SKRIPSI
Oleh:
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
ii
LEMBAR PERNYATAAN
iii
ABSTRAK
Achmad Syauqi Maky. NIM. 11150450000066 NEGARA PANCASILA
SEBAGAI DARUL ISLAM DAN DARUL AHDI WASYSYAHADAH MENGENAI
BENTUK NEGARA DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai konsep dan tipologi bentuk
negara baik darul Islan, darul harb dan darul ahdi wasysyahadah dalam pandangan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dikaitkan dengan negara Pancasila.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Studi Kepustakaan (library
research), jenis penelitian ini dapat didefinisikan sebagai suatu penelitian yang
diarahkan dan difokuskan untuk mentelaah dan membahas bahan-bahan pustaka baik
berupa buku-buku, dan jurnal-jurnal yang relevan dengan menggunakan buku-buku
sebagai sumber datanya, dan Studi Survei (Wawancara), jenis penelitian ini adalah
suatu metode untuk mendapatkan hasil riset dalam bentuk opini atau pendapat dari
orang lain yang berinteraksi langsung dengan objek yang diamati. Wawancara tak
berencana berfokus adalah pertanyaan yang diajukan secara tidak terstruktur, namun
berpusat pada satu pokok masalah tertentu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, apakah ideologi Pancasila sudah
sesuai dengan syariat Islam, bagaimana jika dikaitkan dengan darul Islam, darul harb
dan darul ahdi wasysyahadah pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam
menjelaskan makna negara Pancasila mengingat, satu dekade terakhir ada sebagian
organisasi masyarakat Islam yang ingin mengubah ideologi Pancasila dikarenakan
tidak sesuai dengan syariat Islam.
Kata kunci : Negara Pancasila, darul Islam, darul harb darul ahdi wasysyahadah.
Pembimbing : Dr. Rumadi, M. Ag.
Daftar Pustaka : 1954-2018
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
kesehatan, kekuatan, serta petunjuk kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “NEGARA PANCASILA DALAM
PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH (SEBUAH
ANALISIS PERBANDINGAN)”. Sebagai pelengkap syarat guna mencapai gelar
sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak sedikit
hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan dan
kesabaran, serta doa dan dorongan dari berbagai pihak, keluarga, para sahabat, bapak
dan ibu dosen, khususnya bapak dosen pembimbing, segala hambatan dan kesulitan
dapat dilewati dengan baik. Karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, baik berupa pemikiran, saran, masukan, dukungan, dan
doa. Terutama kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan segenap civitas akademik.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Karlie, SH., M.H., M.A., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., dan ibu Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan dukungan, doa, serta bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Rumadi, M.Ag., Dosen pembimbing skripsi, yang begitu sabar telah
meluangkan waktunya ditengah kesibukannya untuk membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak penulis ucapkan atas
waktu dan tenaga yang telah diluangkan bapak selama bimbingan.
5. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada para
dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) yang telah mengajarkan
penulis selama perkuliahan berlangsung dengan sabar dan ikhlas, terima kasih.
6. Bapak Dr. (Hc) H. Amsori Ahmad, S.H., M.H., M.M., dan Bapak Dr. H.
Syaiful Rohim, M.Si, merupakan para tokoh Nahdlatul Ulama dan
v
Muhammadiyah yang sudah membantu penulis dalam memberikan informasi
dan data terkait penelitian ini.
7. Ayahanda dan ibunda tercinta, ayahanda H. Fathullah Madali dan ibunda
Ustadzah Hj. Marwiyah Nasir, S.Ag. yang telah memberikan support, doa, dan
kebutuhan materiil untuk kesuksesan dan kelancaran penulis dalam
menyelesaikan studi ini. Serta para keluarga besar, dan adik-adikku yang telah
memberi warna dan semangat dalam menyelesaikan studi ini. Terima kasih
banyak, skripsi ini penulis persembahkan untuk ayahanda, ibunda, seluruh
keluarga besar, adik-adik dan semua umat manusia.
8. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan di lingkungan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan.
9. Keluarga besar HTN 15 (Hukum Tata Negara 2015), yang selalu memberi
warna di dalam kelas saat jam perkuliahan berlangsung. Semoga kebersamaan
kita menjadi semangat untuk terus maju ke depan untuk menggapai cita-cita,
dan semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua, Aamiin.
10. Keluarga besar PMII Komfaksyahum, yang telah memberikan wadah untuk
berjuang, menjalin ukhuwah Islamiyah, dan memberikan warna serta
pengalamannya dalam berorganisasi, semoga ilmu yang kita dapat bermanfaat,
Aamiin.
11. Keluarga besar dan senior Pergerakan Hukum Tata Negara (Siyasah), yang
telah memberikan semangat dan doanya.
12. Keluarga besar Senat Mahasiswa Universitas, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ruang untuk menyebarkan dan
menebar manfaat dalam berorganisasi, serta menjalin ukhuwah Islamiyah,
semoga ilmu yang kita dapat bermanfaat, Aamiin.
13. Keluarga besar KKN KITA 186, terima kasih atas kebersamaan dan berbagi
pengalaman. Mengenal kalian dengan berbagai latar belakang yang berbeda
menjadi warna tersendiri dalam persahabatan kita.
14. Keluarga besar Ikatan Keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren Al-Inaayah
(IKBAAL) khususnya teman-teman keluarga besar Struggle Islamic Dinasty
(SID) Angkatan 19, yang selalu memberikan semangat dan doa dalam
menyelesaikan studi ini.
vi
15. Teman-teman kostan Hajar, Wamos, Mansyur, Farid, Wahyu, Hasbi, Syatibi,
Tidung, Ilham, Husain, Abid, Didi, dan Bepo yang telah memberikan semangat
serta doanya.
16. Dan teman-teman semua yang secara langsung maupun tidak langsung turut
andil dalam memacu dan memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi
ini, khususnya Zahra Nabilah Surya Putri terkasih dan tercinta, yang telah
memberikan motivasi, semangat, dan doanya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak. Semoga
segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan pahala dari Allah Swt. dan semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB III LATAR BELAKANG BERDIRINYANAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH .............................................................................................................. 24
A. Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama ................................................................. 24
1. Sejarah Nahdlatul Ulama .......................................................................................... 24
2. Tujuan Didirikannya Nahdlatul Ulama .................................................................... 27
3. Kiprah sosio-politik Nahdlatul Ulama...................................................................... 29
B. Latar belakang Berdirinya Muhammadiyah ................................................................... 33
1. Berdirinya Muhammadiyah ...................................................................................... 33
2. Tujuan Didirikannya Muhammadiyah...................................................................... 34
3. Politik Kebangsaan Muhammadiyah ........................................................................ 37
BAB IV ANALISIS KONSEP DARUL ISLAM DAN DARUL AHDI
WASYSYAHADAH YANG MENJUNJUNG TINGGI BENTUK NEGARA.................. 42
A. Tipologi Bentuk Negara ............................................................................................... 42
B. Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama Pra dan Pasca kemerdekaan Indonesia ............. 43
C. Penetapan darul Islam .................................................................................................. 44
D. Resolusi Jihad ............................................................................................................... 45
a. Nasionalisme Piagam Jakarta ................................................................................... 46
b. Penetapan Wali al-Amr ad-daruru bi asy-Syaukah .................................................. 47
BAB V PENUTUP .................................................................................................................. 54
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 54
B. Saran ............................................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 56
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 70
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan agama (al-din) dan negara (al-daulah) telah menjadi suatu
perdebatan yang cukup hangat dalam wacana sejarah dan kancah perpolitikan
peradaban manusia. Terutama polemik yang memperlihatkan adanya suatu
perbedaan pendapat mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia. 1 Munculnya
gerakan-gerakan dari beberapa ormas Islam yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
negara Islam merupakan dampak dari perbedaan pendapat tersebut.
Perbedaan ini menimbulkan beberapa ketegangan politik ideologi. Pertama,
hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk menentukan
batasan-batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam urusan agama. Kedua,
perdebatan mengenai hubungan negara dan agama menjadi penting karena persoalan
ini merupakan gejala masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya gerakan
sekularisasi dalam sejarah pemikiran barat. Ketiga, masalah kontekstualisasi tipe
negara merupakan suatu hal yang penting dalam hubungan negara dan agama di
Indonesia, dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan komposisi masyarakat
paling majemuk di dunia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah memproklamirkan diri dan
menyatakan merdeka dari kekuasaan penjajah. Namun demikian, bukan berarti
perjuangan bangsa dan masyarakat Indonesia telah selesai. Dalam sejarah, bangsa
Indonesia masih harus berpikir, membentuk perangkat alat kelengkapaan negara, dan
mengangkat senjata berperang melawan bangsa asing yang ingin meneruskan
penjajahannya kembali. Di samping itu, bangsa Indonesia juga harus menyelesaikan
persoalan intern, yang pada waktu itu ada sebagian kelompok yang ingin memaksakan
kehendak menerapkan paham kenegaraan tertentu yang berbeda dengan ideologi yang
telah disepakati, yaitu Pancasila.2
1
Muhammad Tahir, Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Pandangan Nurcholish
Madjid, Vol. 15 No. 1, Tahun 2012, h. 37.
