Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Kaidah-kaidah Fikih Yang Khusus (al-Qowaid al-Fiqiyah al-Khasah)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas terstruktur mata kuliah Qowaid Fikih Jinayah
Dosen Pengampu :
Dr. Atep Mastur, M.Ag
Deden Najmudin, M.Sy

Disusun oleh:
1. Widya Maesroh (1183060084)
2. Rizky Pathurrohman (1183060069)
3. Siti NurAzizah (1183060076)

Kelas : HPI B-Semester VI

JURUSAN HUKUM PIDAN ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum warah matullahi wabarakatuh

Dengan ucapan Bismillahirrohmanirrohim kami awali makalah ini agar


keberkahan senantiasa mengiringi perjalanan kami sebagai mahasiswa. Makalah ini
ditulis dengan tujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Qowaid Fikih Jinayah
sekaligus melatih kami agar dapat berproses dan sabar dan ikhlas.

Rasa syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas ridho-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah pertama kami ini. Terima kasih kami ucapkan
kepada kedua orangtua kami yang selalu mendukung serta mendoakan kami hingga saat
ini. Ucapan terima kasih tak lupa pula kami ucapkan kepada dosen pembimbing kami
yang selalu membimbing kami yakni Bapak Dr. Atep Mastur, M.Ag dan Deden
Najmudin, M.Sy Serta kepada seluruh pihak yang mendukung kami dalam proses
pengerjaannya kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.

Makalah ini berjudul “Kaidah-kaidah Khusus Fikih Jinayah” yang berisikan


mengenai Beberapa kaidah yang menjelaskan tentang fikih jinayah secara khusus,
artinya kaidah yang hanya mencakup persoalan jinayah. Kami sebagai penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ataupun penyusunannya masih dalam
kekurangan dan perlu untuk diperbaiki. Maka dari itu, kami mohon kepada pembaca
untuk memberikan kritik serta saran yang dapat membantu untuk memperbaiki
kekurangan kami dalam pengerjaan makalah lainnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bandung, 30 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I .................................................................................................................................. iii
PENDAHULUAN ............................................................................................................... iii
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... iii
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. iii
1.3 Tujuan Masalah ...................................................................................................... iii
BAB II .................................................................................................................................. 1
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 1
1.1 Pengertian Kaidah Fikih Khusus...................................................................................1
2.1 Kaidah-Kaidah Fikih Jinayah Khusus ...................................................................... 1
BAB III ................................................................................................................................. 5
PENUTUP ............................................................................................................................ 5
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 5
3.2 Saran dan Kritik ...................................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 6

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jinayah atau lengkapnya Fikih Jinayah merupakan satu bagian daribahasan fikih.
Fikih adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah dan bersifat amaliah
(operasional) yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan
sesama manusia, maka fikih jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak
kejahatan yang dilakukan manusia dan sanksihukuman yang berkenan dengan
kejahatan itu. Tujuan umum dari ketentuan yang ditetapkan Allah itu adalah
mendatangkan kemaslahatan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan danmenfaat
bagi manusia, maupun menghindarkan kerusakan dan kemudaratan darimanusia.

Dalam hubungan ini Allah menghendaki terlepasnya manusia dari segala bentuk
kerusakan. Hal ini di penjelas oleh hadist Nabi yang mengatkan “Tidak boleh terjadi
kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh manusiamelakukan perusakan terhadap
orang lain”. Segala bentuk tindakan perusakan terhadap orang lain atau makhluk
dilarang oleh agama dan tindakan tersebut dinamai tindakan kejahatanatau jinayah dan
di sebut juga jarimah. Karena tindakan itu menyalahi larangan Allah berarti pelakunya
durhaka terhadap Allah. Oleh karena itu, perbuatan yang menyalahi kehendak Allah itu
disebut pula maksiat. Di antara tindakan yang dilarang Allah itu ada yang diiringi
dengan ancaman hukuman terhadap pelakunya, baik ancaman itu dirasakan pelakunya
didunia, maupun dalam bentuk azab di akhirat. Maka dalam memahami fikih jinayah
barang tentu tidak akan terlepas dari pembahasan kaidah, kaidah merupakan komponen
penting dalam membangun eksistensi fikih jinayah tanpa inilah kita tidak akan
memahami fikih jinayah sepenuhnya.

