Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Manusia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan. Segala apa yang dilakukan
selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya, manusia ditugaskan sebagai khalifah
di bumi ini dan perbuatannya tidak lepas dari pertanggungjawaban. Dalam kehidupan
sehari-hari seperti melakukan akad jual beli, utang piutang, atau dalam menjalankan
ibadah, manusia dalam hal ini sebagai mahkum ‘alaih dan dapat dikatakan sah apabila
sudah memenuhi kriteria yang ada atau kemungkinan status sahnya ditangguhkan
sementara dikarenakan ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi maka dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf atau
seorang yang sudah dikatakan cakap dikenai hukum, sehingga apa yang dilakukan dan
diucapkan sudah sah, sempurna, layak atau ahliyah secara hukum.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana pengertian dari mahkum ‘alaih ?
2. Bagaimana pengertian taklif dan syarat-syarat taklif ?
3. Bagaimana pengertian ahliyyah dan pembagian ahliyyah ?
4. Bagaimana halangan ahliyyah?
5. Bagaimana taklif (beban hukum) terhadap orang kafir ?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari mahkum ‘alaih
2. Untuk mengetahui pengertian dari taklif dan syarat-syaratnya
3. Untuk mengetahui pengertian dari ahliyyah dan pembagiannya
4. Untuk mengetahiu halangan taklif
5. Untuk memahami bagaimana taklif (beban hukum) terhadap orang kafir
1

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mahkum ‘alaih

Ulama ushulfiqih telah sepakat bahwa mahkumalaih adalah seseorang yang perbuatannya
dikenai khitab Allah ta'ala, yang disebut mukallaf.

Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan
dalam istilah ushulfiqih, mukallaf disebut juga mahkumalaih (subjek hukum). Mukallaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan
mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan
mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila
mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau risiko dosa karena melanggar aturan-
Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya.

2.2 Pengertian Taklif

Seperti telah diterangkan bahwa definisi hukum taklifi adalah: “titah Allah yang
menyangkut perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan tuntutan atau pilihan untuk
berbuat”.

2.2.1 Dasar taklif

Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk
mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian besar ulama Ushul Fiqih
berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan
pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan
dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau
belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syari’ (Allah dan Rasul-Nya).

Termasuk ke dalam golongan ini, adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena
dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. :

َّ ‫ َع ِن النَّائِ ِم َحتَّى يَ ْستَ ْيقِظَ َو َع ِن ال‬:‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم ع َْن ثَاَل ثَ ٍة‬


‫صبِ ِّى َحتَّى يَحْ تَلِ َم َو َع ِن ال َمجْ نُوْ ِن حتى يفيق‬
2

Artinya:“Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia
bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.” 

(HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, IbnuMajah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali bin
AbiThalib).

Rasulullah SAW. Pun menegaskan dalam hadis:

ُ‫ُرفِ َع آُ َّمتِي َع ِن الخطاءوالنسيان َو َما ا ْستُ ْك ِر هُوْ ا لَه‬

Artinya: “Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan
terpaksa. (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)

Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan bagi orang yang dianggap
cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.

2.2.2 Syarat-syarat Taklif

Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila telah
memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Orang itu telah mampu memahami khitab Syar ‘i (tuntutan syara’) yang
terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, baik secafa langsung maupun
melalui orang lain. Hal itu karena orang yang tidak mempunyai kemampuan
untuk memahami khitab syar ‘i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu
taklif.
Kemampuan untuk memahami takliftidak bisa dicapai, kecuali melalui
akal manusia. Karena hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus
dilaksanakan atau ditinggalkan.Akan tetapi, telah dimaklumi bahwa akal
adalah sesuatu yang bastrak dan sulit diukur, dan dipastikan berbeda antara
satu orang dengan yang lainnya, maka syara' menentukan patokan dasar lain
sebagai indikasi yang konkret (jelas) dalam menentukan seseorang telah
berakal atau belum. Indikasi konkret itu adalah balighnya seseorang.

Penentu bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi
wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali,
atau telah sempurna berumur lima belas tahun. Seperti ditegaskan dengan

firman Allah SWT. Dalam surat An-Nur : 59

‫طفَا ُل ِم ْن ُك ُم ْال ُحلُ َم فَ ْليَ ْستَأْ ِذنُوا َك َما ا ْستَأْ َذنَ الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِهم‬
ْ َ ‫وإِ َذا بَلَ َغ اأْل‬..
َ .

Artinya: “Apabila anakmu sampai umur baligh, maka hendaklah mereka minta izin, seperti
orang-orang yang sebelum mereka minta izin...”

(QS. An-Nur : 59)

Ayat di atas, dapat dianggap sebagai syarat pertama taklif, bahwa anak kecil, orang gila,
orang lupa, orang terpaksa, orang tidur, dan orang bersalah (khaththa), tidak dikenakan taklif,
karena keadaan mereka dianggap tidak atau belum memahami dalilsyara..

Namun, dalam syarat pertama ini bukan tidak terdapat permasalahan, karena dalam
beberapa hal, anak kecil dan orang gila pun dikenakan beberapa kewajiban, seperti membayat
zakat dari hartanya. Untuk menghindari kesalahpahaman, bahwa anak kecil dan orang gila
memang dikenakan kewajiban membayar zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah, nafkah
diri mereka dan ganti rugi (dhaman) akibat perbuatan mereka bila merusak atau
menghilangkan harta orang lain. Untuk itu, diambil dari harta mereka sendiri. Akan tetapi,
kewajiban tersebut tidak berkaitan dengan perbuatan tetapi berkaitan dengan harta.Dalam
kasus tersebut yang bertindak membayarkan zakat mereka yaitu wali mereka masing-masing.