2
Kasus pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan pendirian gerakan Darul Islam oleh
Kartosuwiryo yang telah mengadakaan operasi sejak 1945-1949 di Jawa Barat adalah dapat dijadikan
contoh. Lihat Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo: “Angan-Angan Yang gagal”, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1995).
1
2
Dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama Islam mengalami
jalan buntu. Baik rezim Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang
partai politik yang berlandaskan Islam sebagai kekuatan-kekuatan pesaing potensial
yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini,
sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas keras berupaya untuk
melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam.3 Akibatnya, tidak saja para
pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan
agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an
(dalam perdebatan Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia),
tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut “kelompok
minoritas” atau “kelompok luar”.4 Padahal Indonesia merdeka tak lepas dari peran
umat Islam itu sendiri, dengan slogan yang sangat membakar semangat yaitu “hidup
mulia atau mati syahid”.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
membutuhkan organisasi-organisasi keagaaman yang memiliki visi kebangsaan untuk
tetap menjaga persatuan di Indonesia itu sendiri. Lahirnya gerakan pendirian negara
agama tidak lepas dari masalah belum selesainya pemahaman yang komprehensif
mengenai pembangunan hubungan antara agama dan negara yang ideal, sehingga
gerakan-gerakan formalisasi agama dalam kehidupan kenegaraan selalu muncul pada
setiap kurun waktu atau masa. Masih ingat pemberontakan di Indonesia yang
mengatasnamakan agama seperti pemberontakan DI/TII yang di pimpin oleh
Kartosuwiryo pada tanggal 14 agustus 1949 yang ingin mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII). Bukan hanya pada masa lalu saja terjadi perlawanan-perlawan
terhadap negara dengan dalih agama, tapi juga pada masa ini seperti adanya HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia) yang berupaya merubah ideologi negara.
Berbicara mengenai organisasi keagamaan yang memiliki visi kebangsaan, di
Indonesia sendiri cukup banyak, misalnya Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi sebagai representasi dari
3
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011) h. 2-3.
4
Lihat Ruth McVey, “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics,” James Piscatori
(ed.), Islam in the Political Process, h. 199-225; W.F. Wertheim, “Indonesian Moslems Under Sukarno
and Suharto: Majority with Minority Mentality,” Studies on Indonesian Islam, Townsville: Occasional
Paper No. 19, Centre for South -east Asian Studies, James Cook University of North Queensland, 1986.
3
ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal jamaah oleh KH.
Hasyim Asy’ari.5 Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh seorang yang bernama
Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan.
Organisasi masyarakat (Ormas) yang berbasis agama, utamanya Islam, amatlah
banyak. Keberadaan mereka merupakan faktor pendorong dalam memajukan
perkembangan Islam di Nusantara ini.6 Misalnya NU dan Muhammadiyah, dua
organisasi keagamaan yang terbentuk pada awal abad ke-20, tampak peranannya
dalam perjuangan usaha mempertahankan kemerdekaan. Baik secara keorganisasian
maupun individu tokohnya dapat dilihat andil mereka, baik pada masa pra-
kemerdekaan maupun pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebut saja Hizbullah
(Tentara Allah) dan kemudian Sabiliillah adalah organisasi yang bersifat militer yang
di dalamnya NU dan Muhammadiyah banyak berperan. Dikatakan, Hizbullah sejak
awal berdirinya berkaitan dengan aspirasi ke arah kemerdekaan Indonesia. Para
anggota Hizbullah yang dilatih oleh para perwira Peta, telah menyatakan kesetiaannya
pada Masyumi.7 Wahid Hasyim (tokoh NU), sebagai Wakil Presiden Masyumi, secara
resmi memeriksa latihan barisan-barisan Hizbullah. Sementara itu, Ketua Hizbullah
adalah Zainal Arifin (salah seorang delegasi NU dalam pengurus Masyumi) dan
Mohammad Roem (Muhammadiyah) sebagai wakilnya.8
Hizbullah memang dibentuk pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1944,
namun manfaatnya sangat dapat dirasakan pada masa pereng kemerdekaan. Hizbullah
mula-mula berasal dari kalangan NU, tetapi kemudian menjadi milik umat secara
keseluruhan. Salah satu slogan yang sangat meresap di kalangan pemuda Islam pada
5
Masykur Hakim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) h. 66.
6
Jurnal Komunikasi Islam, Ormas Islam dan Isu Keislaman di Media Massa, Vol. 4 No. 2,
Tahun 2014, h. 237.
7
Diketahui keanggotaan Masyumi adalah terdiri dari organisasi Muhammadiyah dan NU.
Masyumi adalah badan federasi baru (yang sebelumnya adalah MIAI), yang merupakan suatu
persetujuan kerja antara Muhammadiyah dan NU. Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidea, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1985), h. 186
8
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 50.
4
waktu itu adalah “hidup mulia atau mati syahid”. Pemuda Islam mengibarkan slogan
ini adalah dalam rangka memupuk semangat melawan penjajah asing.9
Setelah terbentuknya Hizbullah disusul dengan munculnya Sabilillah.
Diterangkan, bahwa ketika perjuangan bersenjata dimulai, pasukan-pasukan gerilya
muslim non-reguler, yang bernama Sabilillah, muncul. Sejarah mencatat, bahwa pada
tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura
berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad
(perang suci). Deklarasi ini kemudian terkenal sebagai “Resolusi Jihad”. Tidak dapat
dipungkiri, “Resolusi Jihad” berdampak besar di Jawa Timur. Pasukan pasukan non-
reguler yang bernama Sabilillah rupanya dibentuk sebagai respon langsung atas
resolusi ini. Pada tanggal 10 November 1945, dua minggu setelah kedatangan pasukan
Inggris di Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah, di mana banyak pengikut
NU yang aktif di dalamnya.10
Di sisi lain, tokoh-tokoh Muhammadiyah dapat dilihat bagaimana peran
mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Selain Mohammad Roem, sebagaimana telah
disinggung, juga ada Ki Bagus Hadikusumo sebagai pejuang kemerdekaan. Ketika
bicara BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) sebagai
badan yang mengantarkan lewat diskusi ilmiah tentang pembentukan Pancasila
sebagai dasar negara, maka Ki Bagus Hadikusumo adalah salah satu tokohnya. 11 Dia
adalah seorang yang kuat dengan pendirian ke-Islamannya, sehingga dia banyak
mengunakan dasar-dasar Islam ketika diskusi negara, misalnya. Sebagaimana
dikatakan, Hadikusumo menegaskan bahwa al-Our’an sangat berkepentingan dengan
masalah politik dan duniawi.12
Dengan melihat permasalahan-permasalahan di atas, maka penulis mencoba
jawab segala persoalan yang menjadi pemicu adanya upaya sepihak yang ingin
mengganti ideologi pancasila dengan dalih agama. Indonesia memiliki masyarakat
paling majemuk di dunia, bukan hanya adat dan budaya, tetapi agama yang menjadi
titik penting dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kemudian, penulis
9
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negera: Studi tentang Perdebatan
dalam Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 100.
10
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 52-53
11
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negera: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 103
12
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila……h. 108
5
akan mencoba menjawab apakah pancasila yang selama ini menjadi titik permasalahan
antara agama dan negara sesuai dengan konsep darul Islam dan darul ahdi
wassyahadah dalam agama Islam. Hal ini akan saya coba jelaskan berdasarkan
perspektif dua ormas Islam terbesar hari ini yaitu NU dan Muhammadiyah, Dengan
adanya hasil muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmsin, Kalimantan Selatan dan
hasil muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Masing-masing melahirkan visi kebangsaan, sesuai dengan visi negara Indonesia,
maka rasanya tepat apabila penulis mengambil perspektif dua ormas Islam tersebut.