1.2 Rumusan Masalah


Dari paparan latar belakang tersebut, maka dari itu penulis dapat merumuskan
permasalahan pada pembahasan kali ini, diantara lain:

1. Apa saja kaidah-kaidah khusus dalam fikih jinayah ?

1.3 Tujuan Masalah


Dari rincian rumusan masalah yang telah disebutkan, penulis dapat memberikan
tujuan penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut:
1. Memahami serta mengetahui kaidah-kaidah khusus fikih jinayah ?

iii
BAB II

PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Kaidah (Qowaid) Fikih Khusus
Qowaid Fikiyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata
iqowaid dan fikiyah, kedua kata tersebut memiliki pengertian tersendiri Secara etimologi,
kata qaidah ( ‫)قاعدة‬, jamaknya qawaid ( ‫)قواعد‬. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi
sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah,
maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar
agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang
menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Kata fiqhiyyah berasal dari kata
fiqh )‫(الفقه‬ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran.
Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud
pembicaraan dan perkataannya. Kemudian kata al-khos, yang memiliki arti mencakup ruang
lingkup tertentu. Maka kaidah/qowaid fikih khusus adalah asas-asas atau kaidah-kaidah
dalam pelaksanaan hukum islam yang aplikatif (fiqih) dan bersifat khusus bagi suatu bidan
fikih tertentu.

2.1 Kaidah-kaidah Fikih Jinayah Khusus


Fiqh jinayah adalah hukum Islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan
dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Dalam fiqh jinayah
dibicarakan pula upaya-upaya preventif, rehabilitatif, edukatif, serta upaya-upaya represif
dalam menanggulangi kejahatan disertai tentang teori-teori tentang hukuman. Dalam
konteks ini, Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal telah menyusun buku yang berjudul,
“Kaidah Fiqh Jinayah”. Dalam buku tersebut, tidak kurang dari seratus kaidah dan dhabith-
nya.
Di antara kaidah-kaidah khusus fiqh jinayah yang penting antara lain :

1.
ّ‫ال جر يمة و ال عقو بة بال ىنص‬
“ Tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)”
Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak
pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai
tindak pidana dan diberi sanksinya baik oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Hal ini berlaku
sejak Nabi pindah ke Madinah yaitu sekitar 14 abad abad yang lalu atau pada abad ke-7 M.
Semakna dengan kaidah di atas adalah :
ّ‫ال حكم أل فعال العقال ء قبل ورود النص‬
“Tidak ada hukuman bagi orang berakal sebelum datangnya nash”.

2.
‫إ د رء وا الحدو د با لشبها ت‬
“Hindari hukuman had karena ada syubhat”

1
Atau dengan ungkapan lain :
‫الحد وو تسقط تدرأ با لشبها ت‬
“Sanksi had gugur (tertolak) karena adanya syubhat”
Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu : pertama,
syubhat yang berhubungan dengan pelaku (al-fa’il) yang disebabkan oleh salah sangkaan si
pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang dikira harta miliknya. Kedua, syubhat
karena perbedaan pendapat para ulama (fi al-jihah) seperti Imam Malik membolehkan nikah
tanpa saksi tapi harus ada wali. Imam Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi
harus ada saksi. Ketiga, syubhat karena tempat (fi al-mahal) seperti me-wathi istri yang
sedang haidl.
Untuk menghindari kesyubhatan sebagaimana tersebut di atas, maka
penggunaan qiyas tidak diperkenankan dalam hudud. Seperti kaidah berikut :

‫الّيجوّزّإثباّتّالحدودّمنّطريقّالقياسّوإنماّطرّيقّإثباّتهاّالتوّقيف‬
“Tidak boleh penetapan jarimah (tindak pidana) hudud dengan cara analogi,
penetapannya harus dengan nash”
Menurut kaidah ini, tidak boleh menyamakan tindak pidana homoseksual atau lesbian
dengan zina, meskipun keduanya diharamkan oleh hukum Islam.

