Migrasi Orang Madura Ke Kabupaten Jember
Migrasi Orang Madura Ke Kabupaten Jember
Migrasi Orang Madura Ke Kabupaten Jember
PENDAHULUAN
1
dominan di sektor formal, 3) terjadinya akulturasi antara budaya Madura
(migran) dengan daerah tujuan membawa dampak baik pada migran maupun
daerah tujuan. Pembahasan di kemas dengan judul “Migrasi Orang Madura Ke
Kabupaten Jember”.
2
BAB II
Pembahasan
3
sangat cepat. Tahun 1845 jumlah penduduk Jember 9.237 jiwa. Beberapa tahun
kemudian, 1867 membengkak menjadi 75.680 jiwa. Salah satu factor
penyebabnya adalah terjadinya gelombang migrasi besar2an orang Madura ke
Jember.
Masyarakat Madura yang melakukan migrasi dan bekerja sebagai
pedagang akan memilih daerah-daerah yang dekat dengan pulau Madura. Daerah-
daerah tersebut di kenal sebagai kawasan atau daerah tapal kuda yang meliputi
Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, Jember dan
Bondowoso. Satu hal yang menarik dari orang Madura adalah mereka enggan
berganti pekerjaan. Kalau sejak awal mereka bekerja sebagai pedagang, maka
mereka tidak pernah mengganti pekerjaan mereka sekalipun kurang
menguntungkan. Bagi mereka, asal pekerjaan itu halal dan dikerjakan dengan
jujur pasti akan cukup untuk makan dan menghidupi keluarganya (Isnani, 1978 :
170).
Faktor lain yang mendasari kuputusan bermigrasi ke pulau Jawa
khususnya Jember Karena keadaaan geografis pulau Madura yang kurang
menguntungkan. Tanah di pulau Madura sangat tandus dan sukar untuk pertanian.
Hanya pada saat-saat tertentu saja mereka dapat memanfaatkan tanah pertanian
mereka, biasanya hanya pada saat musim kemarau masyarakat Madura dapat
menanam tembakau. Dengan keadaan lahan pertanian mereka yang demikian
tidak menjamin kesejahteraan ekonomi dan masa depan masyarakat Madura
(Jonge,1989:35).
Menurut Subagyo adam dalam bukunya yang berjudul “Pola Migrasi
Orang Madura dan Bawean” yang menyebutkan bentuk mobilitas (perpindahan
tempat) yang terdapat di Indonesia. Dua bentuk mobilitas tersebut adalah bentuk
mobilitas permanen atau di sebut juga migrasi dan mobilitas yang nir-permanen
atau disebut juga mobilitas serkuler.
Mobilitas serkuler dapat dibagi lagi menjadi bermacam-macam bentuk,
misalnya harian (Nglaju: Commuting), pereodik, musiman dan jangka panjang.
Ngalju adalah bentuk mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lain dan
kembali ke tempat asal pada hari yang sama. Sirkulasi adalah bentuk mobilitas
4
penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dalam jangka waktu lebih dari satu
hari, tetapi tidak ada maksud untuk menetap di daerah tujuan (Subagyo, 1991 :
20-21).
Menurut Mantra dalam Subagyo Adam (1991 : 22) yang mendefinisikan
sirkulasi sebagai bentuk mobilitas penduduk yang melintasi suatu batas wilayah
(dukuh) dalam jangka waktu lebih dari satu hari dan kurang dari satu tahun. Ia
tidak memasukkan migrasi kembali (return migration) sebagai sirkulasi.
