Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

2.1.1 Definisi

Obesitas merupakan akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang menimbulkan

risiko terhadap kesehatan (WHO, 2014). Obesitas merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang

terjadi akibat ketidakseimbangan antara masukan dan keluaran energi dalam waktu lama

(Carolan dkk., 2014).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalens obesitas pada anak secara global maupun nasional meningkat dari tahun ke tahun.

Prevalens overweight dan obesitas pada anak di dunia meningkat dari 4,2% di tahun 1990

menjadi 6,7% di tahun 2010, 7% di tahun 2012, dan diperkirakan akan mencapai 9,1% di tahun

2020 (Gambar 2.1) (WHO, 2014; Hassapidou dkk., 2017). Di negara Afrika sendiri, prevalens

overweight pada anak meningkat dari 4 juta menjadi 10 juta pada periode yang sama (WHO,

2014). Hampir semua negara menunjukkan kecenderungan peningkatan, namun peningkatan ini

bervariasi, prevalens overweight pada anak relatif lebih rendah pada negara maju dibandingkan

negara berkembang (gambar 2.2) (WHO, 2014).

National Health and Examination Survey (NHANES) melaporkan insiden obesitas dan berat

badan lebih pada anak usia 6-11 tahun pada tahun 2007-2008 dari 6,5% menjadi 19,6%, dan

pada usia 12-19 tahun prevalens obesitas meningkat dari 5,0% menjadi 18,15% (Gambar 2.3)

(Tchoubi dkk., 2015 ).

Berdasarkan data Riskesdas pada tahun 2013 didapatkan prevalens obesitas pada anak balita

di Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 berturut-turut 12,2%, 14,0%, dan 11,9%, serta anak
berusia 5-12, 13-15, dan 16-18 tahun berturut-turut 8,8%, 2,5%, dan 1,6%. Di kota Denpasar

prevalens obesitas pada anak SD adalah 15%. Di daerah kota (urban) didapatkan 21% anak

obesitas, sedangkan di daerah desa (rural) 5%. Anak di daerah urban 3,8 kali menderita obesitas

daripada rural (Dewi dan Sidiartha, 2013).

Obesitas dapat menjadi jelas pada setiap umur, tetapi obesitas tampak paling sering pada

satu tahun pertama pada usia 5-6 tahun, dan selama remaja. Penelitian yang dilakukan

Damayanti dkk di SD di sepuluh kota besar Indonesia periode 2002-2005 dengan metode acak.

Hasilnya menunjukkan prevalens obesitas pada anak-anak usia SD secara berurutan dari yang

tertinggi ialah Jakarta (25%), Semarang (24,3%), Medan (17,75%), Denpasar (11,7%), Surabaya

(11,4%), Padang (7,1%), Manado (5,3%), Yogyakarta (4%), dan Solo (2,1%). Rata-rata

prevalens obesitas di sepuluh kota besar tersebut mencapai 12,2% (Lumoindong dkk., 2013).

Gambar 2.1 Prevalens overweight dan obesitas di seluruh dunia (WHO, 2014)

Gambar 2.2 Prevalens overweight di seluruh dunia (WHO, 2014)


Gambar 2.3 Peningkatan prevalens obesitas di Amerika Serikat tahun 1963-2008
(Tchoubi dkk., 2015)

2.1.3. Patogenesis dan etiologi

Etiologi obesitas bersifat multifaktorial, namun penyebab dasarnya adalah

ketidakseimbangan antara kalori yang dikonsumsi dan yang dikeluarkan. Ketidakseimbangan ini

menyebabkan terjadinya penimbunan kelebihan energi di sel adiposit sehingga sel tersebut

mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Bertambahnya massa lemak tubuh berdampak pada

bertambahnya ukuran sel adiposit (hipertrofi) dan bertambahnya jumlah sel lemak (hiperplasia)

yang berhubungan dengan disfungsi adiposit intraselular terutama stress pada retikulum

endoplasma dan mitokondria. Hal ini menyebabkan diproduksinya sel adiposit abnormal, asam

lemak bebas/free fatty acid (FFA), dan penanda inflamasi. Makin berat disfungsi adiposit yang

terjadi, makin nyata manifestasi klinis dan komorbiditas obesitas (Kumar dan Kelly, 2016).

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi

(energy expenditures), sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam
bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh asupan energi yang

tinggi atau keluaran energi yang rendah (Stolzman dan Bement, 2012). Asupan energi tinggi

disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah

disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisis, dan efek termogenesis makanan

yang ditentukan oleh komposisi makanan. Lemak memberikan efek termogenesis lebih rendah

(3% dari total energi yang dihasilkan lemak) dibandingkan karbohidrat (6-7% dari total energi

yang dihasilkan karbohidrat) dan protein (25%

dari total energi yang dihasilkan protein) (Estrada dkk., 2014).

2.1.3.1. Gangguan pada kontrol homeostasis keseimbangan energi

Pada individu dengan obesitas, kadar leptin meningkat bila dibandingkan individu dengan

berat badan normal. Konsentrasi leptin proporsional dengan massa lemak tubuh baik pada

individu dengan obesitas maupun tidak. Obesitas bukan merupakan akibat dari defisiensi leptin

yang bersirkulasi, tetapi lebih karena resistensi terhadap leptin. Resistensi ini bisa terjadi pada

tingkat sirkulasi ataupun pada transpor leptin ke sistem saraf pusat (Han dkk., 2016; Bednarska-

Makaruk dkk., 2017).