3.
‫كلّ من غصب شيىئا لز مه رده أو ردّ قيمته‬
“Barangsiapa yang merampas (ghasab) sesuatu, dia harus mengembalikannya atau
mengembalikan senilai harganya”
Yang dimaksud dengan ghasab adalah mengambil dan menguasai hak orang lain
dengan maksud jahat. Maka orang tersebut harus mengembalikan hak orang lain yang
dirampasnya atau mengganti dengan harganya.

4.
‫التعز ير يدور مع المصلحة‬
“Sanksi ta’zir (berat ringannya) bergantung kepada kemaslahatan”
Seperti diketahui bahwa sanksi ta’zir berkaitan dengan tindak pidana ta’zir. Tindak
pidana ta’zir ada 3 macam, yaitu : pertama, tindak pidana hudud atau qisas yang
dikukuhkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis tetapi tidak memenuhi syarat untuk dijatuhi
hukuman had atau qisas, seperti percobaan pencurian, perampokan, perzinaan atau
pembuhan. Kedua, kejahatan-kejahatan yang dikukuhkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis
tetapi tidak disebutkan sanksinya. Sanksinya diserahkan kepada pemerintah (ulil amri),
seperti penipuan, saksi palsu, perjudian, penghinaan, dan lain sebagainya. Ketiga, kejahatan-
kejahatan yang ditentukan oleh pemerintah demi untuk kemaslahatan rakyatnya, seperti
aturan lalu lintas, perlindungan hutan, dan lain sebagainya. Sanksi ta’zir yang terberat
adalah hukuman mati, sedangkan yang teringan adalah berupa peringatan.

5.

2
‫التعز ير إلى اإلمام على قدر عظم الجرم و صغره‬
“Berat ringannya sanksi ta’zir diserahkan kepada Imam (hakim) sesuai dengan besar
kecilnya kejahatan yang dilakukan”
Kaidah ini memberi kewenangan kepada hakim dalam menjatuhkan berat ringannya
hukuman. Sudah barang tentu juga harus dipertimbangkan daya preventif dan represif (al-
radd’ wa al-jazr) dari hukuman tersebut serta dipertimbangkan pula daya edukatif dan
rehabilitatif bagi yang bersangkutan.

6.
‫العبرة في الحدود بحال وجو دها ال حال إستفائها‬
“Yang dijadikan pegangan dalam menentukan tindak pidana hudud adalah pada
waktu untuk dilakukannya tindak pidana tersebut bukan pada waktu sempurnanya tindak
pidana tersebut”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang melakukan kejahatan, maka yang dinilai
kejahatannya adalah pada waktu dilakukannya, bukan sesudah sempurna diproses
kejahatannya atau sesudah diproses di pengadilan. Contohnya : seorang mencuri,
kemudian tertangkap tangan. Harta yang dicuri pada waktu tertangkap tangan belum sampai
kepada nisab, maka dia tidak akan terkena sanksi potong tangan. Meskipun hartanya
bertambah setelah pencurian sehingga sampai kepada nisab, si pencuri hanya kena
sanksi ta’zir.

7.
‫يضا ف الفعل إلى الفاعل ال االمر ما لم يكن مجبرا‬
“Suatu perbuatan itu dipertanggungjawabkan oleh pelaku bukan kepada yang
memerintahkan selama perintahnya tidak bersifat paksaan”
Kaidah di atas dalam kasus pidana termasuk dalam turut berbuat tidak langsung.
Dalam kasus tersebut, pelaku yang langsung harus bertanggung jawab apabila perintah itu
tidak bersifat paksaan.

8.
‫جنا ية العجماء جبار‬
“Tindakan jahat binatang tidak dikenai sanksi”
Kaidah ini lebih tegas lagi dalam hadis Nabi :
‫العجماء جر حها جبار‬
“Pelukaan karena binatang tidak ada sanksinya” (HR. Bukhari Muslim dari Abu
Hurairah)
Dalam hukum Islam, yang dapat dikenai sanksi hanyalah manusia, karena dialah
subjek hukum. Binatang adalah benda. Adapun pemilik binatang yang binatangnya melukai
orang lain atau bahkan membunuh orang lain, harus dilihat kasus per kasus.

