Anda di halaman 1dari 15

MISETOMA

Misetoma adalah penyakit kronik, supuratif, dan granulomatosa yang dapatdisebabkan


bakteri Actinomyces dan Nocardia yang termasuk Schizomycetes dan Eumycetes atau jamur
berfilamen.
1. Distribusi : Indonesia +
2. Morfologi :
 Hifa2 jamur GRANUL yang merupakan koloni dalam jaringan abses.
 Granul-granul tersebut berwarna tergantung dari spesies penyebab (putih,
kekuningan, tengguli hitam dll.)
3. Gejala klinis
Biasanya terdiri atas pembengkakan, abses, sinus, dan fistel multiple. Di dalam
sinus ditemukan butir-butir (granules) yang berpigmen yang kemudian dikeluarkan
melalui eksudat. Berhubungan dengan penyebabnya, misetoma yang disebabkan
Actinomyces disebut  Actinomycotic mycetoma yang disebabkan bakteri botryomycosis
dan yang disebabkan jamur berfilamen dinamakan maduromycosis. Biasanya merupakan
lesi kulit yang sirkumskrip dengan pembengkakan seperti tumor jinak dan harus disertai
butir-butir. Inflamasi dapat menjalar dari permukaan sampai ke bagian dalam dapat
menyerang subkutis, fasia, otot, dan tulang. Sering berbentuk fistel yang mengeluarkan
eksudat.
4. Cara infeksi : Trauma
Kelainan mula-mula berupa tumor kecil yang makin membesar merusak
jaringan & tulang abses & fistel (keluar nanah yg terdiri dari granul2 yg berwarna &
tanpa rs skt.) deformitas
5. Diagnosis
a. Pemeriksaan langsung:
KOH 10% gumpalan hifa yg berwrn terg. jamur penyebab
b. Histopatologi: terlihat jaringan granulasi dengan sarang peradangan dan abses2.
c. Pulasan HE : terlihat hifa halus/lebar
d. Pulasan khusus Ziehl Nielsen: membedakan Nocardia asteroides dan N.
braziliensis dari penyebab lain
e. Biakan aerob agar Sabouraud suhu kamar identifikasi spesies
f. Biakan anerob : Actinomyces israelli
6. Pengobatan
Pengobatan misetoma biasanya harus disertai reseksi radikal, bahkan amputasi
kadang-kadang perlu dipertimbangkan. Obat-obat misalnya kombinasi
kotrimoksazoldengan streptomisin dapat bermanfaat, bila penyakit yang dihadapi adalah
misetomaaktinomikotik, tetapi pengobatan memerlukan waktu lama (9 bulan- 1tahun)
dan bilakelainan belum meluas benar. Obat-obat baru antifungal misalnya itrakonazol
dapatdipertimbangkan untuk misetoma maduromikotik
Pembedahan direkomendasikan untuk lesi mycetoma lokal yang dapat diangkat
seluruhnya tanpa cacat sisa. Bedah reduksi pada lesi besar dapat meningkatkan respon
pasien terhadap perawatan medis, namun, bedah reseksi parsial tanpa dilanjutkan
pemberian antimikroba atau antijamur yang tepat akan rentan terhadap kegagalan.
Actinomycetoma adalah infeksi bakteri yang berespon terhadap dengan antibiotik
jika pengobatan dimulai sejak dini. Pengobatan dilakukan dengan kombinasi dua macam
obat selama dua minggu, biasa dipakai kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-
SMZ), dapsone (diaminodiphenylsulfone), and streptomycin sulfate.
Eumycetoma dapat berespon sebagian terhadap antifungal, walaupun terapi bedah
lebih diutamakan pada lesi lokal. Madurella mycetomatis mycetoma dapat merespon
ketoconazole (200 mg bid). P boydii (S apiospermum) mycetoma umumnya dirawat
dengan voriconazole, walupun juga berespon dengan itraconazole. Agen lain yang
menyebabkan eumycetoma dapat berespon secara intermitten adalahitraconazole (200 mg
bid) atau amphotericin B. Durasi perawatan minimum adalah 10 bulan.
7. Prognosis
Misetoma aktinomikotik > baik misetoma maduromikotik
Prognosis quo ad vitam umumnya baik. Pada maduromikosis prognosis quo
adsanationam tidak begitu baik tidak begitu baik bila dibandingkan aktinomikosis atau
botriomikosis. Diseminasi limfogen atau hematogen dengan lesi pada alat-alat dalam
merupakan pengecualian.
8. Epidemiologi
 Misetoma tidak menular
 Infeksi terjadi melalui tusukan duri yang mengandung jamur penyebab
 Banyak ditemukan pada petani dan pekerja perkebunan
Penyakit ini biasanya muncul pada para pekerja yang berada di daerah
pertanian,lebih khusus pada pria dengan usia 20-40 tahun. Penyakit ini terjadi karena
adanya spora bakteri atau fungi yang terdapat dalam tanah.
Pseudoallescheria boydii spp adalah salah satu contoh fungi penyebab penyakit
ini. Adanya infeksi karena penyakit ini tampak dengan adanya bentukan seperti agar-
agar/yogurt saat sudah dewasa. Penyebaran yang tidak sewajarnya juga bias terjadi, yaitu
terjadinya hematogenus dan penyebaran pada Limfa. Normalnya infeksi pertama
ditemukan pada daerah kaki atau tangan dan akan berjalan kearah lengan. Mycetoma
adalah infeksi lokal kronis pada kulit, jaringan dasar, dan kadang-kadang pada tulang,
yang disebabkan oleh actinomycetes aerobik atau bakteri filamentosa (actinomycetomas)
dan jamur (eumycetomas). Organisme ini biasanya termasuk saprofit pada tanaman dan
tanah.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dengan frekuensi lebih besar pada wilayah
tropis dan subtropis yang curah hujannya rendah, terutama di India, Sudan, Pakisatan,
Bangladesh, negara-negara timur tengah, Somalia, Meksiko, Venezuela. Mycetoma biasa
terjadi pada usia dewasa (20-40 tahun) dengan laki-laki lebih dominan (14:1). Hal ini
disebabkan karenan adanya perbedaan area pekerjaan laki-laki daripada perempuan,
dimana laki-laki lebih dominan bekerja dilingkungan luar.
KROMOMIKOSIS

