Anda di halaman 1dari 83

NEGARA PANCASILA DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA

DAN MUHAMMADIYAH (SEBUAH ANALISIS PERBANDINGAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

ACHMAD SYAUQI MAKY


NIM. 11150450000066

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

ii
LEMBAR PERNYATAAN

iii
ABSTRAK
Achmad Syauqi Maky. NIM. 11150450000066 NEGARA PANCASILA
SEBAGAI DARUL ISLAM DAN DARUL AHDI WASYSYAHADAH MENGENAI
BENTUK NEGARA DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai konsep dan tipologi bentuk
negara baik darul Islan, darul harb dan darul ahdi wasysyahadah dalam pandangan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dikaitkan dengan negara Pancasila.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Studi Kepustakaan (library
research), jenis penelitian ini dapat didefinisikan sebagai suatu penelitian yang
diarahkan dan difokuskan untuk mentelaah dan membahas bahan-bahan pustaka baik
berupa buku-buku, dan jurnal-jurnal yang relevan dengan menggunakan buku-buku
sebagai sumber datanya, dan Studi Survei (Wawancara), jenis penelitian ini adalah
suatu metode untuk mendapatkan hasil riset dalam bentuk opini atau pendapat dari
orang lain yang berinteraksi langsung dengan objek yang diamati. Wawancara tak
berencana berfokus adalah pertanyaan yang diajukan secara tidak terstruktur, namun
berpusat pada satu pokok masalah tertentu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, apakah ideologi Pancasila sudah
sesuai dengan syariat Islam, bagaimana jika dikaitkan dengan darul Islam, darul harb
dan darul ahdi wasysyahadah pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam
menjelaskan makna negara Pancasila mengingat, satu dekade terakhir ada sebagian
organisasi masyarakat Islam yang ingin mengubah ideologi Pancasila dikarenakan
tidak sesuai dengan syariat Islam.

Kata kunci : Negara Pancasila, darul Islam, darul harb darul ahdi wasysyahadah.
Pembimbing : Dr. Rumadi, M. Ag.
Daftar Pustaka : 1954-2018

iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
kesehatan, kekuatan, serta petunjuk kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “NEGARA PANCASILA DALAM
PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH (SEBUAH
ANALISIS PERBANDINGAN)”. Sebagai pelengkap syarat guna mencapai gelar
sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak sedikit
hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan dan
kesabaran, serta doa dan dorongan dari berbagai pihak, keluarga, para sahabat, bapak
dan ibu dosen, khususnya bapak dosen pembimbing, segala hambatan dan kesulitan
dapat dilewati dengan baik. Karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, baik berupa pemikiran, saran, masukan, dukungan, dan
doa. Terutama kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan segenap civitas akademik.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Karlie, SH., M.H., M.A., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., dan ibu Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan dukungan, doa, serta bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Rumadi, M.Ag., Dosen pembimbing skripsi, yang begitu sabar telah
meluangkan waktunya ditengah kesibukannya untuk membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak penulis ucapkan atas
waktu dan tenaga yang telah diluangkan bapak selama bimbingan.
5. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada para
dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) yang telah mengajarkan
penulis selama perkuliahan berlangsung dengan sabar dan ikhlas, terima kasih.
6. Bapak Dr. (Hc) H. Amsori Ahmad, S.H., M.H., M.M., dan Bapak Dr. H.
Syaiful Rohim, M.Si, merupakan para tokoh Nahdlatul Ulama dan

v
Muhammadiyah yang sudah membantu penulis dalam memberikan informasi
dan data terkait penelitian ini.
7. Ayahanda dan ibunda tercinta, ayahanda H. Fathullah Madali dan ibunda
Ustadzah Hj. Marwiyah Nasir, S.Ag. yang telah memberikan support, doa, dan
kebutuhan materiil untuk kesuksesan dan kelancaran penulis dalam
menyelesaikan studi ini. Serta para keluarga besar, dan adik-adikku yang telah
memberi warna dan semangat dalam menyelesaikan studi ini. Terima kasih
banyak, skripsi ini penulis persembahkan untuk ayahanda, ibunda, seluruh
keluarga besar, adik-adik dan semua umat manusia.
8. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan di lingkungan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan.
9. Keluarga besar HTN 15 (Hukum Tata Negara 2015), yang selalu memberi
warna di dalam kelas saat jam perkuliahan berlangsung. Semoga kebersamaan
kita menjadi semangat untuk terus maju ke depan untuk menggapai cita-cita,
dan semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua, Aamiin.
10. Keluarga besar PMII Komfaksyahum, yang telah memberikan wadah untuk
berjuang, menjalin ukhuwah Islamiyah, dan memberikan warna serta
pengalamannya dalam berorganisasi, semoga ilmu yang kita dapat bermanfaat,
Aamiin.
11. Keluarga besar dan senior Pergerakan Hukum Tata Negara (Siyasah), yang
telah memberikan semangat dan doanya.
12. Keluarga besar Senat Mahasiswa Universitas, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ruang untuk menyebarkan dan
menebar manfaat dalam berorganisasi, serta menjalin ukhuwah Islamiyah,
semoga ilmu yang kita dapat bermanfaat, Aamiin.
13. Keluarga besar KKN KITA 186, terima kasih atas kebersamaan dan berbagi
pengalaman. Mengenal kalian dengan berbagai latar belakang yang berbeda
menjadi warna tersendiri dalam persahabatan kita.
14. Keluarga besar Ikatan Keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren Al-Inaayah
(IKBAAL) khususnya teman-teman keluarga besar Struggle Islamic Dinasty
(SID) Angkatan 19, yang selalu memberikan semangat dan doa dalam
menyelesaikan studi ini.
vi
15. Teman-teman kostan Hajar, Wamos, Mansyur, Farid, Wahyu, Hasbi, Syatibi,
Tidung, Ilham, Husain, Abid, Didi, dan Bepo yang telah memberikan semangat
serta doanya.
16. Dan teman-teman semua yang secara langsung maupun tidak langsung turut
andil dalam memacu dan memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi
ini, khususnya Zahra Nabilah Surya Putri terkasih dan tercinta, yang telah
memberikan motivasi, semangat, dan doanya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak. Semoga
segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan pahala dari Allah Swt. dan semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 15 Mei 2020 M


22 Ramadhan 1441 H

Achmad Syauqi Maky


NIM. 11150450000066

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... i


PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. v
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................................ 1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah ................................................................. 5
1. Identifikasi Masalah ................................................................................................... 5
2. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 5
3. Batasan Masalah ......................................................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
1. Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 6
2. Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 6
D. Metodologi Penelitian..................................................................................................... 6
1. Jenis Penelitian ........................................................................................................... 6
2. Sumber dan Teknis Pengumpulan Data ...................................................................... 7
3. Teknis Analisi Data .................................................................................................... 7
4. Teknis Penulisan ......................................................................................................... 7
E. Studi Review Terdahulu ................................................................................................. 8
F. Sistematika Pembahsan .................................................................................................. 9
BAB II RELASI AGAMA DAN NEGARA ......................................................................... 10
A. Teori Relasi Agama dan Negara ................................................................................... 10
1. Paradigma Integralistik ............................................................................................. 10
2. Paradigma Simbiotik ................................................................................................ 11
3. Paradigma Sekularistik ............................................................................................. 13
B. Pergulatan Relasi Agama dan Negara di Indonesia ...................................................... 14
1. Pra Kemerdekaan...................................................................................................... 14
2. Pasca Kemerdekaan .................................................................................................. 18
C. Dinamika Hubungan Agama dan Negara dalam UUD 945 .......................................... 20

viii
BAB III LATAR BELAKANG BERDIRINYANAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH .............................................................................................................. 24
A. Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama ................................................................. 24
1. Sejarah Nahdlatul Ulama .......................................................................................... 24
2. Tujuan Didirikannya Nahdlatul Ulama .................................................................... 27
3. Kiprah sosio-politik Nahdlatul Ulama...................................................................... 29
B. Latar belakang Berdirinya Muhammadiyah ................................................................... 33
1. Berdirinya Muhammadiyah ...................................................................................... 33
2. Tujuan Didirikannya Muhammadiyah...................................................................... 34
3. Politik Kebangsaan Muhammadiyah ........................................................................ 37
BAB IV ANALISIS KONSEP DARUL ISLAM DAN DARUL AHDI
WASYSYAHADAH YANG MENJUNJUNG TINGGI BENTUK NEGARA.................. 42
A. Tipologi Bentuk Negara ............................................................................................... 42
B. Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama Pra dan Pasca kemerdekaan Indonesia ............. 43
C. Penetapan darul Islam .................................................................................................. 44
D. Resolusi Jihad ............................................................................................................... 45
a. Nasionalisme Piagam Jakarta ................................................................................... 46
b. Penetapan Wali al-Amr ad-daruru bi asy-Syaukah .................................................. 47
BAB V PENUTUP .................................................................................................................. 54
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 54
B. Saran ............................................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 56
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 70

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan agama (al-din) dan negara (al-daulah) telah menjadi suatu
perdebatan yang cukup hangat dalam wacana sejarah dan kancah perpolitikan
peradaban manusia. Terutama polemik yang memperlihatkan adanya suatu
perbedaan pendapat mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia. 1 Munculnya
gerakan-gerakan dari beberapa ormas Islam yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
negara Islam merupakan dampak dari perbedaan pendapat tersebut.
Perbedaan ini menimbulkan beberapa ketegangan politik ideologi. Pertama,
hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk menentukan
batasan-batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam urusan agama. Kedua,
perdebatan mengenai hubungan negara dan agama menjadi penting karena persoalan
ini merupakan gejala masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya gerakan
sekularisasi dalam sejarah pemikiran barat. Ketiga, masalah kontekstualisasi tipe
negara merupakan suatu hal yang penting dalam hubungan negara dan agama di
Indonesia, dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan komposisi masyarakat
paling majemuk di dunia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah memproklamirkan diri dan
menyatakan merdeka dari kekuasaan penjajah. Namun demikian, bukan berarti
perjuangan bangsa dan masyarakat Indonesia telah selesai. Dalam sejarah, bangsa
Indonesia masih harus berpikir, membentuk perangkat alat kelengkapaan negara, dan
mengangkat senjata berperang melawan bangsa asing yang ingin meneruskan
penjajahannya kembali. Di samping itu, bangsa Indonesia juga harus menyelesaikan
persoalan intern, yang pada waktu itu ada sebagian kelompok yang ingin memaksakan
kehendak menerapkan paham kenegaraan tertentu yang berbeda dengan ideologi yang
telah disepakati, yaitu Pancasila.2

1
Muhammad Tahir, Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Pandangan Nurcholish
Madjid, Vol. 15 No. 1, Tahun 2012, h. 37.
2
Kasus pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan pendirian gerakan Darul Islam oleh
Kartosuwiryo yang telah mengadakaan operasi sejak 1945-1949 di Jawa Barat adalah dapat dijadikan
contoh. Lihat Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo: “Angan-Angan Yang gagal”, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1995).

1
2

Dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama Islam mengalami
jalan buntu. Baik rezim Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang
partai politik yang berlandaskan Islam sebagai kekuatan-kekuatan pesaing potensial
yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini,
sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas keras berupaya untuk
melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam.3 Akibatnya, tidak saja para
pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan
agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an
(dalam perdebatan Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia),
tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut “kelompok
minoritas” atau “kelompok luar”.4 Padahal Indonesia merdeka tak lepas dari peran
umat Islam itu sendiri, dengan slogan yang sangat membakar semangat yaitu “hidup
mulia atau mati syahid”.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
membutuhkan organisasi-organisasi keagaaman yang memiliki visi kebangsaan untuk
tetap menjaga persatuan di Indonesia itu sendiri. Lahirnya gerakan pendirian negara
agama tidak lepas dari masalah belum selesainya pemahaman yang komprehensif
mengenai pembangunan hubungan antara agama dan negara yang ideal, sehingga
gerakan-gerakan formalisasi agama dalam kehidupan kenegaraan selalu muncul pada
setiap kurun waktu atau masa. Masih ingat pemberontakan di Indonesia yang
mengatasnamakan agama seperti pemberontakan DI/TII yang di pimpin oleh
Kartosuwiryo pada tanggal 14 agustus 1949 yang ingin mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII). Bukan hanya pada masa lalu saja terjadi perlawanan-perlawan
terhadap negara dengan dalih agama, tapi juga pada masa ini seperti adanya HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia) yang berupaya merubah ideologi negara.
Berbicara mengenai organisasi keagamaan yang memiliki visi kebangsaan, di
Indonesia sendiri cukup banyak, misalnya Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi sebagai representasi dari

3
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011) h. 2-3.
4
Lihat Ruth McVey, “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics,” James Piscatori
(ed.), Islam in the Political Process, h. 199-225; W.F. Wertheim, “Indonesian Moslems Under Sukarno
and Suharto: Majority with Minority Mentality,” Studies on Indonesian Islam, Townsville: Occasional
Paper No. 19, Centre for South -east Asian Studies, James Cook University of North Queensland, 1986.
3

ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal jamaah oleh KH.
Hasyim Asy’ari.5 Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh seorang yang bernama
Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan.
Organisasi masyarakat (Ormas) yang berbasis agama, utamanya Islam, amatlah
banyak. Keberadaan mereka merupakan faktor pendorong dalam memajukan
perkembangan Islam di Nusantara ini.6 Misalnya NU dan Muhammadiyah, dua
organisasi keagamaan yang terbentuk pada awal abad ke-20, tampak peranannya
dalam perjuangan usaha mempertahankan kemerdekaan. Baik secara keorganisasian
maupun individu tokohnya dapat dilihat andil mereka, baik pada masa pra-
kemerdekaan maupun pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebut saja Hizbullah
(Tentara Allah) dan kemudian Sabiliillah adalah organisasi yang bersifat militer yang
di dalamnya NU dan Muhammadiyah banyak berperan. Dikatakan, Hizbullah sejak
awal berdirinya berkaitan dengan aspirasi ke arah kemerdekaan Indonesia. Para
anggota Hizbullah yang dilatih oleh para perwira Peta, telah menyatakan kesetiaannya
pada Masyumi.7 Wahid Hasyim (tokoh NU), sebagai Wakil Presiden Masyumi, secara
resmi memeriksa latihan barisan-barisan Hizbullah. Sementara itu, Ketua Hizbullah
adalah Zainal Arifin (salah seorang delegasi NU dalam pengurus Masyumi) dan
Mohammad Roem (Muhammadiyah) sebagai wakilnya.8
Hizbullah memang dibentuk pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1944,
namun manfaatnya sangat dapat dirasakan pada masa pereng kemerdekaan. Hizbullah
mula-mula berasal dari kalangan NU, tetapi kemudian menjadi milik umat secara
keseluruhan. Salah satu slogan yang sangat meresap di kalangan pemuda Islam pada

5
Masykur Hakim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) h. 66.

6
Jurnal Komunikasi Islam, Ormas Islam dan Isu Keislaman di Media Massa, Vol. 4 No. 2,
Tahun 2014, h. 237.

7
Diketahui keanggotaan Masyumi adalah terdiri dari organisasi Muhammadiyah dan NU.
Masyumi adalah badan federasi baru (yang sebelumnya adalah MIAI), yang merupakan suatu
persetujuan kerja antara Muhammadiyah dan NU. Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidea, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1985), h. 186
8
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 50.
4

waktu itu adalah “hidup mulia atau mati syahid”. Pemuda Islam mengibarkan slogan
ini adalah dalam rangka memupuk semangat melawan penjajah asing.9
Setelah terbentuknya Hizbullah disusul dengan munculnya Sabilillah.
Diterangkan, bahwa ketika perjuangan bersenjata dimulai, pasukan-pasukan gerilya
muslim non-reguler, yang bernama Sabilillah, muncul. Sejarah mencatat, bahwa pada
tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura
berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad
(perang suci). Deklarasi ini kemudian terkenal sebagai “Resolusi Jihad”. Tidak dapat
dipungkiri, “Resolusi Jihad” berdampak besar di Jawa Timur. Pasukan pasukan non-
reguler yang bernama Sabilillah rupanya dibentuk sebagai respon langsung atas
resolusi ini. Pada tanggal 10 November 1945, dua minggu setelah kedatangan pasukan
Inggris di Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah, di mana banyak pengikut
NU yang aktif di dalamnya.10
Di sisi lain, tokoh-tokoh Muhammadiyah dapat dilihat bagaimana peran
mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Selain Mohammad Roem, sebagaimana telah
disinggung, juga ada Ki Bagus Hadikusumo sebagai pejuang kemerdekaan. Ketika
bicara BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) sebagai
badan yang mengantarkan lewat diskusi ilmiah tentang pembentukan Pancasila
sebagai dasar negara, maka Ki Bagus Hadikusumo adalah salah satu tokohnya. 11 Dia
adalah seorang yang kuat dengan pendirian ke-Islamannya, sehingga dia banyak
mengunakan dasar-dasar Islam ketika diskusi negara, misalnya. Sebagaimana
dikatakan, Hadikusumo menegaskan bahwa al-Our’an sangat berkepentingan dengan
masalah politik dan duniawi.12
Dengan melihat permasalahan-permasalahan di atas, maka penulis mencoba
jawab segala persoalan yang menjadi pemicu adanya upaya sepihak yang ingin
mengganti ideologi pancasila dengan dalih agama. Indonesia memiliki masyarakat
paling majemuk di dunia, bukan hanya adat dan budaya, tetapi agama yang menjadi
titik penting dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kemudian, penulis

9
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negera: Studi tentang Perdebatan
dalam Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 100.

10
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 52-53
11
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negera: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 103
12
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila……h. 108
5

akan mencoba menjawab apakah pancasila yang selama ini menjadi titik permasalahan
antara agama dan negara sesuai dengan konsep darul Islam dan darul ahdi
wassyahadah dalam agama Islam. Hal ini akan saya coba jelaskan berdasarkan
perspektif dua ormas Islam terbesar hari ini yaitu NU dan Muhammadiyah, Dengan
adanya hasil muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmsin, Kalimantan Selatan dan
hasil muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Masing-masing melahirkan visi kebangsaan, sesuai dengan visi negara Indonesia,
maka rasanya tepat apabila penulis mengambil perspektif dua ormas Islam tersebut.