Dalam perkembangan berikutnya, migrasi orang-orang Madura
berlangsung secara berangsur-angsur ke berbagai kawasan tapal kuda. Arus
migrasi antar pulau sebagaimana berlangsung dari pulau Madura ke pulau Jawa
atau Kalimantan sedikit banyak juga di pengaruhi keadaan ekonomi yang terjadi
di daerah asal. Migrasi orang Madura sudah menyejarah. Persebaran masyarakat
Madura ke wilayah Jawa timur sudah berlangusng cukup lama. Wilayah lain yang
juga merupakan daerah tujuan para migran Madura adalah pulau Kalimantan yang
juga di kenal sebagai Jawa utara. Kasus pergolakan antar etnis yang melibatkan
orang Madura di Sambas, Pontianak, Sampit dan lain-lain selama dua tiga tahun
terakhir serta jumlah arus pengungsi Madura menunjukkan betapa besarnya arus
migrasi masyarakat Madura ditingkat nasional meskipun data konkritnya tidak
tersedia (Sukidin, 2000 : 11-12).
Dari paparan di atas, penulis dapat memberi kesimpulan bahwa factor
yang menyebabkan terjadinya migran dari Madura datang ke pulau Jawa
khususnya Jember adalah keinginan untuk meningkatkan taraf hidup karena para
migran menganggap dengan merantau ke pulau Jawa dapat meningkatkan taraf
hidup mereka. Pulau Jawa adalah tujuan para migran karena secara geografis
pulau Jawa dekat dengan pulau Madura.
5
dan persepsi masyarakat, latar belakang struktural maupun kesempatan
memperoleh pekerjaan dan pendapatan.
Masyarakat Madura dikenal sebagai perantau. Hampir setiap tempat dan
pelosok-pelosok dapat menjumpainya. Pada umumnya orang Madura yang
bermigrasi ke pulau Jawa bekerja di sektor informal (pedagang, buruh angkut,
penjual besi tua, penjaja makanan, pengemudi becak, penjual sate dan soto).
Aktivitas di sektor informal sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial
ekonomi dan status sosial daerah tujuan. Sebagai perantau yang memiliki rasa
persaudaraan yang kuat biasanya tinggal secara berkelompok (Wiyata, 1989 : 1).
Pada awalnya daerah yang dipilih ialah wilayah karesiden besuki wilayah
utara yaitu situbondo dan bondowosa yang secara bertahap kemudian menuju
kewilayah selatan yaitu Jember. Hal inilah yang menyebabkan komonitas
masyarakat madura di jember cendrung berada di jember bagian utara. Sedangkan
wilayah selatan jember banyak di huni oleh orang-orang jawa.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa orang madura banyak
melakukan migrasi ke jember terutama pada masa kolonial belanda. Pada saat itu
pemerintahan belanda memproyeksikan wilayan jember sebagai perkebunanan.
Sehingga banyak membutukan tenaga yang di datangkan dari pulau maduara.
Orang Madura melakukan migrasi dengan dua bentuk yaitu migrasi yang
permanen dan musiman pada tahun 1950. Mereka berdua berdagang barang
konveksi di pasar Jember. Karena kondisi pasar waktu itu masih belum
terkoordinasi, mereka bertiga hanya membuka kios seadanya. Baru setelah tahun
1980 pasar mulai tertata mereka membuka toko yang lebih besar di pasar.
Mengenai jumlah migrasi Madura ke daerah Jember dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Penduduk yang ke luar dari Madura setiap tahun mengalami kenaikan.
Kenaikan ini disebabkan oleh kondisi di Madura yang mendorong melakukan
melakukan migrasi ke luar daerah. kenaikan juga disebabkan hampir setiap
saudara yang pulang merantau ketika kembali lagi ke tempat perantauan selalu
membawa salah satu saudaranya yang ada di Madura untuk bekerja ditempat
perantauan. Sedangkan penduduk Madura yang melakukan migrasi ke Jember
6
mengalami kenaikan hampir di setiap tahunya. Kenaikan ini sama dengan
sebelumnya. Ketika mereka pulang kembali ke perantauan selalu membawa sanak
saudaranya untuk bekerja ditempatnya.
Para migran yang datang ke Jember sebagian besar karena diajak oleh
familinya. Keluarga para migran tidak pernah melarang suami atau anaknya untuk
migrasi ke luar daerah Madura. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan di tanah
Jawa akan menemukan kehidupan yang lebih layak dan penghasilan yang lebih
baik.
