Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul
fiqih menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada
hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya
menggunakna istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum,
baik bersifat perintah maupun yang dilarang.
Dalam kajian Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
‫ع‬ ُ َّ‫ف الَّ ِذى تَ َعل‬
ِ ‫ق بِ ِه ُح ْك ُم ال َّش‬
ِ ‫ار‬ ِ َّ‫هُ َو الفِ ْع ُل ال ُم َكل‬
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’1[1]
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih adalah objek
hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan
Rasulnya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu
pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni
perbuatan mukallaf. Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.

Perbuatan yang menjadi objek hukum ada dalam dua bentuk :


1. Perbuatan yang berkenaan dengan fisik jasmani
Yang dimaksud dengan perbuatan yang berkenaan dengan fisik jasmani adalah
“berbuat” itu sendiri seperti melakukan sholat. Si pelaku belum bebas dari tuntutan
berbuat kecuali melakukan sendiri perbuatan itu. Perbuatan itu tidak dapat dilakukan
oleh orang lain.
2. Perbuatan yang berkenaan dengan materi
Adalah “sampainya materi itu kepada yang dituju”, bukan berbuat itu sendiri.
Umpamanya kewajiban zakat. Yang dikehendaki oleh syari’ dalam hal ini adalah
sampainya barang zakat itu kepada yang berhak. Berbuat dalam bentuk ini dapat
dilakukan oleh orang lain.

1 Mariya ulfaa “ushul fiqih mahkum fih “http://mynewblogmariya.blogspot.com/2015/11/makalah-ushul-fiqih-mahkum-


fih.html “ pada tanggal 15 November 2015
2
Para ahli ushulfiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek
hukum, yaitu:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akanmengerjakan
serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif
terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh seseorang
menggantung angin.
3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya untuk melakukannya.

Mereka sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang mukallaf melakukan sesuatu
perbuatan kecuali terhadap perbuatan yang ia mampu melaksanakannya. Seseorang hamba
tidak akan dituntut melakukan sesuatu yang ia tidak mungkin melakukannya. Yang menjadi
dasar ketentuan ini adalah firman Allah,

“Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya.”

Menuntut seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya berarti


memberatkan seseorang melakukan sesuatu sedangkan Allah menginginkan kemudahan bagi
umat, bukan kesulitan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-baqarah (2) :185

“ Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki darimu kesulitan “

Dengan penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan tidak menginginkan
manusia dalam kesulitan. Selanjutnya menjadipembahasan pula “kesulitan” atau
masyaqqahdalam hubungannya dengan objek hukum. Dalam hal ini ulama membagi kesulitan
atau masyaqqah itu pada 2 tingkatan:
a. Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya.
Umpamanya puasa dan ibadah haji
b. Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara berketerusan atau
tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengarahan tenaga yang maksimal.

3
Pemaksaan diri dalam melakukannya akan membawa kerusakan terhadap jiwa atau
harta. Umpamanya berperang dalam jihad di jalan Allah.

Sehubung dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang jelas
keberadaannya, para ulama ushul memperbincangkan kemungkinan berlakunya taklif
terhadap sesuatu yang mustahil adanya.

Dalam hal ini ulama ushul membagi mustahil pada 5 tingkat:


1. Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua hal yang
berlawanan, baik berlawanan secara dhidseperti menghimpun antara warna putih dan
hitam; atau perlawanan secara naqidhseperti menyuruh melakukan dan
tidakmelakukan suatu perbuatan, dalam waktu dan tempat yang sama.
2. Mustahil menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan menurut biasanya,
seperti menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
3. Mustahil karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan pada dasarnya dapat
dilakukan; tetapi oleh karena sesuatu sebab yang datang kemudian, perbuatan itu tidak
dapat dilakukan. Umpamanya menyuruh orang yang diikat kakinya untuk berlari.
4. Mustahil karena tidak mampunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat
melaksanakan ada kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
5. Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi seseorang
yang jelas kafirnya, tetapi ia diperintahkan juga untuk beriman, maka berbaliklah ilmu
Allah yang telah menetapkan bahwa ia kafir.