3. Batasan Masalah
Dalam penulisan ini untuk memperjelas permasalahan agar penelitian ini lebih
terarah, maka penulis membatasi permasalahannya berupa pandangan Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah terhadap status negara Indonesia dan relevansinya
mengenai konsep darul Islam dan darul ahdi wasysyahadah. Dengan adanya pembatas
tersebut, diharapkan dalam penyusunan penelitian ini dapat sesuai dengan tujuan
penelitian.
6
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai konsep
dar al-Islam terhadap status wilayah Islam pra kemerdekaan relevansinya
terhadap politik mutakhir melalui hasil putusan Muktamar ke-11 NU di
Banjarmasin tahun 1936.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam
pengaplikasian keilmuan tentang negara Pancasila sebagai dar al- ahdi wa
al-syahadah melalui hasil putusan Muktamar ke-47 Muhammadiyah tahun
2015 di Makassar terutama dalam konsep kenegaraan Indonesia yang
berideologi Pancasila dengan mayoritas masyarakat Muslim.
c. Untuk mencegah dan membumi hanguskan paham-paham radikal yang
bertentangan terhadap ideologi Pancasila.
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menyusun dengan metode :
a. Penelitian kualitatif
b. Penelitian kepustakaan. Jenis penelitian ini dapat didefinisikan sebagai
suatu penelitian yang diarahkan dan difokuskan untuk mentelaah dan
membahas bahan-bahan pustaka baik berupa buku-buku, dan jurnal-jurnal
yang relevan dengan menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.
c. Penelitian wawancara. Jenis penelitian ini adalah suatu metode untuk
mendapatkan hasil riset dalam bentuk opini atau pendapat dari orang lain
yang berinteraksi langsung dengan objek yang diamati. Wawancara tak
berencana berfokus adalah pertanyaan yang diajukan secara tidak
7
4. Teknis Penulisan
Adapun teknis penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017”.
13
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h.
104.
8
14
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011) h. 2-3.
15
Muhammad Mustaqim, Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi Atas Kiprah Politik
Nahdlatul Ulama, Vol. 9 No. 2 Tahun 2015, h. 347.
16
Imbuh Thobiin, Relasi Agama dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam dan Barat,
(Skripsi- UII Jakarta, 2018), h. 31-34.
9
F. Sistematika Pembahsan
Agar penulisan skripsi ini dapat dipahami, maka skripsi ini disusun secara
sistematis, berikut uraian yang terbagi dalam beberapa bab, masing-masing bab terdiri
dari sub bab. Sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Pada bab ini penulis akan memaparkan mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, rumusan masalah dan batasan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, metodologi penelitian, studi review terdahulu, dan
sistematika pembahasan.
1. Paradigma Integralistik
Paradigma ini berpaham bahwa Islam dalam kenyataannya tidak hanya sekedar
doktrin agama yang membimbing manusia dari aspek spiritual saja, melainkan juga
berusaha membangun sistem ketatanegaraan. Menurut paradigma ini, Islam sebagai
sebuah agama dapat diartikan pula sebagai lembaga politik dan kenegaraan, tidak
hanya mengatur hubugan manusia dengan Tuhan (hablun min Allah) tetapi mengatur
hubungan antar sesama manusia (hablun min an-nas), baik dalam aspek sosial maupun
politik kenegaraan dengan doktrin Inna al-Islam din wa ad- daulah. Dengan doktrin
ini Islam dipahami sebagai teologi politik. Pada akhirnya Islam menjadi keniscayaan
terutama dalam upaya memposisikan Islam sebagai dasar negara sehingga agama dan
politik tidak dapat dipisahkan harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam suatu
wadah yang bernama negara Islam.1
Oleh karenanya, untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam
harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan komprehensif, kembali kepada
kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, mencontoh pola hidup Rasul SAW
dan umat Islam generasi pertama, serta tidak perlu meniru pola atau sistem politik,
ekonomi, dan sosial Barat.2 Aspek politik yang hendak menjadikan Islam sebagai
pondasi pemerintahan dalam segala dimensinya inilah, semisal yang ditampilkan oleh
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaah Islamiyah (JI) yang mempunyai
1
Abd. Salam Arif, ‘Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara’ dalam A. Maftuh
Abegebril, A. Yani Abevero, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: SR-Ins
Publishing, 2004), h. 2.
2
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 148.
10
11
pengaruh yang cukup luas bagi umat Islam diberbagai belahan negara. Deklarasi
tentang perlunya kembali kepada ajaran fundamental Islam dengan target khilafah
Islamiyah atau mendirikan negara Islam dengan kaidah Nabi SAW dan empat sahabat
yang dirintis oleh Hassan al-Banna, Sayid Quthb, Said Hawwa, dan lainnya.
Dalam pandangan mereka Pan-Islamisme ini merupakan alternatif dari sistem
negara bangsa yang harus diubah karena mengantarkan hegemoni asing atas negara-
negara muslim. mereka mengusung gagasan Pan-Islamisme. Gagasan Pan-Islamisme
ini pada intinya sama dengan gagasan tentang kekhalifahan Islam, mendirikan negara
Islam internasional. Jadi, mereka ingin kembali ke masa seperti Dinasti Ottoman yang
pernah berkuasa di Turki dan negara-negara Islam lainnya.
Gagasannya untuk mendirikan negara Islam internasional, seperti yang pernah
dideklarasikan Tandzimul Qaidah tahun 1998, yang sering disebut sebagai front untuk
memerangi kaum Yahudi dan Nasrani. Dalam pandangan mereka, tujuan “mulia” itu
selama ini banyak dihambat oleh konspirasi orang Yahudi. Kedua organisasi tersebut
bergerak ke arah penguatan basis umat Islam sebagai ideologi gerakannya yang
dilandasi dengan teologi politik yang kuat dan mengakar dalam ide dan sikapnya
sebagai penganjur gerakan Islam fundamentalis dan berkeinginan menempatkan Islam
sebagai ideologi. Terhadap praktek ini bahayanya adalah Islam tereduksi sederajat
dengan karya pemikiran manusia.
Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi ke dalam dua aliran, yakni
tradisionalisme dan fundamentalisme. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap
ingin mempertahankan tradisi, praktik, dan pemikiran politik Islam klasik
pemerintahan ala Nabi dan keempat khalifah, dengan tokoh sentralnya adalah
Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin
melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali
kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A’la al-
Maududi adalah salah satu tokohnya.3
2. Paradigma Simbiotik
Menurut penganut aliran ini, hubungan antara agama dan negara harus berbeda
dalam hubungan yang bersifat simbiotik, yaitu suatu hubungan timbal balik yang
saling memerlukan antara keduanya. Dalam paradigma simbiotik, agama Islam
3
H. Kamsi, Paradigma Politik Islam tentang Relasi Agama dan Negara, Jurnal Agama dan
Hak Azasi Manusia Vol.2, No.1, 2012, h. 44-46.
12
4
Pramono U. Tanthowi, Begawan Muhammadiyah, (Jakarta: PSAP, 2005), h. 104.
5
Munawir Syadzali, Islam dan Tata…….h. 131.
13
mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku atau
kebijkasanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. 6
Dalam artian paradigma simbiotik ini merupakan paradigma yang menjelaskan
bahwa agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Kelompok ini (kelompok
modernis) memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk
pemerintahan dan negara) hanya pada tataran nilai dan dasardasarnya saja dan secara
teknis umat bisa mengambil sistem lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Di antara
tokoh kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal dan
Muhammad As’ad.7
3. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan
simbiotik antara agama dan negara. sebagai gantinya, paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan antara agama dan negara. dalam konteks Islam, paradigma
sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak
determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.8 Kelompok sekuler yang
memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan, bahwa
Islam tidak mengatur masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh
aliran ini yang paling terkenal dan bersuara lantang adalah Ali Abdul Raziq.
Abdul Raziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Islam
datang tidak untuk membentuk sebuah negara dan begitu juga Nabi Muhammad SAW.
hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalah-Nya, beliau tidak punya
kewajiban membentuk sebuah negara. Islam tidak mengenal adanya lembaga
kekhalifahan sebagaimana secara umum dipahami oleh kaum muslim. Lembaga
kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan. Islam tidak
memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. 9
6
Munawir Syadzali, Islam dan Tata…….h. 132.
7
H. Kamsi, Paradigma Politik Islam……h. 44-46.
8
Akmad Satori dan Sulaiman Kurdi, Sketsa Pemikir Politik Islam cetakan pertama,
(Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 246-249.