Migran yang ikut sanak saudaranya ke Jember, untuk sementara migran
tersebut tinggal atau ditampung oleh famili yang mengajaknya ke kabupaten
Jember. Selama beberapa hari migran tersebut beradaptasi dengan lingkungan di
kabupaten Jember dan bersilaturrahmi dengan sesama migran yang sudah lama
menjadi Migrasi . Sebelum membuka usaha sendiri migran tersebut membantu di
toko konveksi milik familinya. Selama membantu saudaranya dia mendapat
kesempatan untuk belajar menjadi pedagang konveksi dan beradaptasi dengan
lingkungan di pasar Jember.
Setelah merasa cukup lama belajar berdagang konveksi dan beradaptasi
dengan lingkungan, maka migran tersebut mulai mengumpulkan modal dan di
Bantu oleh familinya untuk mencari stand (tempat berjualan) yang strategis.
Meskipun dia sudah membuka usaha sendiri dan tidak lagi tinggal serumah
dengan familinya tapi masih terus berada dalam pantauan familinya. Setiap kali
berada, migran tersebut memiliki masalah dalam berjualan barang-barang
konveksi familinya masih ikut membantu untuk menyelesaikannya.
Migrasi yang datang sebelum tahun tahun 1980-an kebanyakan datang
sendiri tanpa membawa sanak saudaranya (istri dan anak). Mereka belum berani
karena pekerjaan yang belum pasti serta pendapatan belum mencukupi untuk
membawa istri dan anaknya. Para migran menyewa rumah (rombongan) untuk
tempat tinggal yang diisi 10-25 orang sesama migran dari Madura. Setelah pasar
Jember pada tahun 1980 sudah terorganisir dengan baik, para migran yang pada
awalnya tinggal bersama-sama dalam satu kontrakan mulai menyewa rumah
sendiri bersama istri dan anaknya.
7
Adapula migran yang memang waktu merantau ke Jember masih belum
menikah, akhirnya menikah dengan orang Jember. Setelah menikah mulai
menetap dan tinggal dengan keluarga orang tua perempuan, bahkan ada yang
dibangunkan rumah sendiri oleh mertuanya. Sementara bagi para migran yang
memiliki tanah pertanian, pada musim penghujan tanah pertaniannya dikerjakan
oleh sanak saudaranya ditanami jagung Sedangkan pada musim kemarau para
migran kembali kekampung halaman untuk menanam tembakau
Para migran dalam bidang perdagangan memulai usahanya dari awal. Para
migran berangkat kedaerah tujuan hanya membawa sedikit modal, bahkan ada
yang memulai usahanya dari bantuan sanak saudaranya. Di antara para migran
jarang membawa modal besar karena para migran enggan menjual tanah
warisannya di Madura (Isnaini,1978:170).
Pengaruh yang berkembang dalam masyarakat tidak hanya melalui jalur
informal, akan tetapi saluran non formal juga ikut memberikan peranan yang
penting. Begitu pula dengan orang-orang Madura yang melakukan migrasi
kedaerah Jember lebih banyak memilih jalur informal, yaitu sebagai pedagang.
Mereka memilih pekerjaan sebagai pedagang karena peluang terbesar yang ada
hanya bidang tersebut. Sedangkan untuk memilih dibidang formal, para migran
terkendala dengan ijazah yang mereka miliki. Untuk bisa bekerja dijalur formal
membutuhkan ijazah pendidikan minimal lulusan Sekolah Menengah Atas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses migrasi
masyarakat Madura ke Kabupatan Jember berlangsung melalui proses yang cukup
lama, yang di awali dari pembukaan perkebunan-perkebunan di Jember oleh
pemerintah Belanda, serta didorong oleh keadaan alam di daerah asalnya yang
kurang menguntungkan sehingga mempengaruhi perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat Madura.