B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang
dapat di identifikasi antara lain :
a. Adanya upaya dari segelintir kelompok yang berupaya menghidupkan
kembali untuk merubah faham ideologi Pancasila;
b. Perlu menganalisis pemikiran NU dan Muhammadiyah tentang makna
darul Islam dan darul ahdi wasysyahadah dengan negara Pancasila;
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka sub-sub masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana Nahdlatul Ulama memandang status Negara Pancasila?
b. Bagaimana Muhammadiyah memandang status Negara Pancasila?

3. Batasan Masalah
Dalam penulisan ini untuk memperjelas permasalahan agar penelitian ini lebih
terarah, maka penulis membatasi permasalahannya berupa pandangan Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah terhadap status negara Indonesia dan relevansinya
mengenai konsep darul Islam dan darul ahdi wasysyahadah. Dengan adanya pembatas
tersebut, diharapkan dalam penyusunan penelitian ini dapat sesuai dengan tujuan
penelitian.
6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pandangan NU dan Muhammadiyah dalam memandang
status negara Indonesia.
b. Untuk mengetahui relevansi konsep darul Islam dan darul ahdi
wasysyahadah dalam politik mutakhir.

2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai konsep
dar al-Islam terhadap status wilayah Islam pra kemerdekaan relevansinya
terhadap politik mutakhir melalui hasil putusan Muktamar ke-11 NU di
Banjarmasin tahun 1936.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam
pengaplikasian keilmuan tentang negara Pancasila sebagai dar al- ahdi wa
al-syahadah melalui hasil putusan Muktamar ke-47 Muhammadiyah tahun
2015 di Makassar terutama dalam konsep kenegaraan Indonesia yang
berideologi Pancasila dengan mayoritas masyarakat Muslim.
c. Untuk mencegah dan membumi hanguskan paham-paham radikal yang
bertentangan terhadap ideologi Pancasila.

D. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menyusun dengan metode :
a. Penelitian kualitatif
b. Penelitian kepustakaan. Jenis penelitian ini dapat didefinisikan sebagai
suatu penelitian yang diarahkan dan difokuskan untuk mentelaah dan
membahas bahan-bahan pustaka baik berupa buku-buku, dan jurnal-jurnal
yang relevan dengan menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.
c. Penelitian wawancara. Jenis penelitian ini adalah suatu metode untuk
mendapatkan hasil riset dalam bentuk opini atau pendapat dari orang lain
yang berinteraksi langsung dengan objek yang diamati. Wawancara tak
berencana berfokus adalah pertanyaan yang diajukan secara tidak
7

terstruktur, namun berpusat pada satu pokok masalah tertentu. 13 Tujuan


utama dalam penelitian ini dalah untuk mendapatkan gambaran umum
melalui sampel beberapa orang.

2. Sumber dan Teknis Pengumpulan Data


Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam pengumpulan
data, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Adapun rincian masing-masing
adalah:
a. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung dengan
melakukan wawancara dari beberapa tokoh Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah.
b. Data sekunder merupakan sumber pendukung dari data primer yang berasal
dari kepustakaan, jurnal, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada
relevansinya dengan judul ini.

3. Teknis Analisi Data


Analisis data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian,
terutama dalam tahap ini seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil
temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode
primer dengan cara melakukan wawancara dari dari parah tokoh terkait dan metode
deskriptif yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang terkumpul, lalu
dirumuskan dan dianalisis dengan menggunakan metode contens analysis dengan
menelusuri pandangan NU dan Muhammadiyah yang terdapat dalam buku-buku dan
hasil putusan Muktamar mengenai konsep darul Islam dan darul ahdi wasysyahadah.

4. Teknis Penulisan
Adapun teknis penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017”.

13
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h.
104.
8

E. Studi Review Terdahulu


Dalam penelitian ini penulis telah melakukan peninjauan kajian terlebih
dahulu, dimana dalam peninjauan ini penulis telah mendata dan membaca beberapa
jurnal dan skripsi yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan agar tidak
terjadi plagiasi terhadap karya tulis milik orang lain, diantaranya:
Peneliti bernama Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara, Transformasi
Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, Buku ini menjelaskan mengenai
pergulatan relasi agama dan negara di Indonesia.14
Peneliti bernama Muhamad Mustaqim “POLITIK KEBANGSAAN KAUM
SANTRI: Studi Atas Kiprah Politik Nahdlatul Ulama”. Jurnal ini menjelaskan
tentang menunjukkan peran politik organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu
Nahdlatul Ulama. Beberapa penelitian tentang momentum sejarah menjadi bukti peran
kebangsaan NU dalam politik bangsa. 15
Peneliti bernama Imbuh Thobiin pada tahun 2018 yang berjudul “Relasi
Agama dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam dan Barat”. Skripsi ini
menjelaskan mengenai dinamika persoalan hubungan relasi agama dan negara
kaitannya dengan pemikiran Islam dan barat.16
Berdasarkan kajian terdahulu di atas penulis menemukan adanya kesamaan
dalam materi penelitian pada judul yang penulis angkat, namun dalam kajian yang
penulis teliti berbeda subjek dan konsepnya. Dalam penelitian ini penulis fokuskan
pembahasannya terkait relasi agama dan negara pada pandangan Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah terhadap tipologi bentuk negara, lalu penulis hubungkan kepada
negara Indonesia, apakah sudah sesuai dengan negara Pancasila, kaitannya pada hasil
putusan Muktamar NU ke-11 dan putusan Muktamar Muhammadiyah ke-47. Namun
meskipun demikian, beberapa karya diatas akan penulis jadikan sebagai rujukan untuk
menambah analisis nantinya.

14
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011) h. 2-3.
15
Muhammad Mustaqim, Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi Atas Kiprah Politik
Nahdlatul Ulama, Vol. 9 No. 2 Tahun 2015, h. 347.
16
Imbuh Thobiin, Relasi Agama dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam dan Barat,
(Skripsi- UII Jakarta, 2018), h. 31-34.
9

F. Sistematika Pembahsan
Agar penulisan skripsi ini dapat dipahami, maka skripsi ini disusun secara
sistematis, berikut uraian yang terbagi dalam beberapa bab, masing-masing bab terdiri
dari sub bab. Sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan
Pada bab ini penulis akan memaparkan mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, rumusan masalah dan batasan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, metodologi penelitian, studi review terdahulu, dan
sistematika pembahasan.

BAB II Relasi Agama dan Negara di Indonesia


Pada bab ini penulis membahas landasan teori tentang keterkaitan
hubungan antara agama dengan negara di Indonesia.

BAB III Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah


Pada bab ini penulis menjelaskan sejarah dan latar belakang berdirinya
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang
menjunjung tinggi nilai-nilai agama, sosial, dan negara.

BAB IV Analisis Konsep Darussalam dan Darul Ahdi Wasysyahadah Yang


Menjunjung Tinggi Bentuk Negara Indonesia
Pada bab ini penulis memaparkan tentang analisis konsep darul Islam dan
darul ahdi wasysyahadah di negara Pancasila dari sudut pandang para
tokoh dan cendikiawan muslim.
BAB V Penutup
Pada bab ini penulis menyajikan kesimpulan-kesimpulan dari
pembahasan sebelumnya. Dengan kesimpulan yang penulis paparkan
diharapkan pembaca dapat memetik sebuah intisari dari keseluruhan isi
skripsi ini serta diakhiri saran-saran dari penulis.
BAB II
RELASI AGAMA DAN NEGARA

A. Teori Relasi Agama dan Negara


Relasi agama dan negara pada dasarnya memiliki paradigma yang berbeda
dalam memaknai dan memahami konteks dari kedua kalimat tersebut. Para ahli
merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang
antara lain dirumuskan ke dalam tiga paradigma, yaitu paradigma integralistik,
paradigma simbiotik, serta paradigma sekularistik.

1. Paradigma Integralistik
Paradigma ini berpaham bahwa Islam dalam kenyataannya tidak hanya sekedar
doktrin agama yang membimbing manusia dari aspek spiritual saja, melainkan juga
berusaha membangun sistem ketatanegaraan. Menurut paradigma ini, Islam sebagai
sebuah agama dapat diartikan pula sebagai lembaga politik dan kenegaraan, tidak
hanya mengatur hubugan manusia dengan Tuhan (hablun min Allah) tetapi mengatur
hubungan antar sesama manusia (hablun min an-nas), baik dalam aspek sosial maupun
politik kenegaraan dengan doktrin Inna al-Islam din wa ad- daulah. Dengan doktrin
ini Islam dipahami sebagai teologi politik. Pada akhirnya Islam menjadi keniscayaan
terutama dalam upaya memposisikan Islam sebagai dasar negara sehingga agama dan
politik tidak dapat dipisahkan harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam suatu
wadah yang bernama negara Islam.1
Oleh karenanya, untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam
harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan komprehensif, kembali kepada
kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, mencontoh pola hidup Rasul SAW
dan umat Islam generasi pertama, serta tidak perlu meniru pola atau sistem politik,
ekonomi, dan sosial Barat.2 Aspek politik yang hendak menjadikan Islam sebagai
pondasi pemerintahan dalam segala dimensinya inilah, semisal yang ditampilkan oleh
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaah Islamiyah (JI) yang mempunyai

1
Abd. Salam Arif, ‘Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara’ dalam A. Maftuh
Abegebril, A. Yani Abevero, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: SR-Ins
Publishing, 2004), h. 2.
2
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 148.

10
11

pengaruh yang cukup luas bagi umat Islam diberbagai belahan negara. Deklarasi
tentang perlunya kembali kepada ajaran fundamental Islam dengan target khilafah
Islamiyah atau mendirikan negara Islam dengan kaidah Nabi SAW dan empat sahabat
yang dirintis oleh Hassan al-Banna, Sayid Quthb, Said Hawwa, dan lainnya.
Dalam pandangan mereka Pan-Islamisme ini merupakan alternatif dari sistem
negara bangsa yang harus diubah karena mengantarkan hegemoni asing atas negara-
negara muslim. mereka mengusung gagasan Pan-Islamisme. Gagasan Pan-Islamisme
ini pada intinya sama dengan gagasan tentang kekhalifahan Islam, mendirikan negara
Islam internasional. Jadi, mereka ingin kembali ke masa seperti Dinasti Ottoman yang
pernah berkuasa di Turki dan negara-negara Islam lainnya.
Gagasannya untuk mendirikan negara Islam internasional, seperti yang pernah
dideklarasikan Tandzimul Qaidah tahun 1998, yang sering disebut sebagai front untuk
memerangi kaum Yahudi dan Nasrani. Dalam pandangan mereka, tujuan “mulia” itu
selama ini banyak dihambat oleh konspirasi orang Yahudi. Kedua organisasi tersebut
bergerak ke arah penguatan basis umat Islam sebagai ideologi gerakannya yang
dilandasi dengan teologi politik yang kuat dan mengakar dalam ide dan sikapnya
sebagai penganjur gerakan Islam fundamentalis dan berkeinginan menempatkan Islam
sebagai ideologi. Terhadap praktek ini bahayanya adalah Islam tereduksi sederajat
dengan karya pemikiran manusia.
Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi ke dalam dua aliran, yakni
tradisionalisme dan fundamentalisme. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap
ingin mempertahankan tradisi, praktik, dan pemikiran politik Islam klasik
pemerintahan ala Nabi dan keempat khalifah, dengan tokoh sentralnya adalah
Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin
melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali
kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A’la al-
Maududi adalah salah satu tokohnya.3

2. Paradigma Simbiotik
Menurut penganut aliran ini, hubungan antara agama dan negara harus berbeda
dalam hubungan yang bersifat simbiotik, yaitu suatu hubungan timbal balik yang
saling memerlukan antara keduanya. Dalam paradigma simbiotik, agama Islam

3
H. Kamsi, Paradigma Politik Islam tentang Relasi Agama dan Negara, Jurnal Agama dan
Hak Azasi Manusia Vol.2, No.1, 2012, h. 44-46.
12

mempunyai seperangkat prinsip dan nilai-nilai tentang kehidupan bermasyarakat,


termasuk sistem pemerintahan. Dalam perspektif Muhammad Abduh, hakikat
pemerintahan Islam tidak bersifat keagamaan tetapi betul-betul bersifat keduniawian.
Abduh menyatakan bahwa kekuasaan politik harus didasarkan pada kedaulatan rakyat
atau kehendak publik. Kedaulatan rakyat ini, menurut Abduh harus dibangun atas
dasar prisnip-prinsip kebebasan (ḥurriyah), demokrasi (syuro), dan konstitusi (qanun)
yang berfungsi sebagai landasan sistem politik dan kekuasaan tersebut. 4
Konsep pemikiran Abduh tentang kebebasan meliputi kebebasan sosial dan
politik, termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara, kebebasan
memilih, bahkan kebebasan bagi kaum perempuan dalam memperoleh hak-hak
mereka. Jika nilai-nilai ini dapat diterapkan dalam kehidupan politik, maka hubungan
antara yang berkuasa dan yang dikuasai akan berlangsung dalam interaksi positif dan
konstruktif.
Menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam artian: 5
a. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang
untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat dari
agama.
b. Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang dan penguasa sekalipun,
dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain.
c. Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat,
dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.
Tentu saja Abduh mengakui bahwa Islam itu bukan agama semata-mata,
melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama muslim
dan sesama makhluk hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya
memerlukan adanya penguasa lengkap dengan aparat-aparatnya. Menurutnya tugas itu
merupakan sebuah bentuk tanggungjawab kepala negara beserta perangkat
pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan
bertanggungjawab kepada rakyat. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang
sesungguhnya dan yang berhak menurunkan kepala negara dari tahta kekuasaannya.
Kepala negara bukanlah sebagai wakil atau bayangan Allah di muka bumi, yang

4
Pramono U. Tanthowi, Begawan Muhammadiyah, (Jakarta: PSAP, 2005), h. 104.
5
Munawir Syadzali, Islam dan Tata…….h. 131.
13

mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku atau
kebijkasanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. 6
Dalam artian paradigma simbiotik ini merupakan paradigma yang menjelaskan
bahwa agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Kelompok ini (kelompok
modernis) memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk
pemerintahan dan negara) hanya pada tataran nilai dan dasardasarnya saja dan secara
teknis umat bisa mengambil sistem lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Di antara
tokoh kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal dan
Muhammad As’ad.7

3. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan
simbiotik antara agama dan negara. sebagai gantinya, paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan antara agama dan negara. dalam konteks Islam, paradigma
sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak
determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.8 Kelompok sekuler yang
memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan, bahwa
Islam tidak mengatur masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh
aliran ini yang paling terkenal dan bersuara lantang adalah Ali Abdul Raziq.
Abdul Raziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Islam
datang tidak untuk membentuk sebuah negara dan begitu juga Nabi Muhammad SAW.
hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalah-Nya, beliau tidak punya
kewajiban membentuk sebuah negara. Islam tidak mengenal adanya lembaga
kekhalifahan sebagaimana secara umum dipahami oleh kaum muslim. Lembaga
kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan. Islam tidak
memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. 9

6
Munawir Syadzali, Islam dan Tata…….h. 132.
7
H. Kamsi, Paradigma Politik Islam……h. 44-46.
8
Akmad Satori dan Sulaiman Kurdi, Sketsa Pemikir Politik Islam cetakan pertama,
(Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 246-249.
9
H. Kamsi, Paradigma Politik Islam……h. 46.
14

Terlepas dari berbagai kritik yang dilontarkan para pemikir terhadap Abdul
Raziq, gagasan Abdul Raziq tetap mempunyai signifikansi tersendiri. Setidaknya
konsep-konsepnya itu merupakan hasil ijtihad terhadap Islam tentang kebebasan akal
yang sampai hari ini masih diapresiasi oleh para pemikir kontemporer dalam
memperkaya wacana perpolitikan dalam Islam. Terlebih lagi saat sekarang begitu
maraknya gerakan-gerakan fundamental yang ingin merekonstruksi sistem
pemeritahan Islam klasik secara literal dan ternyata mayoritas negara muslim hingga
hari ini masih gagal membentuk sistem politik yang demokratis.10
Dalam artian bahwa, pada negara sekuler seluruh sistem dan norma hukum
positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas
kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan,
meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
Sekalipun ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara
sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka
yakini dan negara tidak intervensif dalam urusan-urusan agama (syariat).