Kromikosis atau Kromoblastomikosis atau dermatitis verukosa adalah penyakit jamur


yang disebabkan bermacam-macam jamur berwarna (dematiaceous).
1. Distribusi : Indonesia jarang ditemukan
2. Morfologi : Golongan jamur DEMATIACEAE
 Jamur terdapat di alam bebas
 Jamur berwarna gelap, coklat kehitaman dan membentuk koloni filament
3. Gejala klinis
Penyakit iniditandai dengan pembentukan nodus verukosa kutan yang perlahan-
lahan sehinggaakhirnya membentuk vegetasi papilomatosa yang besar. Pertumbuhan ini
dapat menjadiulkus atau tidak, biasanya ada di kaki dan tungkai, namun lokalisasi di
tempat lain pernahditemukan, misalnya pada tangan, muka, leher, dada, dan bokong.
4. Cara infeksi : trauma kulit
Kelainan Klinik : Kulit & Subkutis
 Lesi awal spt dermatofitosis
 Kulit: Keluhan utama : gatal
5. Penyebaran : Limfogen & hematogen
6. Diagnosis
Bahan: kerokan kulit, biopsi jar, otopsi
Pemeriksaan :
 Sediaan langsung KOH 10-20%
 P.A. : Jaringan subkutis/cutis: jamur tampak sebagai spora berbentuk bulat, dd
tebal, warna tengguli dengan tanpa sekat, satu-satu/berkelompok dalam sarang
radang
 Biakan : dlm med. Sabouraud suhu kamar  koloni filamen tengguli tua.
 Determinasi koloni berdasar sporulasinya.
7. Pengobatan
 Radiasi & lar. Podofilin : kurang bagus hasilnya
 Lesi kecil : extirpasi
 Amfoterisin B intradermal pada lesi.
 Obat sistemik : Ketoconazol / derivat azole lainnya memberikan hasil yg baik
8. Prognosis
Penyakit ini tidak fatal, bila kelainan telah meluas secara sistemik maka
pengobatannya menjadi lebih sulit dan sukar disembuhkan.
9. Epidemiologi
 Penyakit ini kosmopolit ditem. di daerah tropik/subtropik.
 Penggunaan alas kaki utk mencegah infeksi.
SPOROTIKOSIS
Sporotrikosis adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh Sporotrichium schenkii dan
ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit dan jaringan subkutis diatas nodus
bening sering melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen.
1. Distribusi : kosmopolit, Ind. +
2. Morfologi
Sporothrix schenckii adalah jamur dismorfik yang dipengaruhi suhu. Jamur ini
dikelompokkan ke dalam subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes. Sporothrix
schenckii banyak terdapat di alam, terutama pada tanah dan bahan organik tumbuhan
(seperti duri tanaman, daun kering, dan kayu). Sporothrix schenckii dapat tumbuh
dengan baik dalam media agar rutin dan pada suhu kamar koloni muda terlihat hitam dan
mengkilap, kemudian permukaannya berkerut/ berlipat. Pigmentasi strain bervariasi
mulai dari hitam dan abu sampai putih. Organisme ini menghasilkan percabangan, hifa
septate, dan conidia kecil (3-5 μm). Sporothrix schenckii bersifat dismorfik karena
memiliki dua fase yaitu fase mycelia dan fase ragi. Fase saprofitik mycelia ditandai
dengan hifa yang ramping, dan bercabang, mengandung conidiophores tipis, dengan
bentuk apeks berupa vesikel kecil tersusun seperti dentikel. Setiap dentikel menghasilkan
satu conidium, berukuran 2-4 μm dan conidia ini tersusun seperti kelompok bunga
(flower-like groups). Conidia lepas dari conidiophores, kemudian tersusun sejajar
bilateral dengan hifa. Fase parasitik ragi adalah pleomorfik, yang memperlihatkan bentuk
spindle dan atau sel oval dengan ukuran diameter 2,5-5 μm. Fase mycelia dan fase ragi
dapat diperoleh dari kultur pada 250C dan 370C, terlihat koloni berwarna putih pada