9
H. Kamsi, Paradigma Politik Islam……h. 46.
14
Terlepas dari berbagai kritik yang dilontarkan para pemikir terhadap Abdul
Raziq, gagasan Abdul Raziq tetap mempunyai signifikansi tersendiri. Setidaknya
konsep-konsepnya itu merupakan hasil ijtihad terhadap Islam tentang kebebasan akal
yang sampai hari ini masih diapresiasi oleh para pemikir kontemporer dalam
memperkaya wacana perpolitikan dalam Islam. Terlebih lagi saat sekarang begitu
maraknya gerakan-gerakan fundamental yang ingin merekonstruksi sistem
pemeritahan Islam klasik secara literal dan ternyata mayoritas negara muslim hingga
hari ini masih gagal membentuk sistem politik yang demokratis.10
Dalam artian bahwa, pada negara sekuler seluruh sistem dan norma hukum
positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas
kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan,
meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
Sekalipun ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara
sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka
yakini dan negara tidak intervensif dalam urusan-urusan agama (syariat).
10
Zaprulkhan, Relasi agama dan Negara, Jurnal Walisongo Vol. 22, Nomor 1, Mei 2014. h.
113.
11
Fred R. von der Mehden, “lslam and the Rise of Nationalism in Indonesia,” disertasi doktor,
University of California, 1957, h. 34.
15
12
George Mc.T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, h. 65-66.
13
George Mc.T. Kahin, Nationalism...…..h. 65-66.
14
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, h. 41-42.
15
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 71.
16
18
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 72.
17
19
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 79.
20
Untuk paparan yang lengkap mengenai Piagam Jakarta, lihat Endang Saifuddin Anshari, The
Jakarta Charter 1945: The Struggle for an Islamic Constitution in Indonesia, (Kuala Lumpur: Muslim
Youth Movement of Malaysia, ABIM, 1979).
18
Islam.”21 Untuk alasan itu, Wahid Hasyim menegaskan bahwa “hanya orang-orang
Islam yang dapat dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara republik ini.”
Lebih jauh, ia juga menegaskan bahwa Islam harus diterima sebagai agama negara.
Sementara itu, seraya mendorong lebih kuat diterimanya gagasan negara Islam, Ki
Bagus Hadikusumo menuntut agar sila ketuhanan berbunyi “Percaya kepada Tuhan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam,” tanpa prasyarat bahwa keharusan itu
hanya berlaku bagi kaum muslim. Untuk alasan-alasan yang sebaliknya, kelompok
nasionalis, terutama mereka yang tidak punya asal-usul Islam, menolak kompromi di
atas. Khawatir akan sikap diskriminatif atas agama-agama lain dan tumbuhnya
fanatisme keagamaan mereka menuntut agar negara harus benar-benar diakui
keberadaannya.
Bagaimana pun juga, cukup bijaksana jika disimpulkan di sini bahwa peristiwa
seperti itu menandai kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan
gagasan kaitan legal dan formal antara Islam dan negara. Kekalahan ini, seperti
tampak beberapa tahun kemudian, hanya bisa diterima untuk sementara, “hingga
Majelis Konstituante hasil pemilihan umum mulai bekerja menyusun undang-undang
baru.”
2. Pasca Kemerdekaan
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-
tentara sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menduduki kepulauan Nusantara.
Selama periode ini, tidak ada hambatan penting yang menghalangi hubungan politik
antara arus utama pemimpin dan aktivis Islam politik dengan kelompok nasionalis.
Perdebatan-perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan
negara dihentikan. Mereka, paling tidak untuk sementara, rela melupakan perbedaan-
perbedaan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para
pendiri republik merasa bahwa mereka harus menguras seluruh energi dan
kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan
mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak tanpa benturan di sana-sini, kedua kelompok di atas Islam dan
nasionalis mampu mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis antara
21
Ungkapan ini diambil dari Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, h. 42.
19
22
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 107.
23
Mohammad Natsir, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and
International Affairs, (Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Far Eastern Studies, Cornell
University, 1954), h. 1.
20
cara yang kurang-lebih tegas, turut menyebabkan munculnya beberapa gejolak sosial-
politik yang amat merepotkan kepemimpinan nasional.24
Beberapa contoh yang terkenal dari gejolak-gejolak itu adalah pemberontakan
Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Itulah dinamika pergulatan yang menyebabkan
terjadinya pemberontakan yang mengatasnamakan agama yang ingin mengubah
ideologi negara atas dasar semangat panji-panji Islam akibat ketidak mampuan
pemerintah pusat untuk mendapatkan loyalitas yang kuat dari kalangan elite politik
regional.25
24
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 110.
25
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…....h. 111.
26
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,. (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 235
21
sesuai dengan bunyi Al-Qur’an surat Al-Dzariyat ayat 56 bahwa “jin dan manusia
diciptakan tiada lain kecuali untuk beribadah” sehingga setiap muslim memiliki cita-
cita untuk menjadi hamba Allah yang sepenuhnya untuk mencapai kebahagiaan dunia
dan di akhirat. Negara memiliki arti sangat penting bagi Islam, sebab Qur’an dan
Sunnah tidak berkaki sendiri untuk menjaga segala peraturan agar ditaati sebagaimana
mestinya. Berawal dari Natsir yang mengkritisi Kemal Attaturk yang dianggap
mencampakkan Islam dari konstitusi Turki hanya karena masyarakat yang tidak
Islami. Kemudian polemik tersebut berlanjut hingga di sidang BPUPKI dan PPKI pada
waktu itu.27
Terlepas dari tekanan kaum mayoritas muslim, dengan pertimbangan atas
nama agama mayoritas, secara terang-terangan perjuangan memasukkan syariat
Islam dalam konstitusi diawali lewat persidangan BPUPKI yang terulang kembali
dalam sidang konstituante 1956-1959. Perjuangan yang ditempuh secara formal
lewat persidangan BPUPKI dan konstituante telah muncul persaingan antara gagasan
negara Islam di satu pihak dan negara nasional berdasarkan Pancasila di lain pihak.
Umat Islam pada umumnya mempercayai watak kholistik Islam. Dalam
persepsi mereka, Islam sebagai instrument ilahiyah untuk memahami dunia,
seringkali dipandang sebagai lebih dari sekadar agama. Beberapa kalangan malah
menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara. 28 Namun
artikulasinya pada tingkat praktiknya menjadi persoalan yang problematik, hal ini
antara lain disebabkan oleh ciri umum sebagian besar ajaran Islam yang mungkin
multi intepretasi sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Kemudian masuk ke peristiwa yang paling bersejarah yakni pertemuan
pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada saat itu suasana kebatinan dan
situasi politik Indonesia berubah secara dramatis, mesunyul proklamasi
kemerdekaan Indonesia !7 Agustu 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI
memilih Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia. Pada saat yang sama PPKI menyetujui naskah “Piagam Jakarta”
sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali tujuh kata di belakang sila ketuhanan, 7 kata
yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 “Negara berdasarkan ketuhanan
27
Mahfud MD, Perdebatan Hukum…….h. 235-239.
28
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam
Konstituante, Cet 1, (Jakarta: LP3ES, 1996). h. 15.
22
29
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historistas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Cet. 4,
(Jakarta: PT Gramedia, 2012), h. 81-83.
23
Usaha kompromi yang telah dilakukan tentunya telah final dengan pilihan
bahwa Pancasila sebagai filosofi sekaligus sebagai ideologi negara. Terlepas apakah
dasar negara itu berkesesuaian dengan golongan Islam dan golongan kebangsaan.
Namun kedua titik tersebut dirasa barangkali sulit disatukan mengingat masing-
masing memiliki argumentasi yang sangat kuat. memang pembahasan ini sangatlah
fundamen, namun pastinya ada langkah-langkah solutif terbaik, karena Pancasila
digali dari nilai-nilai kebangsaan yang di dalamnya terdapat nilai kekayaan kearifan
lokal.
BAB III
LATAR BELAKANG BERDIRINYA
NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH
1
Masykur Hakim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h. 66.
2
Muhammad Sodik, Dinamika Kepemimpinan NU (Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr, 2004),
h. 41.
3
Muhammad Sodik, Dinamika….h. 41.
24
25
4
Aang Athorida, Ormas-ormas Keagamaan di Indonesia, (Bekasi: Pijar, 2010), h. 37.
5
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 37.
6
Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 7
26
7
Ridwan, Paradigma Politik NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 95
8
Ahmad Zahro, Tradisi Inteltual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, (Yogyakarta: LKiS,
2004), h. 9.
9
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 35.
27
10
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 36.
11
Aang Athorida, Ormas-ormas….h. 37.