B. Pergulatan Relasi Agama dan Negara di Indonesia


1. Pra Kemerdekaan
Dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade pertama abad ke-20,
gerakan-gerakan masyarakat pribumi mulai bermunculan, berjuang menentang
kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan Indonesia. Tidak diragukan lagi,
dalam upaya-upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peran yang amat menentukan.
Seperti dicatat oleh para pengkaji nasionalisme Indonesia, Islam berfungsi sebagai
mata rantai yang menyatukan rasa persatuan nasional menentang kolonialisme
Belanda. “Agama Muhammad,” tulis George Mc Turnan Kahin dalam karyanya yang
sudah menjadi klasik, Nationalism and Revolution in Indonesia, “bukan saja
merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan melainkan bahkan merupakan
simbol kesamaan nasib (in group) menentang pendatang asing dan penindas yang
berasal dari agama lain.” Sebagaimana dikemukakan Fred R. von der Mehden dalam
tulisannya “Islam and the Rise of Nationalism in Indonesia,”11 yang isinya

10
Zaprulkhan, Relasi agama dan Negara, Jurnal Walisongo Vol. 22, Nomor 1, Mei 2014. h.
113.
11
Fred R. von der Mehden, “lslam and the Rise of Nationalism in Indonesia,” disertasi doktor,
University of California, 1957, h. 34.
15

menjelaskan mengenai Islam adalah merupakan sebuah sarana untuk membangun


persatuan nasional yang dapat membedakan masyarakat Indonesia dengan kolonial.
Pada awal-awal pergerakan nasionalis ini, satu-satunya perwujudan politik
Islam adalah Sarekat Islam (SI). Dikembangkan dari sebuah organisasi dagang,
Sarekat Dagang Islam (SDI), yang didirikan oleh H. Samanhoedi di Solo pada 1911,
SI merupakan “organisasi nasionalis Indonesia berlandaskan politik pertama” yang
berkembang pesat. Di bawah kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, dan
Abdoel Moeis, SI adalah organisasi pionir yang “mengembangkan program politik
yang menyerukan pemerintahan-sendiri” dan “kemerdekaan penuh”. 12
Kenyataan bahwa SI merupakan organisasi politik nasionalis yang pertama
tampil tidaklah hanya disebabkan oleh agendanya yang bersifat nasionalis untuk
menyerukan kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar, hal itu juga disebabkan oleh
kemampuannya menghimpun dukungan dan keterlibatan massa yang mengatasi
pengelompokan-pengelompokan sosial dalam masyarakat. 13 Seperti dinyatakan Benda,
“dengan menampilkan diri sepenuhnya kepada audiens penduduk Indonesia, SI
memperoleh pengikut dari semua kelas, di perkotaan maupun pedesaan. Para
pedagang Muslim, para buruh di kota-kota, kiai dan ulama, bahkan beberapa priyai,
tetapi di atas segalanya seluruh petani, bergabung ke dalam gerakan politik berbasis
massa yang pertama dan terakhir pada masa kolonialisme Indonesia ini.”14 Pendek
kata, dalam hal tempat SI dalam pergerakan nasional di Nusantara ini, cukup
dikatakan bahwa “SI adalah pusat kebangkitan nasional Indonesia.” 15
Meskipun demikian, amat disayangkan bahwa posisi SI yang menjulang
tersebut tidak dapat dipertahankan. Peran pentingnya sebagai wadah pergerakan
nasional Indonesia mulai memudar pada penghujung 1920-an. Terlepas dari berbagai
upaya para pemimpin dan aktivisnya untuk kembali memegang kemudi kepemimpinan
nasionalis pada masa-masa yang lebih belakangan, SI gagal mempertahankan
kepeloporannya yang menonjol dalam upaya mencapai kemerdekaan. Sebaliknya,
beberapa tahun kemudian, idealisme dan aktivisme politiknya sudah jauh terlampaui

12
George Mc.T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, h. 65-66.
13
George Mc.T. Kahin, Nationalism...…..h. 65-66.

14
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, h. 41-42.
15
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 71.
16

oleh kelompok-kelompok sosial-politik lain yang tidak secara formal menyatakan


Islam sebagai dasar ideologinya.
Mengendurnya peran SI ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang
paling penting adalah ketidakmampuan para pemimpin dan aktivisnya untuk
mengatasi berbagai macam perbedaan pandangan di antara mereka, khususnya
berkaitan dengan bagaimana politik SI dimainkan, terutama setelah paham Marxisme
dibawa masuk ke dalam organisasi ini.
Pada 1917, pemikiran ideologis Marxis mulai menyusup ke dalam SI. Semaun
dan Darsono dari SI cabang Semarang menjadi pemeran yang paling menonjol. Dan
ketika pada 1920 ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging)
ditransformasikan menjadi Partij der Kommunisten in Indie (Partai Komunis
Indonesia), sebuah partai politik yang sepenuhnya beraliran komunis, kedua tokoh ini
sambil tetap mempertahankan keanggotaan mereka dalam SI berdiri di barisan
terdepan kepemimpinan partai ini.16
Tjokroaminoto juga menerbitkan sebuah pernyataan yang menandaskan bahwa
“jika pemerintah kolonial tidak segera melakukan pembaruan-pembaruan sosial yang
besar, maka SI akan melakukannya dengan caranya sendiri.” Terlepas dari itu, faksi
Marxis dalam organisasi tetap masih jauh dari keterpuasan. Mereka berkali-kali
menyampaikan kritik keras kepada pengurus pusat yang mereka anggap kurang
revolusioner dan hanya hendak menentang “kapitalisme yang berdosa.” 17
Kemudian diperparah oleh bedanya sudut pandang mengenai landasan
teologis-ideologis masing-masing faksi. Tiga serangkai Tjokroaminoto, Agus Salim,
dan Abdoel Moeis tegas menyatakan bahwa Islam adalah ideologi partai itu, dan
mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur
Tengah. Sebaliknya, Semaun dan Darsono “lebih menghendaki disingkirkannya
agama dari politik praktis,” seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh
tindakan mereka kepada prinsip-prinsip Marxis.18
Situasi perpecahan dalam tubuh SI ini, yang sudah mulai berlangsung pada
pertengahan 1920-an, menjadikan organisasi tersebut kurang menarik bagi sejumlah
intelektual yang lebih muda dan dididik di Barat. Salah satu di antara mereka adalah
16
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Keagamaan, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 87.
17
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 72.

18
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 72.
17

Soekarno, anak didik Tjokroaminoto sendiri yang kemudian membentuk organisasi


politik sendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.
Sejak 1930-an dan selanjutnya, kelompok ini bersama sejumlah intelektual dan
aktivis didikan Barat lain yang baru kembali dari Belanda yakni Sjahrir dan
Mohammad Hatta membentuk cikal-bakal gerakan nasionalis di Indonesia. Dengan
paham kebangsaan nasionalisme sebagai kekuatan utama mereka, mereka
mendominasi dan mengarahkan derap gerakan nasionalis Indonesia menuju
kemerdekaan. Dan ketika cita-cita kemerdekaan itu tercapai, gerakan nasionalis ini,
dalam kadar yang lebih besar dibandingkan dengan perjumpaan yang lebih awal
dengan Marxisme, membangun panggung konfrontasi ideologis antara para pemimpin
dan aktivis Islam politik dan rekan-rekan mereka yang berwawasan nasionalis,
terutama dalam hal hubungan antara agama (Islam) dan negara pada masa Indonesia
merdeka. Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan
muncul dalam diskursus politik Indonesia: (1) golongan Islam dan (2) golongan
nasionalis.19
Sampai kepada pokok permasalahan untuk menjembatani berbagai perbedaan
antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, sebuah panitia kecil kemudian
dibentuk. Terdiri dari Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Muhammad Yamin,
Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid Hasyim, dan A.
A. Maramis, panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal
dengan sebutan Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan Pancasila
sebagai dasar negara dengan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga
menjadi “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”20
Perdebatan mengenai pembahasan ideologi ini menimbulkan perbedaan dua
kubu, yakni kubu nasionalis dan kubu agamis. Belakangan tampak bahwa modus
ideologis ini jauh lebih sulit dijajakan ketimbang perumusannya. Kelompok Islam
mempertahakan posisi mereka dengan menyatakan bahwa rumusan itu tidak cukup
kuat untuk “menempatkan negara dalam posisi yang tidak seimbang di bawah

19
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 79.
20
Untuk paparan yang lengkap mengenai Piagam Jakarta, lihat Endang Saifuddin Anshari, The
Jakarta Charter 1945: The Struggle for an Islamic Constitution in Indonesia, (Kuala Lumpur: Muslim
Youth Movement of Malaysia, ABIM, 1979).
18

Islam.”21 Untuk alasan itu, Wahid Hasyim menegaskan bahwa “hanya orang-orang
Islam yang dapat dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara republik ini.”
Lebih jauh, ia juga menegaskan bahwa Islam harus diterima sebagai agama negara.
Sementara itu, seraya mendorong lebih kuat diterimanya gagasan negara Islam, Ki
Bagus Hadikusumo menuntut agar sila ketuhanan berbunyi “Percaya kepada Tuhan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam,” tanpa prasyarat bahwa keharusan itu
hanya berlaku bagi kaum muslim. Untuk alasan-alasan yang sebaliknya, kelompok
nasionalis, terutama mereka yang tidak punya asal-usul Islam, menolak kompromi di
atas. Khawatir akan sikap diskriminatif atas agama-agama lain dan tumbuhnya
fanatisme keagamaan mereka menuntut agar negara harus benar-benar diakui
keberadaannya.
Bagaimana pun juga, cukup bijaksana jika disimpulkan di sini bahwa peristiwa
seperti itu menandai kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan
gagasan kaitan legal dan formal antara Islam dan negara. Kekalahan ini, seperti
tampak beberapa tahun kemudian, hanya bisa diterima untuk sementara, “hingga
Majelis Konstituante hasil pemilihan umum mulai bekerja menyusun undang-undang
baru.”

2. Pasca Kemerdekaan
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-
tentara sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menduduki kepulauan Nusantara.
Selama periode ini, tidak ada hambatan penting yang menghalangi hubungan politik
antara arus utama pemimpin dan aktivis Islam politik dengan kelompok nasionalis.
Perdebatan-perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan
negara dihentikan. Mereka, paling tidak untuk sementara, rela melupakan perbedaan-
perbedaan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para
pendiri republik merasa bahwa mereka harus menguras seluruh energi dan
kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan
mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak tanpa benturan di sana-sini, kedua kelompok di atas Islam dan
nasionalis mampu mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis antara

21
Ungkapan ini diambil dari Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, h. 42.
19

mereka. Kelompok nasionalis tetap memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu,


menyusul diserahkannya kekuasaan oleh pihak Belanda kepada Republik Indonesia
pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan
kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Dengan Masyumi, yang
dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok
Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.22
Untuk alasan itu, pada tahun 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia
dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri dalam beberapa kabinet semasa
revolusi) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan di sekitar
tahun itu, maka Masyumi yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim
modernis seperti: Muhammadiyah dengan jumlah anggota yang besar di wilayah
perkotaan dan NU dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-
wilayah pedesaan akan memperoleh 80 persen suara.”
Perkiraan Sjahrir itu bukan tanpa alasan. Besarnya jumlah pemilih Masyumi
antara 1946 dan 1951 sangat nyata. Kenyataan ini, ditambah dengan tidak adanya
kontroversi-kontroversi ideologis yang terbuka, boleh jadi turut menyebabkan
berlangsungnya hubungan politik yang relatif harmonis antara kedua payung religio-
politik besar ini selama tahun-tahun pertama politik Indonesia pascarevolusi 1950-
1953. Kritik terangterangan terhadap Pancasila oleh para pemimpin dan aktivis politik
Islam jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir menyatakan bahwa karena
dimasukkannya prinsip “Percaya kepada Tuhan” ke dalam Pancasila Indonesia tidak
menyingkirkan agama dari masalah-masalah kenegaraan. 23
Meskipun demikian, diketahui bahwa sebagai entitas politik yang bersatu,
Indonesia saat itu sangat lemah. Dilihat dari perspektif teori negara, Indonesia saat itu
jelas telah jatuh ke “titik terendah dalam hal kemampuannya memperoleh kontrol
sosial dan efektivitasnya dalam mendistribusikan sumber-sumber.” Ketidak mampuan
negara untuk mempenetrasi masyarakat, untuk mengatur hubungan-hubungannya
dengan berbagai pengelompokan sosial-politik, dan untuk menggali serta
mendistribusikan baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam dalam cara-

22
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 107.

23
Mohammad Natsir, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and
International Affairs, (Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Far Eastern Studies, Cornell
University, 1954), h. 1.
20

cara yang kurang-lebih tegas, turut menyebabkan munculnya beberapa gejolak sosial-
politik yang amat merepotkan kepemimpinan nasional.24
Beberapa contoh yang terkenal dari gejolak-gejolak itu adalah pemberontakan
Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Itulah dinamika pergulatan yang menyebabkan
terjadinya pemberontakan yang mengatasnamakan agama yang ingin mengubah
ideologi negara atas dasar semangat panji-panji Islam akibat ketidak mampuan
pemerintah pusat untuk mendapatkan loyalitas yang kuat dari kalangan elite politik
regional.25

C. Dinamika Hubungan Agama dan Negara dalam UUD 945


Diskursus reposisi agama dan negara yang fundamen untuk dimasukkan pada
bab agama di dalam UUD 1945, dalam catatan sejarah konsepsi mengenai agama dan
negara yang di dalamnya termaktub kebebasan beragama yang tanpa disadari telah di
mulai sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1940, ketika muncul polemik
mengenai hubungan antara negara dan agama yang memperhadapkan dua tokoh
pejuang kemerdekaan terkemuka, yakni Soekarno dan Natsir.26 Polemik itu di picu
oleh artikel Bung Karno yang di muat di majalah Panji Islam, berjudul “Memudahkan
Pengertian Islam”. Menurut Soekarno, demi kebaikan (agama dan negara), maka
keduanya harus di pisahkan.
Soekarno menyatakan kekaguman dan dukungannya terhadap apa yang
dilakukan oleh Kemal Attaruk di Turki pada tahun 1928, ketika pemimpin Turki itu
menghapus isi konstitusi yang menjadikan Islam sebagai agama negara untuk
kemudian menjadikan agama sebagai urusan perseorangan. Menurut Soekarno,
penghapusan itu justru dimaksudkan agar Islam menjadi lebih maju dibawah orang
yang menganutnya, bukan di bawah negara, dengan kata lain menyerahkan urusan
agama kepada masing-masing pemeluknya.
Oleh sebab itu menanggapi ungkapan Soekarno, Natsir menyatakan secara
terang-terangan mengikuti pendapat bahwa negara dan agama tidak dapat dipisahkan

24
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 110.

25
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 111.

26
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,. (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 235
21

sesuai dengan bunyi Al-Qur’an surat Al-Dzariyat ayat 56 bahwa “jin dan manusia
diciptakan tiada lain kecuali untuk beribadah” sehingga setiap muslim memiliki cita-
cita untuk menjadi hamba Allah yang sepenuhnya untuk mencapai kebahagiaan dunia
dan di akhirat. Negara memiliki arti sangat penting bagi Islam, sebab Qur’an dan
Sunnah tidak berkaki sendiri untuk menjaga segala peraturan agar ditaati sebagaimana
mestinya. Berawal dari Natsir yang mengkritisi Kemal Attaturk yang dianggap
mencampakkan Islam dari konstitusi Turki hanya karena masyarakat yang tidak
Islami. Kemudian polemik tersebut berlanjut hingga di sidang BPUPKI dan PPKI pada
waktu itu.27
Terlepas dari tekanan kaum mayoritas muslim, dengan pertimbangan atas
nama agama mayoritas, secara terang-terangan perjuangan memasukkan syariat
Islam dalam konstitusi diawali lewat persidangan BPUPKI yang terulang kembali
dalam sidang konstituante 1956-1959. Perjuangan yang ditempuh secara formal
lewat persidangan BPUPKI dan konstituante telah muncul persaingan antara gagasan
negara Islam di satu pihak dan negara nasional berdasarkan Pancasila di lain pihak.
Umat Islam pada umumnya mempercayai watak kholistik Islam. Dalam
persepsi mereka, Islam sebagai instrument ilahiyah untuk memahami dunia,
seringkali dipandang sebagai lebih dari sekadar agama. Beberapa kalangan malah
menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara. 28 Namun
artikulasinya pada tingkat praktiknya menjadi persoalan yang problematik, hal ini
antara lain disebabkan oleh ciri umum sebagian besar ajaran Islam yang mungkin
multi intepretasi sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Kemudian masuk ke peristiwa yang paling bersejarah yakni pertemuan
pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada saat itu suasana kebatinan dan
situasi politik Indonesia berubah secara dramatis, mesunyul proklamasi
kemerdekaan Indonesia !7 Agustu 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI
memilih Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia. Pada saat yang sama PPKI menyetujui naskah “Piagam Jakarta”
sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali tujuh kata di belakang sila ketuhanan, 7 kata
yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 “Negara berdasarkan ketuhanan

27
Mahfud MD, Perdebatan Hukum…….h. 235-239.
28
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam
Konstituante, Cet 1, (Jakarta: LP3ES, 1996). h. 15.
22

dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang


telah memunculkan kontroversi terpanas dalam sesi persidangan terakhir BPUPK.
Dicoret dan kemudian diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Sehingga,
selengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai konsekuensi dari
pencoretan “tujuh kata” ini, dalam batang tubuh UUD 1945, disetujui pula Pasal 6
ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli”, tidak ada tambahan kata-kata “yang
beragama Islam”. Demikian pula, bunyi Pasal 29 ayat 1 menjadi: Negara
berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa”, tanpa disertai tujuh kata
dibelakangnya.29
Melihat secara histois Pasal dalam UUD 1945 yang tidak mengalami
perubahan pada tahun 1999-sekarang adalah Pasal 29 UUD 1945. Namun dalam
persoalan implementasinya sering ditafsirkan sesuai kondisi latar belakang agama
yang mengakibatkan terjadinya kekerasan atas nama agama dan sering kali negara
ikut terjebak dalam persoalan tersebut, padahal seharusnya tidak berpihak.
Gejolak perdebatan antara golongan kebangsaan dan golongan Islam
berlanjut pada seorang Tan Malaka, yang dalam kapasitasnya sebagai pemimpin
komunis, mempunyai kepedulian yang tinggi untuk merukunkan antara komunisme
dan Islamisme. Pada kongres keempat tahun 1922 Tan Malaka terang-terangan
mengecam sikap permusuhan komintrn terhadap Pan-Islamisme, karena hal itu
dipandang sebagai cerminan kekuatan borjuis yang tidak bisa dipercaya. Dia juga
menekankan “potensi revolusioner dalam Islam di daerah-daerah jajahan dan
kebutuhan partai-partai komunis untuk bekerjasama dengan kelompok-kelompok
radikal Islam” (Malaka, 1991: 92-93, Anderson, 1972:272).
Kedua golongan yang bersebrangan antara kebangsaan dan Islam masing-
masing di internal golongan tersebut terjadi perdebatan pandangan. Internal
golongan Islam satu pihak menginginkan tidak sepenuhnya menghendaki penyatuan
agama dan negara, demikian juga golongan kebangsaan yang tidak menginginkan
pemisahan sepenuhnya dari urusan negara dengan urusan negara. Betapapun mereka
berbeda pandangan melalui konfrontasi mengenai relasi agama dan negara, namun
tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai ketuhanan dalam persidangan pertama
BPUPK (29-1 Juni) karena ketuhanan sebagai fundamen yang penting bagi negara
Indonesia merdeka.

