Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BIOFARMASEUTIK

LIBERASI DAN PROFIL DISOLUSI OBAT

Disusun oleh

Kelompok I

Adryanti Safitri 517 20 011 020

Megawati M. 517 20 011 117

Tuti Dwijayanti 517 20 011 113

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, atas limpahan rahmat

dan hidayahnya kami dapat menyelesikan makalah liberasi dan disolusi obat.

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah biofarmasetika .

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen

Pengampu mata kuliah biofarmasetika Bapak Apt Farid Fani Temarwut. S.Farm,

Biomed kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata

sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya. Oleh karena

itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari teman-

teman dan lebih khususnya dari Dosen Pengampu guna menjadi acuan dalam

bekal pengalaman yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Makassar 30 Maret 2021

Penyusun

i
Daftar isi

Cover ..........................................................................................
Kata pengantar ........................................................................... i
Daftar isi ...................................................................................... ii
Bab 1 Pendahuluan .................................................................... 1
A. Latar belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan masalah .................................................................... 2
C. Tujuan penulisan ..................................................................... 2
Bab II Pembahasan .................................................................... 3
A. Liberasi Obat ........................................................................... 3
B. Profil Disolusi Obat .................................................................. 4
C. Kinetika dan Profil Disolusi Hayati obat ................................. 10
Bab III Penutup ........................................................................... 14
A. Kesimpulan .............................................................................. 14
B. Saran ........................................................................................ 14
Daftar pustaka ............................................................................. 15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Biofarmasetika merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh sifat

fisikokimia bahan baku obat, bentuk sediaan dan rute pemberian terhadap kadar

obat dalam darah. Sifat fisikokimia obat yang paling berpengaruh terhadap

ketersediaan hayati obat adalah kelarutan dan permeabilitas obat sehingga pada

praktikum biofarmasetika dilakukan praktikum mengenai uji disolusi, koefisien

partisi dan uji difusi. Praktikum mengenai uji disolusi menggambarkan kelarutan

bahan obat dan pengaruh faktor formulasi terhadap pelepasan obat dari bentuk

sediaan padat. Praktikum penentuan koefisien partisi merupakan salah satu

parameter yang mempengaruhi difusi obat sehingga perlu dilakukan sebelum

praktikum mengenai uji difusi. Praktikum uji difusi menggambarkan kemampuan

bahan obat untuk berpenetrasi setelah lepas dari bentuk sediaan.

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia

formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan

dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005).

Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai

saat permberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut

tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat

diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan)

dan absorpsi (penyerapan) (Aiache, 1993).

1
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah makalah ini adalah

1. Apa itu liberasi obat

2. Bagaimana profil disolusi obat

3.Bagaimana kinetika dan persamaan profil disolusi obat terhadap bioavailabilitas

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini yaitu

1. untuk mengetahui liberasi obat

2. untuk mengetahui profil disolusi obat

3. untuk mengetahui kinetika dan persamaan profil disolusi obat terhadap

bioavailabilitas

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Liberasi obat
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia

formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan

dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005).

Liberasi obat adalah tahap dalam biofarmasetika dimana obat akan

mengalami pelepasan molekul dalam bentuk sediaannya. Apabila pasien

menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang diformulasi dalam bentuk

sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan

tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta dapat terjadi secara

cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan

mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus, hal ini

penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal (tablet, supositoria dan

lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap

pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet (Aiache, 1993).

Pada tahap pemecahan obat pertama-tama akan mulai dipecah menjadi

bentuk yang lebih kecil sehingga nanti akan mudah dalam proses disolusi dan

juga absorbs obat. Untuk obat dalam bentuk tablet maka akan dipecah menjadi

granul-granul kecil. Dan untuk tahap peluruhan adalah kelanjutan dari tahap

pemecahan dimana obat akan di pecah menjadi bentuk yang kecil sehingga akan

mempermudah disolusi dan absorbs obat. (Aiache, 1993).

3
Fase biofarmasetik obat

Obat (zat Dispersi Disperse


aktif + padatan zat molekul zat Darah
pembawa aktif aktif

Pelepasan pelarutan penyerapan


(Liberasi) ( disolusi ) (absorbs)

B. Profil Disolusi Obat

Disolusi merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi

terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologis, disolusi obat didalam

medium cair merupakan kondisi yang mempengaruhi absorbsi sistemik. Laju

disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil akan mempengaruhi

laju absorbsi sistemik obat (Shargel 2005).

Suatu obat yang di minum secara oral akan melalui tiga fase: fase

farmasetik(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat

terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat

menembus membrane biologis, proses ini di sebut disolusi. Jadi, disolusi adalah

suatu proses perpindahan molekul zat dari dalam bentuk padat ke dalam bentuk

cairan (proses melarutnya suatu obat) (Shargel, 1998).

