Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Ahli Waris dan Bagiannya

Mata Kuliah: Fikih Mawaris

Dosen Pengajar : Drs.H.Jaelani, M.Ag

Disusun Oleh:

Desri Yati Ningsih

PROGRAM STUDI HESY

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA‘HAD ALY CIREBON

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang ahli waris dan
bagiannya.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata saya
berharap semoga makalah tentang ahli waris dan bagiannya iini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Cirebon, November 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Judul ...............................................................................................................................................1

Kata Pengantar..............................................................................................................................2

Daftar Isi ........................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................4

A. Latar Belakang .......................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4

A. Pengertian Furudhul Muqoddaroh...........................................................................................5

B. Pengertian Ashobah ...............................................................................................................6

C. Bagian Ahli Waris..................................................................................................................7

D. Cara Perhitungan Waris dalam Hukum Islam .....................................................................11

E. Pengertian Dzawil Arham.....................................................................................................11

F. Pengertian Hijab dan Mahjub................................................................................................12

BAB III PENUTUP......................................................................................................................14

A. Kesimpulan ...........................................................................................................................14

B. Saran......................................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum waris merupakan suatu hal yang penting dan mendapat perhatian yang besar.
Karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi
keluarga yang di tinggal mati pewarisnya. Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah
pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk
menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu
caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli
waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-
masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Naluriah manusia yang menyukai harta benda (QS. Ali Imran:14) tidak jarang memotivasi
seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk
didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam
sejarah umat manusia hingga sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan,
baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri menunjukkan fenomena ini.
Oleh karenanya, dalam pembagian warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang
mana yang akan di gunakan oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang
terjadi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat diuraikan rumusan masalah menjadi
sebagai berikut:
A. Apakah pengertian Furudhul Muqoddaroh
B. Apakah Pengertian Ashobah
C. Bagian Ahli Waris
D. Cara Perhitungan Waris dalam Hukum Islam
E. Pengertian Dzawil Arham
F. Apakah pengertian Hijab dan Mahjub

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Furudhul Muqoddaroh


Kata al-furud adalah bentuk jamak dari kata fard artinya bagian (ketentuan). Al-
Muqaddarah artinya ditentukan. Jadi al-furud al-muqaddarah adalah bagian-bagian yang telah
ditentukan oleh syara’ bagi ahli waris tertentu dalam pembagian harta peninggalan. Bagian itulah
yang akan diterima ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Furudul Muqaddarah ada enam macam:
1. Dua pertiga (2/3)
2. Setengah (1/2)
3. Sepertiga (1/3)
4. Seperempat (1/4)
5. Seperenam (1/6)
6. Seperdelapan (1/8)
Dasar hukumnya adalah firman Allah surat an-Nisa ayat 11-12, yang berbunyi:.
.‫ُوصي ُك ُماللَّهُفِيأَوْ اَل ِد ُك ْملِل َّذ َك ِر ِم ْثلُ َحظِّاأْل ُ ْنثَيَ ْينِفَإ ِ ْن ُكنَّنِ َسا ًء‬
ِ ‫فَوْ قَ ْاثنَتَ ْينِفَلَهُنَّثُلُثَا َماتَ َر َك َوإِ ْن َكانَ ْت َوا ِح َدةًفَلَهَاالنِّصْ فُي‬
‫وَأِل َبَ َو ْي ِهلِ ُكلِّ َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َماال ُّس ُد ُس ِم َّماتَ َر َكإ ِ ْن َكانَلَه َُولَ ٌدفَإ ِ ْنلَ ْميَ ُك ْنلَه َُولَ ٌد َو َو ِرثَهُأَبَ َواهُفَأِل ُ ِّم ِهالثُّلُثُفَإ ِ ْن َكانَلَهُإ ِ ْخ َوةٌفَأِل ُ ِّم ِهال ُّس ُد ُس ِم ْنبَ ْع ِد‬
‫﴾ َولَ ُك ْمنِصْ فُ َما‬۱۱﴿‫ضةً ِمنَاللَّ ِهإِنَّاللَّهَ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫صيبِهَاأَوْ َد ْينٍآَبَا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ُؤ ُك ْماَل تَ ْدرُونَأَيُّهُ ْمأ َ ْق َربُلَ ُك ْمنَ ْفعًافَ ِري‬ ِ ‫صيَّ ٍةيُو‬ ِ ‫َو‬
‫صينَبِهَاأَوْ َد ْينٍ َولَهُنَّالرُّ بُ ُع ِم َّماتَ َر ْكتُ ْمإ ِ ْنلَ ْميَ ُك ْنلَ ُك ْم َولَ ٌد‬ ِ ‫تَ َر َكأ َ ْز َوا ُج ُك ْمإ ِ ْنلَ ْميَ ُك ْنلَهُنَّ َولَ ٌدفَإ ِ ْن َكانَلَهُنَّ َولَ ٌدفَلَ ُك ُمالرُّ بُ ُع ِم َّمات ََر ْكنَ ِم ْنبَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍةيُو‬
. .‫احد‬ ِ ‫صيَّ ٍةتُوصُونَبِهَاأَوْ َد ْينٍ َوإِ ْن َكان ََر ُجلٌيُو َرثُكَاَل لَةًأَ ِوا ْم َرأَةٌ َولَهُأ َ ٌخأَوْ أُ ْختٌفَلِ ُكلِّ َو‬ ِ ‫فَإ ِ ْن َكانَلَ ُك ْم َولَ ٌدفَلَهُنَّالثُّ ُمنُ ِم َّمات ََر ْكتُ ْم ِم ْنبَ ْع ِد َو‬
۱۲﴿.‫صيَّةً ِمنَاللَّ ِه َواللَّهُ َعلِي ٌم َحلِيم‬ َ ‫ُوصىبِهَاأَوْ َد ْينٍ َغي َْر ُم‬
ِ ‫ضارٍّ َو‬ ِ ‫ِم ْنهُ َماال ُّس ُد ُسفَإ ِ ْن َكانُواأَ ْكثَ َر ِم ْن َذلِ َكفَهُ ْم ُش َر َكا ُءفِيالثُّلُثِ ِم ْنبَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍةي‬
''Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan

5
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.(11) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris).(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun(12)''. (Q.S. An-Nisa:11-12).

B. Pengertian Ashobah

Ashobah adalah laki-laki dari kerabat si mayait, dimana dalam nisbatnya ke si mayait,
tidak ada perempuan. Menurut al-Jauhari dalam bukunya, ash-shabhah, disebutkan bahwa
ashobahnya laki-laki adalah bapaknya, anaknya, dan kerabatnya sebapak. Dinamakan ashobah
karena mereka mengelilinginya. Dalam istilah ulama fiqih ashobah berarti ahli waris yang tidak
mempunyai bagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati oleh para ulaama
(seperti ash-habul furudh) atau yang belum disepakati oleh mereka (seperti dzawi al-arham).
Didalam kitab ar-Rahbiyyah, ashobah adalah setiap orang yang mendaapatkan semua
harta waris, yang terdiri dari kerabat daan orang yang memerdekakan budak, atau yang
mendapatkan sisa setelah pembagian bagian tetap.
Para fuqoha telah menyebutkan tiga macam kedudukan ashobah, yaitu:
1. Ashobah binafsihi ialah tiap-tiap kerabat yang leleki yang tidak diselangi seorang
wanita. Jumlah mereka adalah: Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
generasi dibawahnya, bapak dan kakek serta generasi diatasnya, saudara kandung,

6
saudara sebapak, anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara sebapak dan
generasi dibawahnya, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman kandung,
anak laki-laki paman sebapak.
2. Ashobah bighairihi ialah tiap waniya yang mempunyai furudh tapi dalam mawarits
menerima ushubah memerlukan orang lain dan dia bersekutu dengannya untuk menerima
ushubah itu. Mereka adalah:
a. Satu anak perempuan atau lebih, yang ada bersama anak laki-laki,
b. Satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, yang ada bersama cucu laki-
laki dari anak laki-laki.
c. Satu orang perempuan kandung atau lebih yang ada bersama saudara kandung
d. Satu orang saudara perempuan sebapak atau lebih yang ada bersama saudara laki-
laki sebapak.
3. Ashobah ma’a ghairi ialah tiap wanita yang memerlukan orang lain dalam menerima
ushubuah. Sedangkan orang lain itu tidak bersekutu menerima ushubah tersebut.[6]
mereka adalah:
a. Seorang saudara perempuan kadung atau lebih, yang ada bersama anak
perempuanatau cucu perempuan dari anak laki-laki.
b. Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih, yang ada bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

C. Bagian Ahli Waris

Bagian Masing-Masing Ahli Waris


1. Anak laki-laki
Kemungkinan memperoleh warisan
• Mendapatkan semua harta warisan, apabila tidak ada anak perempuan , ibu bapak,
suami/istri
• Sebagai ashabah binafsih, setelah diambil bagian dzawil furudh. Dan akan memperoleh
seluruh sisa jika tidak ada anak perempuan. Bila ada anak perempuan, maka bagiannya
adalah dua kali bagian perempuan.
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