Sebagian besar gangguan homeostasis energi ini disebabkan oleh faktor idiopatik (obesitas

primer atau nutrisional), sedangkan faktor endogen (obesitas sekunder atau non nutrisional),

yang disebabkan oleh kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik) hanya mencakup kurang

dari 10% kasus. Secara klinis obesitas idiopatik dan endogen dapat dibedakan sebagaimana

tercantum pada Tabel 2.1. (Moran, 1999).

Tabel 2.1. Karakteristik obesitas idiopatik dan endogen

Obesitas Idiopatik Obesitas Endogen


>90% kasus <10% kasus
Perawakan tinggi (umumnya >50th Perawakan pendek (umumnya <5th
persentil TB/U) persentil TB/U)
Riwayat obesitas dalam keluarga Riwayat obesitas dalam keluarga
umumnya positif umumnya negatif
Fungsi mental normal Fungsi mental seringkali retardasi
Usia tulang: normal atau advanced Usia tulang: terlambat (delayed)
Pemeriksaan fisis umumnya normal Terdapat stigmata pada pemeriksaan
fisis
Dimodifikasi dari Moran, 1999

2.1.3.2. Faktor genetik

Faktor genetik juga mempunyai peranan penting dalam patogenesis obesitas. Bentuk

obesitas dismorfik di mana faktor genetik berperan di antaranya sindrom Prader-Willi, sindrom

Ahlstrom, sindrom Laurence-Moon-Biedl, sindrom Cohen, dan sindrom Carpenter. Beberapa

penelitian menunjukkan hubungan antara variasi sekuens deoxyribonucleid acid (DNA) pada gen

tertentu dan terjadinya obesitas (Estrada dkk., 2014).

2.1.3.3. Asupan Makanan

Pada individu dengan obesitas dikatakan terdapat kelebihan masukan energi dibandingkan

pengeluaran energi sebanyak 30-40 kkal pada awalnya dan kemudian meningkat secara bertahap

untuk mempertahankan peningkatan berat badan. Jenis makanan yang dikonsumsi memegang

peranan penting dalam gangguan keseimbangan energi. Lemak mengandung lebih banyak kalori

dibandingkan karbohidrat atau protein. Tiap gram lemak mengandung 9 kalori, sementara

karbohidrat dan protein mengandung 4 kalori per gram. Diduga bahwa mekanisme yang

mengatur nafsu makan bereaksi lebih lambat pada lemak dibandingkan karbohidrat dan protein

sehingga rasa kenyang muncul lebih lambat. Peningkatan densitas makanan, porsi makanan, rasa

yang lebih enak, peningkatan ketersediaan dan biaya yang murah meningkatkan kejadian

obesitas (Sartika, 2011).


2.1.3.4. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik dapat dibagi menjadi aktivitas olahraga dan bukan olahraga. Aktivitas bukan

olahraga termasuk kegiatan terkait pekerjaan dan aktivitas hidup harian. Sulit untuk mengukur

energi yang dikeluarkan dalam aktivitas bukan olahraga. Secara umum, peningkatan perilaku

sedentary dan berkurangnya aktivitas harian dan pekerjaan bertanggungjawab terhadap obesitas.

Peningkatan pengeluaran energi dengan aktivitas fisik mempunyai peran yang positif dalam

mengurangi cadangan lemak dan mengatur keseimbangan energi, terutama bila dikombinasikan

dengan modifikasi diet (Leech dkk., 2014; Chorin dkk., 2015).

2.1.4. Diagnosis

Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali dengan tanda dan gejala yang khas

antara lain wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada yang

membesar dengan payudara yang membesar, perut membuncit dengan dinding perut yang

berlipat-lipat dan kedua tungkai umumnya berbentuk X. Untuk menegakkan diagnosis,

diperlukan pengukuran yang obyektif dengan pengukuran antropometrik dan laboratorik (Sjarif,

2011).

Pengukuran antropometrik pada umumnya berdasarkan atas metode pengukuran sebagai

berikut :

- Mengukur berat badan (BB) dan hasilnya dibandingkan dengan tinggi badan (TB) (BB/TB)

atau persentase berat badan dibandingkan dengan berat badan ideal (BBI) (BB/BBI x 100%).

Obesitas pada anak didefinisikan sebagai berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) di atas

persentil 90 atau lebih dari 120% dibandingkan BBI. Bila BB/BBI lebih besar 140% maka

dikategorikan sebagai superobesitas. Cara ini mencerminkan proporsi atau penampilan tetapi

tidak mencerminkan massa lemak tubuh. Hasil pengukuran menggunakan cara ini tidak dapat
digunakan untuk membedakan kemungkinan penyebab berat badan lebih, antara lain karena

otot atau karena terdapat edema (Sjarif, 2011).

