Anda di halaman 1dari 7

a.

Latar belakang
Penularan infeksi saluran pernapasan seperti COVID-19 terutama melalui partikel cairan
yang mengandung virus (yaitu tetesan dan aerosol) yang terbentuk di saluran pernapasan
orang yang terinfeksi dan dikeluarkan dari mulut dan hidung saat bernapas, berbicara,
batuk, dan bersin . Wells ( 1934 , 1955 ) menunjukkan bahwa efek yang bersaing dari
kelembaman, gravitasi, dan penguapan menentukan nasib tetesan ini. Tetesan yang lebih
besar dari ukuran kritis mengendap lebih cepat daripada menguap, sehingga mencemari
permukaan sekitarnya. Tetesan yang lebih kecil dari ukuran ini menguap lebih cepat
daripada mengendap, sehingga membentuk inti tetesan yang dapat tetap di udara selama
berjam-jam dan dapat diangkut dalam jarak yang jauh. Penularan COVID-19 dari
manusia ke manusia terjadi terutama melalui tiga rute: tetesan besar yang dikeluarkan
dengan momentum yang memadai sehingga secara langsung berdampak pada mulut,
hidung, atau konjungtiva penerima; kontak fisik dengan tetesan yang mengendap di
permukaan dan selanjutnya ditransfer ke mukosa pernapasan penerima; dan inhalasi oleh
penerima inti tetesan aerosol dari ejecta ekspirasi yang dikirim oleh arus udara ambien.
Dua rute pertama yang terkait dengan tetesan besar disebut sebagai rute transmisi
'droplet' dan 'kontak', sedangkan rute ketiga disebut rute transmisi 'udara'. Infeksi saluran
pernafasan membajak alat pernafasan kita untuk meningkatkan frekuensi dan intensitas
kejadian ekspirasi, seperti batuk dan bersin, yang sangat efektif dalam menghasilkan dan
menyebarkan tetesan pembawa virus. Setiap tahap dalam proses transmisi dimediasi oleh
fenomena aliran kompleks, mulai dari interaksi mukus-udara, fragmentasi lembaran
cairan, pancaran turbulen, dan penguapan dan deposisi tetesan, hingga dispersi dan
sedimentasi partikel yang diinduksi aliran. Jadi, fisika aliran adalah pusat penularan
COVID-19. Selain itu, mengingat pentingnya fenomena aliran untuk proses penularan,
metode, perangkat, dan praktik yang digunakan untuk mengurangi infeksi saluran
pernapasan juga berakar pada prinsip dinamika cairan. Ini termasuk metode sederhana
seperti mencuci tangan dan memakai masker wajah, hingga mesin fogging, ventilasi dan
bahkan praktik seperti jarak sosial. Namun, terlepas dari sejarah panjang penelitian medis
dan pengalaman dalam penularan infeksi pernafasan, kemajuan pesat COVID-19 di
seluruh dunia telah mengungkapkan batas-batas pengetahuan kami tentang fisika yang
mendasari proses transmisi, serta ketidakcukupan metode, perangkat, dan praktik yang
digunakan untuk membatasi laju transmisi. Misalnya, salah satu faktor yang berkontribusi
pada pertumbuhan cepat infeksi COVID-19 adalah viral load virus SARS-CoV-2 yang
lebih tinggi di saluran pernapasan bagian atas dari inang tanpa gejala yang mengeluarkan
tetesan sarat virus selama aktivitas normal seperti berbicara. dan bernapas (Bai dkk. 2020
). Kesenjangan pengetahuan ini juga terwujud melalui pedoman praktik seperti jarak
sosial dan pemakaian masker wajah.
Penyebaran covid 19 ditinjau dari kajian ilmu fisika

Covid 19 masuk kategori Enveloped Virus, karena memiliki selubung berupa lapisan minyak.
Lapisan ini bisa semakin kuat pada suhu dingin, dan melemah di suhu panas. Hal ini memancing
diskusi yang menarik dari “k\Kajian Ilmu Fisika” terutama dalam hal perubahan iklim dan cuaca
terkait resiko merebaknya penyebaran penyakit ini. Karena mengingat Indonesia memiliki cuaca
dan iklim yang sangat berbeda dengan lokasi awal penyakit ini ditemukan. Beberapa studi
memperlihatkan, bahwa negara dengan posisi lintang tinggi mempunyai kerentanan Penyebaran
Covid 19 yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan negara-negara tropis (Araujo et. al. 2020;
Chen et. al. 2020; Sajadi et. al. 2020; Sun et. al. 2020; Wang et. al. 2020). Hasil studi yang lain,
menunjukkan bahwa kondisi ideal untuk Covid 19 ialah temperatur sekitar 8-10 °C dan
kelembapan 60%-90%, sebagaimana dapat dilihat dalam penelitian Chen et. al. (2020) dan
Sajadi et. al. (2020).