29
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historistas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Cet. 4,
(Jakarta: PT Gramedia, 2012), h. 81-83.
23

Usaha kompromi yang telah dilakukan tentunya telah final dengan pilihan
bahwa Pancasila sebagai filosofi sekaligus sebagai ideologi negara. Terlepas apakah
dasar negara itu berkesesuaian dengan golongan Islam dan golongan kebangsaan.
Namun kedua titik tersebut dirasa barangkali sulit disatukan mengingat masing-
masing memiliki argumentasi yang sangat kuat. memang pembahasan ini sangatlah
fundamen, namun pastinya ada langkah-langkah solutif terbaik, karena Pancasila
digali dari nilai-nilai kebangsaan yang di dalamnya terdapat nilai kekayaan kearifan
lokal.
BAB III
LATAR BELAKANG BERDIRINYA
NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH

A. Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama


1. Sejarah Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi/16 Rajab 1344
Hijriyah sebagai representatif dari kalangan ulama tradisionalis, dengan haluan
ideologi ahlus sunnah wal jamaah tokoh-tokoh yang ikut berperan dan berjuang
dalam merumuskan lahirnya organisasi ini diantaranya KH. Hasyim Asy’ari, KH.
Abdul Wahab Chasbullah dan para ulama lainnya pada masa itu seperti KH. Bisri
Syansuri, KH. Abdul Chamid Faqih, KH. Ridwaan Abdullah, KH. Abdul Halim, KH.
Mas Alwi bin Abdul Aziz, KH. Maksum, KH. Dachlan Achjad, KH. Nachrowi Thahir,
KH. R. Asnawi, KH. Abdullah Ubaid, dan Syekh Ghanaim. 1
Latar belakang belakang berdirinya Nahdlatul Ulama erat kaitannya dengan
perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam pada saat itu. Perjuangan
dalam mengembangkan organisasi ini melalui proses panjang dan tidak instan. Segala
macam bentuk persoalan dan pemikiran dari para pendirinya seperti KH. Hasyim
Asyari dan KH. Wahab Hasbullah dalam menyikapi perkembangan masyarakat di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Madura dalam menghadapi kolonialisme
Belanda serta perkembangan dunia Islam di Saudi Arabia. 2
Pada saat itu tepatnya ditahun 1924 Masehi Arab Saudi sedang terjadi
pembaharuan keagamaan yang diprakarsai oleh Abdul Aziz bin Saud (tokoh yang
beraliran Wahabi) setelah sebelumnya mengalahkan Syarif Husain (tokoh yang
beraliran Sunni), runtuhnya kekaisaran Ottoman (Turki Utsmani) di Turki, timbul
tenggelamnya gagasan Pan Islamisme, dan adanya pertentangan tajam diantara para
pengikut aliran atau pemikiran Islam di Indonesia. Sejarah itu dimulai sejak
kepulangan KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur dari Mekkah setelah
pecah perang dunia I.3

1
Masykur Hakim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h. 66.
2
Muhammad Sodik, Dinamika Kepemimpinan NU (Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr, 2004),
h. 41.
3
Muhammad Sodik, Dinamika….h. 41.

24
25

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan


bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam komite Hejaz, dan
tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud
mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakannya
ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan
pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab serta
berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban sangat berharga.4
Beranggotakan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dab
ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih
mencakup dan lebih sistematis untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka
setelah berkordinasi dengan berbagai kalangan kiai, akhirnya muncul kesepakatan
untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada 16 Rajab 1344 Hijriyah/31 Januari 1926 Masehi Organisasi ini dipimpin oleh
KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.5
Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya untuk
mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari
Al-qur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan-keputusan para ulama sebelumnya), dan Qiyas
(kasus-kasus yang ada dalam cerita Al-qur’an dan Hadits). Seperti yang dikutip oleh
Marijan dari KH. Mustofa Bisri, bahwa ada tiga substansi yang mendasari paham
ahlus sunnah wal jamaah ini.
1. Dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam menganut salah satu ajaran dari
empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), yang dalam
praktiknya para Kiai Nahdlatul Ulama menganut kuat madzhab Syafi’i.
2. Dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-
Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
3. Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-
Junaidi.6

4
Aang Athorida, Ormas-ormas Keagamaan di Indonesia, (Bekasi: Pijar, 2010), h. 37.
5
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 37.

6
Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 7
26

Sebuah proses konsolidasi faham sunni yang berjalan secara evolutif.


Pemikiran sunni dalam bidang teologi bersikap pilihan, yaitu memilih salah satu
pendapat yang benar. Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh sunni yang
terkemuka dalam masalah Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih
pendapat Qadariyah, sedangkan dalam pelaku dosa besar memilih pendapat Murji’ah
yang menyatakan bahwa sang pelaku adalah kufur, hanya imannya yang masih (Fasiq)
pemikiran yang dikembangkan oleh Hasan Al-Bashri inilah yang sebenarnya
kemudian yang direduksi sebagai pemikiran Ahlussunnah wal Jama’ah. 7
Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah, sebuah alur
pemikiran yang menggabungkan ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi Nahdlatul Ulama tidak hanya Alquran
dan Sunnah tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Maka selain mengutamakan dasar
paham keagamaannya dari Alquran dan Sunnah, Nahdlatul Ulama juga
mengembangkan pemikiran-pemkiran terdahulu yang telah disebutkan di atas.
Menurut Ahmad Zahro, Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada
sumber ajaran Islam, yaitu Alquran, as-Sunnah, al-ijma’ dan al-qiyas. 8
Keterbelakangan yang dialami oleh bangsa Indonesia pada waktu itu akibat
serangan mental dan terkikisnya ekonomi akibat penjajahan maupun akibat ikatan
tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat
bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul pada tahun
1928 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan
memang terus menyebar kemana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dari bangsa lain. Sebagai jawabannya, maka
muncul berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.9

7
Ridwan, Paradigma Politik NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 95
8
Ahmad Zahro, Tradisi Inteltual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, (Yogyakarta: LKiS,
2004), h. 9.
9
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 35.
27

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon


kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (Kebangkitan
Pemikiran) sebagai wahana pendidikan sosial politik dan keagamaan kaum santri. Dari
situ dikenal kemudian didirikan Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar selain tampil sebagai kelompok studi juga
menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota.10
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari
merumuskan Kitab I’tiqad Ahlus Sunah Wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut
kemudian diejawantahkan dalam khittah Nahdlatul Ulama, yang dijadikan sebagai
sumber dasar dan rujukan warga Nahdlatul Ulama (NU) dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik.11

2. Tujuan Didirikannya Nahdlatul Ulama


Tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama adalah guna memelihara,
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam berlandaskan faham
ahlusunnah wal jamaah yang menganut salah satu dari mazhab empat, dan
mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya serta melakukan
kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat,
kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia. 12 Dan untuk
mewujudkan tujuan tersebut, maka Nahdlatul Ulama melaksanakan usaha-usaha
sebagai berikut:13
1. Di bidang agama mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut
faham Ahlusunnah Wal Jamaah dan menurut salah satu mazhab empat dalam

10
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 36.
11
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 37.
12
PWNU Jawa Timur, Aswaja an-Nahdah (Surabaya: Khalista, 2007), h. 1
13
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2010), h. 7.
28

masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan Amar Ma'ruf Nahi


Munkar.
2. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengupayakan
terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta
pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina
umat agar menjadi muslim yang taqwa dan berbudi luhur, berpengetahuan
luas dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
3. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk
pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan,
dengan pengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
4. Di bidang ekonomi, mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakat dan
lapangan kerja/usaha untuk kemakmuran yang merata. Mengembangkan
usaha-usaha lain melalui kerjasama dengan pihak dalam dan luar negeri yang
bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.
5. Nahlatul Ulama juga bercita-cita mewujudkan hubungan antar bangsa yang
adil, damai, dan manusiawi, menuntut saling pengertian dan saling
memerlukan. Guna mewujudkan semua itu, Nahdlatul Ulama bertekad
mengembangkan ukhuwah Islamiyah, ukuwah Wathoniyah, dan ukhuwah
Insaniyah yang mengemban kepentingan nasional dan internasional dengan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-ikhlas (ketulusan), al-‘adalah
(keadilan), at-tawassuth (moderasi), at-tawazun (keseimbangan) dan at-
tasamuh (toleransi), dengan tetap menjungjung tinggi semangat yang
melatarbelakangi berdirinya dan prinsip-prinsip yang ada dalam Qanun
Asasi.
Dalam sejarahnya perkembangan Nahdlatul Ulama secara luas bisa dibagi
dalam tiga fase: Periode awal sebagai organisasi sosial keagamaan, periode kedua
ketika ia berfungsi selain sebagai organisasi sosial keagamaan, juga berfungsi
sebagai partai politik atau menjadi unsur formal dari sebuah partai, dan periode
terakhir kemudian kembali kepada aktivitas-aktivitas sosial keagamaan. 14
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama
adalah sebagai jam'iyah diniyah atau organisasi keagamaan, misi awalnya

14
Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-
Negara (Yogyakarta: LKIS, 1997), h. 13
29

menyatakan bahwa organisasi akan berkhidmat pada kegiatan-kegiatan keagamaan,


sosial, pendidikan, dan ekonomi, diantaranya juga meningkatkan komunikasi
antarulama, memperbaiki mutu sekolah-sekolah Islam, menyeleksi kitab-kitab yang
dipelajari di pesantren dan mendirikan badan-badan untuk membantu kegiatan
pertanian dan perdagangan umat Islam. 15
Namun seiring murninya demokrasi di Indonesia Nahdlatul Ulama banyak
berperan di dalam instansi pemerintah, bukan sebagai partai politik, tetapi sebagai
representatif pemerintah dalam mengusulkan dan menberikan fatwa hukum terkait
keagamaan yang menyangkut segala persoalan dan jati diri bangsa.
Untuk itu hadirnya Nahdlatul Ulama memiliki peranan yang sangat penting
untuk disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia guna
menjadikan NU sebagai organisasi tradisional dengan pemikiran, dan pemahaman
sosial keagamaan yang mengedepankan kemaslahatan umat (li maslahatil ummah).

3. Kiprah sosio-politik Nahdlatul Ulama


Prinsip umum ajaran sosial politik Sunni adalah mengambil sikap tawasuth,
tawazun, ta’addul, dan tasamuh serta al-qiyam bi al-qadim as-shalih wa al-akhdzu
bi al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip ini Sunni selalu mengambil sikap akomodatif,
toleran, moderat, dan menghindari sikap ekstrim dalam menghadapi spektrum
budaya apapun, tak terkecuali budaya politik kekuasaan. Dalam konteks politik,
sikap tersebut dapat dijadikan kerangka pemikiran dan tampilan politiknya. Menurut
pandangan Sunni, mendirikan negara itu adalah wajib syar’i, karena syariah tidak
akan bisa ditegakkan tanpa ditopang oleh kekuasaan. Inilah hujjah awal yang
senantiasa ditarik oleh mazhab Sunni atau Ahlussunnah Wa al-Jamaah, terlebih
ketika menghadapi krisis sosial politik kemaslahatan atau politik kebajikan demi
kelangsungan umat pada umumnya.
Dalam Muktamar NU ke-11 bertempat di Kalimantan pada tahun 1936,
Nahdlatul Ulama secara struktural membentuk suatu kesepakatan bahwa negara dan
tanah air wajib dirawat menurut fikih. Hal yang mendasari adalah status negara
Indonesia dalam perspektif syariah. Rujukan yang dipakai adalah kitab Bughyatul
Mustarsyidin dalam bab hudnah wal imamah: “Semua tempat di mana orang muslim
mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam, yang

15
Dikutip dari https://repository.uinsu.ac.id, h. 3 pada 5 Maret 2020 Pkl. 13.05
30

syariat Islam berlaku pada masa itu dan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan
umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, maka
dalam kondisi semacam ini, penamaannya “dengan daerah kafir harbi” hanya
merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa,
tanah betawi dan bahkan sebagian besar tanah Jawa adalah “daerah Islam” karena
umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir”. 16
Dalam tradisi fikih politik dikenal dengan tiga jenis negara. yakni: dar al-Islam
(negara Islam), dar al-sulh (negara damai), dan dar al-Harb (negara perang).
Pembentukan negara Islam menuntut untuk dipertahankannya negara dari rongrongan
penjajah, karena merupakan bentuk perwujudan normatif dari cita-cita negara. 17
Pandangan NU tentang negara (apakah harus negara Islam), menjelaskan
bahwa organisasi keagamaan ini menganut suatu keilmuagamaan yang bertumpu pada
akidah ahlussunah wal jamaah. Tradisi ini pada intinya mengandung pertautan organik
antara tauhid, fiqih, dan tasawwuf yang selalu diamalkan secara berkesinambungan
dan membentuk perpaduan kehidupan di lingkungan Nahdlatul Ulama yang mencakup
duniawi dan ukhrawi.
Konsekuensi yang ditimbulkannya hampir semua bisa dijelaskan secara logis
bahwa pandangan-pandangan sosial tidak bercorak “hitam-putih”. Tetapi dilain pihak
juga hamper bisa dipastikan bahwa sikap dan tindakan Nahdlatul Ulama didasarkan
pada ijtihad keagamaan, yang bertumpu pada tradisi pengambilan keputusan hukum
lewat fikih, yang berlandaskan pada niat untuk membangun keseimbangan antara
kehidupan duniawi dan ukhrawi tersebut. Ini juga karena pandangan hidup di
lingkungan Nahdlatul Ulama yang memosisikan kehidupan dunia sebagai jembatan
persiapan menuju kebahagiaan akhirat.
Paradigma keilmuan semacam ini pulalah yang melatar belakangi pandangan
kenegaraan yang dianut oleh NU. Para ahli fikih memandang bahwa mengangkat
kepala negara (nashbul imam), dan membentuk pemerintah (aqdul imamah)
hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam atas dasar ijma. Alasannya disamping dari
sumber syara (agama) juga dari konsep rasional bahwa kehidupan sosial yang
kompleks ini memerlukan tatanan dan kekuasaan yang mengatur baik individu
16
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h. 49-52.
17
Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraanya (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), h.
63.
31

maupun masyarakat. Mengenai sistem pemerintahan itu sendiri, Islam tidak


menyediakan sistem pemerintahan yang tegas dan baku, tetapi memberikan prinsip
dan etika dasar dalam melaksanakan pemerintahan dan prinsip-prinsip tersebut dapat
diterapkan dalam berbagai macam sistem pemerintahan yang ada.18
Oleh karena itu bagi Nahdlatul Ulama sistem pemerintahan apapun bentuknya
tidak menjadi masalah asal memenuhi prinsip dan tujuan pemerintah berdasarkan
teoritisasi fikih siyasah seperti hirasati al-dini (memelihara agama) dan siyasati al-
dunya (mengelola negara) dalam rangka menerapkan ajaran Islam, menolak
kerusakan, mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih lirraiyyah), menegakkan
keadilan (al-iqamatu al-adalah), dan menggapai kesejahteraan dan kemakmuran lahir
batin dunia-akhirat. Begitu penting tujuan tatanan atau negara itu dalam pandangan
Nahdlatul Ulama, maka bila para pemegang kekuasaan yang telah ada dan mapan
melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan maka bukan berarti hal itu
mengharuskan adanya penolakan dan perubahan dalam system pemerintahan dengan
sistem alternatif lain, melainkan harus dilakukan perbaikan dengan cara perlahan. Bila
harus dilakukan perubahan maka terlebih dahulu harus memperoleh legitimasi dari
tradisi keagamaan yang dianut Nahdlatul Ulama.
Berdasarkan hukum fikih Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa sistem negara
yang ada, yakni Negara Kesatuan Republik Indionesia (NKRI), adalah bentuk
pemerintahan yang sah dan final, serta tidak diperlukannya lagi sistem pemerintahan
atau “negara Islam” sebagai alternatif. Menurut Nahdlatul Ulama, NKRI telah
memenuhi ketentuan syariat. KH. Said Aqil Siradj sering menyebutnya sebagai
darussalam (negara damai). Sebuah bentuk negara yang bias dipadankan dengan
“negara Madinah” yang dibentuk oleh Rasulullah. Sedangkan KH. Ma’ruf Amin
menyebutnya darul mau’ahadah atau darul mitsaq (negara kesepakatan). Bentuk
negara yang diterapkan Indonesia menurutnya sama Islaminya dan sama kaffahnya
dengan negara-negara yang menyebut dirinya negara Islam. Perbedaannya hanya pada
bahwa implementasinya di Indonesia terikat dengan kesepakatan (al-mitsaq) dengan
unsur umat agama lain. Singkatnya Indonesia adalah daulah Islamiyah maa al-mitsaq
(negara Islam dengan kesepakatan), dan Saudi Arabia adalah daulah Islamiyah bi laa
al-mitsaq (negara Islam tanpa kesepakatan).

18
Thalhan Hasan, terutama bab 12 “Sistem Pemerintahan (Hukumah/Imamah) dalam Fiqih
Islam”.
32

Kendati secara fikih bentuk negara kita sudah Islami, hukum fikih juga
memiliki ketentuan yang memuat tolok ukur bagaimana sebuah pemerintahan
harusnya dikelola dan dijalankan. Misalnya ketentuan “tasharraful al-imam ‘ala al-
raiyyah manwuutun bi al-maslahah”, yakni kebijaksanaan kepala pemerintah harus
mengikuti kesejahteraan rakyat, yang menjadi pokok utama sebuah pemerintahan.
Dengan demikian, sekali lagi bentuk formal pemerintahan bukan menjadi
permasalahan bagi Nahdlatul Ulama selama masih diikuti perilaku formal negara yang
tidak bertentangan dengan hukum fikih.19
Pendirian ini secara jelas, misalnya telah dinyatakan jauh sebelum
kemerdekaan, tepatnya pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan,
tanggal 9 Juni 1935. Waktu itu Nahdlatul Ulama telah memberikan keabsahan status
hukum negara Hindia Belanda sebagai darul Islam dengan alasan secara historis
Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh penguasa Islam dan masyarakatnya secara
bebas bisa menjalankan syariat Islam, kendati demikian berarti harus memberi
legitimasi religius kepada pemerintah kolonial.20
Atas dasar nalar fikih pula, pada Konferensi Nasional Alim Ulama Nahdlatul
Ulama di Cipanas pada 1954, Nahdlatul Ulama memberi dukungan kepada Soekarno
dan pemerintahannya, dengan memberinya gelar “waliyul amri al-dlaluri bi al-
syakwah” atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh, saat
pemerintah sedang berhadapan dengan pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat,
yang kemudian dikukuhkan dengan melalui keputusan Muktamar NU ke-20 di
Surabaya 8-13 September 1954.21 Ini adalah dampak lanjut dari penolakan Nahdlatul
Ulama terhadap gagasan pendirian Darul Islam (DI) yang didirikan Kartosuwiryo di
Jawa Barat serta Negara Islam Indonesia (NII) di Sulawesi Selatan oleh Kahar
Mudzakar. Bahkan secara tegas ulama Nahdlatul Ulama memberikan keputusan fikih
kepada Kartosuwiryo sebagai pelaku bughat (pemberontakan kepada pemerintahan
yang sah).

