Anda di halaman 1dari 9

TUGAS AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN 4 (AIK 4)

MATA KULIAH : AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN 4

SEMESTER :4

DOSEN PEMBIMBING : Dr.Hj SITI RUCHANAH M.Ag

DI SUSUN OLEH :

1. Diah putri anggraeni 181540100006

STUDI D-III KEBIDANAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


SIDOARJO
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikanrahmat taufik 
dan hidayah-Nya sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya. Penulisanmakalah yang
 berjudul “Kedudukan Ulama dalam Islam & Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan
ajaran agama”.
bertujuan untuk mengetahui gerakMuhammadiyah dalam bidang ekonomi dan peran Muha
mmadyah dalam Berbangsa danBernegara. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan da
lam penulisan makalah ini, itudikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berka
t dorongan dan bimbingan dariberbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini tepat pada 
waktunya. Penulis berharapdalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sen
diri dan bagi parapembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbanga
n untukmengembangkan atau meningkatkan prestasi di masa yang akan datang
.
Sidoarjo, 10 februari 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa
petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan
kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi
kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa kedudukan ulama dalam islam ?
2. Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan ajaran agama ?
C. Tujuan
1. Mengetahui kedudukan ulama dalam islam
2. Mengetahui Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan ajaran agama

BAB Il
PEMBAHASAN

Kedudukan Ulama dalam Islam (Jaga adab kita)

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa
petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan
kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi
kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

ٍ ‫ين أُو ُتوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا‬


‫ت‬ َ ‫َيرْ َف ِع هَّللا ُ الَّ ِذ‬
َ ‫ين آَ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذ‬
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-
Mujadilah: 11)

Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk akan
ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut memohonkan ampun
baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar
tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan
yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang
mewariskannya itu.

Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda,

“Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang
menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang
alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang
berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan
purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya
para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan
barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang
paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223)
dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid).

Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan dakwah
di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang
dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul
antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk
menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.

Muhammad bin al-Munkadir berkata,

“Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah
bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata,


“Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi perantara antara Allah dengan
hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”

Sahl bin Abdullah berkata,

“Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya para
ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu
terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia
menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu
tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab,
‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau
orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”

Maimun bin Mahran berkata,

“Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”

Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib atas orang-
orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya.

Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda,

“Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi
yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.”

Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan
kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan hukum-hukum dan yang
semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang
dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa
dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.

Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang ilmu
tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat tentang
kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat tentang senibena kepada para
dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.

Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer?
Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim mengenainya dan tidak
pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam
yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli istimbath?

Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan cermat dalam
beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-nash yang jelas
tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini,
dan tidaklah begitu mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash
kecuali para ulama yang berkelayakan.
Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama,
tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)’.”

Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”,
tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu.
Dan dari Ibu Juraij,  “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah
yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari:

Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami
turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44,  berkata: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-
perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan
pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan
kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)

Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini:

Ini merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka
tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk
kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau
ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak
tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang faham akan
permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka memandang pada penyebaran
berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan
mereka, serta dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka
memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar
dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari
mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.

Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu
masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih dekat
dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa
menyebarkan berita tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan
merenungi sebelum berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah.
Selesai ucapan syaikh rahimahullahu.

Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan hukum-
hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh
campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata,

“Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim,
kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya
khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama.
Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit
difahami baik dalam ilmu ataupun agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan
kemampuan itu pada dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum
dalam satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-
Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap
pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.

Dan kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga
memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan permintaan.

Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan


ajaran agama
A. Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan ajaran agama
Agama dan ilmu sangatlah saling terkait karena orang yang banyak ilmunya apabila tanpa di topang
oleh agama semua ilmu tidak akan membawa kemaslahatan umat, sebagai contoh negara- negara
maju yang sangat gigih mendalami ilmu dan teknologi, tetapi sering menjadi sumber pemicu
terjadinya peperangan, begitupun juga orang yang sangat sibuk dengan belajar agama ,tetapi tidak
mau menggali ilmu dan pengetahuan alam disekitar kita , maka akan mengalami kemunduran ,
sedangkan untuk mencapai kebahgiaaan akhirat haruslah banyak berbut/beribadah dalam hal untuk
kemajuaan umat, apa jadinya apabila semua umat berkutik di ritualitas saja, ini adalah suatu
pertanyaan gambaran yang menyedihkan.
Seperti halnya dengan ilmu dan filsafat, agama tidak hanya untuk agama, melainkan untuk
diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya. Pengetahuan dan kebenaran agama yang
berisikan kepercayaan dan nilai- nilai dalam kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan
tujuan dan pandangan hidup manusia, dan sampai kepada prilaku manuisitu sendiri. Dalam agama
sekurang – kurangnya ada empat ciri yang dapat kita kemukakan, yaitu : Adanya kepercayaan
terhadap yang gaib, kudus, dan maha agung, dan pencipta alam semesta (Tuhan) .

Melakukam hubungan dengan hal- hal diatas,dengan berbagai cara. Seperti dengan mengadakan
acara – acara ritual, pemujaan, pengabdian, dan, doa.
Adanya Suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya.
Menganut ajaran Islam, ajaran tersebut diturunkan oleh Tuhan rtidak langsung kepada seluruh umat
manusia, melainkan kepada Nabi – nabi dan rasulnya. Maka menurut ajaran islam adanya rosul dan
kitab suci merupakan ciri khas dari pada agama.Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena
agama menekankan keterlibatan pribadi, walaupun kita dapat sepakat tidak ada definisi agama yang
dapat diterima secara universal. Kemajuan spritual manusia dapat diukur dengan tinggi nilai yang tak
terbatas yang ia berikan kepada objek yang ia sembah. Seorang yang religius merasakan adanya
kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi
kepribadian dan kebaikan.

Wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup mengadili
agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak
berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena i-tu mereka selalu menutup pendapatnya
dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar.
Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati,
ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika.Meski demikian,
dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan berinteraksi satu sama lain.

Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu
diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya.
Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al
khuluq, yakni akhlak yang baik.

Agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Kedua-duanya terdiri dari subjek-
subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud. Keduanya juga
melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia yaitu kebahagiaan tertinggi. Filsafat
memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya
berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai
metode-metode persuasivfe untuk menjelaskannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi
mereka. Filsafat dan agama merupakan pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Filsafat
dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang
meyakinkan, suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis yang
pasti. Berdasarkan alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala
ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, dan seni dari segala seni.

Anda mungkin juga menyukai