- Indeks massa tubuh (IMT) merupakan metode yang berguna untuk menilai lemak tubuh dan

diukur dengan cara berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan

(dalam meter). The World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The National

Institutes of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert Committee on Clinical

Guidelines for Overweight in Adolescent Preventive Services telah merekomendasikan IMT

sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun (WHO, 2014).

Saat ini ada tiga klasifikasi yang digunakan untuk anak dan remaja yaitu CDC 2000 (Center

for Disease Control and Prevention 2000), IOTF (International Obesity Task Force), dan WHO

2006 (Rekomendasi IDAI, 2014). Klasifikasi IMT adalah cara yang praktis untuk menjaring gizi

lebih di pelayanan kesehatan primer. Bila pada hasil pengukuran didapatkan potensi gizi lebih (Z

score > +1 SD) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) > 110%, maka grafik IMT

sesuai usia dan jenis kelamin digunakan untuk menentukan adanya obesitas. Overweight dan

obesitas pada anak usia < 2 tahun ditegakkan jika Z score > +2 SD dan > +3 SD dengan

menggunakan grafik IMT WHO 2006 (Gambar 2.4; 2.5), sedangkan pada anak usia 2-18 tahun

menggunakan grafik IMT CDC 2000 (Gambar 2.6; 2.7). Ambang batas yang digunakan untuk

overweight adalah di atas P85 – P95, sedangkan obesitas adalah lebih dari P95 grafik IMT CDC

2000 (Rekomendasi IDAI, 2014).


Gambar 2.4. Kurva IMT berdasarkan usia anak lelaki (0-2 tahun)
menurut WHO 2006

Gambar 2.5. Kurva IMT berdasarkan usia anak perempuan (0-2 tahun)
menurut WHO 2006
Gambar 2.6. Kurva IMT berdasarkan usia anak lelaki (2-20 tahun)
menurut CDC 2000
Gambar 2.7. Kurva IMT berdasarkan usia anak perempuan (2-20 tahun)
menurut CDC 2000

2.1.5. Tatalaksana

Tatalaksana obesitas bersifat komprehensif mencakup penanganan obesitas dan dampak

yang terjadi. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta

meningkatkan keluaran energi dan mencakup pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik,

merubah pola hidup, dan keterlibatan keluarga dalam proses terapi (Sjarif, 2011).

2.1.5.1. Pengaturan diet


Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan

Recommended Daily allowance (RDA). Kalori yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan

normal. Pengurangan kalori berkisar 200-500 kalori sehari dengan target penurunan berat badan

0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan ditargetkan sampai mencapai kira-kira 10% di atas

berat badan ideal atau cukup dipertahankan agar tidak bertambah, karena pertumbuhan linier

masih berlangsung (Sjarif, 2011; Reed dkk., 2015).

2.1.5.2. Pengaturan aktivitas fisik

Cara yang dilakukan adalah melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian.

Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme.

Latihan aerobik teratur yang dikombinasikan dengan pengurangan energi akan menghasilkan

penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan hanya dengan diet. Aktivitas sehari-hari

dioptimalkan seperti berjalan kaki dan bersepeda ke sekolah, mengurangi lama menonton televisi

dan bermain games komputer, atau bermain di luar rumah. Aktivitas fisik sedang dianjurkan

selama 20-30 menit (Sjarif, 2011; Valle dkk., 2015).

2.1.5.3. Modifikasi perilaku

Prioritas utama dalam tatalaksana obesitas adalah perubahan perilaku dan perlu

menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi. Beberapa cara pengubahan perilaku

misalnya dengan pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan, dan aktivitas

fisik; kontrol terhadap rangsangan/stimulus terhadap keinginan untuk makan, mengubah perilaku

makan, mekanisme penghargaan dan hukuman, pengendalian diri dalam mengatasi masalah.

(Sjarif, 2011; Hallbach dan Flynn, 2013).

2.1.5.4. Terapi intensif


Terapi intensif diterapkan pada obesitas anak dan remaja yang disertai penyakit penyerta dan

tidak memberikan respons terhadap terapi konvensional. Terapi intensif terdiri dari diet berkalori

sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi, dan terapi bedah (Sjarif, 2011).

Diet berkalori sangat rendah

Terapi ini diindikasikan bila berat badan >140% dari berat badan ideal (superobesitas). Diet

yang paling sering diterapkan adalah protein sparing modified fast (PSMF). Diet ini membatasi

asupan kalori hanya 600-800 kalori/hari. Selain itu dianjurkan juga ditambah protein hewani 1,5-

2,5 g/kg berat badan ideal, suplementasi vitamin dan mineral serta minum lebih dari 1,5 liter

cairan per hari. Diet ini hanya boleh diterapkan selama 12 minggu di bawah pengawasan dokter

(Sjarif, 2011; Rekomendasi IDAI, 2014).

Farmakoterapi

Farmakoterapi untuk obesitas dibagi menjadi tiga kelompok yaitu penekan nafsu makan

(sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat gizi (orlistat), dan kelompok lain-lain (leptin,

octreotide, metformin). Akan tetapi penggunaan farmakoterapi untuk anak obesitas masih

dipertanyakan untuk keamanannya. Hanya orlistat yang sudah disetujui oleh Food and Drug

Administration (FDA) Amerika Serikat untuk tatalaksana obesitas pada usia di atas 12 tahun (Joo

dan Lee, 2014).