19
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2017), h. 219.
20
KH. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul
Ulama Kesatu-1926 s/d Keduapuluh Sembilan 1994, (Surabaya: Kerjasama PP RMI dengan Dinamika
Press, 1997), h. 138.

21
KH. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan……., h. 207-208.
33

B. Latar belakang Berdirinya Muhammadiyah

1. Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir pada tanggal 18 November 1912 Masehi/8 Dzulhijjah
1330 Hijriyah di Yogyakarta. Organisasi ini didirikan oleh KH. Muhammad Darwish
atau lebih dikenal dengan sebutan KH. Ahmad Dahlan atas saran dari murid-
muridnya yang tergabung dalam Budi Utomo, mengingat bahwa ia merupakan
pengajar di sekolah Budi Utomo. Nama Muhammadiyah ini berasal dari Utusan Allah
yakni Nabi Muhammad saw. Nama ini diberi dengan maksud bahwa setiap anggota
Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan
dengan pribadi Nabi Muhammad saw.22
Kelahiran Muhammadiyah pada awalnya adalah menifestasi dari pemikiran
dan amal perjuangan KH. Ahmad Dahlan, organisasi ini mulai dibentuk secara umum
dapat dikaitkan dalam rangka merespon kondisi sosio-politik umat Islam sebagai
akibat kebijakan pemerintahan Hindia Belanda, yang pada waktu itu Belanda
melakukan proses kolonialisme yang dikemas dengan kebijakan pemerintahan yang
liberal. Oleh karenanya para kalangan Islam terdidik berinisiatif untuk menciptakan
sebuah gerakan dan perkumpulan yang bersifat sosial politik sebagai pencarian
kerangka ideologi alternatif guna untuk merespon dan menandingi kerangka politik
Belanda dan kolonialisme. Maka pada awal abad 20 gerakan-gerakan kebangsaan
mulai tumbuh. Gerakan-gerakan itu antara lain: Sarekat Dadang Islam (SDI) tahun
1905, Budi Utomo tahun 1908, Sarekat Islam pada awal tahun 1912, Muhammadiyah
pada akhir tahun 1912, Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923, dan Nahdatul
Ulama (NU) pada tahun 1926. Dengan memiliki visi yang sama guna mengangkat
harkat martabat bangsa.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa
pembaruan pemikiran Islam di Indonesia dan bergerak di berbagai bidang kehidupan
umat, antara lain dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial-budaya, dan kesehatan.
Ada beberapa alasan yang membuat organisasi keagamaan ini didirikan, antara lain
tidak murninya Islam di Indonesia, pendidikan Isalam tidak maju, kemiskinan rakyat,

22
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1996-2006,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 79.
34

adanya misi dan zending Kristen, umat Islam bersifat fanatisme sempit, taklid buta,
masih diwarnai konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.23
KH. Ahmad Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, dengan tipologi
yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
membangun kehidupan yang berkemajuan melalui pembaharuab (tajdid) yang
meliputi aspek-aspek tauhid, aqidah, ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap
ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya
yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang
ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap
ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam
berijtihad.24
Kemudian tidak murninya ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat
islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi Islam dan tradisi
lokal nusantara dalam awal bermuatan paham animisme dan dinamisme. Sehingga
dalam prakteknya umat Islam di Indonesia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip
akidah Islam yang Sehingga dalam prakteknya umat Islam di Indonesia
memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam,
terutama yang berhubungan dengan prinsip akidah Islam yang menolak segala bentuk
kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi pilihan
mutlak bagi umat Islam Indonesia.

2. Tujuan Didirikannya Muhammadiyah


Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan gerakan Islam. Maksud
gerakannya adalah dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan pada
dua bidang; perseorangan dan masyarakat. Dakwah amar ma’ruf nahi munkar pada
bidang yang pertama terbagi dalam dua golongan, kepada yang telah Islam bersifat
pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang asli
murni. Yang kedua kepada yang belum Islam bersifat seruan dan ajakan untuk

23
Sudharno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, (Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-
Ilmu Dasar (LPID), 2008), h. 26-27.
24
Sudharno Shobron, Studi…..h. 27.
35

memeluk agama Islam. Adapun dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar kedua ialah
kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya
itu dilakukan bersama dalam musyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan
Allah semata-mata.
Maksud dan tujuan didirikannya Muhammadiyah ialah menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut Muhammadiyah melaksanakan
usaha-usaha secara umum sebagai berikut: 25
1. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman,
meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam
berbagai aspek kehidupan.
2. Memperdalam dan mngembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai
aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
3. Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah,
hibah, dan amal shalih.
4. Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar
berkemampuan tinggi serta berakhlak mulia.
5. Memajukan dan memperbarui pendidikan, dan kebudayaan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
meningkatkan penelitian.
6. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan kea rah perbaikan hidup
yang berkualitas.
7. Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
8. Memelihara, mengembangkan, dan mendayagunakan sumberdaya alam dan
lingkungan untuk kesejahteraan.
9. Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai
bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.
10. Memeilahar keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
11. Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai
pelaku gerakan.

25
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah (Yogyakarta: Sekretariat
Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah, 2018), h. 4-5.
36

12. Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk mensukseskan


gerakan.
13. Mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran, serta
meningkatkan pembelaan terhadap masyarakat.
14. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah.
Misi utama Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam adalah
pembaharuan atau tajdid pemahaman agama Islam. Dalam hal ini, tajdid mempunyai
dua pengertian. Pertama, tajdid (pembaharuan) dalam arti mengembalikan kepada
keaslian dan kemurniaannya jika sasaran tajdid mengenai soal-soal prinsip perjuangan
yang sifatnya tetap. Kedua, tajdid dalam arti modernisasi, yaitu jika sasarannya
mengenai masalah seperti metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, dan
sebagainya yang sifatnya berubahubah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
meliputi.26 Seiring dengan semangat tajdid ini lahirlah konstruksi epistemologis
keilmuan Muhammadiyah yang bisa dipetakan dalam kerangka pemurnian ajaran
Islam dan modernisasi.
Khittah Perjuangan Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai kerangka berpikir
untuk memahami dan memecahkan persoalan yang dihadapi Muhammadiyah sesuai
dengan gerakannya dalam konteks situasi dan kondisi yang dihadapi guna mencapai
maksud dan tujuan persyarikatan. Ada beberapa khittah perjuangan Muhammadiyah
dalam membangun bangsa dan negara, diantaranya:
1. Hakikat Muhammadiyah yaitu sebagai harakah/gerakan, dalam mengikuti
perkembangan dan perubahan itu senantiasa mempunyai kepentingan untuk
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
2. Muhammadiyah dan masyarakat, sebagai persyarikatan memilih dan
menempatkan diri sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam
masyarakat, dengan maksud yang terutama adalah membentuk keluarga
dan masyarakat sejahtera sesuai dengan dakwah jama’ah.
3. Muhammadiyah dan politik, sebagai gerakan yang beramalkan pada segala
bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan
organisatoris dan tidak afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi
apapun. Oleh karenanya, setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak

26
Asmuni Abdurahman, “Muhammadiyah dan Tajdid di Bidang Keagamaan, Pendidikan, dan
Kemasyarakatan”, dalam Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah
Malang, Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h.
117- 118
37

asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi organisasi lain,


sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam persyarikatan
Muhammadiyah.
4. Muhammdiyah dan ukhuwah Islamiyah, yaitu bekerjasama dengan
golongan Islam yang lain maupun juga dalam usaha mensyiarkan dan
mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.
Adapun misi dakwah yang pertama dari Muhammadiyah adalah kembali
kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Di lihat, bahwa umat
Islam telah melenceng dari apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Pada saat
yang bersamaan sisitem pendidikan yang membuat mereka kembali kejalan yang
benar masih minim jumlahnya. Karena itu tugas Muhammadiyah, selain memperbaiki
keimanan melalui pendidikan, ia juga berdakwah dengan karya nyata.
Oleh karenanya KH. Ahmad Dahlan mempunyai cita-cita dengan wadah
pergerakannya untuk membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid
(pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan
pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam. Sebagai organisasi
masyarakat yang berbasiskan agama, apalagi segala bentuk pemahaman dan ajarannya
untuk kembali pada sumber aslinya Al-Quran dan Sunnah, di tengah-tengah
masyarakat yang pada waktu itu banyak berpesta dengan takhayul, bidah, dan khurafat
yang dihadapinya.
Dengan melaksanakan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan caranya
masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah mempunyai agenda untuk menggerakkan
masyarakat di Nusantara menuju tujuannya, yaitu: terwujudnya masyarakat utama, adil
dan makmur yang diridhai Allah SWT.

3. Politik Kebangsaan Muhammadiyah


Muhammadiyah adalah merupakan organisasi keagamaan yang menjunjung
tinggi sikap nasionalisme, ini bisa diperhatikan atas keterlibatan KH. Ahmad Dahlan
dalam Budi Utomo, posisi Muhammadiyah tidak berpolitik partai (kepartaian) tetapi
ditujukan pada politik kebangsaan, bertanggung jawab atas segala persoalan
kebangsaan, seperti: kemiskinan, kebodohan, dan anak-anak yatim, maka
38

Muhammadiyah sebenarnya masih dapat diharapkan peranannya dalam menumbuhkan


dan membangun nasionalisme.27
Dalam kaitannya pada persoalan nasionalisme Muhammadiyah bisa dilihat
pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, pada lampiran 2
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang menjelaskan bahwa
Muhammadiyah menjunjung tinggi kedudukan negara Pancasila sebagai darul ahdi
wasysyahadah.
Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang
ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Negara Pancasila yang
mengandung jiwa, pikiran, dan citacita luhur sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 itu dapat diaktualisasikan sebagai Baldatun Thayyibatun Wa
Rabbun Ghafur yang berperikehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan
berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT. 28
Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-ahdi) dan
tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman
dan damai (dar al-salam). Negara ideal yang dicita-citakan Islam adalah negara yang
diberkahi Allah karena penduduknya beriman dan bertaqwa (QS. Al-A’raf: 96),
beribadah dan memakmurkannya (QS. Al-Dzariyat: 56 dan QS. Hud: 61),
menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat kerusakan di dalamnya (QS. Al-
Baqarah: 11, 30), memiliki relasi hubungan dengan Allah (hablun min Allâh) dan
dengan sesama (hablun min an-nas) yang harmonis (QS. Ali Imran: 112),
mengembangkan pergaulan antarkomponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan
berkualitas taqwa (QS. Al-Hujarat: 13), serta menjadi bangsa unggulan bermartabat
(khairu ummah) (QS. Ali Imran: 110).29

27
Acep Zamzam Noor, Zuly Qodir dkk, Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011), h. 84-85.

28
PP. Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-47. h. 67
29
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 68
39

Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah ideologi negara


yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi
substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa Pancasila itu Islami karena substansi pada setiap
silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam Pancasila terkandung ciri
keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
(humanisme religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan
permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran. Melalui proses integrasi keislaman
dan keindonesiaan yang positif itu, umat Islam Indonesia sebagai kekuatan mayoritas
dapat menjadi teladan yang baik (uswah hasanah) dalam mewujudkan cita-cita
nasional yang sejalan dengan idealisasi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.30
Segenap umat Islam harus berkomitmen menjadikan negara Pancasila sebagai
dar al-syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi
dan membangun kehidupan kebangsaan. Dalam negara Pancasila sebagai dar al-
syahadah, umat Islam harus siap bersaing untuk mengisi dan memajukan kehidupan
bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi yang terbaik. Dalam hal ini,
Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa mempunyai peluang
besar untuk mengamalkan etos fastabiq al-khairat itu dan tampil sebagai kekuatan
yang berada di garis depan (a leading force) untuk mengisi dan memimpin kehidupan
kebangsaan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sejajar dengan
negara-negara lain yang telah maju dan berperadaban tinggi. 31
Dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila belum
sepenuhnya diimplementasikan sehingga penyelenggaraan pemerintahan masih
diwarnai penyimpangan. Saat ini, masih banyak praktik-praktik korupsi, kekerasan,
skandal moral, eksploitasi sumber daya alam secara tak bertanggung jawab,
kemiskinan, dan belum terwujudnya pemerataan atas hasil pembangunan nasional.
Sebagian elit dan warga menunjukkan perilaku “ajimumpung” dan lebih
mengedepankan kepentingan diri dan kroni. Sementara kehidupan sosial politik,
ekonomi, dan budaya cenderung serba liberal. Oleh karena itu, Pancasila dengan lima
silanya yang luhur itu harus ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan
nasional. Pancasila harus diberi pemaknaan nilai dan aktualisasi secara terbuka dan

30
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 68

31
PP. Muhammadiyah, Tanfidz…..h. 68
40

dinamis sehingga dapat menjadi rujukan dan panduan yang mencerdaskan,


memajukan, dan mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam negara Pancasila terkandung paham nasionalisme yang menjunjung-
tinggi nilai-nilai dan orientasi kebangsaan yang menjadi bingkai pandangan negara-
bangsa. Paham nasionalisme serta segala bentuk pemikiran dan usaha yang
dikembangkan dalam membangun Indonesia haruslah berada dalam kerangka dasar
negara Pancasila dan diproyeksikan untuk terwujudnya cita-cita nasional tahun 1945.
Nasionalisme harus dimaknai dan difungsikan sebagai spirit, pemikiran, dan tindakan
untuk membangun Indonesia secara amanah dan bertanggungjawab.32
Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, Muhammadiyah bertekad
berjuang di Negara Pancasila menuju Indonesia Berkemajuan sesuai dengan
Kepribadiannya yaitu:33
1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.
2. Memperbanyak kawan dan meningkatkan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah).
3. Memiliki pandangan luas dengan memegang teguh ajaran Islam.
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan
falsafah negara yang sah.
6. Melakukan Amar ma’ruf nahi munkar dan menjadi teladan yang baik.
7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan
pembangunan sesuai dengan ajaran Islam.
8. Kerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan
dan mengamalkan agama Islam, serta membela kepentingannya.
9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam
memelihara dan membangun negara.
10. Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
Hal yang paling jelas bentuk nasionalisme Muhammadiyah adalah ketika
secara resmi Muhammadiyah tidak akan mendukung dan menjadikan negara Indonesia
ini menjadi negara Islam. Dalam kepemimpinan Syafi’i Ma’arif dan Din Syamsuddin
Muhammadiyah telah mengatakan kata akhir bahwa Pancasila adalah sebagai dasar
Negara Republik Indonesia bersama dengan Nahdlatul Ulama yang menyerukan

32
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 69
33
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 70
41

demikian. Inilah sebuah proporsi yang paling tegas dari Muhammadiyah di tengah
adanya gempuran dari sebagian kelompok Islam yang kecil seperti: Hidzbut Tahrir
Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Anshoru Tauhid, Front Pembela Islam, dan
Wahdatul Islamiyah yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama tetap pada pendiriannya untuk tidak mendukung pendirian
negara Islam di Indonesia. Hal ini merupakan sikap yang sangat tegas dan tajam
karena sebagian orang muslim belakangan ini masih mempersoalkan masalah terkait
formalisasi dasar negara dengan Islam, sementara Muhammadiyah secara resmi
menyatakan tidak mendukung berdirinya negara Islam dan Islam sebagai dasar negara
di Republik Indonesia. 34 Dengan demikian, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
menjadi benteng terakhir dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang memiliki visi
kebangsaan untuk mempertahankan nilai-nilai Pancasila di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

34
Acep Zamzam Noor, Zuly Qodir dkk, Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme, h. 84.
BAB IV
ANALISIS KONSEP DARUL ISLAM DAN DARUL AHDI
WASYSYAHADAH YANG MENJUNJUNG TINGGI BENTUK NEGARA

A. Tipologi Bentuk Negara


Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian yaitu dar al-Islam dan al-
harb. Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-ahdi.1 Para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-
Islam, dar al-harb dan dar al-ahdi. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut
hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan
warganya menjalankan syariat Islam. Sementara ada juga yang melihat dari sisi
pemegang kekuasaan negara tersebut.
Berikut pendapat para ulama tentang dar al-Islam, dar al-harb dan dar al-ahdi:
1. Dar al-Islam, Imam Abu Yusuf (182 H), tokoh terbesar Hanafi berpendapat
bahwa suatu negara disebut darul Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya,
meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Menurut tokoh Modern Sayyaid
Quthb (1387) tokoh Ikhwanul Muslimin ini memandang negara yang
menerapkan hukum Islam sebagai darul Islam tanpa mensyaratkan
penduduknya harus muslim atau bercampur baur dengan ahl al-zimmi.2
Menurut Abdul Karim Zaidan darul Islam adalah suatu tempat atau kedudukan
yang berada di bawah kekuasaan orangorang Islam atau suatu tempat yang
umatnya benar-benar menjalankan ajaran Islam, yang artinya bahwa penduduk
darul Islam tidak mutlak harus muslim seluruhnya, tetapi boleh juga warga
yang non-muslim.3
2. Dar al-ahdi, ialah negara non muslim yang mengikat perjanjian dengan darul
Islam bahwa mereka tidak akan memerangi darul Islam dan akan membayar
jizyah selama keamanan mereka dijamin.

1
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstekstualiasi doktrin politik Islam”, (Jakarta: Gaya
Media Pratama. 2001), h. 222.
2
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstekstualiasi.....h. 222.
3
Zakaria Syafe’i, Negara dalam Perspektif Islam Fiqh Siyasah, (Jakarta : Hartomo Media
Pustaka, 2012), h. 61-62.