media kultur. Faktor-faktor yang mempengaruhi peralihan bentuk adalah penjemuran,
tekanan CO2, pH, sumber karbon. Suhu merupakan faktor yang menentukan dalam
peralihan bentuk (dismorfik) jamur ini. Koloni-koloni yang lebih tua akan menjadi
berwarna hitam untuk memproduksi conidia hitam yang nantinya akan muncul langsung
dari hifa. Demikanlah proses tersebut terus berjalan hingga terbentuk lagi generasi
berikutnya
3. Gejala klinis
Sporotrichosis memiliki tiga tipe, yaitu tipe lymphocutaneous, tipe fixed
cutaneous, dan disseminate. Sekitar 80% bentuk klinisnya berupa lymphocutaneous.
Dimulai dengan lesi nodular atau ulser pada tempat inokulasi jamur. Biasanya pada
daerah ekstremitas dan unilateral. Setelah beberapa hari atau minggu infeksi menyebar
secara khas mengikuti aliran limfe secara asenden yaitu bila inokulasi pada tangan maka
melalui pembuluh limfe tangan dan lengan akan menuju kelenjar limfe regional
membentuk lesi nodular, ulser, fistula, atau nekrosis yang menunjukkan gambaran
gumma. Pada tipe ini infeksi terbatas pada kulit, pembuluh limfe, dan jaringan subkutan.
Hal ini menjelaskan penamaan penyakit ini dengan istilah ascending nodular
lymphangitis. Manifestasi lainnya adalah bentuk fixed cutaneous, yaitu lesi nodular,
krusta tebal yang menutupi ulser, erosi, papula yang mengalami infiltrasi atau
erythematosquamous yang berlokasi pada daerah yang terpapar inokulasi jamur. Sering
juga dijumpai lesi satelit keci-kecil. Daerah yang paling sering terkena adalah muka,
leher, dan badan. Infeksi ini hanya terbatas pada daerah inokulasi dan tidak melibatkan
pembuluh limfe.
4. Cara infeksi : trauma & inhalasi spora
5. Diagnosis
a. Sediaan langsung/ HE: jamur sulit ditemukan
b. Gram, PAS, GMS: jamur mudah dilihat
c. Biakan : Gol. jamur DIMORFIK
d. Biakan suhu kamar : koloni filamen putih dengan hifa halus + spora tersusun
seperti bunga pada ujung konidiofor.
e. Biakan suhu 37 C : koloni ragi dng blastospora yg bulat/lonjong
f. Percobaan bnt : injeksi ke peritoneum tikus/mencit jantan  1-2 mgg  orkitis
(dlm jar. testis tikus  blastospora bulat /lonjong seperti lisong).
g. Serologi : utk membantu diagnosis
6. Pengobatan
 Larutan KJ jenuh
 Kasus yg telah lanjut : Amfoterisin B iv
 Derivat azole : mis. ketoconazole
7. Prognosis
 Limfatika lokalisata : baik
 Diseminata : fatal
8. Epidemiologi
Jamur Sporotrichum schenckii terdapat ditanah, tanaman lapuk, daerah
pertambangan, sehingga pekerja-pekerja di perkebunan, petani dan buruh tambang perlu
melindungi kaki dari trauma.
Sporotrichosis banyak dilaporkan pada daerah tropis dan beriklim sedang. Di
Amerika Selatan, penyakit ini lebih sering terjadi saat musim gugur atau musim panas.
sedangkan di Meksiko insidensi terbesar terjadi saat musim dingin yang kering.
Sporotrichosis dapat mengenai semua umur. Jumlah kasus pada pria dan wanita
bervariasi pada setiap suatu daerah. Secara umum, infeksi terjadi dari inokulasi jamur
yang masuk melalui duri, serpihan, goresan, dan trauma kecil, yang sering terjadi saat
beraktivitas memelihara bunga, bercocok tanam, memancing, berburu, bertani, berternak,
pertambangan dan penebangan kayu. Epidemi kasus sporotrichosis terbesar yang pernah
terjadi adalah di Afrika Selatan yang mengenai sekitar 3000 penambang emas.
RHINOSPORIDIOSIS