8
baik yang dilakukan untuk kepentingan ekonomi maupun politik. tidak dapat
disangkal pula bahwa benturan-benturan yang terjadi dalam peroses migrasi
tersebut pun telah menimbulkan dinamika perubahan sosial yang memungkinkan
terjadinya perubahan-perubahan positif terutama dalam kehidupan ekonomi,
sosial dan budaya di daerah Madura.
Perubahan yang terjadi akibat migrasi Madura dapat berpengaruh bagi
penduduk, baik berpengaruh positif maupun negatif. Pengaruh tersebut juga
terjadi pada migrasi orang Madura ke kabupaten Jember. Secara tidak langsung
migrasi orang Madura berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi migran
dan masyarakat daerah tujuan migrasi. Pengaruh tersebut, akan diuraikan pada
penjelasan di bawah ini.
9
budaya yang berbeda dalam suatu lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya
interaksi antar etnis tersebut.
Identitas kesukuan seseorang yang di pengaruhi karakteristik demografi
akan semakin kuat, khususnya tercermin dalam nilai-nilai sosial dan budaya
(Koentjaraningrat, 1990:228). Hal ini juga terjadi pada orang Madura di
Kabupaten Jember, identitas kesukuanya semakin kuat yang tercermin dalam
nilai-nilai sosial dan budaya. Akibat dari identitas kesukuan itu menyebabkan
sikap dan perilaku sosial orang Madura di Kabupaten Jembermencerminkan nilai-
nilai sosial dan budaya masyarakat Madura, misalnya penggunaan bahasa.
Kuat tidaknya perasaan kesukuan di kalangan migran sangat ditentukan oleh
seberapa kuat pula mereka mau mempertahankan dan menjaga identitas etniknya
sebagai suku Madura di tengah-tengah proses kehidupan sosial yang melingkupi
mereka. Walaupun secara realitas mereka hidup di tanah Jawa dan bergaul
bersama dengan masyarakat etnik Jawa, akan tetapi sebagian besar tetap konsisten
merasa sebagai suku Madura. Namun, ada pula yang menyatakan dirinya tidak
lagi merasa sebagai sebagai suku Madura, atau menyebut diri mereka sebagai
orang Jawa. Namun perasaan sebagai orang Madura timbul kembali karena masih
seringnya bersosialisasi dengan para migran Madura yang lain. Kuatnya perasaan
kesukuan sebagian besar paling tidak dilandasi oleh empat alasan. Pertama,
karena faktor kelahiran; Kedua, faktor adat-istiadat; Ketiga, faktor kekeluargaan;
dan Keempat, faktor lingkungan sosial.
Latar belakang etnik jadi penentu bilamana seseorang memang dilahirkan
dari suatu keluarga yang berlatar belakang etnik tertentu. Atau dengan kata lain,
faktor keturunan merupakan salah satu faktor penentu identitas kesukuan
seseorang. Tampaknya anggapan dasar seperti itulah yang menyebabkan
responden merasa tetap sebagai suku Madura meskipun pada kenyataanya mereka
berdomisili di tanah Jawa.
Selain faktor keturunan, alasan tetap merasa sebagai suku Madura karena
masih mengetahui dan mengerti atau memahami adat-istiadat Madura. Ini berarti
bahwa proses internalisasi nilai-nilai sosial dan kultur Madura benar-benar
merasuk kedalam diri para migran. Dengan proses internalisasi demikian maka
10
sudah bisa dipastikan sikap dan perilaku sosial mereka akan tetap mencerminkan
nilai-nilai sosial dan kultural masyarakat Madura.
Proses internalisasi tetap merasa sebagai suku Madura semakin mengkristal
oleh faktor lingkungan sosial dan pergaulan sosial yang melingkupi mereka serta
identitas hubungan kekeluargaan yang terjadi dengan sesama etnik Madura. Pada
giliranya, rasa solidaritas dan tingkat integrasi pada kelompok masyarakat Madura
di kabupaten Jembertidak diragukan lagi.