Disolusi berguna sebagai prediksi awal untuk mengetahui absorpsi suatu

obat dan tahap penentu bagi zat aktif yang sukar larut. Disolusi dapat

mengakibatkan perbedaan aktivitas biologi dari suatu zat obat mungkin

diakibatkan oleh laju dimana obat menjadi tersedia untuk diserap

4
tubuh.Sedangkan laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang dapat larut dalam

waktu tertentu pada kondsisi antar permukaan cairpadat, suhu dan komposisi

media yang dibakukan. Tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang

menunjukkan jumlah bagian senyawa obat yang larut dalam media per satuan

waktu (Shargel, 1998).

Bila suatu obat di minum, disolusi (melarut) merupakan fase pertama dari

kerja suatu obat. Dalam saluran GI, obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorpsi.

Obat dalam bentuk padat harus disintegrasi menjadi partikel partikel kecil supaya

dapat larut dalam cairan. Jadi disintegrasi adalah pemecahan sediaan obat padat

menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, disolusi melarutnya partikel-partikel

yang lebih kecil itu dalam cairan GI untuk diabsorpsi, dan deagregasi adalah

pemecahan agregat menjadi partikel-partikel halus (Ansel, 1989).

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

Dalam USP cara pengujian disolusi tablet dinyatakan dalam masing-

masing obat. Pengujian merupakan alat yang objekif dalam menetapkan sifat

disolusi suatu obat yang berada dalam tubuh sangat besar tergantung pada adanya

obat dalam keadaan melarut. Karakteristik disolusi biasa merupakan sifat yang

5
penting dari produk obat yang memuaskan. Setiap tablet harus memenuhi

persyaratan seperti yang terdapat di dalam monografi untuk kecepatan disolusi

(Anonim, 2002).

Pada pengujian disolusi dan penentuan bioavailabilitas dari obat dengan

bentuk sediaan padat menuju pada pendahuluan dari sistem yang sempurna bagi

analisa dan pengujian disolusi tablet. Uji disolusi memperhatikan fasilitas modern

untuk mengontrol kualitas, digunakan untuk menjaga terjaminnya standar dalam

produksi tablet. Uji disolusi untuk mengetahui terlarutnya zat aktif dalam waktu

tertentu menggunakan alat disolution tester (Ansel, 1989).

Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. Uji disolusi yaitu uji

pelarutan invitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu media

aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang te rkandung dalam

produk obat.Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi absorbsi

sistemik. Uji disolusi ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan

persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan

tablet dan kapsul kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.

Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila

dinyatakan dalam masing-masing monografi (Shargel, 1998).

Alat uji disolusi menurut Farmakope Indonesia edisi IV:

- Alat uji tipe keranjan (basket)

- Alat uji disolusi tipe dayung (paddle)

Sedangkan alat untuk uji pelepasan obat menurut USP 25, NF 24:

1. Alat uji pelepasan obat tipe keranjang (basket)

6
2. Alat uji pelepasan obat tipe dayung (paddle)

3. Alat uji pelepasan obat tipereciprocating cylinder

4. Alat uji pelepasan obat tipe flow through cell

5. Alat uji pelepasan obat tipe paddle over disk

6. Alat uji pelepasan obat tipe silinder

7. Alat uji pelepasan obat tipe reciprocating holder.

Dibawah ini gambar alat uji disolusi

Kedua alat disolusi diatas hampir sama kecuali bahwa pada gambar (b)

luas permukaan tablet atau bahan kompak (bahan yang dipadatkan ) tersebut

tetap konstan ketika melarut. Desain ini menguntungkan dalam penelitian dan

formulasi produk. Selain itu keadaan termodinamik yang tepat dijaga oleh posisi

pengaduk yang tetap dan pemegang sampel (sample holder). Alat paddle pada

gambar (a) dikenal sebagai alat disolusi 2 dari USP dan alat keranjang putar

dikenal sebagai alat disolusi 1 dari USP (Agoes, 2008).

Menurut Farmakope Indonesia alat yang digunakan untuk uji disolusi ada

2, yaitu pengaduk bentuk keranjang (alat 1) dan pengaduk bentuk dayung (alat 2).

7
Alat 1 terdiri dari dari sebuah wadah bertutup yang terbentuk dari kaca atau

bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang

digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup

sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga

dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37o ±0,5o C selama pengujian

berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Suatu

alat pengatur kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih

kecepatan yang dikehendaki.

Alat yang digunakan pada percobaan kami yaitu alat uji disolusi tipe 2.

Pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai

pengaduk. Batang berada berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya

tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical wadah dan berputar

dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang

sehingga dasar daun dan batang rata (Agoes, 2008).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi, yaitu :

1. Temperatur

Naiknya temperatur umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang

endotermis, serta memperbesar harga koefisiensi difusi zat. Menurut Einstein,

koefisien difusi dapat dinyatakan dengan persamaan berikut

Keterangan

8
D = koefisien difusi

K =konstanta Boltzman

T = temperature absolut

ᶯ = visoositas pelarut
r = jari jari molekul

2. viskositas

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu

zat sesuai dengan persamaan Einstein. Naiknya temperatur juga akan

menurunkan viskositas sehingga memperbesar kecepatan disolusi

3. pH pelarut

pH pelarur sangat berpengaruh terhadap kelarutan yang bersifat zat asam

lemah dan basa lemah .

4. Pengadukan

Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi ini. Bila

pengadukan cepat maka tebal lapisan difusi berkurang sehingga menaikkan

kecepatan disolusi.

5. Ukuran partikel

Bila partikel zat terlalu kecil maka luas permukaan efektif besar sehingga

menaikkan kecepatan disolusi suatu zat.

6. Polimorfsme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh adanya polimorfisma karena bentuk

Kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda pula. Kelarutan

9
bentuk kristal metastabil akan lebih besar daripada yang bentuk stabil sehingga

kecepatan disolusi besar.

7. sifat permukaan

Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat

hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut akan menurunkan tegangan

permukaan antara partikel zat dengan pelarut sehingga zat mudah terbasahi

dengan kecepatan disolusi bertambah (Alache, 1993).

C. Kinetika Dan persamaan Profil Disolusi ketersediaan hayati

(Bioavailabilitas)

Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang

aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum. Studi bioavailabilitas dilakukan

baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap obat dengan

efek terapetik yang belum disetujui FDA (Food Drug Administration) untuk

dipasarkan. Bioavalabilitas digunakan untuk menggambarkan fraksi dari dosis

obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang merupakan salah satu bagian dari

aspek farmakokinetik obat. Defenisi tersebut diartikan bahwa obat yang di

berikan secara intravena bioavalibilitasnya 100%. Namun, jika obat diberikan

melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral) bioavalibilitasnya berkurang

(karena absorpsi yang tidak sempurna dan metabolisme lintas pertama) (Shargel

dan Yu, 2005).

Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat

dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Availabilitas suatu

formulasi obat dibandingkan terhadap availabilitas formula standar, yang

10
biasanya berupa suatu larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi “cross

over”. Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan

rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

Availabilitas relative = (AUC)A/(AUC)B

Jika dosis yang diberikan berbeda maka:

Availabilitas relative =(AUC)A /dosis A


(AUC)B/dosis B

Faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat antara lain :

1) Sifat Fisikokimia Obat

• Ukuran partikel

• Luas permukaan obat

• Kelarutan obat

• Bentuk kimia obat, yaitu garam, bentuk anhydrous atau hidrous

• Lipofilisitas

• Stabilitas obat

2) Faktor Formulasi

Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif

dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus

mempertimbangkan:

(1) jenis produk obat;

(2) sifat bahan tambahan dalam produk obat;

(3) sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel dan Yu, 2005).

Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin

kurang dari 100% karena :

11
• Obat diabsorpsi tidak sempurna

• Eliminasi lintas pertama (First-Pass Elimination), Obat diabsorpsi menembus

dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke hati sebelum masuk ke

dalam sirkulasi sistemik. Obat dapat dimetabolisme di dalam dinding usus atau

bahkan di dalam darah vena porta. Hati dapat mengekskresikan obat ke dalam

empedu.

• Laju absorpsi

Parameter-parameter bioavailabilitas yakni:

a. T maksimum (t maks) yaitu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat

disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat

maksimum setelah pemberian obat. Pada t maks absorpsi obat adalah terbesar,

dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih

berjalan setelah t maks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga t

maks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk

mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih

cepat (Shargel dan Yu, 2005).

12
b. Konsentrasi plasma puncak (c max) menunjukkan konsentrasi obat maksimum

dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh

suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam

plasma (Shargel dan Yu, 2005).

c. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan dibawah kurva (grafik) yang

menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC

dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas

suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing

plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami

perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat

hubungan langsung (Waldon, 2008).

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini yaitu tahap liberasi adalah proses pemecahan

molekul obat dalam bentuk sediaannya menjadi molekul-molekul yang kecil.

Disolusi merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut

dalam suatu pelarut Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan

jumlah obat yang aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum

B. Saran

Saran dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengerti dan

memahami tentang materi liberasi dan disolusi.

14
Daftar Pustaka

Agoes. 2008. Seri Farmasi Industri Sistem Penghantaran Obat Pelepasan


Terkendali. ITB. Bandung

Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Airlangga University


Press. Surabaya.

Anonymous. 2002. United State Pharmacopeia 25. Volume 2. Washington DC :


USP Convention, Inc.

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. Ansel. 2008. Pengantar Sediaan Farmasi.
Jakarta: UI Press.

Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga


University Press. Surabaya

15

Anda mungkin juga menyukai