Kudo et. al.(2019) menjelaskan, bahwa di daerah beriklim temperate, Outbreak Virus Influenza
terkait erat dengan penurunan kelembapan. Lebih lanjut Wang et al (2020) menjelaskan pula,
bahwa serupa dengan virus influenza, Covid 19 ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu
udara dingin dan kering. Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan Host
Immunity seseorang, yang dapat mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus
sebagaimana yang dituliskan di dalam studi oleh Wang et. al. (2020). Sun et. al. (2020)
menjelaskan bahwa suhu rendah memiliki pengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh manusia.

Analisis suhu udara rata-rata wilayah Indonesia di dekat permukaan bumi pada Januari hingga
Maret 2020, umumnya menunjukkan nilai antara 27°C - 30°C. Selain faktor musim, variasi
spasial suhu udara rata-rata antara satu wilayah dengan wilayah lain juga dipengaruhi oleh faktor
topografi. Tempat dengan elevasi dari permukaan laut yang lebih tinggi umumnya akan memiliki
suhu udara yang lebih rendah. Pada April hingga Juni 2020, suhu udara rata-rata di wilayah
Indonesia diprediksi berada pada kisaran 26°C - 29°C. Adapun pada Juli hingga September 2020
yang akan datang, suhu udara ini diprediksi berada pada kisaran 26°C hingga 28°C. Suhu udara
rata-rata yang lebih rendah dari bulan-bulan sebelumnya ini merupakan hal yang wajar,
mengingat di wilayah Indonesia bagian selatan sudah mulai memasuki musim kemarau.

Hal ini terbukti juga dalam kasus Covid 19 di Indonesia. Dengan kondisi cuaca dan iklim di
Indonesia yang umumnya ditandai dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, semestinya kasus
Covid 19 tidak dapat berkembang. Itu terbukti pada Januari hingga Februari 2020 yang lalu,
merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk Outbreak Covid 19 terjadi di Indonesia
(gelombang 1). Namun, selanjutnya pada gelombang ke-2 pada Maret hingga yang terjadi saat
ini, kasus Covid 19 telah merebak di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus mendekati angka
2000 pada 3 April 2020.
Hal ini menunjukan faktor mobilitas orang lebih berpengaruh dalam penyebaran dan peningkatan
Covid 19 di Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor suhu dan kelembapan udara dapat
menjadi factor pendukung dalam mengurangi risiko penyebaran wabah Covid 19. Kesimpulan
ini juga serupa dengan hasil kajian Tim BMKG dan UGM yang juga sangat merekomendasikan
kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan
memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama
di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti, yang diprediksi akan
mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28° C - 32° C dan kelembapan udara berkisar antara 60%
s/d 80%, serta tentunya dengan lebih ketat menerapkan “Physical Distancing” dan pembatasan
mobilitas orang ataupun dengan ‘Tinggal di Rumah’, disertai intervensi kesehatan masyarakat,
sebagai upaya untuk memitigasi atau mengurangi Penyebaran Wabah Covid 19 secara lebih
efektif. Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa
penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif.

Kesimpulan diatas didukung oleh hasil Peneliti dan ahli dari Akademi Nasional Amerika Serikat
David A Relman menyebutkan bahwa faktor iklim dan cuaca bukanlah satu-satunya faktor yang
memengaruhi penyebaran transmisi Virus Covid 19. Dalam hasil riset yang dikutip dari laman
resmi Akademi Sains, Teknik, dan Kedokteran Nasional AS di Jakarta, Kamis (09/04/2020),
masih banyak faktor lain yang memengaruhi. "Meskipun sejumlah penelitian menunjukkan
keterkaitan antara temperatur yang tinggi dan level kelembapan dan menurunnya kemampuan
bertahan hidup virus SARS-CoV-2 di laboratorium, masih banyak faktor lain di samping suhu
lingkungan, kelembapan, dan kemampuan bertahan hidup virus di luar inang, yang memengaruhi
dan menentukan besaran penularan antar manusia di kondisi yang sebenarnya," kata David A
Relman. Dalam penelitiannya, dia mencantumkan beberapa hasil penelitian dari berbagai negara
yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan kelembapan yang tinggi dan kasus yang
cenderung turun. David mengambil contoh penelitian dari Hong Kong China yang menyebutkan
virus SARS-CoV-2 bisa bertahan di suatu permukaan hingga 14 hari pada suhu 4° C, tujuh hari
pada suhu 22° C, satu hari pada suhu 37° C, 30 menit pada 56° C, dan lima menit pada suhu 70°
C.

Peran fisika dalam penanganan covid 19

Pada saat ini hampir seluruh dunia mengalami pandemic covid-19. Dalam upaya pencegahan dan
penanganan Covid-19 sendiri, sesungguhnya juga tidak terlepas dari peranan ilmu fisika.

