Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Fidya Fitra Munjir

NIM : 2080016039

Judul buku : Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara


Nama penulis : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Penerbit : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
Tahun terbit : 2006

REVIEW BAB III

Buku karya Prof Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H. yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara dalam buku ini arah penjelasannya lebih ke arah hukum tata negara yang
bersifat umum dan hukum tata negara positif. Pada bab III mengenai materi tentang
konstitusi sebagai objek kajian hukum tata negara, dimulai dengan pembahasan
mengenai sejarah konstitusi. Dalam kedua perkataan politeia dan constitutio
merupakan awal mula gagasan konstitusionalisme dieskpresikan oleh umat manusia
beserta hubungan di antara kedua istilah dalam sejarah. Yang dinamakan konstitusi itu
tidak saja aturan yang tertulis, tetapi juga apa yang dipraktikkan dalam kegiatan
penyelenggaraan negara, dan yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ
negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
pemerintahan daerah, tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ
negara itu dengan warga negara. Dalam bab ini tidak diuraikan perkataan konstitusi
itu sendiri, akan tetapi yang diuraikan di sini adalah perspektif mengenai konsepsi
tentang konstitusi yang biasa disebut sebagai konstitusi dalam arti-arti tertentu.

Pandangan beberapa sarjana mengenai konstitusi dapat dikatakan berlainan satu sama
lain. Disini penulis menyebutkan dan menjelaskan secara singkat pandangan oleh
beberapa tokoh mengenai konstitusi. Sekiranya ada lima tokoh disertai dengan
penjelasan mengenai pengertian konstitusi tersebut. Adapun nilai konstitusi dan sifat
dari konstitusi, nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai ( values ) sebagai
hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam
kenyataan praktik. Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai sifat konstitusi
biasanya dikaitkan dengan pembahasan tentang sifat-sifatnya yang lentur ( fleksibel )
atau kaku, tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang formil atau materiil.
Pada bagian akhir bab dijelaskan mengenai tujuan dan hakikat konstitusi. Disini kita
tau bahwa konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling tinggi
tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai
dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah
keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau
kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama. Sementara itu, ada pendapat
lain dari G.S. Diponolo yang merumuskan tujuan konstitusi ke dalam lima kategori,
yaitu kekuasaan, perdamaian, keamanan dan ketertiban, kemerdekaan, keadilan, serta
kesejahteraan dan kebahagiaan. Sehubungan dengan itulah maka beberapa sarjana
merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara
konstitusional, atau negara berkonstitusi. Dapat disimpulkan bahwa kebebasan
individu warga negara harus dijamin, tetapi kekuasaan negara juga harus berdiri
tegak, sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu sendiri
terwujud apabila dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga
negara tetap tidak terganggu.

Pada bab 3 ini tidak dijelaskan secara detail pembahasannya, sehingga sulit untuk
dipahami. Gaya penulisan yang digunakan pada bab ini, susah untuk dimengerti
karena banyaknya istilah dan bahasa asing yang digunakan. Dalam artian, tidak
banyak menggunakan bahasa umum. Tetapi, pada bab ini sangat bagus untuk dibaca
dan dicermati oleh kalangan mahasiswa untuk dijadikan pengantar atau panduan
mengenai konstitusi sebelum melompat ke bab selanjutnya. Mungkin sedikit
pemasukan, bisa ditambahkan pembahasan mengenai perubahan konstitusi seperti
yang ada pada buku lainnya.

Dapat saya simpulkan bahwa, konstitusi penting bagi suatu negara. Karena konstitusi
menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti
sejarah perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the
Founding Fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam
mengemudikan suatu negara yang mereka pimpin. Sedangkan menurut Prof. Mr.
Djokosutono melihat pentingnya konstitusi dari dua segi. Yang pertama dari segi isi,
karena konstitusi memuat dasar dari struktur dan memuat fungsi negara. Yang kedua
dari segi bentuk, oleh karena konstitusi bukan sembarang orang atau lembaga.
Mungkin bisa saja Raja, Raja dengan Rakyat, Badan Konstituante atau lembaga
dictator.
REVIEW BAB VI :

Bab VI adalah bab paling terakhir dari buku ini. Pada bab ini penulis mengemukakan
materi mengenai praktik hukum tata negara. Dimulai dari pembahasan tentang
pergeseran orientasi politis ke teknis. Disini penulis menjelaskan bahwa bidang ilmu
hukum tata negara atau constitutional law agak kurang diminati di kalangan
mahasiswa Indonesia. Penyebabnya ialah bahwa selama kurun waktu tersebut,
orientasi bidang studi hukum tata negara ini sangat dekat dengan politik, sehingga
siapa saja yang berminat menggelutinya sebagai bidang kajian yang rasional, kritis ,
dan objektif, di hadapkan pada resiko politik dari pihak penguasa yang cenderung
sangat otoritarian. Disini, kita dapat memahami bahwa ternyata ada resiko di bidang
kajian hukum tata negara ini. Di samping resiko tersebut, para dosen dan guru-guru di
bidang ini tingkat sekolah menengah juga kurang berhasil membangun daya tarik
keilmuan yang tersendiri, baik karena penguasaan mereka terhadap masalah yang
memang kurang atau karena ketidakmampuan ilmu hukum tata negara sendiri untuk
meyakinkan mengenai daya tarik ilmiah dan kebergunaan praktisnya, maka dapat
disimpulkan bahwa studi hukum tata negara di mana-mana menjadi kurang diminati.