Terapi Bedah

Terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) pada prinsipnya ada dua yaitu mengurangi

asupan makanan atau memperlambat pengosongan lambung dengan cara gastric banding dan

vertical-banded gastroplasty, serta mengurangi absorpsi makanan dengan cara membuat gastric

bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus. Terapi ini dipertimbangkan bila remaja

mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah menjalani program yang terencana > 6
bulan. Indikasi bedah bariatrik pada remaja adalah superobesitas, secara umum sudah mencapai

maturitas tulang (pada perempuan umumnya ≥ 13 tahun dan laki-laki ≥ 15 tahun), dan menderita

komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan penurunan berat badan. Komplikasi yang

dapat terjadi di antaranya adalah hiatal hernia, infeksi luka, defisiensi mikronutrien, hingga

embolisme paru, syok, obstruksi usus, perdarahan pascabedah, kebocoran di tempat jahitan, dan

gizi buruk (Kumar dan Kelly, 2016).

2.1.6 Komorbiditas

Komorbid terkait obesitas pada anak hampir sama dengan orang dewasa. Secara umum,

komorbid ini dapat dikategorikan menjadi komplikasi medis dan psikososial. Konsekuensi medis

dapat menimbulkan efek metabolik, yang melibatkan sistem kardiovaskuler, endokrin,

gastrointestinal, dan renal, dan juga efek mekanik yang melibatkan sistem pulmonal, skeletal,

dan sistem saraf pusat (Gambar 2.8) (Abdelaal dkk., 2017).

Gambar 2.8 Komplikasi obesitas pada anak (Abdelaal dkk., 2017)

2.1.6.1 Sistem endokrin


Obesitas mempunyai dampak negatif pada perubahan aksis glukosa/insulin dan atau

metabolisme lipid. Laju sekresi insulin meningkat secara bermakna pada kelompok obesitas bila

dibandingkan dengan kelompok dengan berat badan normal. Akan tetapi tidak terdapat

perbedaan pada bersihan insulin atau ekstraksi insulin hepatik pada kedua kelompok.

Abnormalitas pada metabolisme glukosa yang terjadi secara dini pada anak dengan obesitas

merupakan respon insulin terhadap stimulus makanan dan ambilan glukosa maksimal menurun

sesuai umur dan durasi obesitas. Dapat disimpulkan bahwa efek negatif obesitas yang paling

awal adalah terjadinya resistensi insulin (Banerjee dan Schuster, 2012; Estrada dkk., 2014).

2.1.6.2 Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik terdiri dari hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia dan obesitas di mana

lemak tubuh dan resistensi insulin dianggap sebagai masalah utama. Penelitian oleh Goodman

menunjukkan bahwa obesitas memberikan pengaruh maksimal pada risiko kardio-metabolik

kumulatif. Setiap komponen dari kompleks sindrom ini bertambah buruk seiring dengan

berkembangnya obesitas dan tidak tergantung pada umur, jenis kelamin, dan status pubertas

(Banerjee dan Schuster, 2012; Valle dkk., 2015).

2.1.6.3 Diabetes Mellitus (DM) tipe 2

Prevalens dari DM anak meningkat secara bermakna selama dekade terakhir dengan

variabilitas yang bermakna berdasarkan ras dan etnik. Data tentang peningkatan insiden dan

prevalens DM pada remaja menunjukkan bahwa resistensi insulin dan peningkatan lemak total

dan lemak viseral memegang peranan dalam terjadinya DM pada remaja, sama seperti pada

orang dewasa. Obesitas dihubungkan dengan kadar TNF-α yang menyebabkan peningkatan

pelepasan asam lemak bebas pada adiposit, blokade sintesis adiponektin, dan aktivasi reseptor

insulin. Selain itu, IL-6, yang sebagian besar dihasilkan oleh makrofag dan adiposit,
mempengaruhi toleransi glukosa dengan memberikan efek antagonis terhadap sekresi

adiponektin dan dengan meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan menghambat

glikogenesis. Terdapat banyak adipokin seperti resistin, adipsin, dan lainnya yang dianggap

merupakan missing link antara obesitas dan resistensi jaringan target terhadap insulin

menyebabkan terjadinya DM. Obesitas dengan onset dini dianggap lebih suseptibel terhadap DM

dan komplikasinya (Banerjee dan Schuster, 2012; Xiao dkk., 2015).