12
PWNU Jawa Timur, Aswaja an-Nahdah (Surabaya: Khalista, 2007), h. 1
13
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2010), h. 7.
28
14
Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-
Negara (Yogyakarta: LKIS, 1997), h. 13
29
15
Dikutip dari https://repository.uinsu.ac.id, h. 3 pada 5 Maret 2020 Pkl. 13.05
30
syariat Islam berlaku pada masa itu dan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan
umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, maka
dalam kondisi semacam ini, penamaannya “dengan daerah kafir harbi” hanya
merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa,
tanah betawi dan bahkan sebagian besar tanah Jawa adalah “daerah Islam” karena
umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir”. 16
Dalam tradisi fikih politik dikenal dengan tiga jenis negara. yakni: dar al-Islam
(negara Islam), dar al-sulh (negara damai), dan dar al-Harb (negara perang).
Pembentukan negara Islam menuntut untuk dipertahankannya negara dari rongrongan
penjajah, karena merupakan bentuk perwujudan normatif dari cita-cita negara. 17
Pandangan NU tentang negara (apakah harus negara Islam), menjelaskan
bahwa organisasi keagamaan ini menganut suatu keilmuagamaan yang bertumpu pada
akidah ahlussunah wal jamaah. Tradisi ini pada intinya mengandung pertautan organik
antara tauhid, fiqih, dan tasawwuf yang selalu diamalkan secara berkesinambungan
dan membentuk perpaduan kehidupan di lingkungan Nahdlatul Ulama yang mencakup
duniawi dan ukhrawi.
Konsekuensi yang ditimbulkannya hampir semua bisa dijelaskan secara logis
bahwa pandangan-pandangan sosial tidak bercorak “hitam-putih”. Tetapi dilain pihak
juga hamper bisa dipastikan bahwa sikap dan tindakan Nahdlatul Ulama didasarkan
pada ijtihad keagamaan, yang bertumpu pada tradisi pengambilan keputusan hukum
lewat fikih, yang berlandaskan pada niat untuk membangun keseimbangan antara
kehidupan duniawi dan ukhrawi tersebut. Ini juga karena pandangan hidup di
lingkungan Nahdlatul Ulama yang memosisikan kehidupan dunia sebagai jembatan
persiapan menuju kebahagiaan akhirat.
Paradigma keilmuan semacam ini pulalah yang melatar belakangi pandangan
kenegaraan yang dianut oleh NU. Para ahli fikih memandang bahwa mengangkat
kepala negara (nashbul imam), dan membentuk pemerintah (aqdul imamah)
hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam atas dasar ijma. Alasannya disamping dari
sumber syara (agama) juga dari konsep rasional bahwa kehidupan sosial yang
kompleks ini memerlukan tatanan dan kekuasaan yang mengatur baik individu
16
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h. 49-52.
17
Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraanya (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), h.
63.
31
18
Thalhan Hasan, terutama bab 12 “Sistem Pemerintahan (Hukumah/Imamah) dalam Fiqih
Islam”.
32
Kendati secara fikih bentuk negara kita sudah Islami, hukum fikih juga
memiliki ketentuan yang memuat tolok ukur bagaimana sebuah pemerintahan
harusnya dikelola dan dijalankan. Misalnya ketentuan “tasharraful al-imam ‘ala al-
raiyyah manwuutun bi al-maslahah”, yakni kebijaksanaan kepala pemerintah harus
mengikuti kesejahteraan rakyat, yang menjadi pokok utama sebuah pemerintahan.
Dengan demikian, sekali lagi bentuk formal pemerintahan bukan menjadi
permasalahan bagi Nahdlatul Ulama selama masih diikuti perilaku formal negara yang
tidak bertentangan dengan hukum fikih.19
Pendirian ini secara jelas, misalnya telah dinyatakan jauh sebelum
kemerdekaan, tepatnya pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan,
tanggal 9 Juni 1935. Waktu itu Nahdlatul Ulama telah memberikan keabsahan status
hukum negara Hindia Belanda sebagai darul Islam dengan alasan secara historis
Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh penguasa Islam dan masyarakatnya secara
bebas bisa menjalankan syariat Islam, kendati demikian berarti harus memberi
legitimasi religius kepada pemerintah kolonial.20
Atas dasar nalar fikih pula, pada Konferensi Nasional Alim Ulama Nahdlatul
Ulama di Cipanas pada 1954, Nahdlatul Ulama memberi dukungan kepada Soekarno
dan pemerintahannya, dengan memberinya gelar “waliyul amri al-dlaluri bi al-
syakwah” atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh, saat
pemerintah sedang berhadapan dengan pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat,
yang kemudian dikukuhkan dengan melalui keputusan Muktamar NU ke-20 di
Surabaya 8-13 September 1954.21 Ini adalah dampak lanjut dari penolakan Nahdlatul
Ulama terhadap gagasan pendirian Darul Islam (DI) yang didirikan Kartosuwiryo di
Jawa Barat serta Negara Islam Indonesia (NII) di Sulawesi Selatan oleh Kahar
Mudzakar. Bahkan secara tegas ulama Nahdlatul Ulama memberikan keputusan fikih
kepada Kartosuwiryo sebagai pelaku bughat (pemberontakan kepada pemerintahan
yang sah).
19
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2017), h. 219.
20
KH. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul
Ulama Kesatu-1926 s/d Keduapuluh Sembilan 1994, (Surabaya: Kerjasama PP RMI dengan Dinamika
Press, 1997), h. 138.
21
KH. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan……., h. 207-208.
33
1. Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir pada tanggal 18 November 1912 Masehi/8 Dzulhijjah
1330 Hijriyah di Yogyakarta. Organisasi ini didirikan oleh KH. Muhammad Darwish
atau lebih dikenal dengan sebutan KH. Ahmad Dahlan atas saran dari murid-
muridnya yang tergabung dalam Budi Utomo, mengingat bahwa ia merupakan
pengajar di sekolah Budi Utomo. Nama Muhammadiyah ini berasal dari Utusan Allah
yakni Nabi Muhammad saw. Nama ini diberi dengan maksud bahwa setiap anggota
Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan
dengan pribadi Nabi Muhammad saw.22
Kelahiran Muhammadiyah pada awalnya adalah menifestasi dari pemikiran
dan amal perjuangan KH. Ahmad Dahlan, organisasi ini mulai dibentuk secara umum
dapat dikaitkan dalam rangka merespon kondisi sosio-politik umat Islam sebagai
akibat kebijakan pemerintahan Hindia Belanda, yang pada waktu itu Belanda
melakukan proses kolonialisme yang dikemas dengan kebijakan pemerintahan yang
liberal. Oleh karenanya para kalangan Islam terdidik berinisiatif untuk menciptakan
sebuah gerakan dan perkumpulan yang bersifat sosial politik sebagai pencarian
kerangka ideologi alternatif guna untuk merespon dan menandingi kerangka politik
Belanda dan kolonialisme. Maka pada awal abad 20 gerakan-gerakan kebangsaan
mulai tumbuh. Gerakan-gerakan itu antara lain: Sarekat Dadang Islam (SDI) tahun
1905, Budi Utomo tahun 1908, Sarekat Islam pada awal tahun 1912, Muhammadiyah
pada akhir tahun 1912, Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923, dan Nahdatul
Ulama (NU) pada tahun 1926. Dengan memiliki visi yang sama guna mengangkat
harkat martabat bangsa.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa
pembaruan pemikiran Islam di Indonesia dan bergerak di berbagai bidang kehidupan
umat, antara lain dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial-budaya, dan kesehatan.
Ada beberapa alasan yang membuat organisasi keagamaan ini didirikan, antara lain
tidak murninya Islam di Indonesia, pendidikan Isalam tidak maju, kemiskinan rakyat,
22
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1996-2006,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 79.
34
adanya misi dan zending Kristen, umat Islam bersifat fanatisme sempit, taklid buta,
masih diwarnai konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.23
KH. Ahmad Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, dengan tipologi
yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
membangun kehidupan yang berkemajuan melalui pembaharuab (tajdid) yang
meliputi aspek-aspek tauhid, aqidah, ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap
ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya
yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang
ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap
ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam
berijtihad.24
Kemudian tidak murninya ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat
islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi Islam dan tradisi
lokal nusantara dalam awal bermuatan paham animisme dan dinamisme. Sehingga
dalam prakteknya umat Islam di Indonesia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip
akidah Islam yang Sehingga dalam prakteknya umat Islam di Indonesia
memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam,
terutama yang berhubungan dengan prinsip akidah Islam yang menolak segala bentuk
kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi pilihan
mutlak bagi umat Islam Indonesia.
