Anda di halaman 1dari 5

Dasar Pemikiran Aswaja

1.Bidang Aqidah

a.Pemikiran Aqidah Imam Abul Hasan al – Asy’ari

Asy’ariyah merupakan sebuah paham teologis yang dibangun oleh Abul Hasan bin Ismail, yang dikenal
dengan nama Asy’ari. Asy’ariyah sebagai bentuk penjabaran doktrin akidah Islam yang sangat dikenal
pada masa itu. Mazhab al-Asy’ari adalah mazhab teologis yang dinisbatkan terhadap pendirinya, al-
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Mazhab ini diikuti mayoritas kaum muslim Ahlussunnah wal Jama’ah dari
dulu hingga kini.

Imam Abul Hasan Al Asy’Ari dikenal sebagai pencetus Aqidah Asy’ariyah yang kemudian

dikembangkan secara bertahap oleh murid-muird dan pengikut-pengikutnya. Di antara para ulama
pengikut yang berjasa dalam mengembangkan teologi Asy’ariyah antara lain; Imam Al Baqillani(Abu
Bakar Muhammad bin Thayib bin Muhammad bin Ja’far bin Al Qasim Al Baqillani), Imam Al Juwaini
(Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Hayawaih Al Juwaini An Nisaburi), Imam Al Ghazali (Zainuddin
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali), dan lain-lain.

Secara umum, corak pemikiran teologi Asy’ariyah bertentangan dengan aliran Mu’tazilah yang
berlebihan memuja kemampuan akal (ekstrimis rasionalis), sampai-sampai dalam banyak hal
mengenyampingkan keberadaan Al Quran dan As Sunnah yang seharusnya menjadi sumber rujukan
utama umat Islam dalam berbagai hal. Sekalipun menolak corak pemikiran Mu’tazilah yang ekstrimis
rasionalis, bukan berarti teologi yang dibangun oelh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meniadakan sama sekali
keberadaan akal (ilmu, logika, dan filsafat). Akan tetapi akal ditempatkan secara proporsional, bukan
dipuja secara berlebihan melainkan digunakan sebagai alat bantu untuk memahami Al Quran dan As
Sunnah. Oleh sebab itu, Al Asy’ari juga tidak sependapat dengan aliran kalam yang menolak sama sekali
penggunaaan akal untuk memahami spirit (makna kontektual) agama. Menurutnya, paham yang
menolak keberadaan akal secara ekstrim dan hanya memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah
secara leteral seperti yang dilakukan oleh golongan ekstrimis tekstualis yang jelas tidak dapat
dibenarkan. Karena nash-nash itu selain dipahami secara tekstual, juga harus pula dipahami secara
konstektual sehingga jiwa dari nash itu akan tampak kebenarannya untuk kemudian dijadikan sebagai
petunjik bagi manusia.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa corak pemikiran teologi Asy’ariyah merupakan sintesa antara
paham ekstrimis tekstual dengan aliran ekstrimis rasionalis, dan senantiasa menjunjung tinggi petunjuk
Al Quran dan As Sunnah sebagai sumber rujukan utama umat Islam.

Adapun produk – produk pemikiran teologi Asy’ariyah dapat disarikan sebagai berikut:

1)Dzat dan Sifat Tuhan

Dzat Tuhan tidak dapat dan tidak boleh disamakan dengan dzat (esensi) makhluk. Apabila dalam Al
Quran disebutkan kata wajah (muka), yad (tangan), dan a’in (mata) yang dinisbatkan (dikaitkan) kepada
Tuhan.
Sementara mengenai sifat Tuhan, Al Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim yang berkembang
pada masa itu. Di satu pihak berhadapan dengan kelompok Mujassimah (mempersonifikasikan Tuhan)
beserta kelompok Musyabbihah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk) yang berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan As Sunnah itu harus dipahami menurut arti
harfiyah (leteral)nya.