2.1.6.4 Gangguan ginekologi

a. Sindrom ovarium polikistik

Penyakit ovarium polikistik merupakan salah satu kelainan endokrin yang paling umum dan

dimulai pada usia remaja. Seringkali penyakit ini disertai dengan hiperandrogenisme dan

hiperinsulinemia. Meskipun mekanisme untuk hubungan ini masih belum jelas, diduga bahwa

kadar insulin yang tinggi berperan dalam pertumbuhan kista ovarium akibat dari efek anabolik

insulin pada reseptor Insulin-like Growth Factor (IGF) ovarium. Hingga 30% wanita dengan

penyakit ovarium polikistik mengalami obesitas/overweight. Obesitas dapat memperburuk

gambaran sindrom ovarium polikistik dengan meningkatkan resistensi insulin, diabetes, dan

sindrom metabolik. Kondisi ini dapat berujung pada infertilitas. Prevalens gangguan toleransi

glukosa pada wanita muda dengan obesitas dengan sindrom ovarium polikistik diperkirakan

sebanyak 30-40%, dengan tambahan sekitar 5-10% mengalami DM (Banerjee dan Schuster,

2012; Estrada dkk., 2014).

b. Gangguan menstruasi
Berat badan dan lemak tubuh dianggap merupakan trigger fisiologis menarche yang

bermakna. Oleh sebab itu, anak perempuan dengan obesitas sering mengalami menarche

sebelum usia 10 tahun. Obesitas juga dapat menyebabkan oligomenorrhea atau amenorrhea,

yang meningkatkan risiko untuk terjadinya kehamilan yang sulit (Banerjee dan Schuster, 2012;

Estrada dkk., 2014).

2.1.6.5. Sistem kardiovaskuler

a. Hipertensi

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas pada anak-anak merupakan determinan

utama dari faktor risiko kardiovaskuler pada masa dewasa. Selain peningkatan jaringan adiposa

secara keseluruhan, obesitas dikaitkan dengan peningkatan penyakit aterotrombotik dan

peningkatan petanda inflamasi. Hipertensi, terutama tekanan darah sistolik, pada anak dan

remaja berhubungan erat dengan jaringan lemak. Ketebalan intima media, suatu petanda non

invasif untuk perubahan aterosklerotik dini, ditemukan meningkat secara bermakna pada anak

dengan obesitas dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami obesitas dengan umur, jenis

kelamin, dan tingkat pubertas yang sama (Banerjee dan Schuster, 2012; Virdis dkk., 2014).

b. Hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit arteri koroner

Onset hipertrofi ventrikel kiri dipercaya bermula dari masa remaja dan berkembang menjadi

risiko penyakit kardiovaskuler pada masa dewasa muda. Penelitian oleh Maggio menemukan

onset dari hubungan antara obesitas dengan hipertrofi ventrikel kiri pada kelompok usia

prapubertas dan menyarankan untuk memulai pencegahan dan pengobatan obesitas untuk
mencegah kerusakan organ. Penelitian Harvard Growth Study pada tahun 1922-1935

menemukan bahwa mengalami overweight pada usia remaja berhubungan dengan peningkatan

risiko relatif hingga dua kali pada kematian akibat penyakit arteri koroner, dan tidak tergantung

dari berat badan saat dewasa. Oleh karena itu, pasien-pasien ini dengan penuaan usia vaskuler,

memerlukan tatalaksana intensif, termasuk farmakoterapi untuk modifikasi faktor risiko, dengan

tujuan akhir adalah menghentikan progresifitas aterosklerosis dan menurunkan risiko morbiditas

dan mortalitas (Banerjee dan Schuster, 2012; Katsiki dkk., 2017).

2.1.6.6 Sistem gastrointestinal

a. Steatohepatitis non-alkoholik

Insiden steatosis hepatik pada anak dengan obesitas sebesar 38%. Penyebab dasarnya belum

diketahui, tetapi kondisi ini dikaitkan dengan DM, obesitas, penurunan berat badan yang cepat,

dan hiperlipidemia, di mana semua kondisi ini ditandai oleh gangguan metabolisme lemak.

Steatosis non-alkoholik merupakan komplikasi hepatik primer dari obesitas dan resistensi

insulin, dan dapat dianggap sebagai manifestasi hepatik dini dari sindrom metabolik. Pada anak-

anak, penelitian menunjukkan peningkatan aktivitas lipolisis jaringan adiposa meningkat dan

menghasilkan peningkatan laju pelepasan asam lemak ke dalam plasma sepanjang hari. Hal ini

mendukung hipotesis bahwa resitensi insulin berpengaruh pada patogenesis steatosis dan

berkontribusi terhadap komplikasi metabolik yang berhubungan dengan steatosis non alkoholik.

Lemak terakumulasi terutama pada jaringan adiposa namun dapat pula pada otot dan hati.

Rangkaian proses akumulasi trigliserida ektopik yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin

disebut dengan hipotesis overflow. Derajat berat dari penyakit ini dapat berkembang menjadi

fibrosis dan sirosis hepatis (Banerjee dan Schuster, 2012; Valle dkk., 2015).
b. Batu empedu

Dislipidemia yang diinduksi oleh obesitas menyebabkan peningkatan ekskresi kolesterol

oleh sistem bilier sehingga meningkatkan kecenderungan untuk pembentukan batu empedu.

Kondisi ini terjadi tanpa adanya penyakit dasar seperti gangguan hemolitik. Obesitas

menyebabkan 8 hingga 33% batu empedu pada anak, dengan resistensi insulin dan sindrom

metabolik merupakan faktor risiko potensial yang lain (Banerjee dan Schuster, 2012; Valle dkk.,

2015).