Oleh karena itu, pada bagian terakhir buku ini, perlu digambarkan secara selintas
mengenai dimensi dan lahan praktik bagi ilmu hukum tata negara itu sebenarnya.
Seperti yang sudah diuraikan, Hukum Tata Negara dapat pula disebut dengan istilah
Hukum Konstitusi. Oleh sebab itu, bidang kegiatannya selalu berkaitan dengan
konstitusi seperti yang sudah dijelaskan pada bab III.

Di samping itu, kegiatan hukum tata negara sendiri dalam arti yang lebih spesifik,
dapat pula lebih berkembang secara seimbang di bidang-bidang pembentukan hukum
konstitusi, penyadaran hukum konstitusi, penerapan hukum konstitusi, dan peradilan
hukum konstitusi. Selama masa orde baru yang lalu, bidang kegiatan yang
diutamakan hanya penyadaran hukum konstitusi, yaitu melalui kegiatan penataran
pedoman, penghayatan, dan pengamalan pancasila. Sekarang, keempat bidang
kegiatan itu dapat diselenggarakan secara simultan dan seimbang.

Dengan adanya perluasan lahan praktik ini, hukum tata negara dapat diharapkan
bergeser ke arah orientasi yang lebih praktis dan terhindar dari kecenderungan yang
terlalu berorientasi politik. Setidak-tidaknya, kecenderungan studi hukum tata negara
yang sangat berorientasi politik dapat diimbangi oleh orientasi yang lebih teknis-
yuridis. Dengan demikian, hukum tata negara sebagai cabang ilmu hukum dapat
berkembang sesuai dengan komplekstitas penemuan-penemuan hukum dalam praktik.

Sementara itu dijelaskan bahwa lahan praktik bagi para ahli hukum, terutama sarjana
hukum tata negara menjadi tidak berkembang, karena justru diambil oleh para politisi
yang seharusnya memikirkan kebijakan-kebijakan yang lebih substantif untuk
kepentingan rakyat yang diwakilinya. Dengan perkataan lain, di masa depan, potensi
lahan praktik bagi sarjana hukum tata negara akan terbuka semakin lebar bersamaan
dengan kesadaran orang akan peran dan fungsi tenaga ahli atau staf ahli di lingkungan
lembaga perwakilan rakyat.
Para dosen dan mahasiswa dapat menjadikan perkara-perkara konstitusi yang telah
diselesaikan melalui putusan ( vonnis ) yang telah berkekuatan hukum tetap oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai bahan kajian. Dapat disimpulkan bahwa, dengan
adanya Mahkamah Konstitusi, hukum tata negara dapat terus berkembang, baik di
dunia teori maupun praktik dengan didukung oleh para sarjana hukum tata negara
yang cukup banyak dan bermutu.

Selanjutnya penulis menyebutkan bahwa peradilan tata negara itu dapat dibedakan
dalam tiga pengertian, yaitu peradilan tata negara dalam arti yang paling luas di mana
mencakup peradilan tata negara yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan
peradilan tata usaha negara yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta badan-badan
peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara dalam arti sempit tetapi masih tetap
luas adalah peradilan tata negara yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ditambah
peradilan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Di pembahasan selanjutnya yaitu mengenai pembubaran partai politik. Disini kan


dikatakan bahwa partai politik tidak boleh dibubarkan secara semena-mena oleh
penguasa. Seorang penguasa yang menduduki jabatan karena peranan partai politik
tidak boleh diberi peluang untuk membubarkan partai politik lain yang merupakan
lawan politiknya. Sebab,jika hal demikian terjadi, maka kemerdekaan berserikat dapat
terganggu oleh watak kekuasaan para penguasa yang cenderung tidak menghendaki
adanya persaingan politik yang sehat. Disini saya masih penasaran, apa yang
menyebabkan partai politik tidak boleh dibubarkan. Dalam buku ini , tidak dijelaskan
secara detail alasannya. Jadi disini saya tambahkan berdasarkan yang saya baca dari
artikel m.medcom.id , dijelaskan bahwa pembubaran partai politik tidak bisa
sembarangan. Pembubaran partai mesti sesuai UU Nomor Tahun 2008 jo UU Nomor
2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Pendapat lain menjelaskan dalam aturan partai
politik bisa dibubarkan bila melanggar konstitusi. Partai dilarang melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa partai harus tunduk pada konstitusi kalau tidak maka partai politik
akan dibubarkan. Jika ada pihak-pihak tertentu yang meminta satu partai politik
dibubarkan , tidak semudah itu. Kalau cuma perbedaan pemikiran, itu dinamika saja,
tidak bisa mencabut badan hukum.

Dan satu lagi, apabila dalam penyelenggaraan pemilu terjadi perselisihan pendapat
maka di selesaikan melalui perkara Mahkamah Konstitusi. Di buku ini tidak
dijelaskan bagaimana caranya Mahkamah Konstitusi menyediakan jalan atau
menyelesaikan perselisihan pendapat tersebut. Dalam artian seperti apa prosedur yang
bisa atau tidak dimungkinkan dalam sengketa seperti ini? Apakah ada batasan
waktunya juga? Disini saya akan menambahkan sedikit materi mengenai kekurangan
materi tersebut . Alur dari proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi
yaitu pengajuan permohonan pasca penetapan KPU, registrasi perkara dan
penjadwalan sidang, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan,
pembuktian, rapat permusyawaratn hakim, dan yang terakhir adalah putusan. Dapat
disimpulkan bahwa, sengketa pemilu adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih
karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk
mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan Negara dan
kehidupan politik.

Anda mungkin juga menyukai