Rhinosporidium seeberi adalah eukariotik patogen yang bertanggung jawab atas


rhinosporidiosis, penyakit yang mempengaruhi manusia, kuda, anjing, dan sapi tingkat lebih
rendah, kucing, rubah, dan burung. Hal ini paling sering ditemukan di daerah tropis, terutama
India dan Sri Lanka. Patogen ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1892 tetapi secara
komprehensif dijelaskan pada tahun 1900 oleh Seeber.
1. Distribusi
Dahulu penyakit rhinosporidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur,
namun kini diyakini menjadi protistan parasit perairan ikan langka. Infeksi umumnya
terjadi setelah berenang di kolam air tawar stagnan, danau, atau sungai, tetapi juga diduga
terjadi dari debu atau udara. Penyakit ini paling sering terlihat pada individu usia 15-40,
dengan kejadian istimewa di anak laki-laki. Rhinosporidium seeberi berlangsung melalui
beberapa tahap perkembangan dan dapat didiagnosis dengan mudah melalui noda jamur
tradisional. Meskipun tidak ada terapi antibiotik yang efektif, eksisi bedah dari polip
sering berhasil dalam mengobati penyakit. Rhinosporidium seeberi memiliki distribusi di
seluruh dunia dengan kecenderungan untuk hangat, lingkungan tropis. Hal ini paling
umum di India selatan, Sri Lanka, dan Asia Tenggara, meskipun kasus telah dilaporkan di
Amerika Selatan, Afrika, dan Amerika Serikat Tidak ada sinonim alternatif untuk
penyakit ini.
2. Gejala klinis
Organisme ini menginfeksi mukosa rongga hidung menghasilkan massa seperti
lesi. This mass appears to be polypoidal in nature with a granular surface speckled with
whitish spores. Massa ini tampaknya polypoidal di alam dengan permukaan granular
keputihan berbintik-bintik dengan spora. Gambaran klinis umumnya tampak sebagai
massa merah muda atau merah bengkak polip dalam rongga hidung atau konjungtiva
okular,dapat juga dijelaskan sebagai penyakit granulomatosa kronis yang ditandai dengan
adanya lesi polypoidal besar yang hiperplastik, sangat rapuh dan tetap atau pedunculated.
The rhinosporidial mass has been classically described as a strawberry like mulberry
mass. Massa rhinosporidial telah klasik digambarkan sebagai stroberi seperti massa
murbei. This mass may extend from the nasal cavity into the nasopharynx and present
itself in the .Massa ini dapat memperpanjang dari rongga hidung ke nasofaring dan hadir
sendiri di rongga mulut. These lesions commonly cause bleeding from the nasal
cavity.Lesi ini sering menyebabkan perdarahan dari rongga hidung. Rhinosporidium
seeberi can also affect the and also rarely the skin and genitalia.Penyakit rhinosporidium
juga dapat mempengaruhi kelenjar lakrimal dan juga jarang kulit dan kelamin. Common
sites affected:Predileksi yang sering pada tubuh;
 Nose - 78%Hidung - 78%
 Nasopharynx - 68%Nasofaring - 68%
 Tonsil - 3%Amandel - 3%
 Eye - 1%Mata - 1% Skin - very rare
 Kulit - sangat jarang
3. Patologi
Patologi penyakit ini yang menarik adalah laporan yang mengindikasikan bahwa
pasien dengan rhinosporidiosis memiliki anti-R. seeberi to an inner wall expressed only
during the mature sporangial stage. seeberi IgG ke dinding bagian antigen disajikan
hanya selama tahap sporangial matang. This finding suggests that the mapping of