2.1.6.7 Sistem renal

Obesitas memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit ginjal kronis. Obesitas

merupakan predisposisi untuk nefropati diabetikum, nefrosklerosis hipertensi,

glomerulosklerosis fokal segmental dan urolitiasis. Meskipun tidak ada komorbid yang lain,

obesitas menyebabkan perubahan struktural seperti glomerulomegali dan penebalan basal

membran glomerulus yang menyebabkan terjadinya nefropati obesitas. Modifikasi fisiologis

pada hemodinamika renal pada obesitas terdiri atas hiperfiltrasi yang berhubungan dengan

hiperperfusi, yang secara bersamaan menyebakan gangguan renal. Peningkatan laju filtrasi ginjal

ditemukan pada individu overweight dibandingkan normal, secara bermakna berkorelasi positif

dengan IMT dan resistensi insulin (Banerjee dan Schuster, 2012; Reed dkk., 2015).

2.1.6.8 Sistem pulmonal

a. Obstructive sleep apnea

Prevalens OSA pada anak dengan obesitas diperkirakan sekitar 7%. Dibandingkan dengan

anak normal, anak dengan obesitas berisiko 6 kali lebih besar untuk mengalami OSA. Kondisi ini

mengakibatkan somnolen pada siang hari dan defisit neurokognitif seperti gangguan memori dan
konsentrasi akibat dari kualitas tidur yang buruk. Gangguan tidur ini juga berhubungan dengan

peningkatan petanda inflamasi seperti CRP dan IL-6. Perubahan hormonal yang ditemukan pada

OSA termasuk penurunan leptin, peningkatan ghrelin, peningkatan kadar insulin, dan penurunan

sensitivitas insulin. Etiologi dari perubahan ini masih belum jelas tetapi kemungkinan besar

karena hipoksemia intermiten yang mempotensiasi kaskade inflamasi yang menstimulasi

inflamasi sistemik (Banerjee dan Schuster, 2012; Estrada dkk., 2014).

b. Hiperaktivitas bronkial dan eksaserbasi asma

Obesitas dikatakan berhubungan secara bermakna dengan asma pada anak dan remaja

dengan hubungan yang lebih kuat pada anak non atopik dibandingkan anak yang atopik.

Inflamasi sistemik diduga sebagai penyebab kondisi ini. Anak dengan obesitas dan overweight

menunjukkan penurunan respon terhadap steroid inhalasi pada asma. Jaringan lemak pada anak

dan remaja berhubungan dengan peningkatan risiko asma secara bermakna dan meningkatkan

ketergantungan terhadap obat-obatan dalam jangka panjang. Ketidakmampuan untuk berolahraga

meningkatkan progresifitas obesitas dan siklus tersebut terus berlanjut (Banerjee dan Schuster,

2012; Estrada dkk., 2014).

2.1.6.9 Sistem muskuloskeletal

Obesitas pada masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan derajat

keparahan masalah ortopedik pada anak. Gangguan ortopedik ini akibat dari peningkatan tekanan

dan peregangan pada tulang dan tulang rawan yang tidak dirancang untuk membawa beban yang

berlebih. Gangguan ortopedik yang umum termasuk melengkungnya tibia dan femur yang

menyebabkan pertumbuhan berlebih bagian medial metafisis tibial proksimal atau sindrom

Blount dan bergesernya epifisis femoralis akibat dari peningkatan beban pada growth plate sendi

panggul. Obesitas pada saat growth spurt dapat meningkatkan kecenderungan fraktur saat jatuh
karena perkembangan tulang tidak dapat mengatasi beban yang berlebih. Ketidakseimbangan

berat badan dan tulang ini juga memberikan tekanan tinggi pada tulang dan sendi yang sedang

berkembang yang menghasilkan kerusakan sendi dan terjadinya osteoarthritis pada usia-usia

berikutnya. Terjadinya fraktur yang lebih berat dan kelainan tulang meningkatkan kemungkinan

pembedahan yang kompleks dan penggantian sendi, terutama pada trauma pediatrik, dan

meningkatkan beban fisik maupun financial (Banerjee dan Schuster, 2012; Abdelaal dkk., 2017).

2.1.6.10 Sistem saraf pusat

Corbett dkk., melaporkan peningkatan insiden hipertensi intrakranial idiopatik pada usia

relatif muda yaitu di bawah 20 tahun sebesar 90% pada pasien anak dengan obesitas. Sekitar 30-

50% anak dengan pseudotumor serebri mengalami obesitas dan tidak berhubungan dengan

infeksi atau obat-obatan. Diperkirakan bahwa peningkatan tekanan intraabdominal akibat

obesitas meningkatkan tekanan intratorakal yang ditransmisikan ke kepala sebagai peningkatan

resistensi dari venous return ke otak (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.6.11 Konsekuensi psikososial

Obesitas pada anak merupakan proses dinamis yang melibatkan aspek perilaku, kognitif, dan

emosional. Hubungan antara obesitas dan masalah psikologis bersifat siklik, di mana gangguan

psikologis yang bermakna secara klinis dapat meningkatkan berat badan dan obesitas dapat

menyebabkan masalah psikososial lebih lanjut. Depresi pada orang dewasa berhubungan dengan

obesitas pada masa remaja. Wanita dikatakan mempunyai hubungan yang lebih kuat

dibandingkan laki-laki. Pasien wanita pada umumnya mempunyai perhatian yang obsesif

terhadap stigma sosial terhadap citra tubuh, rasa percaya diri yang rendah, dan persepsi diri yang
buruk mengenai penampilan fisik. Harapan akan penolakan menyebabkan depresi lebih lanjut.

