Anda di halaman 1dari 11

KORUPSI DI INDONESIA

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pendidikan dan
Kewarganegaraan

Disusun Oleh :
Zulfan Jauhar Maknuny 140910180009

UNIVERSITAS PADJADJARAN
Jl. Raya Bandung Sumedang KM. 21, Hegarmanah, Jatinangor, Kabupaten
Sumedang. Jawa Barat 45363

2018
Dalam usianya yang ke-73 tahun, Indonesia masih saja menyimpan banyak masalah,
dimulai dari masalah ekonomi, kesejahteraan, pemerintahan, hingga korupsi. Belum lagi
masalah-masalah mikro yang tidak diketahui secara gamblang oleh rakyat. Dari sekian banyak
masalah tersebut, korupsi menjadi masalah yang sering kali diangkat di media massa. Bahkan
Prabowo Subianto, yang merupakan salah satu calon presiden, mengatakan bahwa korupsi di
Indonesia sudah menginjak stadium empat. Meskipun Ketua KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), Agus Rahardjo, tidak sepakat dengan pernyataan yang dilontarkan Prabowo Subianto,
namun hal ini menjadi pelajaran bahwa korupsi di Indonesia memang sudah gawat. Ditambah
dengan data yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018 ini, 29 kepala daerah; baik
gubernur, bupati, maupun wali kota, terjerat kasus korupsi. Sehingga pantas saja bila masyarakat
dari kelas bawah hingga elite ada yang berpandangan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat
gawat, dan bisa disebut, menginjak stadium empat.

Sebelum membahas korupsi lebih jauh, alangkah baiknya untuk memahami korupsi
secara definisi, bentuk, dan sebagainya. Secara definisi, korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu
corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar
balik, menyogok. Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.
Ketika membahas tentang korupsi memang akan ditemukan kenyataan seperti hal-hal yang telah
disebutkan sebelumnya karena korupsi menyangkut sifat dan kondisi yang negatif, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintah, segi-segi moral, penyimpangan kekuasaan dalam jabatan
dikarenakan pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.1

Dilihat dari segi hukum yang termasuk dalam tindak pidana korupsi dibahas dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
berbunyi: 

“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya


diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

1
Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi, edisi kedua, hlm. 9. Jakarta: Sinar Grafika.
Perubahan serta perkembangan hukum merupakan salah satu untuk mengantisipasi
korupsi, hal tersebut dikarenakan korupsi adalah salah satu bentuk tindakan kriminal yang
semakin sulit untuk diraih oleh aturan hukum pidana. Korupsi cenderung memiliki muka yang
banyak yang artinya memerlukan kemampuan kritis aparat pemeriksaan dan penegakan hukum
disertai pola perbuatan yang sedemikian rapi.2 Korupsi membentuk masalah yang saling
berkaitan dan ruwet, antara lain masalah lingkungan sosial, pola hidup, budaya, masalah moral,
sistem ekonomi, politik dan sebagainya.

Dalam perjalanannya tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini telah tumbuh dalam tiga
fase. Fase pertama yaitu elitis, korupsi masih menjadi perilaku menyimpang yang dilakukan di
lingkungan para elite atau pejabat. Tahap selanjutnya yaitu tahap endemic, korupsi menjangkit
hingga lapisan masyarakat luas. Kemudian pada tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi
membentuk sebuah sistem terstruktur, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit ini.
Penyakit korupsi di Indonesia ini telah kritis yang sampai pada tahap sistematik. Tindak pidana
korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes) hal tersebut
dikarenakan perilaku korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi masyarakat dan
hak-hak sosial. Dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut tidak lagi dapat dilakukan “secara
biasa”, tetapi dituntut cara-cara yang “luar biasa “ (extra-ordinary enforcement).

Menurut Mochtar Lubis, korupsi dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu pemerasan,
penyuapan, dan pencurian. Pemerasan, yakni apabila orang yang memegang kekuasaan menuntut
membayar uang atau jasa lain sebagai ganti atas imbal balik fasilitas yang diberikan. Kemudian
penyuapan, yakni apabila seorang pengusaha menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang
atau aparat negara untuk suatu jasa bagi pemberi uang. Terakhir, pencurian, yakni apabila orang
yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaan dan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak
langsung.

