang ada, baik itu norma
susila, kesopanan, agama, dan hukum agar kebebasan yang dipaparkan sebelumnya dapat
dipahami batasannya sehingga hubungan antaraksi dan interdependensi dapat berjalan
dengan baik dan benar. Apabila norma yang berlaku tidak dijalankan sebagaimana
mestinya, maka konsekuensi berupa sanksi atau pelanggaran akan diterapkan sesuai
aturan yang berlaku. Perlu dipahami pula bahwasannya norma dapat berbeda-beda
menyesuaikan kondisi dan lingkungan tempat berlakunya norma tersebut.

Contoh :

- Di suatu sore, Ali sedang berjalan-jalan di suatu mall mewah. Lalu ia melihat smartphone
yang canggih dan ia berkeinginan untuk memilikinya. Ia tidak bekerja dan memiliki
penghasilan sehingga memutuskan untuk pulang ke rumahnya dan mengambil harta
ayahnya yang bukan haknya. Lalu dia tersadarkan bahwa di negaranya terdapat undang-
undang terkait larangan mencuri dan pelaku yang melarang peraturan tersebut dijerat
pasal pidana dan berpotensi untuk dimasukkan ke dalam penjara sehingga ia tidak jadi
mencuri harta ayahnya karena bertentangan dengan norma hukum negaranya.

- Pada zaman penjajahan, perempuan tidak dapat mengakses pendidikan karena


berdasarkan norma sosial yang ada pada saat itu, perempuan hanya diperbolehkan untuk
berada di dalam rumah dan mengatur urusan rumah tangga. Namun akhirnya R.A. Kartini
berani untuk menentang norma tersebut dengan dilandasi atas konsep pendidikan yang
bertujuan untuk mendidik manusia terlepas dari apapun identitasnya.
Konsep Kebenaran Ilmiah

Human is inherently in favor of Order and Structure.

Hans Kelsen, “What is Justice”,

(London: Cambridge University Press 1957)

Sebagai insan akademis, ada peran yang akan muncul dengan sendirinya apabila mengikuti
watak ilmu itu sendiri—mencari dan membela kebenaran ilmiah. Selain memahami
pentingnya norma yang ada dengan segala konsekuensinya, peserta juga perlu memahami
konsep kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh atau
ditemukan berdasarkan fakta, hasil riset, dan penelitian yang melalui proses penalar an atau
logika penelitian ilmiah sehingga kebenarannya disepakati oleh semua orang karena dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tanpa terikat oleh kondisi dan lingkungan.
Keselarasan dalam penggunaan norma dan kebenaran ilmiah ini penting untuk
diterapkan agar kebebasan yang dijelaskan sebelumnya dapat diaplikasikan secara
bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan.

Contoh :

- Akhir-akhir ini di Indonesia sedang viral isu tentang kalung eukaliptus yang dibuat oleh
Kementrian Pertanian yang dilansir dapat menjadi antivirus corona. Sebagai insan
akademis, perlu untuk mencari dan membela kebenaran ilmiah dari pernyataan tersebut.
Karena kalung tersebut sampai saat ini belum bisa dibuktikan secara sains sehingga
dipertanyakan kebenarannya.

- Dahulu sempat ada isu di berita yang mengatakan bahwa perempuan yang berenang
dengan laki-laki di satu kolam yang sama dapat menyebabkan kehamilan. Seorang insan
akademis tidak boleh menerima pernyataan tersebut secara spontan. Karena dalam ilmu
biologi sendiri dijelaskan bagaimana reproduksi dan kehamilan itu dapat terjadi yang
bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, sehingga tidak sesuai dengan kebenaran
ilmiah yang ada.

- Pandangan soal adanya konsekuensi dari pakaian seseorang dengan kasus kekerasan
seksual yang dialami merupakan hasil dari kurangnya penerapan konsep kebenaran ilmiah
akibat masyarakat yang terbawa dari konstruksi sosial soal bagaimana “seharusnya”
seseorang berpakaian.

Gambar 1 Persentase Data Terkait Cara Berpakaian dan Kekerasan Seksual

Sumber logo Civil Right

https://www.flaticon.com/free-icon/civil-right-
movement_3122422?term=civil%20right&page=2&position=29

Anda mungkin juga menyukai