42
43

3. Imam Abu Yusuf (182 H), berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-
harb adalah negara yang tidak memberlakukan hukum Islam, meskipun
sebagian besar penduduknya beragama Islam.4 Pendapat ini di perkuat oleh
Alkasani ahli fiqh madzhab Hanafi, menurutnya darul harbi dapat menjadi
darul Islam apabila negara tersebut memberlakukan syari’at Islam.
Pada akhir abad pertengan sampai modern, konsepsi mengenai bentuk negara
5
dikenal dalam dua bentuk, yaitu negara kerajaan (monarki) dan negara republik.
Nicholo Machiaveli menyebutkan bahwa jika suatu negara bukan negara republik
tentulah kerajaan. Menurutnya negara adalah gen sedangkan republik dan kerajaan
adalah spesies. Dapat dikemukankan bahwa bentuk negara yang paling lazim
dipraktikan di banyak negara dari zaman dahulu hingga saat ini adalah republik dan
monarki sedangkan bentuk negara dalam konsepsi Fiqh Siyasah di kenal dengan
Istilah dar-Islam, dar al-harb dan dar al-ahdi.

B. Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama Pra dan Pasca kemerdekaan Indonesia


Prinsip umum ajaran sosial politik Sunni adalah mengambil sikap tawasuth,
tawazun, ta’addul, dan tasamuh serta al-qiyam bi al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi
al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip ini Sunni selalu mengambil sikap akomodatif,
toleran, moderat, dan menghindari sikap ekstrim dalam menghadapi spektrum budaya
apapun, tak terkecuali budaya politik kekuasaan. Dalam konteks politik, sikap tersebut
dapat dijadikan kerangka pemikiran dan tampilan politiknya. Menurut pandangan
Sunni, mendirikan negara itu adalah wajib syar’i, karena syariah tidak akan bisa
ditegakkan tanpa ditopang oleh kekuasaan. Inilah hujjah awal yang senantiasa ditarik
oleh mazhab Sunni atau Ahlussunnah Wa al-Jamaah, terlebih ketika menghadapi krisis
sosial politik kemaslahatan atau politik kebajikan demi kelangsungan umat pada
umumnya.
Dalam sejarahnya, NU punya andil besar dalam berpolitik. Berikut akan
dipaparkan beberapa moment sejarah yang bersingungan dengan politik kebangsaan
yang dilakukan oleh NU dalam perkembangan sejarahnya. Bukti sejarah ini tentunya

4
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah , Konstekstualiasi...... h. 222.
5
Monarkhi berasal dari kata monarch yang berarti raja, yaitu sejenis kekuasaan politik di mana
raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara. Leon Duguit (1859-1928) dalam bukunya
yang berjudul Traite de Droit Constitutionel mendefinisikan Monarkhi sebagi sebuah negara yang
kepala negaranya berganti secara turun temurun. Lihat Ahmad Sukarja, Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi negara dalam Perseperktif Fiqh Siyasah. h. 107.
44

merupakan interpretasi penulis yang dikaitkan dengan politik kebangsaan organisasi


Islam terbesar di Indonesia baik pra maupun pasca kemerdekaan.

C. Penetapan darul Islam


Dalam muktamar XI pada tahun 1936 di Banjarmasin, Nahdlatul Ulama secara
struktural membentuk suatu kesepakatan bahwa negara dan tanah air wajib dirawat
menurut fikih. Hal yang mendasari adalah status negara Indonesia dalam perspektif
syariah. Berpedoman pada kitab Bughiyatul Mustarsyidin, memutuskan bahwa
Indonesia merupakan negara Islam, dar al-Islam. Dalam tradisi fikih politik dikenal
dengan tiga jenis negara. yakni: dar al-Islam (negara Islam), dar al-sulh (negara
damai), dan dar al-Harb (negara perang). Pembentukan negara Islam menuntut untuk
dipertahankannya negara dari rongrongan penjajah, karena merupakan bentuk
perwujudan normatif dari cita-cita negara.6
Argumentasi yang digunakan adalah fakta sejarah, bahwa wilayah Nusantara
terlebih tanah Jawa pernah didominasi oleh kalangan muslim, melalui kerajaan-
kerajaan Islam serta pergerakan dakwah yang begitu masif yang dijawantahkan oleh
para Wali Songo. Oleh karena itu berdasarkan penduduk mayoritas Muslim negara
memberikan kebebasan menjalankan syariat agama dan menjadi dasar penetapan
negara Islam.
Selain itu, keberadaan lembaga berbasis keagamaan yang menuntun
masyarakat muslim menjalankan syariat, meskipun masih dengan power yang terbatas,
menjadi alasan keputusan muktamar. Keputusan muktamar tersebut merupakan
langkah awal berkiprahnya NU dalam dunia politik. NU memberanikan diri tampil
secara kelembagaan dalam arus kepentingan negara yang pada saat itu masih berada
dalam kungkungan kolonial.
Adapun implikasi dari penetapan negara Islam adalah memberikan legitimasi
bagi para anggota-anggota NU untuk berjuang secara kolektif dalam merebut
kemerdekaan negara dari penjajah. Cita-cita mewujudkan kemerdakaan pasti tersirat
dan pasti terkandung dalam konsepsi ini, sehingga perjuangan memerdekakan negara
menjadi langkah fundamental dan menjadi sebuah menifestasi dari ajaran agama.

6
Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraanya (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), h.
63.
45

D. Resolusi Jihad
Resolusi jihat merupakan maklumat yang disampaikan NU kepada warganya
untuk senantiasa berjihad merebut kemerdekaan. Berperang mengusir kedatangan
Inggris di bumi Indonesia yang sebelumnya sudah memproklamirkan diri sebagai
bangsa yang merdeka. Situasi dan kondisi di Surabaya yang kian menegang dengan
meningkatnya aktifitas tentara Inggris yang menjadi pertimbangan para kiai NU untuk
bergegas bertindak mengobarkan semangat perjuangan serta perlawanan secara masif.
Adapaun langkah pertama yang dilakukan NU adalah dengan memanggil para
pembebar NU untuk menentukan sikap menghadapi aksi yang dilakukan oleh NICA-
Belanda yang berkawan dengan Inggris.
Akhirnya, diadakan pertemuan para konsul yang dilaksanakan pada tanggal 21-
22 Oktober 1945 dikantor PBNU di Bubutan, Surabaya. Pertemuan yang dihadiri oleh
panglima Hizbullah, Zainul Arifin. Sebelumnya, Presiden Soekarno telah menemui
KH. Hasyim Asy’ari untuk menanyakan tentang hukum mempertahankan
kemerdekaan bagi umat Islam. Menanggapi pertanyaan tersebut KH. Hasyim Asy’ari
memberikan jawaban yang tegas bahwa sudah jelas bagi umat Islam Indonesia untuk
melakukan pembelaan terhadap tanah airnya dari bahaya dan ancaman kekuatan
asing.7
Secara umum, isi resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori dalam berjihad.
Pertama, fardlu ‘ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 KM episentrum
pendudukan penjajah, dalam Islam, fatwa fardlu ‘ain mengimplikasikan kewajiban
seorang muslim yang sudah muallaf (aqil baligh) wajib menjalankan ibadahnya sesuai
syariat Islam. Kedua fardlu kifayah bagi warga yang berada diluar radius tersebut.
Namun dalam kondisi tertentu dan darurat, maka bisa dinaikan statusnya menjadi
fardlu ‘ain. Fardlu kifayah adalah sebuah kewajiban yang menjadi gugur apabila sudah
dilaksanak oleh satu orang dalam sebuah daerah/komunitas.
Nampaknya resolusi jihad mempunyai andil besar dalam melakukan perlawanan
terhadap Inggris di Surabaya. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945,
terjadi peperangan yang sangat dahsyat antara santri dan arek Suroboyo melawan
tentara Inggris. Sejarahnya besar tersebut kini sudah dilegal formalkan oleh negara dan
menjadikannya sebagai hari pahlawan. Resolusi Jihad ini merupakan bentuk

7
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri Dan Resolusi Jihad (Tangerang: Pustaka
Compass, 2014), h. 206
46

konsistensi keputusan politik terhadap konsepsi dar al-Islam, dimana keberadaan


negara Indonesia sebagai negara Islam yang wajib dibela dan dipertahankan.

a. Nasionalisme Piagam Jakarta


Sebagaimana yang sudah lumrah diketahui, bahwa pancasila dan UUD 1945
yang merupakan dasar negara Indonesia lahir dari rahim Piagam Jakarta. Piagam
Jakarta yang saat ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Sebenarnya sudah
mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam dasar teologi negara Indonesia.
Hal ini ditenggarai oleh isi dari Piagam Jakarta itu sendiri yang dianggap kontroversi.
Yakni terdapat tujuh kata yang saat itu menjadi perdebatan panjang oleh founder,
yakni ketuhanan yang Maha Esa diganti dengan mejalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya.
Isu untuk kembali ke Piagam Jakarta sempat mengemuka pada awal-awal
reformasi. Ada sebagian kalangan yang menuntut dan mengusulkan untuk kembali
pada Piagam Jakarta, dalam rangka menata kembali dasar negara pada masa
amandemen UUD 1945. Kalangan ini menilai bahwa kebobrokan tatanan
pemerintahan orde baru karena sudah menjadikan negara ini keluar dari syariat Islam
dan menjadi sekuler. Namun rencana ini semakin meredup dengan sendirinya, karena
lambat laun negara sudah menfasilitasi daerah-daerah untuk membentuk peraturan
yang berbasis syariah.
Penghapusan tujuh kata tersebut, tentunya mempunyai dampak yang krusial
bagi landasan idelogi negara. seandainya tujuh kata tersebut masih termaktub, maka
konsekuensi yang akan terjadi adalah negara hanya berdasar pada satu agama tertentu.
Mengingat Indonesia merupakan negara yang plural dan beragam agama didalamnya
yang tersebar diseluruh penjuru Nusantara. Pengahapusan tujuh kata hemat penulis
merupakan bentuk pengakomodiran serta bentuk toleransi beragama dalam rangka
merawat kebhinnekaan bernegara.
Sikap heroik ini meniscayakan satu tokoh dari NU yang mempunyai peranan
vital dalam merumuskan dasar negara yang berdiri diatas semua golongan. Ini adalah
KH. Wahid Hasyim dalam detik-detik terakhirnya akhirnya mendukung bahwa konsep
negara berdasar kebhinnekaan. Putra pendiri NU ini merupakan anggota PPKI (Pantia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia), lebih spesifiknya beliau merupakan anggota
Panitia Sembilan yang bertugas untuk merumuskan dasar negara Indonesia.
47

Dalam catatan Andree Feilard, NU mempunyai peran besar dalam penghapusan


tujuh kata “Islami” dalam Piagam Jakarta. Hal ini tentu sudah mengalami perdebatan
yang sangat sengit antara kaum islamis yang dikomandani oleh Muhammadiyah
dengan para kaum kristen dan sekuler dari Indonesia Timur. Jalan tengah ini pada
akhirnya bisa menjadi win-win solution, dimana penghapusan tujuh kata tersebut
dianggap oleh kelompok timur sebagai upaya menghilangkan dominasi dari agama
tertentu, namun bagi kelompok Islam manifestasi dari maha Esa tetap menjadi bagian
dari dasar negara.8
Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta sekali lagi menunjukan
komitemnnya dalam merawat keragaman dibawah atap yang sama, Yakni pancasila
dan UUD 1945. Namun kendatipun demikian isu Islamisasi santer dilayangkan oleh
sebagian golongan yang menganggap Indonesia masih jauh dari kata Islami. Namun
NU sendiri melalui para pendirinya mempunyai tekad yang bulat berkomitemen
bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasar pancasila dan UUD 1945.
Hingga sampai saat ini nasionalisme NU dalam membangun bangsa ini tidak bisa
dipandang sebelah mata.9

b. Penetapan Wali al-Amr ad-daruru bi asy-Syaukah


Dalam konferensi Alim Ulama se-Indonesia di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat
pada tanggal 2-7 Maret 1954 ditetapkan pengangkatan Presiden Soekarno sebagai
Wali al-Amr ad-daruru bi asy-Syaukah. Hal ini terkait dengan statement PERTI yang
mempersoalkan kewenangan Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh KH.
Masykur (tokoh NU) dalam pengangkatan Kepala KUA sebagai Wali Hakim. 10
Dalam konstelasi hukum Islam, ketika seorang wanita tidak mempunyai wali
nasab, maka diperbolehkan pernikahannya menggunakan wali hakim sebagai walinya.
Dan biasanya wali hakim ini ditunjuk oleh pemerintah atau sultan yang sedang
berkuasa (dzu syaukah). NU memandang meskipun Indonesia menggunakan sistem
republik, namun kedudukan presiden dipandang sama dengan kedudukan sultan.
Sehingga NU kemudian menetapkan Presiden Soekarno sebagai wali al-amri
(pemegang kekuasaan) dalam keadaan darurat.

8
Andree Feilard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), h. 39
9
Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 32.

10
Ridwan, Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 67.
48

Hal ini dilatar belakangi bahwa oleh pemahaman bahwa kepala negara yang
tidak dipilih oleh Ulama yang kompeten, sehingga tidak sepenuhnya memenuhi
prasayarat secara Fikih. Sehingga pengangkatan Presideng sebagai Wali al-Amr ad-
daruru bi asy-Syaukah dalam hal ini memberi legitimasi secara fikih. Sebagai kepala
negara yang ditugasi untuk mengurusi persoalan umat, dengan dasar pengakuan
berdasarkan fikih, maka kepala negara berhak dan berwenang mengangkat pejabat
agama dalam hal ini Menteri Agama dan menyerahkan sepenuhnya persoalan
keagamaan kepada Menteri Agama.
Sebenarnya, penggunaan gelar Wali al-Amr ad-daruru bi asy-Syaukah ini
mengandung makna yang tersirat, suatu negara yang pemimpinnya di gelar tersebut
maka menandakan bahwa negara tersebut belum benar-benar Islami, hanya saja
dipimpin oleh seorang muslim. Hal ini karena keadaan negara dianggap darurat
sehingga membutuhkan fatwa para Alim Ulama untuk mendapatkan legitimasi hukum
Islam.
Latar belakang munculnya gelar ini didasarkan atas dua pertimbangan, yakni
pertimbangan agama dan pertimbangan politik. Pada pertimbangkan politik
meniscayakan agar posisi strategis Soekarno semakin kuat, mengingat ada beberapa
golongan dan interest politik yang masih meragukan dan mempertanyakan posisi
Presiden Soekarno dalam tinjaun hukum fikih dan hukum Islam. Adapun dalam
pertimbangan agama, konsepsi imamah (kepemimpinan dalam Islam) dianggap hal
yang penting dan fundemental bagi kehidupan masyarakat. Sehingga perlu kiranya
mengankat seorang pemimpin menggunakan mekanisme hukum Islam. 11
Ijtihad politik tersebut menandakan bahwa kepentingan negara dan bangsa
menjadi orientasi dalam berpolitik. Dalam konteks ini, fikih menjadi dasar
melegitimasi realitas politik yang terjadi. Penggunaan istilah “dharuri” memberikan
gambaran bahwa sifat hukum fikih itu dinamis, sesuai dengan realitas sosial yang ada.
Setidaknya, NU sudah memberikan kontribusi lebih dalam rangka ijtihad politik demi
kepentingan bangsa.

c. Penerimaan Asas Tunggal Pancasila


Pada tahun 1983 merupaan tahun dimana Presiden Soeharto menetapan
kebijakan Asas Tunggal Pancasila. Hal ini berutujuan supaya warga Negara Indonesia

11
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri Dan Resolusi Jihad... h. 233.
49

menempatkan pancasila sebagai dasar organisasi. Namun keputusan ini menimbukan


reaksi kontroversi dikalangan ormas, bahkan sebagian besar ormas Islam menolak
dengan adanya keputusan tersebut.
Berbeda hal nya dengan NU yang secara tegas mengamini keputusan tersebut.
Sehingga NU merupakan organisasi Islam pertama yang menerima berlakunya Asas
Tunggal Tersebut.12 Bahkan dalam hal ini, Gusdur sebagai Tokoh Muda NU yang
menjadi aktor dalam perpolitikan NU.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya keputus Muktamar NU 1984 di
situbondo yang diketuai langsung oleh Gusdur (Tandzifiyah) memutuskan Pancasila
sebagai Asas Tunggal dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, mengembalikan NU
kepada Khittah 26. Hal ini menandakan bahwa NU sudah menarik diri dari dunia
politik praktis dan kembali menjadi organisasi kemasyarakatan yang mengurusi
persoalan agama, dakwah, dan sosial. Berbeda halnya dengan Muhammdiyah yang
dalam penerimaan asas tunggal pancasila masih menuntut adanya perdebatan yang
panjang, namun pada akhirnya muncul konsensus bahwa Muhammadiyah juga
menerima asas tunggal pancasila sebagai dasar organisasi.13
Berdasarkan penjelasan tersebut, secara tegas NU menyatakan sikap ikut andil
dalam perpolitikan kebangsaan. bahkan sikap tersebut sebagai bukti bahwa NU sejak
awal memandang pancasila merupaka penjabaran dari nilai-nilai keislaman.
Secara spesifik, penerimaan asas tunggal pancasila atas dasar dasar kesepakatan
Munas Alim Ulama NU No.11/MANU/1404/1983. Pertama, Pancasila sebagai dasar
dan falsafah Negara Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan posisi
agama, artinya pancasila dalam hal ini dijadikan sebagai pandangan hidup dalam
konteks bernegara, hal ini berbeda dengan ajaran agama.
Kedua, sila ketuhanan yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia sesuai pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-
sila lain, hal ini memberi makna tersirat berupa penjiawaan nilai tauhid dalam Islam.
Pencantuman kata “Esa” mengandung nilai dasar dalam tauhid, yang menjadikan
pancasila tidak bertentangan dengan prinsip keislaman.