Korupsi juga dapat diketahui dengan ciri-ciri yang disebut oleh Syed Hussein Alatas,
yakni korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang; orang-orang yang melakukan korupsi
biasanya berusaha untuk menutupi perbuatannya tersebut dengan berlindung di balik
pembenaran hukum; pada umumnya korupsi melibatkan keserbarahasiaan; korupsi melibatkan
elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; dalam setiap tindak korupsi mengandung
2
Surachim dan Cahaya, Suhandi. 2011. Strategi dan Tekni Korupsi, cetakan pertama, hlm. 11. Jakarta: Sinar
Grafika.
penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum; orang-orang yang terlibat korupsi
merupakan mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan juga mereka yang
mampu untuk memengaruhi keputusan-keputusan tersebut; semua bentuk korupsi merupakan
suatu pengkhianatan atas kepercayaan.

Syed Hussein Alatas juga mengatakan, bahwa korupsi disebabkan oleh beberapa faktor,
yakni; kemiskinan; kurangnya pendidikan; tiadanya tindak hukum yang tegas; perubahan radikal;
struktur pemerintah; kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika; kelangkaan lingkungan
yang subur untuk perilaku antikorupsi; keadaan masyarakat.

Sebenarnya asal mula atau akar dari korupsi di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Meskipun para akademisi terus berupaya untuk menggali secara mendalam. Hingga mereka
masih menduga bahwa korupsi ini berakar dari zaman penjajahan kolonial Belanda, zaman
penjajahan Jepang, Orde Lama, ataukah Orde Baru. Saat ini hanya bisa menerima bahwa korupsi
di Indonesia terjadi dalam lingkup politik, hukum dan korporasi.

Masyarakat saat ini sering kali mengaitkan masalah korupsi dengan era Orde Baru.
Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa era Orde Lama dan bahkan hari ini, era reformasi, korupsi
telah dan masih merajalela. Korupsi yang menjadi permasalahan pertama di Indonesia pada masa
reformasi merupakan warisan dari kolonial yang diperburuk oleh Orde Baru (Peter Carey, 2017).
Lalu menurut Sri Margana (2017), birokrasi patrimonialisti yang diaserap oleh pemerintah Jawa
maupun pemerintah kolonial Belanda, adalah aspek pendorong praktik-praktik korupsi. Dalam
birokrasi patrimonial terjadi kekuasaan yang cenderung terpusat, dimana kekuasaan digenggam
oleh kelompok atau perseorangan tertentu yang memonopoli dan membagikan kekuasaannya ke
orang-orang yang dipercayanya, yang tidak akan mengancam kekuasaannya dan malah
melanggengkan kekuasaannya.

Antopolog James C. Scott (1972), menyebutkan sebuah istilah: relasi patron-klien. Patron
atau “penguasa” menggunakan tangan kekuasaanya untuk memberikan perlindungan dan
keuntungan kepada seseorang dengan kedudukan yang lebih rendah—disebut klien atau “anak
buah”. Sebagai ganti atas perlindungan tersebut, klien memberikan “dukungan dan bantuan”,
termasuk pelayanan pribadi dan privasi kepada patron.3

3
Patron Client Politics and Political Change in Southeast Asia
Dapat disayangkan, meskipun kemerdekaan telah diraih, praktek korupsi di seluruh sudut
pemerintahan sejak masa kolonial terus tumbuh dikarenakan tidak terdapat usaha yang
terstruktur dan masif untuk menghilangkan praktek korupsi tersebut.

Menurut Benedict Anderson (1983), bentuk institusional kenegaraan yang dipandang


modern ternyata masih mengadopsi karakteristik kolonial meskipun pasca kemerdekaan
Indonesia berhasil menciptakan masyarakat yang baru.

Hal tersebut tampak pada saat era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto berkuasa
praktik korupsi dibiarkan berlangsung asalkan para aparatur sipil dan elite pemerintahan
mendukung kelanggengan Orde Baru, hal tersebut merupakan adopsi dari gaya birokrasi
patrimonialistik. Bisa jadi hal ini yang menjadi tolok ukur bagi masyarakat dalam menilai bahwa
korupsi yang masif di hari ini, disebabkan oleh era Orde Baru.

