Anda di halaman 1dari 4

TUGAS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Disusun Oleh:

NAMA : ABDIEL EWALDO PAILANG

NIM : D101 18 165

KELAS : D (BT 4)

Mata Kuliah : Hukum Perjanjian Internasional

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS HUKUM

2020
TUGAS – 1

PERJANJIAN BILATERAL
Contoh :
Tenaga kerja Indonesia atau yang lebih sering disebut dengan TKI adalah merupakan salah satu
dari berbagai macam bentuk kerjasama yang diadakan oleh Indonesia dengan Malaysia. Banyak
TKI yang bekerja di Malaysia. Salah satu Negara yang paling banyak menjadi pilihan bagi para
TKI. Salah satu alasan mengapa TKI lebih banyak memilih bekerja di Malaysia adalah
dikarenakan jarak tempuh yang dihitung sangatlah dekat dari Indonesia dan yang kedua adalah
mengenai bahasa yang sangat mirip dengan bahasa Indonesia. kedua alasan tersebut yang
membuat Negara Malaysia menjadi Negara favorit bagi para pekerja Indonesia yang ingin
merubah nasib atau memperbaiki taraf ekonominya di Negara lain. Pemerintah membuat
kesepakatan dengan Malaysia untuk mengadakan perjanjian diantara keduanya. Pemerintah
Indonesia dengan Malaysia menandatangani perjanjian kerjasama penempatan tenaga kerja
Indonesia di Malaysia. Penandatanganan (MoU) tersebut dilakukan pada tahun 2004.
Kepengurusan ketenagakerjaan khususnya membantu para pekerja/buruh Indonesia yang berada
di luar negeri, maka ditempatkan petugas ketenagakerjaan perwakilan RI yaitu di KBRI Kuala
lumpur. Selain Undang-Undang tentang ketenagakerjaan, pemerintah juga mengeluarkan
Undang-undang No.39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia
di luar negeri, agar lebih memudahkan untuk TKI yang akan bekerja di luar negeri.

PERJANJIAN MULTILATERAL
Contoh :
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris:United Nations
Convention on the Law of the Sea) disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut
atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi
Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung
dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan
tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk
bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun
1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan
pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani
perjanjian.
Untuk saat ini sudah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi.
Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan
aksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak
Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada,
bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim
Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional
(yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).
TUGAS 2

- Perjanjian Internasional yang secara tegas melarang negara-negara mengajukan


pensyaratan (atas seluruh ketentuannya)
Adanya larangan untuk melakukan pensyaratan berdasarkan kaidah hukum kebiasaan
internasiona,contohnya pensyaratan (reservasi) terhadap ketentuanketentuan yang terdapat dalam
Piagam PBB (The UN Charter) terutama bagi negaranegara yang akan masuk menjadi anggota
dari Organisasi PBB

- Perjanjian Internasional yang secara tegas memperbolehkan pengajuan


pensyaratan atas ketentuan tertentu dari perjanjian tetapi melarang pengajuan
pensyaratan atas ketentuanlainnya
ketika mengajukan pensyaratan terhadap Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut. Dengan
UU NO 19 tahun 1961 Indonesia meratifikasi Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut,
dimana sebelumnya Indonesia telah ikut menandatangani konvensi tersebut.Undang-undang
tersebut pada prinsipnya mengandung adanya persetujuan terhadap tiga Konvensi Jenewa
mengenai Hukum Laut, yakni Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati
Laut Lepas, Konvensi mengenai Landas Kontinen dan Konvensi mengenai Laut Lepas. Ikut
sertanya Indonesia terhadap ketiga konvensi ini diberikan dengan suatu pensyaratan, yang pada
prinsipnya berkaitan dengan penafsiran terhadap "territorial sea" dan "Internal Waters". Dalam
mana Indonesia menginginkan bahwa sepanjang yang mengenai perairan Indonesia, maka harus
ditafsirkan sesuai dengan UU No 4 Prp tahun 1960. Ternyata ratifikasi dengan suatu pensyaratan
yang dilakukan oleh Indonesia terhadap ketiga konvensi tersebut hanyalah ratifikasi mengenai
Konvensi tentang Laut Lepas saja yang diterima oleh Sekjen PBB.Dengan demikian hanya
ratifikasi mengenai Laut Lepas sajalah yang sah menurut hukum. Sedangkan oleh karena
ratifikasi yang disertai dengan pensyaratan terhadap dua konvensi lainnya ditolak, maka dapat
dikatakan bahwa Indonesia bukan merupakan peserta atas dua konvensi tersebut, karena dua
konvensi itu memang tidak boleh dibubuhi pensyaratan.Apabila masalah diatas dikaitkan dengan
ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional,
maka dapat dikatakan bahwa ditolaknya pensyaratan yang diajukan Indonesia terhadap Konvensi
mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas dan Konvensi mengenai
Landas Kontinen, karena dianggap pensyaratan yang diajukan Indonesia itu tidak sesuai dengan
tujuan dan maksud konvensi. Karena itu konsekuensi hukumnya adalah bahwa Indonesia
sebagai negara yang mengajukan pensyaratan, dianggap bukan sebagai pihak peserta atas kedua
konvensi tersebut, yakni Konvensi mengenai perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut
Lepas dan Konvensi mengenai Landas kontinen.