Dimana dalam upaya pencegahan Covid-19, salah satunya adalah masyarakat dituntut untuk
menerapkan social distancing, sehingga aktivitas kita seperti sekolah, bekerja, dan yang lainnya
dilakukan dari rumah. Dengan keadaan yang seperti ini, tentu kita membutuhkan teknologi yang
mendukung berjalannya proses tersebut. 
Salah satu teknologi yang dapat mendukung berjalannya proses tersebut adalah dengan
menggunakan ponsel. Ponsel  (telepon seluler) saat ini sudah menjadi kebutuhan semua orang.
Dimana fungsinya yang sangat membantu manusia dalam hal berkomunikasi, belajar, maupun
bekerja dari rumah.

Ponsel yang selama ini kita gunakan, erat hubungannya dengan ilmu fisika. Mengapa? Karena
ponsel bekerja dengan prinsip listrik dan spectrum elektromagnetik, yang mana prinsip tersebut
merupakan salah satu kajian dalam ilmu fisika. Untuk komponen-komponen yang digunakan
dalam ponsel juga berkaitan dengan ilmu fisika, terutama pada bidang fisika instrumentasi atau
elektronika.

Adapun komponen-komponennya antara lain yaitu:

 Baterai. Dimana baterai ponsel dapat bekerja dengan prinsip kapasitansi. Kapasitor
digunakan untuk menyimpan energi  listrik.
 Lensa kamera. Yang mana lensa kamera bekerja dengan berdasarkan prinsip optik.
Disediakan gambar diluar kamera kepada kamera pada perangkat lensa cembung.
 Headphone / earphone. Dimana headphone/earphone ini bekerja dengan konsep
magnetisme dan gelombang suara.

Sedangkan dalam upaya penanganan Covid-19, ilmu fisika juga turut berperan dalam alat-alat
yang digunakan, salah satunya yaitu seperti CT Scan.

CT Scan (Computed Tomography Scan) merupakan alat untuk mendiagnosa penyakit, dengan
membuat gambar yang lebih detail pada organ dalam, tulang, jaringan lunak, dan peredaran
darah mengggunakan X-Ray.

Corona Virus Desaese (COVID-19) adalah jenis virus yang menyerang sistem pernafasan, yaitu
paru-paru. Paru-paru yang terinfeksi oleh virus Corona akan terdapat liquid (cairan) diruang
udara, dan menyebabkan runtuhnya alveoli. Liquid tersebut akan mengenai alveoli pada paru-
paru, sehingga dapat menyebabkan paru-paru kesulitan dalam melakukan pertukaran Oksigen
(O) dan Karbondioksida (Co2).

Dengan adanya cairan tersebut, dapat menyebabkan bertambahnya redaman pada gelombang
apabila dipaparkan oleh X-Ray. Pada dasarnya terdapat dua proses penyerapan yaitu efek
fotolistrik dan efek Compton. X-Ray dapat mendeteksi liquid menggunakan foton. Foton yang
melewati ruang hampa atau jaringan lunak akan dapat mengenai detector, sedangkan pada bagian
lain dapat terserap. Sinyal yang dihasilkan oleh detector kemudian diproses dalam bentuk
informasi digital

CT Scan juga dapat disebut sebagai prosedur pencitraan X-Ray terkomputerisasi, yang mana
sinar X-Ray yang sempit akan ditujukan pada pasien, yang kemudian diputar disekitar tubuh
dengan cepat, lalu diproses oleh komputer mesin dan menghasilkan sinyal yang mana untuk
dapat menghasilkan gambar penampang (irisan) dari tubuh. Irisan ini disebut gambar tomografi
dan berisi informasi yang lebih terperinci dari pada rontgen konvensional. Sehingga Covid-19
dapat dideteksi dengan menggunakan CT Scan.

Semoga bermanfaat.

Sumber : [1] https://radiopaedia.org/articles/computed-tomography-of-the-chest

[2] https://sainsdanteknologi.com/ilmu-fisika-yang-diterapkan-dalam-kehidupan-sehari-hari-
hingga-saat-ini/

Profesor Swetaprovo Chaudhuri dari University of Toronto Institute of Aerospace Studies

(UTIAS) biasanya menghabiskan waktunya untuk memikirkan gerakan fluida melalui mesin jet.

Sekarang, keahlian itu digunakan untuk memahami penyebaran COVID-19.

"Pada mesin pesawat, bahan bakar disuntikkan ke dalam ruang bakar dalam percikan halus

tetesan dengan ukuran yang agak mirip dengan yang dikeluarkan saat batuk atau bersin,"

katanya. "Meskipun kondisi spesifik dari semprotan pernapasan berbeda, fisika fundamental

yang sama juga terlibat."