Meskipun rezim Orde Baru ini diawali dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
berkelanjutan. Namun, Soeharto mengamalkan sistem relasi patron-klien untuk mendapatkan
dukungan penuh bawahannya, anggota elite nasional dan kritikus terkemuka. Dengan menawar-
nawarkan potensi bisnis atau bahkan kursi di pemerintahan kepada mereka yang tentunya bukan
lagi dalam skala kecil. Dengan begitu Soeharto mendapatkan dukungan dari mereka. Dengan
Angkatan Bersenjata (termasuk aparat intelijen) dan pendapatan sumber daya nasional sangat
besar, yang berasal dari produksi minyak bumi, yang dia gunakan dalam meraih kedudukan
puncak dalam sistem politik dan ekonomi nasional.

Dalam membangun kebijakan ekonomi Soeharto bertindak selayaknya oligarki dengan


mengutamakan masukkan dari sekelompok kecil orang kepercayaannya. Kelompok ini terdiri
dari tiga kategori, yakni para nasionalis ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar
pemerintah dalam perekonomian); para kroni kapitalis (yang terdiri dari anggota keluarga dan
beberapa konglomerat etnis Cina kaya); dan para teknokrat yang dilatih di Amerika Serikat
(USA-trained technocrats). Terkadang, ketiga kategori di atas dituduh melakukan tindak korupsi
namun sebagian besar penekanan mengarah ke lingkaran kecil kolega (terutama anak-anak
Soeharto) yang merupakan penerima manfaat utama dari alur yang ditempuhnya—oleh karena
itu mereka tidak disukai oleh masyarakat dan para pengusaha dalam negeri—dan sering
menjalankan monopoli bisnis yang besar namun berjalan dengan sedikit, atau bahkan tanpa
pengawasan.
Salah satu ciri yang khas dari era Orde Baru Soeharto adalah korupsi tersebut bersifat
sentral atau terpusat dan cenderung gamblang. Para penanam modal dan pengusaha sudah
mengetahui besaran dana yang perlu mereka siapkan untuk biaya-biaya yang harus ‘disetorkan’
dan tentunya mereka sudah mengetahui mana saja yang perlu mereka sogok. Selain itu, ada pula
taktik yang lain, yaitu memasukkan kolega Soeharto dalam kegiatan bisnis. Pola tersebut pun
terjadi di tingkat lokal yaitu gubernur dan komandan militer setempat dapat menggunakan hak
istimewa yang sama seperti di pusat namun mereka selalu sadar dapat terkena hukuman dari
pusat jika mereka mendorongnya terlalu jauh.4

Bukan saja perilaku menyimpang yang cenderung dilegalkan, bahkan presiden sendiri,
keluarga, dan kolega terdekatnya turut andil dalam praktek korupsi tersebut. Kontrak-kontrak
bisnis negara dengan skala besar akan dilimpahkan kepada keluarga Soeharto atau kolega-
koleganya. Perilaku koruptif yang terstruktrur dan menjalar inilah yang terus tumbuh dan
berkembang walaupun Soeharto telah kandas.

Polanya terus berulang, yakni reformasi mampu melahirkan pemimpin dan masyarakat
yang baru, tetapi tidak mampu mengembangkan suatu model birokrasi yang berbeda dan jauh
lebih baik dari Orde Baru.

Etos yang dilahirkan oleh era reformasi, yakni transparansi, memang mampu memangkas
praktik korupsi, tetapi hanya terjadi dengan baik di tingkat ecek-ecek. Karena itu, sebetulnya apa
yang negara ini lakukan adalah memerangi manifestasi praktik koruptif yang telah melembaga
sejak zaman kolonial. Di level atas, korupsi tetap saja dapat dianggap lumrah.