- Perjanjian Internasional yang memperkenankan kepada negara-negara


mengajukan pensyaratan tetapi tanpa disertai penegasan pasal mana yang boleh
dan yang tidak boleh di kenakan pensyaratan
pada tahun 1961 Indonesia telah ikut menandatangani Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan
dengan UU No 8 tahun 1976 telah pula meratifikasinya. Pada waktu menandatangani konvensi
tersebut, Indonesia mengajukan pensyaratan terhadap pasal 48 ayat (2) tentang keharusan
penyelesaian sengketa pada Mahkamah Internasional. Pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal
Narkotika selengkapnya berbunyi sebagai berikut:"Any such dispute which cannot be settled in
the manner precribed shall be referred to the International Court of Justice for decision ". Pada
intinya pensyaratan yang diajukan Indonesia terhadap pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal
Narkotika itu adalah bahwa Indonesia tidak mengakui adanya jurisdiksi mengikat (compulsory
jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Alasan yang diajukan oleh Indonesia adalah bahwa
sengketa yang hendak diajukan ke depan Mahkamah Internasional harus ada persetujuan para
pihak dan harus dilihat secara kasuistis. Disamping itu, pensyaratan yang diajukan Indonesia
tersebut berdasarkan prinsip untuk menerima suatu kewajiban untuk mengajukan
perselisihanperselisihan
internasional, dimana Indonesia tersangkut kepada Mahkamah, terutama apabila
perselisihan demikian itu mempunyai segi politis. Pensyaratan terhadap pasal 48 ayat (2)
tersebut juga dilakukan oleh Bulgaria, yang isinya sama dengan pensyaratan yang diajukan
Indonesia, yakni tidak diakuinya jurisdiksi mengikat dari Mahkamah Internasional, dengan
mengatakan : "The people's Republic of Bulgaria does not consider herself bound to implement
the provisions of article 48, paragraph 2, concerning the obligatory jurisdiction of International
Court". Pensyaratan yang diajukan, baik oleh Indonesia maupun oleh Bulgaria tersebut tidak
banyak menimbulkan masalah, karena dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 itu sendiri
diperkenankan adanya pensyaratan demikian. Bahkan dalam pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 disebutkan secara tegas pasal-pasal mana saja yang boleh mendapatkan
pensyaratan. Pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut berbunyi: "Any State
may at the time of signature, ratification, or accession make reservations in respect of the
following provisions of this Convention : article 12, paragraphs 2 and 3; article 13 paragraph 2;
arty id e 14 paragraphs 1 and 2; article 31 paragraphs 1 (b); and article 48" . Dengan demikian,
melihat ketentuan diatas, tidak ada persoalan mengenai sah tidaknya pensyaratan yang diajukan
Indonesia maupun Bulgaria. Sedangkan akibat hukum atas pensyaratan dalam hubungannya
dengan negara yang menerima maupun yang menolak pensyaratan itu, akan berlaku ketentuan
seperti yang terdapat dalam "advisory opinion" Mahkamah Internasional mengenai pensyaratan
pada tahun 1951 sebagaimana sudah diuraikan diatas. Apabila dikaitkan dengan Konvensi Wina
1969 tentang Hukum Peijanjian, maka akan berlaku ketentuan pasal 20 ayat (4).

- Perjanjian Internasional yang sama sekali tidak menegaskan tentang pensyaratan


Banyak sekali produk dari Tiongkok yang telah menyebar hampir di segala dunia. Di samping
tenar sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, Tiongkok juga adalah negara
yang mempunyai kekuatan kekuatan produksi dan ekspor barang terbesar.Mereka memproduksi
bermacam tipe tipe produk. Mulai dari keperluan rumah tangga, kecantikan, elektronik, otomotif,
dan masih banyak lagi bermacam tipe produk yang mereka produksi.Menurut Mahkamah
Internasional, tepatnya di Pasal 38 Ayat 1 mengucapkan bahwa perjanjian internasional adalah
perjanjian yang baik mengandung ketentuan-ketentuan aturan yang telah diakui oleh
masingmasing
negara-negara yang bersangkutan baik bersifat khusus atau biasa.Menurut UU No. 37
Tahun 1999 sendiri, mengucapkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang terjadi
dalam format dan nama tertentu yang telah dijadikan secara tertulis yang memunculkan hak dan
kewajiban di dalam bidang aturan politik.

Anda mungkin juga menyukai