antigenic proteins may lead to important antigens with the potential as vaccine
candidates. Temuan ini menunjukkan bahwa pemetaan protein antigen dapat
menyebabkan antigen penting dengan potensi sebagai kandidat vaksin. Respon Humoral
dan Cell-mediated immune respons pada pasien manusia dan tikus percobaan telah
ditetapkan; beberapa mekanisme penghindaran imunitas oleh R. seeberi have been
identified. seeberi telah diidentifikasi.A novel method for the determination of the
viability of rhinosporidial endospores by MTT-reduction led to the study of the
sensitivity of endospores to biocides and drugs (in preparation for submission).
4. Pengobatan
Pengobatan umumnya dengan operasi pengangkatan jaringan yang terinfeksi
Eksisi dengan diatermi atau laser dianggap sebagai pilihan perawatan. Namun,
kekambuhan sangat umum terjadi. , anti-fungal drugs like , and have been suggested as
[ 11 ]
possible antiseptics. Povidone-iodine ,-obat anti jamur seperti amfoterisin-B , Dapson
dan perak nitrat dapat diberikan sebagai antiseptik.

LOBOMIKOSIS

Lobomikosis adalah suatu infeksi kronis pada kulit dan jaringan subkutan yang
disebabkan oleh jamur Loboa loboi atau yang saat ini dikenal dengan Lacazia loboi. Klasifikasi
taksonomik dari jamur ini masih kontroversi, tetapi secara genetik mirip dengan
Paracoccidiodes brasiliensis. Lobomikosis pertama kali dilaporkan oleh seorang dermatologis
Jorge Lobo pada tahun 1931, dan untuk alasan inilah penyakit ini juga dikenal dengan nama
penyakit Jorge Lobo atau mikosis Jorge Lobo. Nama lain penyakit ini adalah keloidal
blastomikosis, blastomikosis tipe Jorge Lobo, leprosy-of-the-caiabi, false-leprosy, blastomikoid
granulomatosis, Amazon blastomycosis dan lacaziosis
1. Distribusi
Penyakit ini terjadi pada daerah-daerah tropis di Amerika Selatan dan Amerika Tengah,
terutama pada masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai
2. Gejala klinis
Gambaran klinis didominasi oleh lesi berbentuk keloid yang kronis dan
terlokalisasi pada area yang terbuka, terbatas pada kulit dan semimukosa. Lesi yang mirip
keloid ini akan berkembang secara perlahan, dapat menjadi verukoid dan ulserasi. Lesi
juga dapat tampak berbentuk plak, papula atau nodul. Awalnya berupa lesi tunggal tetapi
kemudian menjadi jamak dan menyebar. Dapat juga terjadi pleomorfisme, dimana pada
pasien yang sama dapat tampak berbagai jenis lesi, dapat juga ditemukan pada wajah,
dahi, dada, skapula, lumbosakral, pantat dan skrotum. Lesi dapat terlihat normal (tidak
ada pigmentasi), hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, tidak kemerahan dan tidak ada
tanda-tanda inflamasi. Manifestasinya termasuk sakit saat disentuh, gatal, rasa terbakar,
tetapi bisa juga hipoesthesia atau bahkan anesthesia (tidak terasa).
Membran mukosa atau organ dalam tidak terlibat. Tidak ada keterlibatan sistemik
dan kondisi pasien secara keseluruhan baik. Penyebaran dari lesi kutaneus jarang,
sehingga memberikan prognosis yang baik. Pada beberapa pasien, lesi dapat menyebar ke
bagian tubuh lain di dekatnya atau melalui aliran limfe, sehingga menyebabkan gangguan
estetik. Selain itu dapat menyebabkan keterbatasan gerakan, infeksi sekunder dan
degenerasi karsinoma.