23
Sudharno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, (Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-
Ilmu Dasar (LPID), 2008), h. 26-27.
24
Sudharno Shobron, Studi…..h. 27.
35
memeluk agama Islam. Adapun dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar kedua ialah
kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya
itu dilakukan bersama dalam musyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan
Allah semata-mata.
Maksud dan tujuan didirikannya Muhammadiyah ialah menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut Muhammadiyah melaksanakan
usaha-usaha secara umum sebagai berikut: 25
1. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman,
meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam
berbagai aspek kehidupan.
2. Memperdalam dan mngembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai
aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
3. Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah,
hibah, dan amal shalih.
4. Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar
berkemampuan tinggi serta berakhlak mulia.
5. Memajukan dan memperbarui pendidikan, dan kebudayaan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
meningkatkan penelitian.
6. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan kea rah perbaikan hidup
yang berkualitas.
7. Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
8. Memelihara, mengembangkan, dan mendayagunakan sumberdaya alam dan
lingkungan untuk kesejahteraan.
9. Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai
bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.
10. Memeilahar keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
11. Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai
pelaku gerakan.
25
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah (Yogyakarta: Sekretariat
Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah, 2018), h. 4-5.
36
26
Asmuni Abdurahman, “Muhammadiyah dan Tajdid di Bidang Keagamaan, Pendidikan, dan
Kemasyarakatan”, dalam Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah
Malang, Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h.
117- 118
37
27
Acep Zamzam Noor, Zuly Qodir dkk, Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011), h. 84-85.
28
PP. Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-47. h. 67
29
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 68
39
30
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 68
31
PP. Muhammadiyah, Tanfidz…..h. 68
40
32
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 69
33
PP. Muhammadiyah, Tanfidz….h. 70
41
demikian. Inilah sebuah proporsi yang paling tegas dari Muhammadiyah di tengah
adanya gempuran dari sebagian kelompok Islam yang kecil seperti: Hidzbut Tahrir
Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Anshoru Tauhid, Front Pembela Islam, dan
Wahdatul Islamiyah yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama tetap pada pendiriannya untuk tidak mendukung pendirian
negara Islam di Indonesia. Hal ini merupakan sikap yang sangat tegas dan tajam
karena sebagian orang muslim belakangan ini masih mempersoalkan masalah terkait
formalisasi dasar negara dengan Islam, sementara Muhammadiyah secara resmi
menyatakan tidak mendukung berdirinya negara Islam dan Islam sebagai dasar negara
di Republik Indonesia. 34 Dengan demikian, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
menjadi benteng terakhir dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang memiliki visi
kebangsaan untuk mempertahankan nilai-nilai Pancasila di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
34
Acep Zamzam Noor, Zuly Qodir dkk, Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme, h. 84.
BAB IV
ANALISIS KONSEP DARUL ISLAM DAN DARUL AHDI
WASYSYAHADAH YANG MENJUNJUNG TINGGI BENTUK NEGARA
1
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstekstualiasi doktrin politik Islam”, (Jakarta: Gaya
Media Pratama. 2001), h. 222.
2
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstekstualiasi.....h. 222.
3
Zakaria Syafe’i, Negara dalam Perspektif Islam Fiqh Siyasah, (Jakarta : Hartomo Media
Pustaka, 2012), h. 61-62.
42
43
3. Imam Abu Yusuf (182 H), berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-
harb adalah negara yang tidak memberlakukan hukum Islam, meskipun
sebagian besar penduduknya beragama Islam.4 Pendapat ini di perkuat oleh
Alkasani ahli fiqh madzhab Hanafi, menurutnya darul harbi dapat menjadi
darul Islam apabila negara tersebut memberlakukan syari’at Islam.
Pada akhir abad pertengan sampai modern, konsepsi mengenai bentuk negara
5
dikenal dalam dua bentuk, yaitu negara kerajaan (monarki) dan negara republik.
Nicholo Machiaveli menyebutkan bahwa jika suatu negara bukan negara republik
tentulah kerajaan. Menurutnya negara adalah gen sedangkan republik dan kerajaan
adalah spesies. Dapat dikemukankan bahwa bentuk negara yang paling lazim
dipraktikan di banyak negara dari zaman dahulu hingga saat ini adalah republik dan
monarki sedangkan bentuk negara dalam konsepsi Fiqh Siyasah di kenal dengan
Istilah dar-Islam, dar al-harb dan dar al-ahdi.
4
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah , Konstekstualiasi...... h. 222.
5
Monarkhi berasal dari kata monarch yang berarti raja, yaitu sejenis kekuasaan politik di mana
raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara. Leon Duguit (1859-1928) dalam bukunya
yang berjudul Traite de Droit Constitutionel mendefinisikan Monarkhi sebagi sebuah negara yang
kepala negaranya berganti secara turun temurun. Lihat Ahmad Sukarja, Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi negara dalam Perseperktif Fiqh Siyasah. h. 107.
44
6
Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraanya (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), h.
63.
45
D. Resolusi Jihad
Resolusi jihat merupakan maklumat yang disampaikan NU kepada warganya
untuk senantiasa berjihad merebut kemerdekaan. Berperang mengusir kedatangan
Inggris di bumi Indonesia yang sebelumnya sudah memproklamirkan diri sebagai
bangsa yang merdeka. Situasi dan kondisi di Surabaya yang kian menegang dengan
meningkatnya aktifitas tentara Inggris yang menjadi pertimbangan para kiai NU untuk
bergegas bertindak mengobarkan semangat perjuangan serta perlawanan secara masif.
Adapaun langkah pertama yang dilakukan NU adalah dengan memanggil para
pembebar NU untuk menentukan sikap menghadapi aksi yang dilakukan oleh NICA-
Belanda yang berkawan dengan Inggris.
Akhirnya, diadakan pertemuan para konsul yang dilaksanakan pada tanggal 21-
22 Oktober 1945 dikantor PBNU di Bubutan, Surabaya. Pertemuan yang dihadiri oleh
panglima Hizbullah, Zainul Arifin. Sebelumnya, Presiden Soekarno telah menemui
KH. Hasyim Asy’ari untuk menanyakan tentang hukum mempertahankan
kemerdekaan bagi umat Islam. Menanggapi pertanyaan tersebut KH. Hasyim Asy’ari
memberikan jawaban yang tegas bahwa sudah jelas bagi umat Islam Indonesia untuk
melakukan pembelaan terhadap tanah airnya dari bahaya dan ancaman kekuatan
asing.7
Secara umum, isi resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori dalam berjihad.
Pertama, fardlu ‘ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 KM episentrum
pendudukan penjajah, dalam Islam, fatwa fardlu ‘ain mengimplikasikan kewajiban
seorang muslim yang sudah muallaf (aqil baligh) wajib menjalankan ibadahnya sesuai
syariat Islam. Kedua fardlu kifayah bagi warga yang berada diluar radius tersebut.
Namun dalam kondisi tertentu dan darurat, maka bisa dinaikan statusnya menjadi
fardlu ‘ain. Fardlu kifayah adalah sebuah kewajiban yang menjadi gugur apabila sudah
dilaksanak oleh satu orang dalam sebuah daerah/komunitas.
Nampaknya resolusi jihad mempunyai andil besar dalam melakukan perlawanan
terhadap Inggris di Surabaya. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945,
terjadi peperangan yang sangat dahsyat antara santri dan arek Suroboyo melawan
tentara Inggris. Sejarahnya besar tersebut kini sudah dilegal formalkan oleh negara dan
menjadikannya sebagai hari pahlawan. Resolusi Jihad ini merupakan bentuk
7
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri Dan Resolusi Jihad (Tangerang: Pustaka
Compass, 2014), h. 206
46
8
Andree Feilard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), h. 39
9
Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 32.
10
Ridwan, Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 67.
48
Hal ini dilatar belakangi bahwa oleh pemahaman bahwa kepala negara yang
tidak dipilih oleh Ulama yang kompeten, sehingga tidak sepenuhnya memenuhi
prasayarat secara Fikih. Sehingga pengangkatan Presideng sebagai Wali al-Amr ad-
daruru bi asy-Syaukah dalam hal ini memberi legitimasi secara fikih. Sebagai kepala
negara yang ditugasi untuk mengurusi persoalan umat, dengan dasar pengakuan
berdasarkan fikih, maka kepala negara berhak dan berwenang mengangkat pejabat
agama dalam hal ini Menteri Agama dan menyerahkan sepenuhnya persoalan
keagamaan kepada Menteri Agama.