2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushulfiqih disebut dengan
ahliyah. Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak
hukum, belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka anak kecil yang belumbaligh,
yang di anggap belum mampu bertindak hukum, tidak dikenakan tuntutan syara’. Begitu pula
orang gila, karena kecakapannya untuk bertindak hukumnya hilang. Selain itu, orang yang
pailit dan yang berada di bawah pengampunan (hajr), dalam masalah harta, dianggap tidak
mampu bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta
dianggap hilang.

2.3 Pengertian Ahliyyah


Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan.
Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli untuk
menangani bidang tersebut.

Adapun arti ahliyyah secara etimologi, menurut para ahli ushul fiqih antara lain sebagai
berikut:

‫ب تَ ْش ِر ْي ِع ٍي‬ َ ً‫ص تَجْ َعلُهُ َم َحال‬


ٍ ‫صالِ َحا لِ ِحطَا‬ ٍ ‫ع فِى ال َّش ْخ‬ ِ ‫صفَةٌ يُقَ ِّد ُرهَا ال َّش‬
ُ ‫ار‬ ِ

Artinya: Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Syari’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.

(Al-Bukhari :II :1357)

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan
bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat
dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan
suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan
demikian, jual belinya, hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap mampu
menerima tanggup jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Oleh sebab itu, para
ulama ushul fiqih, membagi ahliyyah tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan
jasmani dan akalnya.

2.3.1 Pembagian ahliyyah

1. Ahliyyah ada’

Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna
untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Apabila perbuatannya sesuai dengan tuntutan syara’, ia dianggap telah memenuhi
kewajiban dan berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, bila melanggar tuntutan syara’, maka
ia dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa.

Menurut kesepakatan ulama ushul fiqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah
seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah ‘aqil, baligh dan cerdas.

2. Ahliyyah Al-Wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya,
tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, ia telah berhak untuk
menerima hibbah. Dan apabila harta bendanya di rusak orang lain, ia pun dianggap mampu
untuk menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris
dari keluarganya.

Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub
adalah sifat kemanusiannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan , dan lain-lain.

Para ulama ushul fiqih juga membagi ahliyyah al-wujub menjadi 2 bagian yaitu:

 Ahliyyah al-wujub al-naqishah yaitu anak yang masih berada dalam kandungan
ibunya atau janin.
 Ahliyyah al- wujub al-kamilah yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak
yang telah lahir kedunia sampai dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya
masih kurang, seperti orang gila.

2.4 Halangan Ahliyyah

Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bias
berubah disebabkan hal-hal berikut :

a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disebabkan perbutan
manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut ( sakit yang berlanjut dengan kematian
) dan lupa.

b. Awaridh al-muktasabah, yaitu maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia,


seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada dibawah pengampunan dan bodoh.

Oleh karena itu, mereka membagihalangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objek-
objeknya dalam 3 bentuk :

Halangan yang bias menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna
hilang sama sekali, seperti gila, tidur, dan terpaksa.

Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu.

Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseornag, seperti ornag yang
berutang, pailid, dibawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh.
2.5 Taklif (beban hukum) terhadap orang kafir

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa syarat bagi subjek hukum itu adalah baligh dan
berakal. Dengan kata lain, apakah non muslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk
melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama.

Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif
dengan tercaapinya syarat syar’i adalah:

imam al-syafi’I ulama irak yang bermazhaf hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama
muk’tazilah. Kelompok ulama ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:

1.Ayat-ayat alqur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadah secara umum juga
menjangkau orang-orang kafir; diantaranya seperti dalam surah Al-baqarah (2): 21
ْ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُد‬
‫ُوا َربَّ ُك ُم‬

Hai umat manusia sembah lah tuhanmu

2. Orang kafir itu seandaimya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yg bersifat furu’ tentu tidak
ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat. Padahal ayat yang mengancam orang
kafir karena meninggalkan ibadah itu cukup banyak.

3. Oang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi sebagaimana
berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlaku atasnya sanksi zina, mencuri, dan lainnya.

Kedua, pendapat dari sebagian ulama Hanafiyah, Abu Ishak al-Asfahani, sebagian
kelompok Syafi’iyah dan sebagian ualama Mu’tazilah. Kelompok ini mengemukakan
argument sebagai berikut :

1.Seandainya ornag kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat, tentu melakukan
perbutan itu di tuntut.

2.Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib mereka meng-qadha apa yang dia
tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah ia masuk islam.

Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa ornag kafir dikenai taklif untuk
meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk
melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk menimggalkan larangan
cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan
Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan
objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut, tentu mukallaf mengalami kesulitan-
kesulitan (masyaqqah). Ada yang mampu diatasi manusia seperti: sholat, puasa dan haji.
Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf. Ada kesulitan
yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus-menerus dan
mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi-
sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya. Mukallaf yang
telah mampu  mengetahui khitab syar’i  (tuntutan syara’) maka sudah dikenakan taklif.

3.2 Saran
Dalam Islam, kita seharusnya memahami apa yang telah disyariatkan Allah SWT baik
perintah maupun larangan. Oleh karena itu, kita harus tahu di mana posisi kita berada,
mahkum ‘alaih atau mahkum fih. Sehingga kita dapat mengetahui syarat-syaratnya serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
8

Anda mungkin juga menyukai