Kemudian KPK muncul membawa angin segar dengan menjelma institusi yang begitu
cekatan dalam memberantas korupsi di kalangan atas. Akan tetapi, kenyataannya para kalangan
atas pemerintahan dan politik tak juga jera dan terus berupaya mencari celah untuk melakukan
korupsi kembali. Yang mengundang perhatian publik dan memalukan adalah panitia khusus hak
angket DPR melakukan serangan balik terhadap KPK karena dianggap telah berani dalam
membuka kasus E-KTP yang melibatkan banyak anggota DPR. Hal ini membuktikan bahwa para
politisi di DPR menghalalkan cara apa pun dengan menggunakan kekuatan legislatifnya untuk
melemahkan KPK.

4
Indonesia-investments.com
Dalam masalah korupsi Peter Carey (2017) menggaris bawahi bahwa masih mewabahnya
praktik korupsi pascareformasi karena tidak adanya revolusi pemikiran yang drastis dari era
feodal Jawa dan zaman reformasi setelah tragedi 1998 dalam mempertimbangkan bahaya korupsi
bagi keberlangsungan eksistensi sebuah negara. 5

Belum lagi, korupsi cenderung masih dianggap lumrah. Sinyal peringatan yang terus
dilayangkan oleh korupsi yang dapat memberikan dampak yang fatal bagi keberlangsungan
negara belum begitu dihiraukan. Upaya memerangi korupsi seharusnya dimulai dengan
munculnya “rasa krisis” yang menganggap bahwa jika korupsi tidak diberantas maka
keberlangsungan negara menjadi bermasalah (Pradiptyo, 2017).

Realitas mengatakan bahwa perasaan itu masih saja belum ada, hal ini tampak mengenai
kebijakan pemerintah yang terkesan ragu dalam memberantas korupsi. Misalnya, vonis bago
para koruptor yang terkesan baik bila dibandingkan dengan pelaku pencurian biasa, yang
tentunya tidak menimbulkan imbas yang menjerakan, baik dari segi lamanya hukuman dan ganti
rugi finansial. Bahkan yang lebih memalukan, ketika di dalam sel, para koruptor tetap melakukan
praktik-praktik koruptif tersebut. Seperti, adanya sel mewah dan fasilitas lain yang harus ‘dibeli’
dengan nilai yang besar. Hal ini menandakan bahwa hukuman dan denda yang diberikan kepada
mereka, sama sekali tak membutanya jera, malah makin menjadi.

Akan tetapi, bukan hanya dalam manifestasi kebijakan, realitas di masyarakat pun
menampakkan bahwa belum melekatnya rasa krisis akan bahaya korupsi dalam benak
masyarakat. Tampak dari masih banyaknya masyarakat yang memberikan dukungan terhadap
tokoh yang sudah jelas korup, asalkan para pejabat korup ini jor-joran memberikan bantuan,
meski dengan uang yang tak diketahui asal-usulnya.

Bahkan ada beberapa politikus yang terbukti melakukan tindakan korupsi tetapi masih
diterima dengan tangan terbuka untuk kembali berkecimpung di gelanggang politik, bahkan
diagung-agungkan dengan menempati jabatan struktural partai yang strategis.

Meskipun etos transparansi dan antikorupsi terus dijunjung oleh reformasi dalam institusi
pemerintahan, kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat dan aparat pemerintah
tak menunjukkan pengurangan yang signifikan.

5
Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi
Bahkan di awal tahun 2018, KPK telah berhasil meringkus tujuh kepala daerah yang
terlibat tindak pidana korupsi, yakni Mohammad Yahya Fuad (Bupati Kebumen), Abdul Latif
(Bupati Hulu Sungai Tengah), Marianus Sae (Bupati Ngada), Nyono Suharli (Bupati Jombang),
Zumi Zola (Gubernur Jambi), Rudi Erawan (Bupati Halmahera Timur), dan terakhir Imas
Aryumningsih (Bupati Subang). Dengan tiga kepala daerah di antaranya bahkan hendak
mencalonkan lagi sebagai bupati yaitu Imas Aryumningsih dan Nyono Suharli dan sebagai
gubernur yaitu Marianus Sae dalam pilkada 2018. Motif tindak pidana korupsi para kepala
daerah ini diduga kuat digunakan untuk modal dalam pendanaan kampanye politik mereka.
Karena seperti kita tahu, bahwa biaya kampanye ini sangatlah besar, akibat dari kompleksitas
para mafia. Para calon bupati sering kali harus memberi uang kepada masyarakat dan lain-
lainnya yang tidak jelas itu.