Di lain pihak Al Asy’ari juga berhadapan dengan paham Mu’tazilah yang berpandangan bahwa sifat-sifat
Allah itu tidak lain adalah Dzatnya. Menghadapi kedua kelompok tersebut, Al Asy’ari berpendapat
bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat seperti mengetahui (Al ‘ilmu), mendengar (As Sam’u), kuasa (Al
Qudrah), dan lain sebagainya. Akan tetapi Allah mengetahui bukan dengan dzatnya, melainkan dengan
pengetahuannya. Sifat – sifat Allah itu tidak identik dengan Dzatnya, tetapi melekat dan tidak
terpisahkan dengan dzatnya. Karena Allah bersifst Qadim, maka sifat – sifatnya nya juga qadim dan
bersifat azali sebagaimana diungkapkan oleh As Syahrastani dalam kitab Al Milal wan Nihal halaman 76.

2) Al Qur’an Kalamullah

Al Qur’an adalah kalam Allah yang qadim dan bukan makhluk. Sebab jika dianggap sebagai makhluk yang
terdapat pada Q.S An-Nahl:40.

Selanjutnya Al Asy’ari membagi Al Qur’an sebagai kalam Aallah itu menjadi dua macam: Kalam Nafsi dan
Kalam Lafdhi.

Kalam Nafsi : adalah kalam dalam artian abstrak yang menyatu pada dzat Allah, bersifat qadim dan azali.

Kalam Lafdhi : adalah kalam dalam artian sebenarnya, dapat ditulis dalam bentuk huruf dan kata-kata
serta dapat dibaca dengan suara oleh makhluknya.

Al Qur’an dalam bentuk kalam lafdzi ini adalah sesuatu uang baru (hadits), sebagai barang
buatan dan termasuk makhluk.

3) Perbuatan manusia

Perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan
bersamaan dengan wujud perbuatan itu manusia memiliki andil yang disebut dengan “kasb” (usaha). Hal
ini menunjukkan adanya dua daya dalam perbuatan manusia, yaitu daya yang diciptakan oleh Allah
kemudian menjadi kasb (usaha) bagi manusia yang dengan dayanya itu timbullah perbuatan-
perbuatannya. Allah adalah khaliq (pencipta) perbuatan manusia,sedangkan manusia adalah muktasib
yang mengupayakan perbuatannya.

4) Melihat Allah di akhirat

Dalam Al Qur’an surat al-Qiyamah ayat 22-23, al-Asy’ari berpendapat bahwa melihat Allah di akhirat
adalah hal yang mungkin terjadi. Pendapat ini disetujui oleh seluruh ulama Ahlusunnah wal Jamaah. Hal
ini bukan berarti bahwa Allah berada di surga karena Allah Swt tidak membutuhkan tempat (tidak surga,
dilangit atau di Arasy atau di tempat lainnya), tetapi orang-orang mukmin itulah yang berada disruga.
Melihat Tuhan (rukyatullah) di surga merupakan suatu kenikmatan paling agung yang diterima oleh
orang-orang mukmin.
Intinya,Tuhan tidak mungkin dapat dilihat kelak diakhirat, tetapi tidak dengan arah dan cara tertentu.
Karena itu manusia sekarang tidak dapat mengetahui dan membayangkan bagaimana peristiwa itu
terjadi, sebab demikian itu merupakan rahasia Tuhan.

5) Status orang mukmin yang melakukan dosa besar

Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum bertobat tetap sebagai
mukmin, selama dalam hatinya masih ada iman. Akan tetapi lantaran perbuatan dosa besarnya itu,
maka ia menjadi mukmin yang fasiq (pendurhaka). Sementara itu, Tuhan adalah Maha Kuasa dan Maha
Berkehendak mutlak, maka menjadi hak mutlaknya pula untuk mengampuni atau tidak mengampuni
dosa besar yang dilakukan hamba nya yang beriman. Jelasnya, orang beriman yang melakukan dosa
besar tidak serta merta menjadi kafir dan tidak akan kekal di neraka, karena yang kekal di neraka
hanyalah orang-orang musyrik dan kafir.