Alasan etnik Madura yang sudah merasa sebagai orang Jawa karena
beberapa hal, yaitu dilahirkan di Jawa, hidup dan bergaul dengan orang Jawa,
tidak ada keluarga di Madura. Disini pengertiannya bisa menunjuk kepada
lingkungan sosial dimana mereka bermukim dan juga bisa menunjuk kepada
ikatan perkawinan (sudah kawin dengan orang Jawa). Kedua alasan ini jelas
menunjukkan kepada kita bahwa mereka telah larut ke dalam identitas Jawa.
Kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Jember seperti juga masyarakat
yang lain dalam kehidupan sehari-harinya masih mempunyai ikatan sosial yang
tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dimana ikatan keluarga masih kuat.
Kondisi seperti ini membawa penggaruh terhadap tradisi kehidupan
masyarakatnya dimana tubuh rasa kekeluargaan yang kuat sehingga sifat gotong-
royong merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
tersebut. Nilai-nilai kekeluargaan dan kegotong-royonggan ini dapat dilihat secara
nyata dalam kehidupan masyarakat, seperti pada waktu ada warga yang
mempunyai hajatan, mendirikan rumah, warga lain datang untuk memberikan
bantuan tenaga secara sukarela. Bantuan tersebut tanpa meminta imbalan apapun
hanya cukup menyediakan makanan dan minuman sekedarnya.
Dengan berdagangnya para migran di pasar Kabupaten Jembermenambah
kontribusi pendapatan pasar. Dimana para pedagang baik yang migran maupun
yang bukan ditarik kontribusi tergantung besar kecilnya toko yang dimiliki. Selain
menambah kontribusi pendapatan pasar, dampak lain yang dirasakan adalah
dalam hal pengadaan kebutuhan sandang (pakaian). Bahan-bahan yang
dibutuhkan oleh masyarakat Kabupaten Jember dapat terpenuhi dengan
banyaknya para migran yang berjualan barang konveksi.
11
Dampak yang juga bisa dirasakan dari datangnya Migrasi yaitu penciptaan
lapangan kerja. Para migran yang membuka toko konveksi akan membutuhkan
tenaga kerja untuk bekerja ditokonya. Para migran mengambil tenaga kerja dari
pemuda, apabila tidak ada sanak saudara yang berasal dari Madura untuk
membantu. Dengan demikian para migran juga dapat mengentas angka
pengangguran di kabupaten Jember.
12
Penggunaan bahasa ini dapat melalui interaksi dengan suku lain. Proses
interaksi sosial antara orang-orang Madura atau migran dengan suku lain terutama
mengarah pada kerja sama yang menyangkut kepentingan bersama. Perwujudan
interaksi itu terbentuk dalam sistem gotong royong, misalnya dalam hal perbaikan
lingkungan tempat tinggal. Pola pemukiman itu dapat mempengaruhi terciptanya
integrasi sosial dikalangan para pendatangyang berbeda daerah asal dan budaya
(Koentjaraningrat, 1990:162).
Faktor budaya yang mendorong yaitu adanya adat istiadat yang sudah
ditanamkan pada generasi muda khususnya laki-laki. Adat itu diantaranya
ditanamkanya benih-benih perantauan pada setiap anak laki-laki sejak masih kecil
sampai memasuki kedewasaan. Dalam masyarakat Madura setiap laki-laki sejak
anak-anak telah dibiasakan atau diharuskan membaca Al-Qur’an (mengaji),
sembahyang lima waktu dan pada malam hari tidur dilanggar yang ada di “tanean
lanjang” bahkan ada yang mondok di pesantren. Anak laki-laki tidak dibenarkan
tidur satu kamar atau satu bilik dengan anak perempuan. anak laki-laki tidak
mempunyai tempat khusus didalam rumah induk.