Berdasarkan data putusan pengadilan 2001-2015 terkait kasus korupsi, dari total 2.569
terpidana korupsi, PNS sebanyak 1.115 orang (43,40%) menempati urutan teratas jumlah
terbanyak yang terjerat kasus korupsi, kemudian dari sektor swasta sebanyak 670 orang
(26,08%), serta politisi sebanyak 559 orang (21,76%). Jumlah kerugian yang dihasilkan oleh
politikus merupakan yang paling kecil yaitu sekitar Rp3 triliun rupiah, terpidana PNS merugikan
negara sekitar Rp21,3 triliun. Sementara kerugian negara paling besar disebabkan oleh tindak
korupsi swasta yang menyentuh angka Rp47,1 triliun. Meskipun nilai kerugian yang diakibatkan
korupsi politisi adalah yang paling kecil, namun para politisi ini (anggota DPR, DPRD, atau
kepala daerah) memiliki wewenang untuk membuat UU dan Perda. Ketika peraturan dibuat dan
mengandung unsur korupsi, sudah pasti aturan ini tidak akan optimal dalam menyejahterakan
rakyat (Pradiptyo, 2017).

Berdasarkan data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa korupsi selama era reformasi
mewabah secara besar, yang menjangkau banyak sektor dan terstruktur. Namun, tak bisa
dipungkiri bahwa merajalelanya praktik korupsi pada masa reformasi ini tidak dapat terlepas dari
warisan masa lampau.

Tetapi jika ditinjau dari Indeks Persepsi Korupsi, dari tahun ke tahun Indonesia
menunjukkan sebuah perkembangan. Transparency International, institusi non-partisan yang
berbasis di Berlin (Jerman), mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi tahunan (berdasarkan
polling) yang menilai "sejauh mana korupsi dianggap terjadi di kalangan pejabat publik dan
politisi" di semua negara seluruh dunia. Dalam edisi tahun 2016, Indonesia menempati peringkat
90 (dari total 176 negara) dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi sebesar 3,7. Untuk Indeks
Persepsi Korupsi Tahunan ini menggunakan skala dari satu sampai sepuluh, dimana semakin
tinggi hasilnya, semakin sedikit (dianggap) korupsi yang terjadi. Dan Denmark menempati
urutan puncak dengan dengan nilai 9,0. angka-angka yang didapat hanya menunjukkan tingkat
persepsi korupsi oleh para pemilih yang berpartisipasi dalam jajak pendapat dari negara tertentu.
Karena perlu ditekankan bahwa tidak ada metode yang akurat 100 persen untuk mengukur
korupsi karena sifat korupsi (sering tersembunyi untuk umum). Namun, dikarenakan masyarakat
biasanya memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang sedang terjadi di negeranya, angka-
angka ini pasti mengindikasikan sesuatu yang menarik dan berarti.

Dari data tersebut, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara dalam Indeks Persepsi
Korupsi yang menunjukkan perbaikan yang konstan dan berkelanjutan. Meskipun demikian, data
tersebut tidak serta merta menjadikan kita makin acuh akan korupsi. Mengingat parameter yang
diambil tidak menunjukkan tingkat keakuratan sempurna.

Berdasarkan pembahasan dan data di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi
merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan. Berbicara mengenai moral dan agama,
tentunya korupsi adalah tindakan yang dilarang, baik dalam skala kecil maupun skala besar.
Fenomena korupsi ini telah mengakar dan membudaya. Namun, ketika membicarakan korupsi,
maka yang terpikir merupakan suatu tindakan perampokan, pencurian atas hak orang lain dengan
masif atau skala besar. Padahal kita tahu, korupsi ini bisa saja sebentuk tindakan yang tidak kita
rasakan.