3. Diagnosis
Diagnosis lobomikosis ditegakkan dengan pemeriksaan langsung secara klinis dan
melalui pemeriksaan histopatologis. Lacazia loboi hingga saat ini belum pernah dapat
dibiakkan secara in vitro, walaupun sudah dapat ditransmisikan ke kura-kura, hamster
dan tikus di dalam eksperimen. Pemeriksaan histopatologi merupakan standar emas
dalam menegakkan diagnosis. Sampel/contoh lesi diambil melalui biopsi atau kuretase
yang kemudian disiapkan dalam larutan saline atau KOH 20%. Preparat histologis dapat
diwarnai dengan hematoxylin-eosin atau Gomori-Grocott. Pada pemeriksaan
histopatologis, lesi tersusun dari granuloma dermal dengan sel-sel raksasa multinuklear
yang terisi dengan sel-sel fungal berbentuk bulat atau oval dengan diameter 6-12 μm,
dengan dinding sel ganda yang refraktil. Umumnya sel-sel ini tersusun dalam bentuk
rantai yang dihubungkan oleh jembatan tipis yang berbentuk seperti pipa. Sel-sel ini
bermultiplikasi dengan cara gemation sederhana.
Pemeriksaan histopatologis menunjukkan epidermis yang atrofi, hiperplastik atau
ulserasi. Hiperplasia yang iregular dan kadang-kadang pseudo-epitheliomatous biasanya
terlihat pada lesi verukoid dan tepi ulser. Lacazia loboi tampak di antara lapisan kulit
pada lapisan korneum, tampak sebagai titik –titik hitam pada kulit yang menutupi lesi
ulserasi atau pada permukaan yang keras maupun permukaan halus. Perubahan dermal
yang khas pada penyakit ini dengan jelas mengungkapkan diagnosisnya. Infiltrat
peradangan bersifat granulomatous, nodular dan difus, terdiri dari makrofag dan sejumlah
sel-sel multinuklear. Tampak histiosit yang berbentuk seperti busa dengan banyak parasit.
Reaksi eksudatif yang jarang terjadi ditunjukkan oleh adanya kumpulan limfosit dan sel
plasma di antara sel-sel fagosit atau dalam ruang perivaskular. Netrofil, jika ada,
menempati dermis bagian atas pada lesi ulserasi. Nekrosis hampir tidak pernah ada.
Terdapat seperti pita tipis (Grenz zone) yang memisahkan epidermis dari infiltrat,
sebaliknya reaksi produktif berkontak dengan epidermis.
Metode ekstraksi dari sel-sel jamur L.loboi yang berasal dari biposi lesi kulit
berdasarkan aksi proteolitik dari enzim dipase terbukti efisien dan merupakan alat yang
penting untuk meningkatkan studi biologi dari jamur ini.