Masyarakat Madura menganut sistim “Extended Families” atau keluarga
luas, yaitu berkumpulnya tiga generasi yang ditandai oleh sifat menetap dan tidak
mudah pecah. Hal ini dapat dilihat dari susunan keluarga yang bermukim di
“Tanean Lanjang”. Satu keluarga biasanya terdiri dari para nenek dan kakek,
anak-anak dan cucu, rata-rata memiliki empat sampai lima buah rumah untuk
dihuni. Rumah yang pertama merupakan rumah asal dan menjadi tempat
terpenting dari pekarangan karena dihuni olah para orang tua dan rumah
berikutnya tinggal anak perempuan yang telah menikah. Urutan rumah tersebut
didasarkan pada umur dan hari perkawinan.apabila orang tuanya sudah meninggal
dunia maka para penghuni “Tanean Lanjang” tersebut berpindah tempat.anak
perempuan yang tertua dengan sendirinya menempati rumah kediaman kedua
orang tuanya, dan perempuan kedua menempati rumah kediaman saudaranya yang
tertua. Menantu laki-laki yang pertama menjadi kepala “Tanean Lanjang” (Jonge,
1989:14-15).
13
Berdasarkan uraian diatas, bahwa faktor kebudayaan yang mendorong
orang-orang Madura melakukan migrasi yaitu ditanamkannya benih-benih
perantauan pada anak laki-laki Madura dan adanya perbedaan dalam sistem dalam
pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian warisan anak laki-
laki tidak mendapatkan bagian dari tanah pekarangan, sebab anak laki-laki yang
sudah kawin harus ikut keluarga dari pihak istri.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah didiskripsikan di pembahasan dapat
disimpulkan bahwa, faktor yang mendasari kuputusan bermigrasi ke pulau Jawa
khususnya Jember Karena keadaaan geografis pulau Madura yang kurang
menguntungkan. Tanah di pulau Madura sangat tandus dan sukar untuk pertanian.
Dengan keadaan lahan pertanian mereka yang demikian tidak menjamin
kesejahteraan ekonomi dan masa depan masyarakat Madura. Dari kondisi yang
tidak menguntungkan ini orang Madura berusaha mencari daerah yang lebih baik
perekonomianya untuk memperbaiki kehidupanya. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan melakukan migrasi. Salah satu daerah tujuannya adalah kabupaten
Jember.
Proses migrasi masyarakat Madura ke Kabupaten Jember berlangsung
sejak jaman Belanda ketika pembukaan perkebunan di daerah Jember. Baru
setelah sekitar tahun 1970-an ada dua migran yang datang ke kabupaten Jember.
Dalam mengembangkan dan melestarikan hadrah Madura adalah dengan
membentuk arisan hadrah setiap minggu yang awalnya hanya diikuti oleh migran
permanen dan musiman yang kemudian banyak masyarakat Kabupaten
Jembertertarik untuk bergabung. Dengan demikian hadrah Madura dapat
dinikmati oleh masyarakat Jember. Hadrah Madura juga ditampilkan dalam acara-
acara resmi seperti acara pernikahan, tujuh bulanan, dan juga untuk memperingati
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kesenian hadrat tersebut
merupakan pengaruh yang timbul akibat adanya migrasi orang madura ke
kabupaten Jember. Selain itu dalam bidang sosial ekonomi dengan adanaya
migrasi orang madura ekonomi di jember semakin meningkat karena banyak
perkebunan-perkebunan yang ada merupakan lahan pekerjaan bagi masyarakat
madura di jember.
15
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis dapat mengajukan beberapa
saran, bagi mahasiswa pendidikan sejarah hendaknya kembali melakukan tinjauan
atau penelitian lebih lanjut guna mengetahui arus migrasi yang ada di indonesia
sehingga dapat memperkaya sejarah nasional Indonesia itu sendiri. Bagi
pemerintah hendaknya memberikan suatu perhatian tersendiri terhadap para
peneliti budaya-budaya yang ada di indonesia.
16