Sebenarnya, penggunaan gelar Wali al-Amr ad-daruru bi asy-Syaukah ini
mengandung makna yang tersirat, suatu negara yang pemimpinnya di gelar tersebut
maka menandakan bahwa negara tersebut belum benar-benar Islami, hanya saja
dipimpin oleh seorang muslim. Hal ini karena keadaan negara dianggap darurat
sehingga membutuhkan fatwa para Alim Ulama untuk mendapatkan legitimasi hukum
Islam.
Latar belakang munculnya gelar ini didasarkan atas dua pertimbangan, yakni
pertimbangan agama dan pertimbangan politik. Pada pertimbangkan politik
meniscayakan agar posisi strategis Soekarno semakin kuat, mengingat ada beberapa
golongan dan interest politik yang masih meragukan dan mempertanyakan posisi
Presiden Soekarno dalam tinjaun hukum fikih dan hukum Islam. Adapun dalam
pertimbangan agama, konsepsi imamah (kepemimpinan dalam Islam) dianggap hal
yang penting dan fundemental bagi kehidupan masyarakat. Sehingga perlu kiranya
mengankat seorang pemimpin menggunakan mekanisme hukum Islam. 11
Ijtihad politik tersebut menandakan bahwa kepentingan negara dan bangsa
menjadi orientasi dalam berpolitik. Dalam konteks ini, fikih menjadi dasar
melegitimasi realitas politik yang terjadi. Penggunaan istilah “dharuri” memberikan
gambaran bahwa sifat hukum fikih itu dinamis, sesuai dengan realitas sosial yang ada.
Setidaknya, NU sudah memberikan kontribusi lebih dalam rangka ijtihad politik demi
kepentingan bangsa.
11
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri Dan Resolusi Jihad... h. 233.
49
12
Al-Zastrow, Gusdur siapa sih sampean? Tafsir Teoritis atas Tindakan dan Pernyataan
Gusdur (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 30.
13
Budhi Munawar Rahman, Argumen Islam Untuk Sekularisme, (Jakarta: Grasindo, 2010), h.
147.
50
Ketiga, Nahdlatul Ulama menganggap Islam adalah Aqidah dan Syariah, yang
didalamnya terdapat hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar sesama.
Pancasila dijadikan sebagai dasar dalam berinteraksi sesama manusia. Melalui
pancasila interaksi yang dibangun akan melahirkan budaya dan kearifan lokal yang
berkeadaban sesuai adat ketimuran.
Keempat, penerimaan serta pengamalan pancasila sebagai dasar negara
merupakan menifestasi umat Islam untuk menjalankan syariat dengan nyaman.
Pancasila merupakan payung yang bisa mengayomi kebebasan dan menjalankan ajaran
agama, sehingga negara andil dalam melindungi warganya untuk mendapat haknya
dalam beragama.
Beberapa argumen diatas secara formal memberi legitimasi pilihan plitik NU
untuk menerima Pancasila secara terbuka. Kenyataannya NU memahami konsep
kebangsaan ini secara terbuka dan toleran, tidak terpengaruh sedikitpun oleh paham
keagamaan yang radikal, menerima Pancasila, berati menerima Indonesia sebagai
konsep negara-bangsa. Meskipun dalam pengamatan lain ada semacam tekanan dan
resistensi kuasa dalam penerimaan pancasila sebagai asas tunggal. Namun perlu
diketahui bahwa organisasi memberikan sikap atau keputusan tersebut diambil melalui
mekanisme Muktamar (keputusan tertinggi organisasi).14
14
Muhamad Mustaqim, Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi Atas Kiprah Politik Nahdlatul
Ulama, Vol. 9 No. 2 Tahun 2015, h. 347.
51
yang dilindungi karena mengikat perjanjian, Kafir Musta’min merujuk ke orang kafir
yang datang ke negeri Islam yang minta perlindungan dan dilindungi.
Keputusan ini sama sekali tidak merevisi konsep keimanan. mukmin dan kafir
itu tetap ada di ranah privat teologis masing-masing agama. Bagi orang Islam, non-
Muslim itu kafir, begitu juga sebaliknya. Tetapi, idiom ini tidak berlaku di ranah
publik (mu’amalah wathaniyah). Semua adalah warga negara yang berkedudukan
sederajat. Ini persis seperti yang dilakukan Nabi ketika mendirikan Negara Madinah.
Kaum Muslim dan Yahudi dengan beragam suku dan agamanya, di dalam naskah
Piagam Madinah, semua disebut sebagai Ummatun Wahidah.15
Definisi “umat” dalam Piagam Madinah bahkan jauh lebih inklusif daripada
penggunaan sekarang, yang secara eksklusif hanya merujuk kepada umat Islam. Umat
dalam Piagam Madinah adalah warga negara yang berkedudukan sederajat. Tidak ada
diskriminasi dan persekusi berbasis sara. Prosekusi diberlakukan kepada seluruh
pelanggar hukum, tidak peduli suku dan agamanya.
Merujuk pada Tahun 1936, Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari telah
memimpin Muktamar di Banjarmasin yang memutuskan Nusantara sebagai kawasan
damai (darussalam). Tidak berlaku hukum perang sejauh penguasa kolonial masih
membolehkan umat Islam menjalankan syariat Islam, meskipun terbatas. Tahun 1945,
Kiai Hasyim setuju Indonesia tidak menjadi Negara Islam, tetapi NKRI berdasarkan
Pancasila. Di tahun yang sama, ketika penjajah berniat menduduki lagi negeri yang
sudah diproklamirkan merdeka, Halratussyeikh mencanangkan Resolusi Jihad untuk
mempertahankan NKRI yang berdasarkan Pancasila itu. Pada keputusan Musyawarah
Nasional yang dilakukan pada waktu itu adalah menghidupkan kembali semangat
Piagam Madinah dan kesepakatan para founding fathers yang mendirikan Indonesia
bukan sebagai negara Islam melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
15
Dikutip dari, https://www.nu.or.id/post/read/103224/tentang-non-muslim-bukan-kafir pada
23 Maret 2020 Pkl. 19.00
52
16
Dikdik Baehaqi Arif dan Syifa Siti Aulia, Studi tentang negara Pancasila sebagai Darul
Ahdi Wa Syahadah untuk penguatan materi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas
Ahmad Dahlan, Vol. 14 Nomor 2, Oktober 2017, h. 206-208.
53
bersifat filosofi maupun ideologis. Bahkan juga secara konstitusional dalam hal
berbangsa dan bernegara.17
Darul ahdi dimaknai sebagai negara kesepakatan. Dalam hal ini,
Muhammadiyah menegaskan bahwa adanya negara Pancasila itu merupakan satu
produk dari kesepakatan atau satu kompromi dari para tokoh pendiri bangsa. Sehingga
adanya Indonesia ini merupakan satu hasil dari gentlemen agreement dari para pendiri
bangsa, terutama mereka yang secara langsung terlibat dalam proses-proses
penyusunan dasar negara dan undang-undang dasar, baik dalam lembaga BPUPKI
maupun lembaga PPKI. Dan kesepakatan itulah yang melahirkan Indonesia seperti
sekarang ini.18
17
Dikdik Baehaqi Arif dan Syifa Siti Aulia, Studi tentang negara…….h. 207.
18
Dikdik Baehaqi Arif dan Syifa Siti Aulia, Studi tentang negara…….h. 208.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahsan yang telah dipaparkan pada materi sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut NU, Berdasarkan hukum fikih Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa sistem
negara yang ada yakni Negara Kesatuan Republik Indionesia (NKRI), adalah bentuk
pemerintahan yang sah dan final, serta tidak diperlukannya lagi sistem pemerintahan
atau “negara Islam” sebagai alternatif. Menurut Nahdlatul Ulama, NKRI telah
memenuhi ketentuan syariat. KH. Said Aqil Siradj sering menyebutnya sebagai
darussalam (negara damai). Sebuah bentuk negara yang bias dipadankan dengan
“negara Madinah” yang dibentuk oleh Rasulullah. Sedangkan KH. Ma’ruf Amin
menyebutnya darul mau’ahadah atau darul mitsaq (negara kesepakatan). Bentuk
negara yang diterapkan Indonesia menurutnya sama Islaminya dan sama kaffahnya
dengan negara-negara yang menyebut dirinya negara Islam. Perbedaannya hanya pada
bahwa implementasinya di Indonesia terikat dengan kesepakatan (al-mitsaq) dengan
unsur umat agama lain. Singkatnya Indonesia adalah daulah Islamiyah maa al-mitsaq
(negara Islam dengan kesepakatan), dan Saudi Arabia adalah daulah Islamiyah bi laa
al-mitsaq (negara Islam tanpa kesepakatan).