9.

3
‫إقامة الحدود ورفع التنازع في الحقوق يختصّ با لحكام‬
“Melaksanakan sanksi hudud (pidana) dan menyelesaikan persengketaan tentang hak
(perdata), diserahkan kepada pemerintah (pengadilan)”
Maksud kaidah ini adalah tidak bisa seseorang yang tidak memiliki kekuasaan untuk
melaksanakan hudud atau menyelesaikan pertengkaran, kecuali melalui petugas khusus dari
penguasa.

10.
‫ال ر جعية في التشريع الجنائى‬
“Aturan pidana itu tidak berlaku surut”
Kaidah ini akibat dari kaidah No. 1; jadi karena tidak ada tindak pidana dan tidak ada
hukuman sebelum adanya nash, maka baru ada tindak pidana dan hukumannya setelah
adanya aturan. Oleh karena itu, hukum pidana itu tidak berlaku surut. Meskipun demikian,
di kalangan ulama ada yang berpendapat bahwa untuk kejahatan yang benar-benar
berbahaya bagi masyarakat dan keamanan, maka aturan pidana boleh berlaku surut, seperti
dalam perampokan. Selain itu, aturan pidana dapat berlaku surut jika aturan itu
menguntungkan bagi si pelaku.

11.
‫عمد الصبي خطاء‬
“Kesengajaan anak kecil dianggap sebagai kesalahan”
Oleh karena itu, anak kecil atau orang yang belum dewasa apabila melakukan
kejahatn, tidak boleh dijatuhin hukuman had, tetapi boleh diberi hukuman ta’zir, yang
bersifat mendidik, karena kesengajaan anak kecil dianggap sebagai kesalahan.

12.
ّ‫ال يجوز ألحد أن يأ خذ مال أحد بال سبب شرعي‬
“Tidak boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan oleh
syariah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syariah adalah pencurian atau
perampasan harta yang ada sanksinya. Tetapi jika dibenarkan oleh syariah maka dibolehkan.

13.
‫كلّ جان جنايته عليه‬
“Setiap pelaku kejahatan maka (tanggung jawab) kejahatan itu kembali kepada
dirinya sendiri”
Kaidah ini berhubungan dengan sanksi pidana itu bersifat individual. Artinya, hanya
pelaku kejahatan itu sajalah yang kena sanksi, bukan keluarganya atau yang lainnya.

4
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kaidah fikih meupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fikih yang
terperinci dan terpisah pisah sebagai hasil dari ijtihad paa fuqoha, kemudian bagian yng
terpisah-pisah ini diikat menjadi satu ikatan atau kaidah. Maka kaidah fikih jinayah ini
dipelajari guna mengetahui prinsip-prinsip umum dalam melaukan istinbath dalam
menemukan masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh nash. Orang todak akan
menetapkan hukum terhadap problem baru dengan baik apabila dia tidak mengetahui
kaidah-kaidah fikih jinayah. Kaidah fikih jinayah sangat membantu seseorang dalm
pengambilan hukum sebagai sarana pengembangan ilmu fikih.

3.2 Saran dan Kritik


Semoga isi makalah ini dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap pembaca.
Disamping itu penulis membutuhkan kritik dan sarannya untuk penyempurnaan dalam
penyusunan makalah ini.

5
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A. 2014. Kaidah-kaidah fikih kaidah-kaidah hokum Islam dalam


menyelesaikan masalah-masalah yang praktis. Jakarta : Kencana.

http://www.stainkerinci.ac.id/sites/default/files/Kaidah-kaidah%20fikih

Musyafah, Nur Lailatul. Kedudukan dan Fungsi Kaidah Fikih Dalam Hukum Pidana
Islam. Jurnal Hukum Pidana Islam, Vol. 4 No. 1 Juni 2018.
Azhari, Fathurrohman.2015. Qowaid Fiqiyah Muamalah. Banjarmasin : Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Umat (LKPU).

Anda mungkin juga menyukai