12
Al-Zastrow, Gusdur siapa sih sampean? Tafsir Teoritis atas Tindakan dan Pernyataan
Gusdur (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 30.
13
Budhi Munawar Rahman, Argumen Islam Untuk Sekularisme, (Jakarta: Grasindo, 2010), h.
147.
50

Ketiga, Nahdlatul Ulama menganggap Islam adalah Aqidah dan Syariah, yang
didalamnya terdapat hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar sesama.
Pancasila dijadikan sebagai dasar dalam berinteraksi sesama manusia. Melalui
pancasila interaksi yang dibangun akan melahirkan budaya dan kearifan lokal yang
berkeadaban sesuai adat ketimuran.
Keempat, penerimaan serta pengamalan pancasila sebagai dasar negara
merupakan menifestasi umat Islam untuk menjalankan syariat dengan nyaman.
Pancasila merupakan payung yang bisa mengayomi kebebasan dan menjalankan ajaran
agama, sehingga negara andil dalam melindungi warganya untuk mendapat haknya
dalam beragama.
Beberapa argumen diatas secara formal memberi legitimasi pilihan plitik NU
untuk menerima Pancasila secara terbuka. Kenyataannya NU memahami konsep
kebangsaan ini secara terbuka dan toleran, tidak terpengaruh sedikitpun oleh paham
keagamaan yang radikal, menerima Pancasila, berati menerima Indonesia sebagai
konsep negara-bangsa. Meskipun dalam pengamatan lain ada semacam tekanan dan
resistensi kuasa dalam penerimaan pancasila sebagai asas tunggal. Namun perlu
diketahui bahwa organisasi memberikan sikap atau keputusan tersebut diambil melalui
mekanisme Muktamar (keputusan tertinggi organisasi).14

d. Status non-Muslim (Musyawarah Nasional 2019)


Hasil Bahtsul Masail Maudluiyyah yang diklakukan di dalam Musyawarah
Nasional dan Konferensi Besar NU 2019 di Banjar Patroman, Jawa Barat
menghasilkan sebuah keputusan pembahasan salah satunya mengenai status non-
muslim yang banyak menuai kontroversi. tradisi Bahtsul Masail NU adalah adu ta’bir
(ibarat/kutipan/rujukan) teks kitab. Dan begitu melihat teks kitab terkait status non-
Muslim, yang tersedia adalah istilah Kafir Harbi, Kafir Dzimmy, Kafir Mu’ahad, dan
Kafir Musta’min.
Kafir Harbi merujuk ke orang kafir yang agresif karena itu harus diperangi,
Kafir Dzimmi merujuk ke orang kafir yang tinggal di negeri Islam yang tunduk dan
dilindungi dengan membayar jizyah (pajak). Kafir Mu’ahad merujuk ke orang kafir

14
Muhamad Mustaqim, Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi Atas Kiprah Politik Nahdlatul
Ulama, Vol. 9 No. 2 Tahun 2015, h. 347.
51

yang dilindungi karena mengikat perjanjian, Kafir Musta’min merujuk ke orang kafir
yang datang ke negeri Islam yang minta perlindungan dan dilindungi.
Keputusan ini sama sekali tidak merevisi konsep keimanan. mukmin dan kafir
itu tetap ada di ranah privat teologis masing-masing agama. Bagi orang Islam, non-
Muslim itu kafir, begitu juga sebaliknya. Tetapi, idiom ini tidak berlaku di ranah
publik (mu’amalah wathaniyah). Semua adalah warga negara yang berkedudukan
sederajat. Ini persis seperti yang dilakukan Nabi ketika mendirikan Negara Madinah.
Kaum Muslim dan Yahudi dengan beragam suku dan agamanya, di dalam naskah
Piagam Madinah, semua disebut sebagai Ummatun Wahidah.15
Definisi “umat” dalam Piagam Madinah bahkan jauh lebih inklusif daripada
penggunaan sekarang, yang secara eksklusif hanya merujuk kepada umat Islam. Umat
dalam Piagam Madinah adalah warga negara yang berkedudukan sederajat. Tidak ada
diskriminasi dan persekusi berbasis sara. Prosekusi diberlakukan kepada seluruh
pelanggar hukum, tidak peduli suku dan agamanya.
Merujuk pada Tahun 1936, Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari telah
memimpin Muktamar di Banjarmasin yang memutuskan Nusantara sebagai kawasan
damai (darussalam). Tidak berlaku hukum perang sejauh penguasa kolonial masih
membolehkan umat Islam menjalankan syariat Islam, meskipun terbatas. Tahun 1945,
Kiai Hasyim setuju Indonesia tidak menjadi Negara Islam, tetapi NKRI berdasarkan
Pancasila. Di tahun yang sama, ketika penjajah berniat menduduki lagi negeri yang
sudah diproklamirkan merdeka, Halratussyeikh mencanangkan Resolusi Jihad untuk
mempertahankan NKRI yang berdasarkan Pancasila itu. Pada keputusan Musyawarah
Nasional yang dilakukan pada waktu itu adalah menghidupkan kembali semangat
Piagam Madinah dan kesepakatan para founding fathers yang mendirikan Indonesia
bukan sebagai negara Islam melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

E. Urgensi Darul Ahdi Wasysyahadah sebagai Konsep Negara Pancasila


Untuk memperkuat komitmen kebangsaan itu, telah pula dirumuskan satu
pernyataan monumental tentang komitmen kebangsaan Muhammadiyah, yaitu
rumusan tentang Negara Pancasila sebagai darul ahdi wasysyahadah pada Muktamar
Muhammadiyah ke-47 di Makasar tahun 2015 yang lalu. Konsep ini sesungguhnya

15
Dikutip dari, https://www.nu.or.id/post/read/103224/tentang-non-muslim-bukan-kafir pada
23 Maret 2020 Pkl. 19.00
52

menegaskan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang dipahami


Muhammadiyah. Karena itu, perlu terus disebarluaskan kepada segenap warga
persyarikatan Muhammadiyah khususnya, maupun kepada khalayak umum warga
negara Indonesia melalui berbagai cara, termasuk melalui proses pendidikan dan
pembelajaran. Gerakan pendidikan dalam persyarikatan Muhammadiyah telah dikenal
lama memberikan kontribusi besar bagi Indonesia, mulai dari pendidikan usia dini
hingga perguruan tinggi.16
Dalam hubungannya dengan negara dan bangsa Indonesia, Muhammadiyah
sebagai organisasi gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian
integral dari bangsa Indonesia. Karena itu, Muhammadiyah akan berusaha untuk
senantiasa berusaha dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk membangun
Indonesia sebagai komitmen ke-Indonesian dan sebagai wujud pengamalan agama
Islam menurut paham agama Muhammadiyah.
Komitmen kebangsaan Muhammadiyah tentang Negara Pancasila sebagai
darul ahdi wasysyahadah telah secara tegas disusun dan dibahas dalam Muktamar
Muhammadiyah ke47 di Makasar 2015 yang lalu. Keputusan Muktamar yang tertuang
dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tersebut kini dibukukan
menjadi Negara Pancasila sebagai darul ahdi wasysyahadah yang diterbitkan Penerbit
Suara Muhammadiyah pada tahun 2015.
Pandangan Negara Pancasila sebagai darul ahdi wasysyahadah, berangkat dari
tiga latar belakang utama. Pertama, adanya kelompok-kelompok atau beberapa elemen
masyarakat, terutama masyarakat muslim yang masih mempersoalkan relasi antara
Islam dengan negara, dan mempersoalkan negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. Kedua, adanya realitas bahwa sebagai bangsa ini secara ideologis belum
merumuskan dengan sangat eksplisit dan membuat satu penjelasan akademik
mengenai negara Pancasila itu. Ketiga, ada sebuah realitas dimana masyarakat Islam
dianggap sebagai ancaman terhadap negara Pancasila itu. Terkait dengan tiga realitas
inilah kemudian Muhammadiyah perlu membuat suatu pernyataan bahwa secara
organisasi Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai bentuk ideal, baik yang

16
Dikdik Baehaqi Arif dan Syifa Siti Aulia, Studi tentang negara Pancasila sebagai Darul
Ahdi Wa Syahadah untuk penguatan materi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas
Ahmad Dahlan, Vol. 14 Nomor 2, Oktober 2017, h. 206-208.
53

bersifat filosofi maupun ideologis. Bahkan juga secara konstitusional dalam hal
berbangsa dan bernegara.17
Darul ahdi dimaknai sebagai negara kesepakatan. Dalam hal ini,
Muhammadiyah menegaskan bahwa adanya negara Pancasila itu merupakan satu
produk dari kesepakatan atau satu kompromi dari para tokoh pendiri bangsa. Sehingga
adanya Indonesia ini merupakan satu hasil dari gentlemen agreement dari para pendiri
bangsa, terutama mereka yang secara langsung terlibat dalam proses-proses
penyusunan dasar negara dan undang-undang dasar, baik dalam lembaga BPUPKI
maupun lembaga PPKI. Dan kesepakatan itulah yang melahirkan Indonesia seperti
sekarang ini.18

17
Dikdik Baehaqi Arif dan Syifa Siti Aulia, Studi tentang negara…….h. 207.
18
Dikdik Baehaqi Arif dan Syifa Siti Aulia, Studi tentang negara…….h. 208.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahsan yang telah dipaparkan pada materi sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut NU, Berdasarkan hukum fikih Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa sistem
negara yang ada yakni Negara Kesatuan Republik Indionesia (NKRI), adalah bentuk
pemerintahan yang sah dan final, serta tidak diperlukannya lagi sistem pemerintahan
atau “negara Islam” sebagai alternatif. Menurut Nahdlatul Ulama, NKRI telah
memenuhi ketentuan syariat. KH. Said Aqil Siradj sering menyebutnya sebagai
darussalam (negara damai). Sebuah bentuk negara yang bias dipadankan dengan
“negara Madinah” yang dibentuk oleh Rasulullah. Sedangkan KH. Ma’ruf Amin
menyebutnya darul mau’ahadah atau darul mitsaq (negara kesepakatan). Bentuk
negara yang diterapkan Indonesia menurutnya sama Islaminya dan sama kaffahnya
dengan negara-negara yang menyebut dirinya negara Islam. Perbedaannya hanya pada
bahwa implementasinya di Indonesia terikat dengan kesepakatan (al-mitsaq) dengan
unsur umat agama lain. Singkatnya Indonesia adalah daulah Islamiyah maa al-mitsaq
(negara Islam dengan kesepakatan), dan Saudi Arabia adalah daulah Islamiyah bi laa
al-mitsaq (negara Islam tanpa kesepakatan).
2. Menurut Muhammadiyah, Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah
Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan
dengan ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Negara Pancasila yang
mengandung jiwa, pikiran, dan citacita luhur sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 itu dapat diaktualisasikan sebagai Baldatun Thayyibatun Wa
Rabbun Ghafur yang berperikehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan
berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT.

54
55

Dengan demikian, baik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, organisasi


masyarakat keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki visi kebangsaan yang
selaras secara tegas menyatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi negara dan cita-
cita bangsa yang didalamnya terdapat nilai-nilai Islam. Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah tetap pada pendiriannya untuk tidak mendukung pendirian negara
Islam di Indonesia. Hal ini merupakan sikap yang sangat tegas dan tajam karena
sebagian orang muslim belakangan ini masih mempersoalkan masalah terkait
formalisasi dasar negara dengan Islam, kedua ormas tersebut secara resmi menyatakan
tidak mendukung berdirinya negara Islam dan Islam sebagai dasar negara di Republik
Indonesia.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karenanya penulis mengharapkan dan menantikan adanya saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi perbaikan di lain waktu agar penelitian dalam skripsi
ini bisa menjadi lebih bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdurahman, Asmuni, “Muhammadiyah dan Tajdid di Bidang Keagamaan,
Pendidikan, dan Kemasyarakatan”, dalam Tim Pembina Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Malang, Muhammadiyah:
Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Al-Zastrow, Gusdur siapa sih sampean? Tafsir Teoritis atas Tindakan dan Pernyataan
Gusdur, Jakarta: Erlangga, 1999.

Amin, Masyhur, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraanya, Yogyakarta: al-Amin Press,


1996.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, Yogyakarta:


Sekretariat Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah, 2018.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama Jakarta: Sekretariat
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2010.

Anshari, Endang Saifuddin, The Jakarta Charter 1945: The Struggle for an Islamic
Constitution in Indonesia, Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of
Malaysia, ABIM, 1979.

Arif, Abdul Salam, ‘Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara’ dalam
Abegebril, Ahmad Maftuh, Abevero, Ahmad Yani, Negara Tuhan The
Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004.

Athorida, Aang, Ormas-ormas Keagamaan di Indonesia, Bekasi: Pijar, 2010.


Barton, Greg dan Fealy, Greg, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul
Ulama-Negara, Yogyakarta: LKIS, 1997.

Bizawie, Zainul Milal, Laskar Ulama-Santri Dan Resolusi Jihad, Tangerang: Pustaka
Compass, 2014.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011.

Fielard, Andree, NU Vis a Vis Negara, Yogyakarta: LKIS, 1999.

Hakim, Masykur, Merakit Negeri Berserakan, Surabaya: Yayasan 95, 2002.

56
57

Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo: “Angan-Angan Yang gagal”,


Jakarta: Sinar Harapan, 1995.

Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Yogyakarta: Penerbit Erlangga,


2009.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah “Konstekstualiasi doktrin politik Islam”, Jakarta:


Gaya Media Pratama. 2001.

J. Benda, Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidea, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985

Jurdi, Syarifuddin, Muhammadiah dalam Dinamika Politik Indonesia 1996-2006,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Latif, Yudi, Negara Paripurna, Historistas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,


Cet. 4, Jakarta: PT Gramedia, 2012

Ma’arif, Syafi’i, Ahmad, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan


Pemikiran Islam dan Politik, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000.

_______________, Ahmad Islam dan Masalah Keagamaan, Jakarta: LP3ES,


2006.
_______________, Ahmad Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan
Dalam Konstituante, Cet 1, Jakarta: LP3ES, 1996.

_______________, Ahmad, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negera: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006.

Masyhuri, KH. Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Keduapuluh Sembilan 1994, Surabaya:
Kerjasama PP RMI dengan Dinamika Press, 1997.

MD, Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

Natsir, Mohammad, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and
International Affairs, Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Far
Eastern Studies, Cornell University, 1954.
Noor, Acep Zamzam, Zuly Qodir dkk, Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
58

Pasha, Musthafa Kamal, dan Durban, Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai


Gerakan Islam, dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta: LPPI,
2000.

PP. Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-4.

PWNU Jawa Timur, Aswaja an-Nahdah, Surabaya: Khalista, 2007.

Ridwan, Nur Khalik, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Ridwan, Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Satori, Ahmad, dan Kurdi, Sulaiman, Sketsa Pemikir Politik Islam cetakan pertama,
Yogyakarta: Deepublish, 2016.

Shobron, Sudharno, Studi Kemuhammadiyahan, Surakarta: Lembaga Pengembangan


Ilmu-Ilmu Dasar (LPID), 2008.

Sodik, Muhammad, Dinamika Kepemimpinan NU (Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr,


2004.

Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.

Syafe’i, Zakaria, Negara dalam Perspektif Islam Fiqh Siyasah, Jakarta: Hartomo
Media Pustaka, 2012.

Tanthowi, Pramono, Begawan Muhammadiyah, Jakarta: PSAP, 2005.


Thobiin, Imbuh, Relasi Agama dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam dan
Barat, Skripsi- UII Jakarta, 2018.

van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
Yogyakarta: LKiS, 2008.

von der Mehden, Fred R, “lslam and the Rise of Nationalism in Indonesia,”,
University of California, 1957.

Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institute, 2017.


Zahro, Ahmad, Tradisi Inteltual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, Yogyakarta:
LKiS, 2004.

Zen, Fathurin, NU Politik: Analisis Wacana Media, Yogyakarta: LKIS, 2004.


59

Jurnal
Al Halim, Posisi Ideologi Pancasila dalam Sistem Ketatanegaraan: Suatu Kajian
Filsafat, Vol. 2 No. 1, Tahun 2016.

Arif, Dikdik Baehaqi dan Aulia, Syifa Siti, Studi tentang negara Pancasila sebagai
Darul Ahdi Wa Syahadah untuk penguatan materi pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di Universitas Ahmad Dahlan, Vol. 14 No. 2, Oktober
2017.

Budiyono, Hubungan Negara dan Agama Dalam Negara Pancasila, Jurnal Ilmu
Hukum Vol. 8 No. 3 Tahun 2014.

Huda, Muhammad Chairul, Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara:


Implementasi Nilai-nilai Keseimbangan dalam Upaya Pembangunan Hukum di
Indonesia, Jurnal Hukum Vol. 1 No. 1 Tahun 2018.

Jurnal Komunikasi Islam, Ormas Islam dan Isu Keislaman di Media Massa, Vol. 4
No. 2, Tahun 2014.

Kamsi, H, Paradigma Politik Islam tentang Relasi Agama dan Negara, Jurnal Agama
dan Hak Azasi Manusia Vol.2, No.1, 2012.

Mustaqim, Muhammad, Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi Atas Kiprah Politik
Nahdlatul Ulama, Vol. 9 No. 2 Tahun 2015.

Tahir, Muhammad, Hubungan Agama dan Negara di Indonessia Dalam Pandangan


Nurcholish Madjid, Vol. 15 No. 1, Tahun 2012.

Widodo, Sembodo Ari, Konstruksi Keilmuan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama,


Jurnal Al-Umm Vol. 11 No. 2 Tahun 2011.

Zaprulkhan, Relasi agama dan Negara, Jurnal Walisongo Vol. 22, Nomor 1, Mei
2014.

Website
https://spn.or.id pada 4 Maret 2020 Pkl. 19.05

https://www.nu.or.id/post/read/103224/tentang-non-muslim-bukan-kafir pada 23
Maret 2020 Pkl. 19.00
60

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 1 dan 2.

Undang-undang Dasar 1945 Pasal 6 Ayat 1.

Wawancara
Amsori Ahmad, Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum PBNU, Interview
Pribadi, Jakarta, 3 Maret 2020

Syaiful Rohman, Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP.