7
Kemungkinan memperolah warisan
• Jika tidak terhijab, ia sebagai ashabah binafsih; bisa memperoleh seluruh warisan, jika tak
ada cucu perempuan dari anak laki-laki; jika ada cucu perempuan (dari laki-laki),
bagiannya dua kali bagian cucu perempuan.
• Tidak memperoleh warisan (terhijab), bila ada anak laki-laki.
3. Bapak
Kemungkinan memperoleh warisan:
• Dapat terhijab nuqshan
• 1/6 bagian, jika ada ahli waris anak atau cucu laki-laki
• 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan
• ’ashabah, jika tidak ada atau cucu baik laki-laki maupun perempuan
4. Kakek dari pihak bapak
Kemungkinan untuk memperoleh warisan:
• Bisa berhijab hirman, jika ada bapak
• 1/6 bagian jika ada anak atau cucu laki-laki
• 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak atau cucu perempuanSebagai ‘ashabah,
apabila tidak ada anak/cucu laki-laki maupun perempuan.
5. Saudara laki-laki sekandung
Kemungkinan memperoleh warisan:
• Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki atau bapak
• ashabah binafsih, bisa memperoleh seluruh sisa warisan.
• 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara baik laki-laki maupun perempuan
6. Saudara laki-laki sebapak
Kemungkinan memperoleh warisan:
• Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak,
saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung.
• ashabah binafsih.
• 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara sebapak baik laki-laki maupun perempuan
7. Saudara laki-laki seibu
Kemungkinan memperoleh warisan:

8
• Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau
perempuan dari anak laki-laki, bapak, kakek dari pihak bapak.
• 1/3 bagian jika terdiri dari dua orang atau lebih
• 1/6 bagian jika hanya satu orang
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari saudara
sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman sekandung, anak
laki-laki paman sebapak.
Kemungkinan memperoleh warisan:
• Bisa terhijab hirman
• Bisa ‘ashabah binafsih
9. Suami
Kemungkinan memperoleh warisan:
• Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak atau cucu
• 1/2 bagian jika tidak ada anak atau cucu
• 1/4 bagian jika ada anak atau cucu
10. Anak perempuan
Kemungkinan memperoleh warisan:
• Tidak dapat terhijab1/2 bagian jika hanya seorang dan tidak ada laki-laki
• 2/3 bagian jika lebih dari satu orang dan tidak ada anak laki-laki
• 'ashabah bil ghairi jika ada anak laki-laki
11. Cucu perempuan dari anak laki-laki
Kemungkinan mendapat warisan:
• Dapat terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, dua anak perempuan atau lebih
• 1/2 bagian, jika hanya seorang, tidak ada cucu laki-laki, atau seorang anak perempuan.
• 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki atau seorang anak
perempuan.
• 1/6 bagian, jika ada anak perempuan tapi tidak ada cucu laki-laki.
12. Ibu
Kemungkinan mendapat warisan :
• Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak cucu atau dua orang saudara atau lebih
• 1/3 bagian, jika tidak ada anak, cucu, atau dua orang saudara atau lebih

9
• 1/3 dari sisa, jika termasuk gharawain. Gharawain adalah jika ahli waris terdiri dari
suami, ibu dan bapak, atau istri, ibuk dan bapak.
• 1/6 bagian jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih
13. Nenek
Kemungkinan memperoleh :
• Bisa terhijab hirman, jika ada anak, ibu atau bapak
• 1/6 bagian (untuk seorang atau dua orang nenek, jika tidak ada anak, ibu atau bapak)
• Saudara perempuan kandung
• Kemungkinan mendapat warisan :
• Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki, cucu laki – laki dari anak laki – laki, bapak
• 1/2 bagian, jika hanya seorang atau tidak ada anak, cucu perempuan atau saudara laki –
laki sekandung
• 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak cucu perempuan atau saudara
laki – laki sekandung
• Bisa ‘ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki – laki kandung, tapi ada ahli waris
anak perempuan atau cucu perempuan atau anak dan cucu perempuan.
14. Saudara Perempuan Sebapak
Kemungkinan memperoleh warisan :
• Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki, cucu laki – laki, bapak, dua orang atau
lebih saudara perempuan kandung bersama anak/cucu perempuan.
• 1/2 bagian, jika seorang dan tidak ada saudara laki – laki, bapak anak, cucu perempuan
atau saudara perempuan sekandung.
• 2/3 bagian, jika terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak ada ahli waris anak, saudara
laki – laki sebapak atau saudara perempuan kandung.
• 1/6 bagian, jika ada seorang saudara perempuan kandung tetapi tidak ada anak, cucu
perempuan atau saudara laki – laki sebapak.
• Ashabah bilghairi jika ada saudara laki – laki sebapak
• Ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki – laki sebapak, saudara perempuan
kandung. Tapi ada ahli waris anak perempuan atau cucu perempuan.
15. Saudara perempuan seibu
Kemungkinan memperoleh warisan :

