Anda di halaman 1dari 5

KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN COVID-19

Hendra Kurniawan, S.Si., M.Si.


Ketua Program Studi Kehutanan, Universitas Muhammadiyah Jambi

Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2020 yang diperingati setiap tanggal 5 Juni
terasa spesial karena diperingati ditengah pandemi Corona Virus Disease (COVID-
19). Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menetapkan tema
besar untuk Hari Lingkungan Hidup Sedunia kali ini yaitu Time for Nature dengan
fokus pada keanekaragaman hayati. UNEP juga menetapkan Kolombia menjadi
tuan rumah peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dalam kemitraan dengan
Jerman.

Mengapa UNEP menetapkan keanekaragaman hayati sebagai fokus dari tema


besar peringatan tahun ini ditengah global sedang menghadapi pandemi yang
menyebabkan banyak korban jiwa?. Seberapa pentingkah keanekaragaman hayati
di tengah situasi pandemi seperti saat ini?. Apa hubungan keanekaragaman hayati
dan Covid-19?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat menarik untuk dicermati
dan dibahas.

Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati adalah kekayaan atau bentuk kehidupan di bumi, baik


tumbuhan, hewan, mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, maupun
ekosistem, serta proses-proses ekologi yang dibangun menjadi lingkungan hidup
(Primack et al. 1998 dalam Kuswanda 2009).

Keanekaragaman hayati merupakan hal yang penting bagi kehidupan.


Keanekaragaman hayati berperan sebagai indikator dari sistem ekologi dan sarana
untuk mengetahui adanya perubahan spesies. Keanekaragaman hayati juga
mencakup kekayaan spesies dan kompleksitas ekosistem sehingga dapat
mempengaruhi komunitas organisme, perkembangan dan stabilitas ekosistem
(Rahayu 2016).

Keanekaragaman hayati yang tersedia di alam sangat dibutuhkan oleh manusia


sebagai sumber ilmu pengetahuan, sumber bahan pangan, sumber bahan sandang,
sumber obat-obatan, sumber papan, sumber pendapatan, sumber bahan kosmetik,
sumber budaya, sumber kebutuhan sekunder dan sumber plasma nutfah (genetik).

Kebutuhan manusia untuk memanfaatkan sumberdaya keanekaragaman hayati


membuat manusia mendapatkan ilmu untuk memanfaatkannya secara maksimal.
Keanekaragaman hayati yang berlimpah dan beranekaragam menghasilkan pilihan
bahan pangan beragam yang dapat dimanfaatkan manusia. Banyak serat alami
yang tersedia di alam seperti rami, kapas, labu air dan sebagainya yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan sandang oleh manusia. Selain itu, beberapa hewan
juga dapat menyumbangkan sumber sandang untuk manusia, antara lain domba
yang menghasilkan bulu, sapi menghasilkan kulit, ulat sutra untuk membuat kain
sutra dan bulu burung untuk dijadikan hiasan pakaian. Keanekaragam tumbuhan
dan hewan pun sejak lama telah dimanfaatkan manusia menjadi sumber bahan
dasar pembuatan obat-obatan tradisional maupun obat-obatan modern. Untuk
kebutuhan pemukiman pun, manusia masih sangat tergantung dengan tersedianya
bahan-bahan yang ada dari alam. Kekayaan alam yang berasal dari
keanekaragaman hayati mendatangkan sumber pendapatan bagi masyarakat.
Melimpah ruahnya keanekaragaman hayati menyediakan banyak bahan untuk
keperluan kosmetik anatara lain lidah buaya, urang aring, minyak kelapa, madu,
berbagai macam bunga dan tanaman penghasil minyak atsiri. Keanekaragaman
hayati berpadu dengan variasi bentang alam dan kondisi geografis menghasilkan
keanekaragaman suku dan budaya. Selain itu, keanekargaman hayati tidak hanya
memenuhi kebutuhan pokok manusia tapi juga kebutuhan sekunder manusia
seperti kebutuhan liburan dan relaksasi. Kenakeragaman hayati menyediakan
plasma nutfah yang dapat dipelajari manusia untuk menciptakan varietas unggul
yang memiliki produktifitas tinggi.

Kondisi keanekaragaman hayati saat ini sangat memprihatinkan. John Scott


dalam How biodiversity loss is hurting our ability to combat pandemics, melaporkan
bahwa dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 90 persen varietas tanaman telah
menghilang. Kondisi itu telah mengurangi keanekaragaman hayati secara langsung
yang terkait dengan berkembangnya wabah atau faktor resiko kesehatan. Antara
1980 sampai 2013 tercatat 12.012 jenis wabah dengan menelan korban 44 juta
kasus individu di berbagai negara di dunia.
Aktivitas manusia memunculkan akibat yang signifikan terhadap kondisi alam
maupun makhluk hidup di sekitar. Peneliti Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra mengatakan
deforestasi (hilangnya hutan akibat kegiatan manusia) untuk pertanian, urbanisasi,
industrialisasi merusak keseimbangan ekosistem dan berkontribusi terhadap
penyakit infeksi baru atau new emerging infectious disease. 