4. Prognosis
Prognosis penyakit ini baik, pasien umumnya meninggal oleh akibat yang lain.
Meskipun demikian, Pernah dilaporkan bahwa pada lesi kronis ini cenderung
berkembang sel karinoma skuomosa yang menutupinya dan bahkan setelah diangkat
secara bedah lesi neoplasma ini cenderung muncul kembali.
5. Epidemiologi
Aspek epidemiologi lain yang dipertimbangkan adalah pekerjaan dari mereka
yang terkena penyakit ini. Orang-orang yang bekerja di hutan dan beraktivitas di
pedesaan/ pedalaman lebih beresiko terkena pekyakit ini, seperti pekerja (penyadap/
pengumpul) karet, penambang emas dan batu berharga, pemburu, petani dan nelayan.
Habitat alam dari jamur penyebabnya tidak diketahui tetapi diyakini pada air, tanah atau
tumbuh-tumbuhan.
Secara geografis, penyakit ini umumnya terjadi pada lokasi dengan kondisi: 200-
250m di atas permukaan laut, presipitasi tahunan 2000 mm, temperatur rata-rata 24 0C,
dan pada kelembaban yang tinggi.
Tidak ada pengaruh faktor etnis dan semua ras memiliki kerentanan yang sama.
Penyakit ini memiliki sifat tersembunyai dan berbahaya, dan biasanya pada saat diagnosis
sudah berlangsung selama beberapa tahun.
FIKOMIKOSIS SUBKUTAN

Penyakit jamur ini terdiri atas berbagai infeksi yang disebabkan oleh bermacam-macam
jamur pula yang taksonominya dan peranannya masih didiskusikan.Zygomycetes meliputi
banyak genera yaitu : Mucor, Rhizopus, Absidia,Mortierella, dan Cunning-hamella.
Penyakit ini disebabkan oleh jamur yang padadasarnya oportunistik, maka pada orang sehat
jarang ditemukan Fikomikosis subkutan.
Penyakit ini sangat menahun, kebanyakan pada anak-anak. Tetapi memiliki program baik
karena pada umumnya sembuh spontan tanpa pengobatan. Bentuk ini mempunyai factor
predisposisi dan gejalanya berupa suatutumor padat di bawah kulit tidak nyeri dan tidak melekat
pada kulit dan jaringan bawahnya.
1. Distribusi :
kasus nya ada + 20 diseluruh dunia, 800% berasal dari Indonesia.
2. Gejala Klinis
Kelainan timbul di jaringan subkutan antara lain: di dada, perut, atau lengan ke
atas sebagai nodus subkutan yang perlahan-lahan membesar setelah sekian waktu. Nodus
itu konsistennya keras kadang dapat terjadi infeksi sekunder. Penderita pada umumnya
tidak demam dan tidak disertai pembesaran kelenjar getah bening regional.
3. Diagnosis
Bahan pemeriksaan :
 Epithelial debris dari liang telinga
 Sputum, liquor, secret hidung, secret mata, bahan otopsi (pada kasus meninggal)
Pemeriksaan mikroskop :
Tampak porongan-potongan hifa soenositik, dengan percabangan yang tegak lurus, bila
otopsi misalnya dari paru-paru yang dipulas dengan HE, maka tampak hifa senositik
bercabang tegak lurus, menembus dinding pembuluh darah, merupakan thrombus da nada
daerah-daerah yang mengalami nekrosis. Juga ada sel-sel limfosit dan PMN.
Gambaran ini tidak ada pada subkutan.
Biakan :
Biakan di SGA + antibiotic dan eramkan pada suhu kamar
Maka tampak pembentukan koloni berfilamen, mikrospik terdiri dari :
Hifa soenositik bercabang tegak lurus, mempunyai konidiofora dan pada ujungnya
membesar disebut sporangiospora dikelilingi oleh sporangium yang mengandung
sporangiospora.
4. Pengobatan
Sebagai terapi fikomikosis subkutan dapat diberikan larutan jenuh kalium
Iodida.Mulai dari 10-15 tetes 3 kali sehari dan perlahan-lahan dinaikkan sampai timbul
gejalaintoksikasi, penderita mual dan muntah. Kemudian dosis diturunkan 1-2 tetes
dandipertahankan terus menerus sampai tumor menghilang. Itrakonazol berhasil
mengatasifikomikosis subkutan dengan baik. Prognosis bentuk klinis ini umumnya baik.
Menghilangkan predisposisi, obat khusus terhadap jamur tidak ada, bentuk
subkutan dengan iodium preparat (KO).

Anda mungkin juga menyukai