10
• Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki atau perempuan, cucu laki – laki dari anak
laki – laki, cucu perempuan dari anak laki – laki, bapak atau kakek dari pihak bapak.
• 1/3 bagian jika terdiri dari dua orang atau lebih
• 1/6 bagian jika hanya seorang
16. Istri
Kemungkinan memperoleh warisan :
• Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak atau cucu
• 1/4 bagian, jika ada anak atau cucu, baik laki – laki maupum perempuan
• •1/8 bagian jika ada anak atau cucu baik laki – laki maupun perempuan

D. Cara Perhitungan Waris dalam Hukum Islam


Menurut hukum islam, warisan dibagi berdasarkan dengan masing-masing ahli waris
yang sudah ditetapkan besarannya. Namun, warisan juga dapat dibagi berdasarkan dengan wasiat
seseorang. Wasiat hanya diperbolehkan memberi sepertiga dari harta warisan kecuali jika semua
ahli waris setuju untuk memberikan seluruh harta warisan. Sementara itu, ahli waris menurut
islam adalah orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris
dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli pewaris.
Sebagai contoh, seseorang meninggalkan warisan pada ayah, ibu, istri, dan 3 anaknya (1
anak laki-laki dan 2 anak perempuan). Pembagiannya adalah ayah dan ibu mendapatkan 1/6
karena pewaris memiliki anak, sedangkan istri mendapatkan 1/8. Sisanya akan diberikan pada
anak-anaknya dengan sistem pembagian anak laki-laki mendapatkan 2 kali lebih besar daripada
anak perempuan dengan perbandingan 2:1.

E. Pengertian Dzawil Arham

Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti
'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi
'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja
disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim
tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah
syariat Islam. Allah berfirman:

11
"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi
dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22)
Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya,
maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris
yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah,
dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang
bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris
yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara
ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah.
Yang tergolong kelompok ini adalah:
1. Cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan;
2. Anak laki-laki dan perempuan dari cucu perempuan;
3. Kakek dari pihak ibu dan nenek dari pihak kakek;
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki (sekandung, sebapak, atau seibu);
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu;
6. Anak saudara perempuan sekandung, sebapak, dan seibu;
7. Saudara perempuan bapak dan saudara perempuan kakek;
8. Saudara laki-laki seibu dengan bapak dan saudara laki-laki seibu dengan kakek;
9. Saudara laki-laki dan perempuan dari ibu; dan
10. Anak perempuan paman dan bibi dari pihak ibu.

F. Pengertian Hijab dan Mahjub


Hijab artinya penghalang. Maksudnya ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli
waris yang lebih jauh sehingga tidak dapat menerima atau dapat menerima tetapi bagian mereka
berkurang.

12
Macam - macam Hijab
Dalam hukum waris Islam, hijab dikualifikasikan kepada 2 macam yaitu:

1. Hijab Nuqshan
Yaitu penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian seorang ahli waris, dengan
kata lain berkurangnya bagian yang semestinya diterima oleh seorang ahli waris karena ada ahli
waris lain. Seperti suami, seharusnya menerima bagian ½, akan tetapi karena bersama anak
perempuan maka bagiannya menjadi ¼. Seharusnya Ibu mendapat bagian 1/3, karena bersama
anak maka bagian Ibu berkurang menjadi 1/6.
2. Hijab Hirman
Yaitu penghalang yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak memperoleh sama sekali
warisan disebabkan ahli waris yang lain. Contoh, seorang cucu akan terhijab jika si mayat
mempunyai anak laki-laki.
Sedangkan Mahjub (terhalang), yaitu ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris yang
lebih dekat sehingga sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima tetapi bagiannya
berkurang.
Batalnya hak menerima waris jika:
1) Tidak beragama Islam.
2) Murtad dari agama Islam.
3) Membunuh
4) Menjadi hamba.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ahli waris adalah orang yang bisa
memperoleh warisan dari seseorang yang memperoleh warisan dari seseorang yang meninggal
dunia. Adapun penggolongan ahli waris ada bermacam-macam, yaitu ada yang berdasarkan
sebab-sebab menerima warisan, besarnya hak yang akan diterima ahli waris, dan penggolongan
ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Sedang pembagian hak masing-masing ahli waris
telah ditentukan berdasarkan ketetapan syari’at Islam.

B. Saran
Demikian makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah fiqh mawaris tentang ahli waris
dan bagiannya. Karya ini merupakan hasil maksimal dari saya, dan saya menyadari bahwa
makalah ini jauh dari harapan dan sempurna. Karena itu, saran dan masukan dari pembaca sangat
saya harapkan dalam penyempuranaan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Drs. H Djedjen Zainuddin (2004) Fiqih. Semarang: Karya Toha Putra.


Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003)
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006)
Darusnal, Chandra, Hukum Waris Perdata, ( Makalah Universitas Batam, 2009)
Hadpiadi. Beberapa Asas Hukum Kewarisan (http://www.hukum waris.com, 2011)
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004)

15

Anda mungkin juga menyukai