Laporan ilmiah berjudul “Hilangnya Hutan Dikaitkan dengan Wabah Penyakit Virus
Ebola” pada 2017 yang ditulis oleh Jesus Olivero dkk., menyebutkan terdapat
implikasi antara wabah virus ebola dengan hilangnya hutan. Kontak antara manusia
dan satwa liar yang terinfeksi meningkat setelah terjadi penebangan hutan.

Berdasarkan publikasi Journal of Medical Virology edisi 22 Januari 2020, setelah


membandingkan lebih dari 200 jenis virus corona dari berbagai hewan, diketahui
bahwa material genetik Novel Corona Virus (2019-nCoV) merupakan rekombinasi
dari genetik virus yang berasal dari kelelawar dan ular. Kode protein atau material
genetik 2019-nCoV juga memiliki kesamaan dengan material genetik dari ular.

Sugiyono menjelaskan rekombinasi merupakan gabungan antara bagian selubung


virus dari virus corona yang berasal dari dua hewan. Keduanya sama-sama dapat
menginfeksi manusia. Selubung virus atau virus spike, kata Sugiyono, merupakan
bagian yang akan menempel atau menginfeksi sel inang jika reseptornya sesuai.
Mutasi pada bagian ini yang menyebabkan virus corona dari ular dapat menginvasi
sel-sel pada saluran pernapasan manusia.

Zoonosis

Penyakit zoonosis merupakan infeksi yang ditularkan hewan ke manusia. Kondisi ini
bisa berlanjut pada wabah penyakit berbahaya dan menular. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 75 persen penyakit baru yang ditemukan
bersifat zoonotik.

Sementara ahli kebijakan lingkungan yang juga akademisi Institut Pertanian Bogor
(IPB), Hariadi Kartodiharjo berpendapat, munculnya SARS-CoV-2 ini terjadi karena
hilangnya jasa alam berupa keanekaragaman hayati yang mengakibatkan
ketidakseimbangan populasi. Terputusnya rantai alam dan rusaknya habitat akibat
eksploitasi, mendorong hewan liar mendekati populasi manusia. Dengan begitu bisa
meningkatkan kemungkinan virus zoonosi seperti SARS-CoV-2 melakukan lompatan
lintas spesies dan manusia sebagai inang.

Adapun Ketua II Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI),
Drh. Tri Satya Putri Naipospos menyebut, virus corona bukan jenis virus baru, tetapi
masih termasuk ke dalam kelompok virus besar. Golongan tersebut terbagi menjadi
tiga yakni, animal corona virus atau virus yang menyerang hewan seperti SARS dan
MERS, human corona virus yang menyerang manusia seperti influenza, dan virus
corona yang bermutasi. Kelompok terakhir diketahui dapat melompat dari hewan ke
manusia dan bisa menyebar dari manusia ke manusia. Kapan melompatnya dan di
waktu apa bisa terjadi coronavirus ini menyerang manusia, manusia tidak bisa
memprediksi. Di Wuhan, secara genetik dan RNA yang membangun virus ini
berbeda dari coronavirus sebelumnya.

Menurut Tata, gaya hidup seperti memakan satwa liar memicu penularan virus.
Beberapa suku tertentu juga memiliki kebiasaan mencari dan menangkap hewan di
hutan untuk konsumsi. Tata menilai kedekatan manusia dengan satwa liar
merupakan penyebab yang memungkinkan virus berpindah dari hewan ke manusia.
Untuk menghentikan virus menginvasi kehidupan manusia, caranya dengan tidak
mengganggu habitat hidupan liar. Kalau mau meminimalkan tertular virus corona ini
biarkan mereka (satwa) di dalam kehidupannya.

Walaupun ada beberapa pihak yang melihat bahwa merebaknya pandemi Covid-19
ini tidak disebabkan oleh zoonosis, tetapi sebagian besar pakar berkeyakinan bahwa
rusaknya alam yang diakibatkan oleh deforestasi dan perdagangan satwa liar telah
mengakibatkan peningkatan penyakit zoonosis termasuk covid-19.

Penutup

Melihat keterkaitan yang sangat erat antara rusaknya lingkungan dan terganggunya
keanekaragaman hayati dengan merebaknya wabah pandemi covid-19, maka tema
yang ditetapkan UNEP pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2020 sangatlah
tepat. Saatnya kita untuk semakin memperhatikan dan menjaga keseimbangan
alam (Time for Nature) dan menjaga keanekaragaman hayati tetap hidup dalam
keseimbangan agar dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

Semoga Pandemi Covid-19 ini bisa menyadarkan kita semua untuk hidup sinergis
dengan alam. Sebagaimana yang telah dinukilkan dalam Kitab Suci Alquran, “Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia
sehingga akibatnya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan
mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Ar-rum: 41)

Anda mungkin juga menyukai