Remaja overweight seringkali melaporkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan pada

aspek fisik, emosional, dan sosial. Remaja dengan obesitas dapat memiliki pendidikan yang lebih

rendah, pendapatan yang lebih rendah, dan peningkatan laju kemiskinan (Banerjee dan Schuster,

2012; Halfon dkk., 2013).

2.2 Inflamasi pada Obesitas


Pada obesitas terjadi inflamasi sistemik kronis derajat rendah, yang akan meningkatkan

risiko terjadinya berbagai macam penyakit (Hajjar dan Gotto, 2013; Kumar dan Kelly, 2016).

Jaringan lemak selain sebagai tempat penyimpanan energi lemak juga merupakan organ endokrin

yang aktif memproduksi substansi bioaktif yang disebut adipokin. Adipokin serum meningkat

sejalan dengan massa lemak, terutama lemak viseral. Dari berbagai adipokin yang diekspresikan

sel lemak terdapat sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-1β dan TNF-α, sehingga semakin

luas simpanan jaringan lemak pada orang obesitas, akan semakin meningkat juga kadar sitokin-

sitokin pro-inflamasi (Gambar 2.9) (Breslin dkk., 2012; Samad dan Ruf, 2013; Mengel dkk.,

2017).

Gambar 2.9. Perubahan yang terjadi pada populasi sel imun serta sitokin yang dihasilkan
pada jaringan lemak pada obesitas
(Samad dan Ruf, 2013).

2.3 Hipertensi pada Obesitas

2.3.1 Definisi Hipertensi


Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and Treatment

of High Blood Pressure in Children and Adolescents (2004) adalah sebagai berikut:

- Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan/atau diastolik lebih dari persentil

95 berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan pada pengukuran sebanyak tiga kali atau

lebih.

- Prehipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik antara persentil

90 dan 95. Anak remaja dengan nilai tekanan darah di atas 120/80 mmHg harus dianggap

suatu prehipertensi.

- Hipertensi stadium 1 adalah nilai tekanan darah sistolik dan atau tekanan darah diastolik

berada diantara persentil 95 dan 99 ditambah dengan 5 mmHg.

- Hipertensi stadium 2 adalah nilai tekanan darah sistolik dan atau tekanan darah diastolik

berada diatas persentil 99 ditambah dengan 5 mmHg.

- Tekanan darah normal pada anak didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dan tekanan

darah diastolik yang kurang dari persentil ke 90 berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi

badan.

Hipertensi pada anak dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder.

Hipertensi sekunder terjadi karena adanya penyakit dasar yang menyebabkan hipertensi misalnya

kelainan parenkim ginjal yang merupakan penyebab tersering sedangkan hipertensi primer atau

esensial muncul tanpa adanya penyakit dasar namun terdapat faktor-faktor risiko sebelumnya

seperti riwayat keluarga dengan hipertensi, peningkatan IMT dan sindrom metabolik termasuk

obesitas (Hall dkk., 2015; Lurbe dkk., 2016).

Sebagian besar subjek dengan tekanan darah tinggi adalah overweight, dan hipertensi lebih

sering terjadi pada obesitas. Prevalens hipertensi yang disertai dengan obesitas semakin
meningkat. Hal ini tidak saja terjadi di negara maju, tetapi juga menjadi masalah di negara

berkembang. Hal ini berkaitan erat dengan arus globalisasi dan perubahan pola hidup,

yang menyebabkan peningkatan prevalens overweight ataupun obesitas. Perubahan pola hidup

yang negatif berdampak negatif terhadap respon tubuh. Hal ini menyebabkan perubahan

metabolik dan kejadian adipositopati (Aronovitch dkk., 2014).

2.3.2 Patofisiologi Hipertensi pada Obesitas

Individu dengan obesitas menunjukkan tekanan darah yang lebih tinggi saat bekerja ataupun

istirahat mulai dari usia anak-anak sampai dewasa. Individu dengan obesitas menunjukkan

tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu tanpa obesitas meskipun tekanan

darah masih dalam rentang nilai normal (Lumoindong dkk., 2013).

Patofisiologi terjadinya hipertensi pada obesitas hingga saat ini masih terus dipelajari dan

berbagai macam faktor berperan di dalamnya (Gambar 2.10). Aktivasi sistem saraf simpatik

diperkirakan berfungsi penting dalam patogenesis hipertensi yang berkaitan dengan obesitas.