6) Keadilan Tuhan

Allah Swt berkuasa secara mutlak dan tidak ada sesuatu yang wajib baginya. Allah bebas berbuat
sekehendaknya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, bukan berarti ia
bersifat tidak adil, dan sebaliknya jika dia memasukkan semua manusia kedalam neraka pun bukan
berarti dia berbuat dzalim. Konsep keadilan ini dibangun berdasarkan pemahaman bahwa yang
dimaksud dengan keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenernya, sedangkan
ketidakadilan berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dengan konsep keadilan ini, Al
Asy’ari berusaha membersihkan ke Tuhanan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak baginya. Kekuasaan
Tuhan itu mutlak terhadap manusia, dan manusia tidak berdaya dalam memperoleh hasil perbuatannya.

b. Pemikiran Aqidah Imam Al – Maturidi

Imam Abu Mansur Al Maturidi dikenal sebagai perumus teologi Maturidiyah pada pertengahan abad
3H/9M di Samarkand. Dalam bidang fiqih, Al Maturidi dikenal sebagai salah seorang ulama Hanafiyah
(bermadzab Hanafi) yang banyak mencurahkan perhatiannya pada lapangan teologi, sehingga aliran
teologi yang dibangunnya banyak dianut oleh umumnya ulama yang dalam bidang Fiqih bermadzab
Hanafi. Sebagaimana teologi Asy’ariyah, kelahiran teologi Maturidiyah merupakan respon terhadap dua
aliran ekstrimis rasionalis dan ekstrimis tekstualis, sehingga kelahirannya dilatar belakangi oleh upaya
mengambil sikap tengah (tawassuth) diantara keduanya.

Sekalipun tidak sebanyak dan sepopuler nama-nama para pengikut dan penerus teology Asy’ari, di
kalangan pengikut teologi Maturidiyah dikenal beberapa ulama besar yang berpengaruh di dunia islam,
di antaranya:

(1) Abu Ishaq bin Isma’il yang populer bergelar Al Hakim As Samarqandi

(2) Imam Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa Al Bazdawi

(3) Imam Abul Laits Al Bukhairi


Sesudah imam At Turmudzi wafat, para pengikutnya terbagi menjadi duagolongan, yaitu golongan yang
sepenuhnya mengikuti pendapat-pendapat At Turmudzi yang dikenal dengan nama Maturidiyah
Samarkand, dan golongan yang tidak sepenuhnya mengikuti beliau yang dikenal dengan nama
Maturidiyah Bukhara. Golongan kedua ini adalah pengikut Imam Abu Muhammad Abdul Karin bin Musa
Al Bazdawi ( Imam Al Bazdawi ) yang pemikiran kalamnya banyak berbeda dengan pemikiran murni Al
Maturidi, atau bahkan bersebrangan dan lebih dekat dengan pemikiran Al Asy’ari, sejalan dengan
pemikiran teologi yang banyak dianut oleh para ulama Bukhara.

Sebagaimana Imam Al Asy’ari, Imam Abu Mansur Al Maturidi juga dikenal sebagai tokoh
pencetus (muassis) aliran teologi Ahlussunnah wal Jama’ah.

Meskipun secara garis besar terdapat persamaan pemikiran teologi antara Al Asy’ari dengan Al Maturidi
(sama-sama Ahlussunnah wal Jama’ah), namun diantara keduanya tetap saja ada nuansa perbedaan
yang menjadi coraknya masing-masing.

Adapun produk – produk pemikiran teologi Maturidiyah dapat disarikan sebgai berikut:

1.Akal dan fungsi wahyu

Akal dapat menjangkau kesimpulan tentang adanya Allah, juga mampu mengetahui kewajiban
berterima kasih kepadaNya. Karena Allah adalah pemberi nikmat, maka manusia harus dapat
mengetahui keharusan berterima kasih kepada pemberi nikmat. Imam al-Maturidi juga berpendapat
bahwa akal bisa mengetahui baik dan buruk sesuatu berdasarkan sifat-sifat dasar (nature) yang baik
pada perbuatan baik dan sifat-sifat buruk pada perbuatan buruk. Menurut Imam al-Maturidi, baik dan
buruk ada tiga hal. Pertama, kebaikan yang hanya dapat dicapai oleh akal semata-mata. Kedua, kebaikan
dan keburukan yang tidak dapat dicapai oleh akal, dan hanya diperoleh melalui wahyu. Ketiga,
kewajiban melaksanakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk, akal tidak bisa bertindak
sendiri dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya, karena pembuat taklif hanya Allah SWT.