Tentang taklif pada mustahil bentuk keempat dan kelima, di sini boleh dapat berlaku
taklif, tetapi pada yang ketiga pertama, para ulama berbeda paham mengrenaidaapat
berlakunya taklif. Kelompok ulama asy’ariyah berpendapat, bahwa boleh berlaku taklif
dengan alasan bahwa Allah SWT, pencipta segala sesuatu. Dan melakukan segala sesuatu
yang dikehendaki-Nya. Tidak perlu dipertanyakan apa yang akan dilakukan-Nya. Sebaliknya,
semua manusia harus mempertanggung jawabkan apa yang akan dilakukannya
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak mungkin berlaku taklif pada yang mustahil.
Alasan mereka adalah isyarat Allah dalam Al-Qur’an
2

2 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqih” (hal 137 - 140 )


4
2.2 Syarat-syarat mahkum fih

Allah swt. Tidak akan membebani seseorang hamba dengan perbuatan yang di luar
betas kemampuannya. Sebab kalau allah tetap memberikan beban seperti itu berarti ia
menganiaya terhadap hamba-nya, dan sikap seperti itu mustahil terdapat dalam zat allah yang
maha adil lagi maha bijaksana.

Ulama menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan ditaklifkan.

1. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya


sesuai dengan apa yang mereka tuntut. Oleh sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal
dapat dilaksanakan harus ada penjelasan dari nabi saw. Ayat aqimu al-shalat,
misalnya, tidak menyebutkan cara pelaksanaan shalat dalam al-qur’an. Untuk itu, nabi
menjelaskannya dalam sabda beliau: “shallu kama raaitumuni ushalli,”
2. Demikian pula haji, puasa, zakat dan segala perintah yang bersifat mujmal. Ia
(perintah-perintah itu) tidak dapat ditaklifkan dan mukallaf pun tidak dapat ditaklifi
agar mematuhinya, melainkan setelah ada penjelasan.
3. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk
mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
4. Yang dimaksud dengan “mengetahui” di sini adalah kemungkinan mengetahui, bukan
kenyataan mengetahui. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akalnya dan sanggup
mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada
orang lain yang mengetahui maka orang itu dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan
tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya. Oleh sebab itu,
juga orang-orang yang seperti itu tidak dapat diterima alasannya bahwa ia tidak
mengetahui adanya hukum tersebut.
5. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. Artinya, melakukan atau
meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan si mukallaf. Dan syarat
ketiga ini timbul dari dua hal:
a. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurut
zatnya, maupun karena hal lain. Mustahil menurut zatnya adalah sesuatu yang
tidak tergambar adanya pada akal. Misalnya, mewajibkan dan mengharamkan
sesuatu pada waktu bersamaan. Adapun mustahil karena hal lain adalah segala
sesuatu yang bergambar oleh akal adanya, tetapi menurut hukum alam dan
5
kebiasaan pernah terjadi. Misalnya, menyuruh seseorang terbang tanpa
pesawat.
b. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain
melakukan suatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, misalnya, tidak
dibebankan kepada seseorang agar kawannya mengerjakan shalat, atau supaya
tetangganya berhenti merokok, tidak mencuri, tidak membeli kupon-kupon
undian, dan lain sebagainya. Yang diraklifkan di sii hanya memberi nasehat,
menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.

2.3 Macam–Macam Mahkum Fih


Para ulama’ usul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi yaitu:
a. Dari segi keberadaan secara material dan syara’, mahkum fih terdiri dari:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang berkait dengan
syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf tetapi
perbuatan itu tidak terkait demgan hukum syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’,
yaitu hudud dan qishash.
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ yang ditentukan, seperti
shalat dan zakat.
4. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’
yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa.
b. Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, yaitu:
1. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak sifatnya semata-mata Allah ini, menurut Ulama’
Ushul Fiqih ada delapan macam:
a. Ibadah mahdlah (murni), seperti iman dan rukun.
b. Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat
fitrah.
c. Bantuan/satuan yang mengandug makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan
dari bumi.

3 Prof. Dr. H.Alaiddin Koto, M.A, “Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih” (Jakarta .2004, hal 155 - 156 )
6
d. Biaya/ satuan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang
dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti hukuman berbuat zina.
f. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi waris, karena ia
membunuh pemilik harta tersebut.
g. Hak-hak yang harus dibayarkan, kewajiban mengelurakan seperlima harta terpemdam
dan harta rampasan perang.
2. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta
yang rusak.
3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih
dominan. Seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf
4. Kompromi antara hak Allah dam hak hamba, tetap hak hamba didalamnya lebih dominan,
seperti dalam masalah qishash. 4[16]

5 Mariya ulfaa “ushul fiqih mahkum fih “http://mynewblogmariya.blogspot.com/2015/11/makalah-ushul-fiqih-mahkum-


fih.html “ pada tanggal 15 November 2015
7

Anda mungkin juga menyukai