Kembali pada bulan Maret, ketika pandemi merajalela di seluruh Kanada dan negara lain,

Chaudhuri memanggil beberapa kolaborator lama: Profesor Abhishek Saha di Universitas

California San Diego, dan Profesor Saptarshi Basu dari Institut Sains India.

Bersama-sama, mereka mulai mempertimbangkan apa yang diperlukan untuk mengadaptasi

model berbasis fisika yang secara tradisional digunakan untuk pekerjaan mereka dalam

pembakaran untuk menggambarkan proses yang terlibat dalam transmisi virus baru.
“Cara kami melihatnya, fisika terlibat setidaknya dalam tiga level,” kata Chaudhuri. “Yang

pertama adalah pada skala tetesan: bagaimana mereka terbentuk dan menguap. Yang kedua

adalah skala semprotan: distribusi ukuran dan lintasan tetesan dalam bersin atau batuk. "

“Ketiga adalah interaksi antar manusia. Sebagai langkah pertama, kita dapat memodelkan

interaksi antara orang-orang dengan cara yang sama seperti kita memodelkan tumbukan antar

molekul dalam reaksi kimia, ”katanya.

Tim percaya bahwa model mereka adalah yang pertama yang secara eksplisit menghubungkan

aerodinamika awan tetesan pernapasan dan fisika penguapan dengan persamaan yang

menggambarkan penyebaran penyakit dalam populasi manusia.

Untuk memvalidasi model, para peneliti melakukan percobaan di levitator akustik, sebuah

perangkat yang menggunakan gelombang suara untuk menyebabkan tetesan larutan garam

mengapung di udara. Tim mengukur bagaimana tetesan yang tersuspensi ini menguap, kemudian

memasukkan data ke dalam model mereka. Hasil lengkapnya baru-baru ini diterbitkan dalam

jurnal Physics of Fluids.

Chaudhuri dengan cepat menunjukkan bahwa dia dan rekan-rekannya bukanlah ahli virologi atau

ahli epidemiologi. Lebih lanjut, prediksi model mereka didasarkan pada "asumsi ideal" yang

perlu divalidasi lebih lanjut melalui eksperimen. Namun demikian, model tersebut

memungkinkan tim untuk membuat sejumlah kesimpulan penting.

Salah satunya adalah bahwa tetesan pernapasan bertahan lebih lama - dan karena itu dapat

bergerak lebih jauh - dalam kondisi sejuk dan lembab daripada dalam kondisi panas dan kering.

Faktanya, bahkan dalam beberapa kondisi moderat, model tersebut memprediksi bahwa mereka

dapat melakukan perjalanan di udara sejauh 12 kaki sebelum menguap.

“Jika kelembapan relatif lebih besar dari sekitar 85 persen, sebagian besar tetesan pernapasan

bahkan tidak menguap, dan tetesan kecil dapat menempuh jarak yang sangat jauh,” kata
Chaudhuri. “Bahkan dalam kondisi di mana mereka menguap, inti tetesan semipadat sisa dapat

bergerak lebih jauh dan tetap tersuspensi di udara selama berjam-jam dalam konsentrasi encer.

Tetapi pertanyaan tentang penularan virus SARS-CoV-2 yang terperangkap di dalam inti ini

masih harus diselesaikan. "

Kesimpulan lain adalah bahwa di dalam awan tetesan, itu adalah tetesan berukuran sedang yang
menyebar paling jauh sebelum penguapannya. Hal ini karena dalam kebanyakan kondisi, tetesan
yang lebih kecil menguap lebih cepat, sementara yang lebih besar lebih berat dan mengendap
sebelum terdorong jarak jauh melalui bersin atau batuk. “Tetesan terlama yang bertahan
memiliki diameter awal antara 18-48 mikron untuk kelembaban relatif sekitar kurang dari 80
persen,” kata Chaudhuri. “Untungnya, ini adalah ukuran yang dapat disaring oleh masker, yang
menunjukkan bahwa penggunaan masker secara luas dapat membantu mengurangi penularan.”
Memprediksi penyebaran pasti COVID-19, kata Chaudhuri, bukanlah tujuan dari model
pendahuluan ini. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk menguji kemungkinan pendekatan
pemodelan prinsip pertama berdasarkan fisika fundamental. Ini berbeda dengan kebanyakan
model pandemi, di mana tingkat yang sangat penting yang menggambarkan bagaimana virus
menyebar diperoleh dengan menyesuaikan data yang tersedia dari wabah baru-baru ini setelah
memperhitungkan karakteristik tertentu dari populasi lokal. Meskipun ini merupakan pendekatan
praktis, salah satu konsekuensinya adalah bahwa model tersebut hanya mencerminkan kondisi
spesifik dari wabah sebelumnya. Jika kondisi berubah, konstanta laju tersebut mungkin tidak
valid untuk wabah saat ini dan masa depan.

Anda mungkin juga menyukai