Diet tinggi lemak dan karbohidrat secara akut menstimulasi reseptor α1 dan β-adrenergik perifer,

menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis dan hipertensi. Aktivitas simpatis menyebabkan

hilangnya fungsi sensitivitas baroreseptor yaitu hilangnya respon denyut jantung terhadap

perubahan tekanan darah. Hal ini disertai dengan peningkatan kekakuan pembuluh darah arteri

besar di tempat baroreseptor berada yang memicu terbentuknya lesi arteriosklerotik. Penelitian

mendapatkan peningkatan ketebalan intima media arteri karotid pada individu dengan obesitas,

bahkan pada tekanan darah dengan rentang normal, menunjukkan proses terbentuknya

aterosklerosis terjadi lebih dini pada obesitas (Kotsis dkk., 2010; Kalil dan Haynes, 2012).
Pada obesitas dengan hipertensi terjadi juga peningkatan kadar FFA. Distribusi abnormal

FAA meningkatkan sensitivitas α-adrenergik pembuluh darah dan berdampak pada

meningkatnya efek dari α-adrenergik (Kotsis dkk., 2010).

Tekanan arteri mengontrol mekanisme diuresis dan natriuresis berdasarkan prinsip umpan

balik. Pada individu dengan obesitas terjadi perubahan yaitu aktivitas renin plasma, kadar

angiotensinogen, angiotensin II dan aldosteron meningkat secara bermakna selama obesitas.

Pada obesitas akan timbul retensi natrium karena meningkatnya reabsorpsi natrium di tubulus

ginjal. Jumlah cairan ekstraselular mengalami peningkatan dan aparatus ginjal yang berhubungan

dengan cairan mengalami pengaturan ulang. Inflamasi juga memicu perubahan fungsi pembuluh

darah dan mengakibatkan hipertensi. Leptin dan neuropeptida lainnya yang meningkat pada

obesitas memicu terjadinya hipertensi dengan cara mengaktifkan sistem saraf di hipotalamus

yang memicu stimulasi aktivitas simpatis (Kotsis dkk., 2010; Kalil dan haynes, 2012).

Gambar 2.10. Mekanisme terjadinya hipertensi pada obesitas (Kotsis dkk., 2010).
Penurunan dari bioavailabilitas NO dilaporkan memegang peranan penting pada terjadinya

disfungsi endotel pada obesitas yang berhubungan dengan hipertensi. Nitrit oksida merupakan

mediator predominan dari fungsi vaskuler yang normal, yang dirilis oleh endotel yang sehat di

sepanjang dinding pembuluh darah. Penurunan dari bioavailabilitas NO sebagai konsekuensi dari

melepaskan endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan meningkatnya aktivitas enzim

NAD(P)H oksidase, dan meningkatnya produksi dari endothelium-derived contracting factors

(EDCFs) (prostanoids, angiotensin II, dan endothelin I) berimplikasi pada disfungsi endotel pada

obesitas dengan hipertensi (Lobato dkk., 2012; Ramseyer dan Garvin, 2013; Iantorno dkk.,

2014).

2.4 Sitokin proinflamasi Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α)

Tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) adalah salah satu mediator pro inflamasi yang paling

penting, yang terutama diproduksi di adiposit dan/atau jaringan perifer, dan mempengaruhi

inflamasi jaringan spesifik melalui perkembangan generasi dari reactive oxygen species (ROS)

dan aktivasi dari jalur mediasi transkripsional. Tumor Necrosis Factor alpha adalah sitokin

proinflamasi yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag dan limfosit, dan sedikit oleh

jaringan adiposa. Tumor Necrosis Factor alpha adalah bagian dari mediator peptida yang

memegang peranan penting pada imunitas, proliferasi sel, dan proses apoptosis. Peningkatan

kadar TNF-α pada pasien obesitas diperkirakan bukan karena produksi yang berlebih oleh

jaringan adiposa. Diperkirakan bahwa efek sistemik leptin atau adipokin lainnya dapat

menginduksi sekresi TNF-α dari makrofag dan limfosit. Dua efek TNF-α yang bermakna secara

klinis pada anak dan orang dewasa obesitas adalah perubahan inflamasi endotel dan

aterosklerosis (Popa dkk., 2007; Arslan dkk., 2010; Mantovani dkk., 2016).
2.5. Hubungan Hipertensi dengan TNF-α

Terdapat beberapa bukti yang mendukung bahwa disfungsi endotel vaskular merupakan

salah satu patogenesis hipertensi. Obesitas dan hipertensi yang menyertai obesitas ditemukan

berkaitan dengan peningkatan kadar TNF-α dan IL-6. Peningkatan kadar IL-6 dan TNF-α pada

anak dengan faktor risiko aterosklerosis, khususnya obesitas, mengkonfirmasi adanya proses

inflamasi pada fase awal aterosklerosis (Lau dkk., 2005; Arslan dkk., 2010). Aterosklerosis

merupakan salah satu jenis penyakit kardiovaskular berupa terbentuknya plak yang terdiri dari

kolesterol, lemak, produk sisa dari sel, kalsium dan fibrin yang berada di dalam arteri dan

hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis (American Heart Association,

2014).

Meningkatnya lemak viseral meningkatkan kadar IL-6, TNF-α dan CRP, dan menurunkan

kadar adiponektin dan IL-10, menyebabkan suasana yang mendukung proses inflamasi yang

mengarah baik ke resistensi insulin maupun disfungsi endotel, dan memuncak di dalam sindrom

metabolik, diabetes, dan aterosklerosis (Lau dkk., 2005).

Anda mungkin juga menyukai