2. Menurut Muhammadiyah, Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah
Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan
dengan ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Negara Pancasila yang
mengandung jiwa, pikiran, dan citacita luhur sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 itu dapat diaktualisasikan sebagai Baldatun Thayyibatun Wa
Rabbun Ghafur yang berperikehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan
berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT.
54
55
B. Saran
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karenanya penulis mengharapkan dan menantikan adanya saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi perbaikan di lain waktu agar penelitian dalam skripsi
ini bisa menjadi lebih bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurahman, Asmuni, “Muhammadiyah dan Tajdid di Bidang Keagamaan,
Pendidikan, dan Kemasyarakatan”, dalam Tim Pembina Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Malang, Muhammadiyah:
Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Al-Zastrow, Gusdur siapa sih sampean? Tafsir Teoritis atas Tindakan dan Pernyataan
Gusdur, Jakarta: Erlangga, 1999.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama Jakarta: Sekretariat
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2010.
Anshari, Endang Saifuddin, The Jakarta Charter 1945: The Struggle for an Islamic
Constitution in Indonesia, Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of
Malaysia, ABIM, 1979.
Arif, Abdul Salam, ‘Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara’ dalam
Abegebril, Ahmad Maftuh, Abevero, Ahmad Yani, Negara Tuhan The
Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004.
Bizawie, Zainul Milal, Laskar Ulama-Santri Dan Resolusi Jihad, Tangerang: Pustaka
Compass, 2014.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011.
56
57
J. Benda, Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidea, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985
_______________, Ahmad, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negera: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006.
Masyhuri, KH. Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Keduapuluh Sembilan 1994, Surabaya:
Kerjasama PP RMI dengan Dinamika Press, 1997.
Natsir, Mohammad, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and
International Affairs, Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Far
Eastern Studies, Cornell University, 1954.
Noor, Acep Zamzam, Zuly Qodir dkk, Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
58
Ridwan, Nur Khalik, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Satori, Ahmad, dan Kurdi, Sulaiman, Sketsa Pemikir Politik Islam cetakan pertama,
Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Syafe’i, Zakaria, Negara dalam Perspektif Islam Fiqh Siyasah, Jakarta: Hartomo
Media Pustaka, 2012.
van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
Yogyakarta: LKiS, 2008.
von der Mehden, Fred R, “lslam and the Rise of Nationalism in Indonesia,”,
University of California, 1957.
Jurnal
Al Halim, Posisi Ideologi Pancasila dalam Sistem Ketatanegaraan: Suatu Kajian
Filsafat, Vol. 2 No. 1, Tahun 2016.
Arif, Dikdik Baehaqi dan Aulia, Syifa Siti, Studi tentang negara Pancasila sebagai
Darul Ahdi Wa Syahadah untuk penguatan materi pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di Universitas Ahmad Dahlan, Vol. 14 No. 2, Oktober
2017.
Budiyono, Hubungan Negara dan Agama Dalam Negara Pancasila, Jurnal Ilmu
Hukum Vol. 8 No. 3 Tahun 2014.
Jurnal Komunikasi Islam, Ormas Islam dan Isu Keislaman di Media Massa, Vol. 4
No. 2, Tahun 2014.
Kamsi, H, Paradigma Politik Islam tentang Relasi Agama dan Negara, Jurnal Agama
dan Hak Azasi Manusia Vol.2, No.1, 2012.
Mustaqim, Muhammad, Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi Atas Kiprah Politik
Nahdlatul Ulama, Vol. 9 No. 2 Tahun 2015.
Zaprulkhan, Relasi agama dan Negara, Jurnal Walisongo Vol. 22, Nomor 1, Mei
2014.
Website
https://spn.or.id pada 4 Maret 2020 Pkl. 19.05
https://www.nu.or.id/post/read/103224/tentang-non-muslim-bukan-kafir pada 23
Maret 2020 Pkl. 19.00
60
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 1 dan 2.
Wawancara
Amsori Ahmad, Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum PBNU, Interview
Pribadi, Jakarta, 3 Maret 2020
Informan 1
Nama : Dr. Amsori Ahmad, S.H. M.M
Jabatan : Advokat dan Wakil Ketua LPBH PBNU
Hari/Tanggal : Selasa, 3 Maret 2020
Waktu : 19.00-19.45
Tempat : Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
5. KH. Said Aqil Siradj pernah menyinggung bahwa negara Indonesia bukan negara
agama tetapi negara yang beragama, apakah ada kaitannya dengan “darussalam”
dan “darul Islam”?
64
Jawab : ya tadi sudah dijelaskan, nanti dilihat kutipan beliau di google atau via
youtube karena tadi memang Indonesia bukan negara agama tetapi negara
beragama, sila pertama “ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia negara Islam
meskipun mayoritas beragama Islam tetapi itu hanya penduduknya saja karena
tidak semua penduduk disatu daerah hanya beragama Islam. Seperti halnya
Nanggroe Aceh Darusslam bukan Nanggroe Aceh Darul Islam atau negara Brunei
Darussalam bukan Brunei Darul Islam kecuali ada negara yang jelas-jelas
menggunakan ideologi Islam seperti negara Islam Iran atau negara Islam Pakistan
ya itu negara yang menggunakan label Islam sebagai ideologi negara dan
kebanyakan menggunakan sistem monarki atau oligarki seperti Arab Saudi
misalnya.
65
Informan 2
Nama : Dr. Syaiful Rohim, M.Si
Jabatan : Dosen FISIP Uhamka, Anggota LHKP PP. Muhammadiyah
Hari/Tanggal : Selasa, 3 Maret 2020
Waktu : 15.10-16.00
Tempat : Pondok Petir, Depok
dari kelompok peradaban menuju satu kemajuan yang disebut dengan darul ahdi
wasysyahadah di dalam membangun kehidupan berkemajuan. Secara ideologis
nilai-nilai transedental yang kemudian dikabarkan didalam Al-Qur’an ada didalam
Surah Ali Imran ayat 104 dan 110 menjelaskan dimana manusia itu ditantang
untuk melakukan berbagai upaya dalam memecahkan segala persoalan
sesungguhnya, untuk menjadikan ia sebagai manusia yang maju dan merubah
peradaban Khairu Ummah. Oleh karenanya Pancasila dalam komitmen berbangsa
dan bernegara, Muhammadiyah melihat tidak ada sesuatu yang harus diragukan
dan disanksikan baik dalam konsep, lalu kemudian implementasi ataupun kepada
tujuan. Sehingga Pancasila dapat menjadi bagian yang fundamental dalam
mempersatukan bangsa dan negara untuk menuju satu tujuan sebagai Baldatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur negeri yang berperikehidupan maju, adil,
makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT.
2. Atas dasar apa dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah yang diputuskan pada
Muktamar ke-47 di Makassar memutuskan bahwa darul ahdi wasysyahadah
merupakan rangkaian wujudnya negara Pancasila?
Jawab : Muhhammadiyah dalam merespon dan mengakui Pancasila sebagai
ideologi negara yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila
perjalanannya tidak dalam satu tahapan Muktamar saja, ini ada nilai kesejarahan
yang tidak bisa dilupakan oleh tokoh-tokoh atau pendiri bangsa ini yang kemudian
memiliki semangat yanag tinggi dari perjuangan Muhammadiyah itu sendiri,
seperti halnya KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansyur, dan sebagainya. Dan untuk
mendasari bahwa para tokoh tersebut memiliki komitmen kebangsaan yang kuat
dibutuhkan semangat nasionalisme dan keilmuan yang tinggi, mereka juga
merupakan tokoh-tokoh Islam yang sangat mumpuni yang memiliki akar literasi
kuat sebagai kiai dan sebagai orang yang memiliki akar kedalaman agama yang
kuat, atas dasar rangkaian panjang itulah, dalam pandangan pribadi dan di dalam
Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 itu bukan sesuatu yang ada pada saat
Muktamar tersebut saja konstelasinya tetapi itu berdasarkan atas rangkaian dan
perjalanan panjang sejak didirikannya bangsa ini, oleh karena itu, karena yang
mendirikan bangsa ini juga ada dari elemen-elemen putra-putri terbaik bangsa dari
Muhammadiyah maka menjadi sebuah kewajaran kalau para penerus
Muhammadiyah ini juga memiliki pemikiran yang sama sampai kepada satu
67
LAMPIRAN
\
73