Korupsi ini harus diurai secara dialektis. Karena untuk dapat memberantas masalah ini,
haruslah dicari akarnya, yang kemudia diruntut. Tak sedikit penyebab-penyebab dari korupsi ini
saling berkaitan atau bahkan bersinggungan. Dan penyebab terluar namun sering kali
dikesampingkan adalah perasaan krisis yang disebut oleh Pradiptyo. Yakni ketika masyarakat
terbiasa dalam membiarkan masalah yang kecil. Kita memang terbiasa menganggap lumrah
tindakan koruptif yang terjadi di kalangan masyarakat, namun begitu beringas bila menyangkut
para elite. Inilah akar dari tindakan koruptif yang besar saat ini.

Ketika kita terbiasa akan tindakan korupsi, misalnya catatan anggaran dana tidak sesuai
dengan dana yang dipakai, maka korupsi itu akan terus memperkokoh akarnya dan terus
menusuk hingga lapisan-lapisan bumi yang paling dalam. Jadi, korupsi ini merupakan bahasan
yang dialektis antara budaya dan elite. Ketika kita berbicara elite, maka data yang bertumpuk itu
bisa kita keluarkan. Namun, ketika berbicara budaya, maka sangat sulit untuk diutarakan. Inilah
masalah utamanya.

Sehingga, sekali lagi, upaya pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya menjadi


solusi utama. Boleh jadi KPK mempunyai catatan gemilang tentang pemberantasan korupsi di
kalangan elite, namun tidak serta merta korupsi itu hilang di Indonesia. Tetapi, bila dilakukan
sosialisasi dibarengi penegakkan hukum yang kuat, akan memberikan dampak yang lebih baik.
Lembaga antikorupsi, seperti KPK, atau bahkan Polisi, seharunya memberikan edukasi terkait
korupsi, yang di dalamnya dinyatakan bahwa korupsi bukan saja hal yang masif, bukan saja
menjerat para elite, tapi melalui kehidupan sehari-hari, korupsi ini haruslah diberantas. Bahkan,
sedari usia anak-anak, edukasi korupsi perlu disampaikan. Karena ada saja hal yang dianggap
sepele, namun ternyata itu merupakan bentuk benih dari tindakan korupsi yang besar.

Untuk para elite dan pejabat, upaya penanganan tindakan korupsi dapat dilakukan
dengan: mewajibkan pejabat publik melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang
dimiliki baik sebelum dan sesudah menjabat, diikuti dengan pemeriksaan yang ketat. Masyarakat
turut meninjau taraf kewajaran peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan
timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya ke
orang lain; pemberantasan tindak pidana korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada KPK, tetapi
harus didukung dari diri sendiri yang menyadari bahwa korupsi harus diakhiri mulai dari yang
terkecil, mulai dari hari ini, diiringi dengan pengawasan dan evaluasi yang ketat. Melalui
pengawasan dan evaluasi dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan gagal. Program
yang sukses sebaiknya dilanjutkan, sementara yang gagal dicari dikaji kembali untuk dicari
solusi terbaiknya; memberi hak kepada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap
informasi. Dengan perlunya dibangun sistem di mana masyarakat dan media diberikan
keleluasaan dalam meminta segala informasi sebagai manifestasi transparansi, terkait kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup orang banyak.

Pada akhirnya, masalah korupsi ini haruslah dihadapi secara bersama-sama. Mengingat
masalah korupsi ini bukanlah suatu masalah kecil dan sempit, tetapi masalah yang sangat besar
dan menyangkut banya sektor. Tidak hanya KPK yang senantiasa gencar dalam memberantas
korupsi. Melainkan seluruh lapisan masyarakat, para pejabat, aparat, dan lainnya haruslah
terlibat. Dengan cara, memulai dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari hari ini.
Ketika setiap individu telah memiliki kesadaran yang tinggi akan korupsi, maka bangsa ini akan
senantiasa lepas dari jeratan penyakit yang selama ini mengikatnya. Korupsi menjadi batu
sandungan negara ini untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang sensitif akan ketidakadilan
terhadapat masyarakat. Di mana dengan adanya praktik koruptif, maka keadaan oligarki makin
menguat. Dengan begitu kesejahteraan masyarakat semakin jauh untuk dapat digapai.

Anda mungkin juga menyukai