Muhammadiyah, Interview Pribadi, Depok, 15 Februari 2020
61

Transkrip Wawancara Skripsi


Respon Naahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terkait

Negara Pancasila sebagai Darul Islam dan Darul Ahdi Wasysyahadah

Informan 1
Nama : Dr. Amsori Ahmad, S.H. M.M
Jabatan : Advokat dan Wakil Ketua LPBH PBNU
Hari/Tanggal : Selasa, 3 Maret 2020
Waktu : 19.00-19.45
Tempat : Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

1. Bagaimana pandangan Bapak terhadap Negara Pancasila sebagai falsafah dan


ideologi bangsa, apakah sudah sejalan dengan syariat Islam?
Jawab : Sikap Nahdlatul Ulama terhadap nilai-nilai ideologi Pancasila memandang
bahwa nilai-nilai ideologi Pancasila sudah terkandung dalam syariat Islam dalam
bernegara, karena Pancasila sebagai negara kesepakatan mitsaqan ghalizan
(Negara Kesepakatan) itu ada 36 butir, namun yang sering kita dengar adalah Eka
Prasetya Pancakarsa, dalam lima butir itu sila pertama terdapat kalimat
“Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya negara menjamin kebebasan beragama, yang
tertuang di dalam pasal 29 UUD 1945 ayat 1 “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pemeluk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
kepercayaannya itu”. Karena nilai ketuhanan Yang Maha Esa pada Pancasila
sebagai falsafah negara Indonesia dalam konteks keberagamaan ini diakui dan
diberikan kebebasan kepada seluruh masyarakatnya untuk memeluk agama yang
dianut oleh kepercayaannya masing-masing, maka sudah jelas bahwa Pancasila
adalah sebuah nilai yang terkandung dalam agama, oleh karenanya tidak ada lagi
ada istilah “Indonesia bersyariah” atau “Pancasila syariah” karena pada waktu itu
sudah dihilangkan kalimat sila pertama pada waktu itu yakni, “Menjalankan
Syariat-syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya” tujuh kata itu menjadi empat
kata yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
62

2. Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin dalam Bahtsul Nasailnya dijelaskan


mengenai istilah “darul Islam” yang mana ditujukan untuk mempertahankan
status wilayah Islam yang dijajah oleh Hindia Belanda, apakah status wilayah
Islam tersebut masih diterapkan di Indonesia pasca merdeka?
Jawab : Konteks negara darussalam berbeda dengan darul Islam, maka Aceh
menggunakan Nanggroe Aceh Darussalam sama seperti Brunei Darussalam bukan
darul Islam, karena istilah ini menganut kepada isi Piagam Madinah yang
dituangkan kembali pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin itu dijelaskan
bahwa darul Islam diistilahkan hanya untuk konteks status wilayah dan sebagian
hukmunya saja penduduk Indoensia yang mayoritas beragama Islam karena pada
waktu itu dijajah oleh Belanda dan bukan mengacu kepada konteks sistem
ketatanegaraannya, dalam Ahkamul Fuqoha yang kemudian dijelaskan melalui
terjemahan Kitab Bughyatul Mustarsyidin dalam bab hudnah wal imamah: “Semua
tempat di mana orang muslim mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka
ia menjadi daerah Islam, yang syariat Islam berlaku pada masa itu dan pada masa
sesudahnya, walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan
orang-orang kafir terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini,
penamaannya “dengan daerah kafir harbi” hanya merupakan bentuk formalnya dan
tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa, tanah betawi dan bahkan
sebagian besar tanah Jawa adalah “daerah Islam” karena umat Islam pernah
menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir”. Dan sekarang bagaimana
agar dapat menerapkan dan mengembangkan syariat Islam, artinya Islam di
Indonesia itu terutama dalam pandangan Nahdlatul Ulama melihat kepada
ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah wathoniyah, itu yang ada di
dalam makna darussalam yang ada di dalam Piagam Madinah. Oleh karenanya,
Indonesia merupakan negara kesatuan yang menjunjung tinggi nili-nilai persatuan
untuk menyatukan seluruh kemajemukan kultur budaya, adat, ras, dan agama yang
terkandung di dalam nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks regulasi atau hukum,
Indonesia tidak menuntut setiap daerah untuk menerapkan syariat Islam, seperti
halnya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

3. Bagaimana pandangan bapak terhadap organisasi keagamaan yang tidak sesuai


dengan NKRI?
63

Jawab : Organisasi apapun yang mengatasnamakan baik Islam maupun non-Islam


bahwa tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 yang mana mengacu Pancasila
sebagai ideologi, jadi apabila ada ormas yang bertentangan dengan Pancasila maka
wajib hukumnya ormas tersebut dibubarkan, jadi harus ada didalam anggaran dasar
ormas tersebut baik akta pendirian organisasi harus berdasarkan Pancasila, karena
Pancasila sebagai ideologi harga mati. Kita tau bahwa PBNU ini singkatan dari
Pancasila, Bhinekka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 berarti NU itu sudah
menjalankan fungsi tersebut. Dan nanti akta pendirian tersebut Menkumham harus
memberikan klasifikasi pendirian ormas tersebut yang tidak berlandaskan Pancsila,
jika ada ormas yang tidak sejalan maka lebih baik jangan mendirikan ormas.

4. NU memiliki andil penting dalam kemerdekaan Indonesia, lantas apakah NU


setuju dengan konsep Indonesia adalah negara Pancasila?
Jawab : Secara jelas bahwa Nahdlatul Ulama setuju dan mengakui hadirnya
Pancasila sebagai Ideologi, karena Pancasila adalah mitsaqan ghalizan atas dasar
kesepakatan bersama, apabila misalnya Indonesia pada saat kemerdekaannya dulu
dalam struktural BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) yang merumuskan dan mempersiapkan bukan hanya dari
golongan Islam atau bukan hanya dari golongan Nahdlatul Ulama, atau bukan dari
golongan Muhammadiyah saja dan atau sebagainya, dan apabila mislanya dasar
negara Indonesia adalah atas dasar Nahdlatul Ulama atau Islam saja nanti umat
yang lain (seperti: Nasrani, Hindu, Budha dan penganut kepercayaan lainnya)
marah karena mereka juga turut andil dalam kemerdekaan, maka (founding
fathers) para pendiri bangsa membuat kesepakatan yaitu negara Pancasila, oleh
karenanya dalam UUD 1945 Indonesia kedudukannya sebagai Republik dan dasar
ideologinya adalah Pancasila, jadi tidak perlu ada tambahan istilah lagi seperti
“Indonesia bersyariah” berdasarkan agama manapun karena sudah jelas tertuang di
dalam pasal 29, kemudian di pasal 1 dijelaskan bahwa negara Indoensia
berdasarkan kepada hukum, dan hukum juga bukan termasuk kekuasaan,
“rechtsstaat” bukan “machtsstaat”.

5. KH. Said Aqil Siradj pernah menyinggung bahwa negara Indonesia bukan negara
agama tetapi negara yang beragama, apakah ada kaitannya dengan “darussalam”
dan “darul Islam”?
64

Jawab : ya tadi sudah dijelaskan, nanti dilihat kutipan beliau di google atau via
youtube karena tadi memang Indonesia bukan negara agama tetapi negara
beragama, sila pertama “ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia negara Islam
meskipun mayoritas beragama Islam tetapi itu hanya penduduknya saja karena
tidak semua penduduk disatu daerah hanya beragama Islam. Seperti halnya
Nanggroe Aceh Darusslam bukan Nanggroe Aceh Darul Islam atau negara Brunei
Darussalam bukan Brunei Darul Islam kecuali ada negara yang jelas-jelas
menggunakan ideologi Islam seperti negara Islam Iran atau negara Islam Pakistan
ya itu negara yang menggunakan label Islam sebagai ideologi negara dan
kebanyakan menggunakan sistem monarki atau oligarki seperti Arab Saudi
misalnya.
65

Informan 2
Nama : Dr. Syaiful Rohim, M.Si
Jabatan : Dosen FISIP Uhamka, Anggota LHKP PP. Muhammadiyah
Hari/Tanggal : Selasa, 3 Maret 2020
Waktu : 15.10-16.00
Tempat : Pondok Petir, Depok

1. Bagaimana pandangan Bapak terhadap Negara Pancasila sebagai falsafah dan


ideologi bangsa, apakah sudah sejalan dengan syariat Islam?
Jawab : Pandangan Muhammadiyah mengenai Pancasila, bahwa keberadaan
Pancasila tidak boleh dipisahkan dari Muhammadiyah itu sendiri, karena Pancasila
itu sendiri dirumuskan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti: Bung Karno,
Bung Hatta yang notabenenya orang Padang, kemudian ada Ki Bagus Hadikusumo
yang ikut merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, lalu kemudian Kiai
Kasman Singodimedjo yang juga tokoh Muhammadiyah, termasuk Abdul Kahhar
Muzakir. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 itu dalam Majelis
Tarjihnya sudah menetapkan dan juga kemudian sudah ditanwilkan dalam satu
konsep gagasan tertulis dan mengikat bahwa Pancasila sebagai darul ahdi
wasysyahadah, Pancasila menjadi komitmen persaksian atas suatu kepentingan
bersama secara kolektif di dalam mewujudkan cita-cita dan nilai-nilai Islam dalam
menciptakan negeri yang aman dan damai. Dalam konsep Pancasila ini tujuan di
dalam kerangka diantaranya untuk mensejahterakan masyarakat dalam
mewujudkan nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kesejahteraan yang mendudukkan
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ini juga sama dengan cita-cita Islam
yang diperjuangkan oleh Muhammadiyah, jadi komitmen bernegara dan berbangsa
yang kemudian diikat oleh ideologi negara yang diputuskan oleh founding fathers
para pendiri bangsa kita menunutun negara menjadi bingkai dalam mewujudkan
keadilan dan kemakmuran. Kemudian bahwa Pancasila sebagai ideologi negara,
Pancasila sebagai komitmen kebernegaraan itu dalam praktiknya didasarkan pada
nilai-nilai yang digali pada akar budaya itu tidak bertentangan dengan ideologi
Islam, bahwa Islam itu adalah agama yang berorientasikan menuju kepada
peradaban kemajuan atau disebut juga dengan dinul hadlarah (agama yang
membangun kebudayaan dan peradaban), bahwa agama yang mengorientasikan
kepada setiap individu, komunitas, kelompok, dan peradaban memiliki satu entitas
66

dari kelompok peradaban menuju satu kemajuan yang disebut dengan darul ahdi
wasysyahadah di dalam membangun kehidupan berkemajuan. Secara ideologis
nilai-nilai transedental yang kemudian dikabarkan didalam Al-Qur’an ada didalam
Surah Ali Imran ayat 104 dan 110 menjelaskan dimana manusia itu ditantang
untuk melakukan berbagai upaya dalam memecahkan segala persoalan
sesungguhnya, untuk menjadikan ia sebagai manusia yang maju dan merubah
peradaban Khairu Ummah. Oleh karenanya Pancasila dalam komitmen berbangsa
dan bernegara, Muhammadiyah melihat tidak ada sesuatu yang harus diragukan
dan disanksikan baik dalam konsep, lalu kemudian implementasi ataupun kepada
tujuan. Sehingga Pancasila dapat menjadi bagian yang fundamental dalam
mempersatukan bangsa dan negara untuk menuju satu tujuan sebagai Baldatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur negeri yang berperikehidupan maju, adil,
makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT.

2. Atas dasar apa dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah yang diputuskan pada
Muktamar ke-47 di Makassar memutuskan bahwa darul ahdi wasysyahadah
merupakan rangkaian wujudnya negara Pancasila?
Jawab : Muhhammadiyah dalam merespon dan mengakui Pancasila sebagai
ideologi negara yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila
perjalanannya tidak dalam satu tahapan Muktamar saja, ini ada nilai kesejarahan
yang tidak bisa dilupakan oleh tokoh-tokoh atau pendiri bangsa ini yang kemudian
memiliki semangat yanag tinggi dari perjuangan Muhammadiyah itu sendiri,
seperti halnya KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansyur, dan sebagainya. Dan untuk
mendasari bahwa para tokoh tersebut memiliki komitmen kebangsaan yang kuat
dibutuhkan semangat nasionalisme dan keilmuan yang tinggi, mereka juga
merupakan tokoh-tokoh Islam yang sangat mumpuni yang memiliki akar literasi
kuat sebagai kiai dan sebagai orang yang memiliki akar kedalaman agama yang
kuat, atas dasar rangkaian panjang itulah, dalam pandangan pribadi dan di dalam
Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 itu bukan sesuatu yang ada pada saat
Muktamar tersebut saja konstelasinya tetapi itu berdasarkan atas rangkaian dan
perjalanan panjang sejak didirikannya bangsa ini, oleh karena itu, karena yang
mendirikan bangsa ini juga ada dari elemen-elemen putra-putri terbaik bangsa dari
Muhammadiyah maka menjadi sebuah kewajaran kalau para penerus
Muhammadiyah ini juga memiliki pemikiran yang sama sampai kepada satu
67

keputusan tertinggi di dalam Muktamar Muhammadiyah itu sendiri. yakni


menjadikan negara Pancasila sebagai dar al-syahadah atau negara tempat bersaksi
dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan.

3. Bagaimana pandangan bapak terhadap organisasi keagamaan yang tidak sesuai


dengan NKRI?
Jawab : ada sebagian kelompok yang menghhidupkan sebuah tatanan dengan
platform dan visi Islam yang dipahami sebagai sebuah gagasan kepemimpinan,
kita menyebutkan kalau dulu misalnya Darul Islam lalu kemudian belakangan ini
ada Hidzbut Tahrir Indonesia, menurut saya dalam pengertian ahistori bahwa
Indonesia ini adalah negara yang dibentuk atas kesepemahaman dan kesepakatan
berbagai unsur, yang unsur-unsur itu berbeda, apa yang membedakan? Tidak
hanya berbeda wilayah tetapi juga perbedaan keyakinan, budaya, dan bahasa yang
saat itu pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia menyampaikan komitmen dalam
sumpah pemuda walaupun sebelum sumpah pemuda itu tokoh-tokoh menyalurkan
pandangannya, kemudian ahistoris lainnya adalah para ulama dari berbagai ormas
saat itu seperti Muhammadiyah, NU dan umat lainnya mereka menyatakan visi
yang sama untuk menyelesaikan perbedaan atas orientasi visian yang berasal dari
ideologi kepercayaan keagamaan, maka dijembatanilah dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa,
Bahkan ada dinamika pada saat perumusan sila itu yang kemudian sila pertama
diubah menjaid Ketuhanan Yang Maha Esa itu awalnya dan diganti guna sebagai
jalan tengah, nilai-nilai agama tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu
dipertentangkan. Bahwa ada kelompok masyarakat yang berfantasi menurut saya
atau punya harapan menjalankan seluruh agenda-agenda atau nilai-nilai yang
disyariatkan dalam Islam dalam formasi struktur kebangsaan memang tidak bisa
dihindari apalagi di era informasi saat ini, ada kondisi politik di luar negeri seperti
Suriah, Afghanistan, Libya dan diberbagai negara lainnya yang kemudian
menginspirasi semangat itu, walaupun semangatnya juga tidak murni seperti
adanya kekecewaan dan emosi atas konflik yang terjadi di negara-negara tersebut
seperti ISIS atau Thaliban, menurut saya itu sudah tidak relevan lagi ,HTI sudah
tidak relevan lagi jadi kalau ormas ini maka ia menjadi tida relevan lagi di
Indonesia. Oleh karenanya jalankan saja syariat Islam sebaik-baiknya, begitu juga
agama lainnya sesua dengan ajarannya, tapi komitmen kita membangun peradaban
68

dan semangat perjuangan inilah yang harus diperjuangkan agar terciptanya


Indonesia yang maju Muhammadiyah juga menyebutnya sebagai Indonesia yang
berkemajuan.

4. Muhammadiyah memiliki slogan Islam berkemajuan, apakah perpolitikan di


Indonesia sudah terbilang maju?
Jawab : Bahwa tujuan bernegara itukan cita-citanya adalah memperoleh negara
yang baldatun thoyinbatun wa Rabbun ghaffur itu tujuan dan hakikatnya, damai
dan maju, lalu kemudian konsep Islam berkemajuan ini atau din al-hadlarah ini
sebagai sebuah bingkai dan cita-cita atau impian kita terutama warga
Muhammadiyah bagaimana memperoleh cita-cita tersebut yang kemudian
diimplementasikan sebagai Islam berkemajuan, bahwa Islam yang kita pahami
adalah Islam yang bukan tidak hanya dimaknai sebagai konsep agama yang
indoktrinal tetapi ia juga harus tunduk dan menghidupi kebutuhan manusia, kita
tahu ada beberapa konsep yang harus kita jalankan. Pertama, Islam berkemajuan
dilandasi oleh pemahaman tauhid yang murni, bahwa tauhid adalah doktrin sentral
Islam sebagai pintu gerbang kita untuk memperoleh informasi, karena dengan
tauhid kita akan memperoleh kekuatan dan kemerdekaan untuk terbebas dari
penindasan, dan semangat untuk melawan ketidak adilan, bayangkan saja waktu
itu Bung Tomo merebut Surabaya dengan seruan tauhid, bahwa dalam tauhid itu
ada semangat kemajuan, semangat ingin merubah diri, dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini bahwa setiap kita yang memiliki spirit tauhid
yang murni itu adalah orang-orang yang mau memerdekakan dirinya dari
kebodohan dan penindasan, maka ketika ia menjadi aparatur negara baik legislatif,
eksekutif dan yudikatif ia harus memiliki tauhid yang kokoh, jika ia memiliki
komitmen tersebut pasti ia akan menjalani amanah tersebut demi mewujudkan
Islam berkemajuan. Yang kedua, bahwa Islam itu ada referensi sentral dalam Al-
Qur’an dan Sunnah, bagaikan peta jalan untuk muslim dari ia lahir sampai ia
kembali kepada Tuhan. Kalau kita menjalankan semangat Islam lalu kemudian
menjalankan semangat agama melalui informasi ayat-ayat itu maka juga harus
diorientasikan kepada prinsip-prinsip berkemajuan. Yang ketiga, setiap muslim
harus memiliki sikap toleran dan moderat baik terhadap individu maupun
kelompok, baik sesama muslim maupun kepada non-muslim. Jadi itulah tiga
69

konsep menrutu saya penting untuk diaktualisasikan agar terciptanya pribadi


muslim yang sesuai dengan slogan Islam Berkemajuan milik Muhammadiyah ini.
70

LAMPIRAN

Dokumentasi Pelaksanaan Wswancara

Wawancara bersama Dr. Amsori Ahmad, S.H, M.M


(Advokat dan Wakil Ketua LPBH PBNU)

Wawancara bersama Dr. Syaiful Rohman, M.Si


(Dosen Fisip Uhamka dan Anggota LHKP PP. Muhammadiyah)
71
72

\
73

Anda mungkin juga menyukai