2.Perbuatan manusia

Perbuatan manusia terbagi dua. Pertama, perbuatan Allah yang mengambil bentuk penciptaan daya
pada diri manusia. Kedua, perbuatan manusia yang mengambil bentuk pemakaian daya berdasarkan
pilihan dan kebebasan. Daya itu diciptakan bersama-sama dengan perbuatannya, karena perbuatan
manusia dikatakan ciptaan Allah. Perbuatan yang diciptakan itu diperoleh manusia melalui peran
aktifnya dengan menggunakan daya ciptaan Allah.

3.Perbuatan Allah

Perbuatan Allah mengandung hikmah yang ditentukan sendiri, tidak ada yang sia-sia. Perintah dan
larangan dari Allah pasti mengandung hikmah. Diperintahkan karena banyak mengandung manfaat dan
dilarang karena banyak madharatnya. Mustahil bagi Allah memerintahkan keburukan dan melarang
perbuatan baik. Namun, perbuatan itu tidak wajib, karena kalau wajib meniadakan iradah Allah, jika
wajib maka Allah dipaksa, dan apabila dipaksa berarti derajat Allah dibawah makhluk.

4.Perbuatan Dosa Besar dan Iman

Amal sebagian dari iman, jika seseorang melakukan dosa besar, sedangkan ia masih beriman kepada
Allah dan RasulNya, maka ia tetap seorang mukmin. Dosa besar tidak membuat seseorang abadi di
neraka, sekalipun mati sebelum bertaubat. Alasan yang dikemukakana dalah Allah akan membalas
kejahatan dengan hukuman yang setimpal. Dosa yang tidak diampuni hanya syirik. Sepanjang seseorang
tidak syirik, maka ia tetap mukmun dan kalaupun ke neraka tidak selamanya.

5.Sifat-sifat Allah

Allah memiliki sifat. Sifat bukanlah dzat, sifat bukanlah yang tegak atau melekat pada zat, sehingga tidak
bisa dikatakan bahwa terbilangnya sifat akan mengakibatkan kepada ta’addud al-qudama’. Contoh,
Tuhan Maha Mendengar, Imam al-Maturidi tidak mengatakan bahwa Allah itu Maha Mendengar dan
pendengaran-Nya itu adalah zatNya. Juga tidak mengatakan bahwa pendengaran Allah itu berdiri sendiri
terpisah dari zatNya yang mengakibatkan berbilangan sesuatu yang qadim.

6.Keqadiman al-Qur’an

Kalam Allah adalah makna yang berada pada zatNya. Ia qadim dengan keqadiman yang tinggi. kalam
Allah pada mulanya tidak terdengar karena jika terdengar, berarti suara, sedangkan suara itu baru atau
makhluk. Kalam Allah ada dua, kalam nafsi, yang sifatnya qadim, dan kalam lafdzi, yang sifatnya hadis.
Tuhan tidak akan pernah menyalahi janjinya. Tuhan pasti memberi pahala orang yang berbuat baik dan
menghukum orang yang berbuat jahat. Tuhan tridak memiliki kekuasaan mutlak lagi karena dibatasi oleh
keadilannya. Tuhan tidak mungkin membebani hambaNya dengan beban di luar kemampuannya.

7.Melihat Allah

Melihat Allah mungkin karena hari kiamat berbeda dengan dunia. Pada hari kiamat berlaku ilmu Allah
yang khusus, tanpa harus bertanya bagaimana caranya. Adapun pengibaratan melihat Allah dengan
melihat bulan tanpa awan adalah memudahkan pemahaman.

2. Bidang Syari’ah ( Madzab )

Anda mungkin juga menyukai