Bab 5

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

Resume Materi Jenis-Jenis Anggaran Sektor Publik

A. Perkembangan Anggaran Sektor Publik


Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen
kebijakan multifungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Hal
tersebut terutama tercermin pada komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung
merefleksikan arah dan tujuan pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai
alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus dapat
digunakan sebagai alat pengendalian. Agar fungsi perencanaandan pengawasan dapat
berjalan dengan baik, maka sistem anggaran serta pencatatan atas penerimaan dan
pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.
Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran sektor publik telah mengalami banyak
perkembangan. Sistem perencanaan anggaran sektor publik berkembang dan berubah
sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan perkembangan
tuntutan yang muncul di masyarakat. Pada dasarnya, terdapat beberapa jenis pendekatan
dalam perencanaan dan penyusunan anggaran sektor publik. Secara garis besar terdapat
dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut
adalah (a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional dan (b) Pendekatan baru yang
sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.

B. Anggaran Tradisonal
Anggaran tradisonal merupakan pendekatan yang banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu (a) cara
penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incremental dan (b) struktur dan
sysunan anggaran yang bersifat line-item.
Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah (c)
cenderung sentralistis (d) bersifat spesifikasi: (e) tahunan, (f) menggunakan prinsip
anggaran bruto, Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu
mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan unuk setiap kegiatan, dan bahkan
anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan Informasi tentang besarnya rencana
kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya
tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah . tingkat kepatuhan
penggunaan anggaran.
Incremental

Penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan
pertanggungjawaban yang terpusat. Anggaran tradisional bersifat incremental, yaitu hanya
menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada
sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk
menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang
mendalam. Pendekatan semacam ini tidak saja belum menjamin terpenuhinya kebutuhan
riil, namun juga dapat mengakibatkan kesalahan yang terus bertanjut. Hal Ini disebabkan
karena kita tidak pernah tahu apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan
sebagai tahun dasar penyusunan anggaran tahun Ini telah didasarkan atas kebutuhan yang
wajar.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian
terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi, dan efektivitas sering kali
tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak
adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, sering kali pada akhir tahun
anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada
aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan. Aktivitas-aktivitas
susulan ini semata-mata dimaksudkan untuk menghabiskan sisa anggaran. Apabila hal
tersebut tidak dilakukan akan berdampak pada alokasi anggaran tahun berikutnya. Hal ini
disebabkan karena pada pendekatan tradisional, kinerja dinilai berdasarkan habis tidaknya
anggaran yang diajukan dan bukan berdasarkan pada pertimbangan output yang dihasilkan
dari aktivitas yang dilakukan dibandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki
(outcome).
Anggaran tradisional yang bersifat "incremental" cenderung menerima konsep harga
pokok pelayanan historis (historic cost of service) tanpa memperhatikan pertanyaan
seperti:
1. Apakah pelayanan tertentu yang dibiayai dengan pengeluaran pemerintah masih
dibutuhkan atau masih menjadi prioritas?
2. Apakah pelayanan yang diberikan telah terdistribusi secara adil dan merata di antara
kelompok masyarakat?
3. Apakah pelayanan diberikan secara ekonomis dan efisien?
4. Apakah pelayanan yang diberikan memengaruhi pola kebutuhan publik?
Akibat digunakannya harga pokok pelayanan historis tersebut adalah suatu Item,
program, atau kegiatan akan muncul lagi dalam anggaran tahun berikutnya meskipun
sebenarnya item tersebut sudah tidak dibutuhkan. Perubahan anggaran hanya menyentuh
jumlah nominal rupiah yang disesuaikan dengan tingkat inflasi, Jumlah penduduk, dan
penyesuaian lainnya.

Line-item

Ciri lain anggaran tradisional adalah struktur anggaran bersifat line-item yang
didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Metode line-item
budget tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau
pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item
tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena sifatnya
yang demikian, penggunaan anggaran tradisional tidak memungkinkan untuk dilakukan
penilaian kinerja secara akurat, karena satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan
adalah semata-mata pada ketaatan dalam menggunakan dana yang diusulkan.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan
adanya orientasi sistem anggaran yany dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran.
Berdasarkan hal tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan
pengeluaran, seperti misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan dari pajak
atau pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan
berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.

Kelemahan Anggaran Tradisional

Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisonal memiliki beberapa
kelemahan, antara lain:

1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana
pembangunan jangka panjang.
2. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah
diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran
tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan
sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana
telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan telah tercapai.
4. Sekat-sekat antarkementerian yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan
sulit dicapal. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping,
kesenjangan, dan persaingan antardepartemen.
5. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/ investasi.
6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu
pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-
praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadel
menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya
budget padding atau budgetary slack.
8. Persetujuan anggaran yang terlambat sehingga gagal memberikan mekanisme
pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi
anggaran dan “manipulasi anggaran".
9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar
mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.

C. Anggaran Publik dengan Pendekatan NPM

Era New Public Management

Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik
yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan
hierarki menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi
pasar. Perubahan tersebut bukan sekadar perubahan kecli dan sederhana. Perubahan
tersebut telah mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru yang muncul dalam manajemen sektor
publik tersebut adalah pendekatan New Public Management.
Model New Public Management mulai dikenal pada tahun 1980-an dan kembali
populer pada tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk Inkarnasi, misalnya
munculnya konsep "managerlalism" (Pollit, 1993); “market-based public administration"
(Lan and Rosenbloom, 1992): "post-bureaucratic paradigm" (Barzelay, 1992); dan
"entrepreneurial government" (Osborne and Gaebler, 1992). New Public Management
berfokus pada manajemen sektor publik yang berorlentasi pada kinerja, bukan berorientasi
pada kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan
beberapa konsekuensi bagi pemerintah, di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan
efislensl, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model
pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam
pandangannya yang dikenal dengan konsep "reinventing government". Perspektif baru
pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:
1. Pemerintah katalis: fokus pada pemberian pengarahan, bukan produksi pelayanan
publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus
terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaiknya
pemerintah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan
publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan nirlaba lainnya. Produksi pelayanan publik oleh pemerintah
harus dijadikan pengecualian dan bukan keharusan: pemerintah hanya memproduksi
pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non pemerintah. Pada saat
Ini, banyak pelayanan publik yang dapat diproduksi oleh sektor swasta dan sektor
ketiga (LSM). Bahkan, pada beberapa negara, penagihan pajak dan retribusi sudah
dikelola oleh pihak nonpemerintah.

2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani.


Pemerintah sebaiknya meinberikan wewenang kepada masyarakat sehingaa mereka
mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help
community). Sebagai contoh, masalah keselamatan umum adalah juga merupakan
tanggung jawab masyarakat, tidak hanya kepolisian. Karenanya, kepolisian
semestinya tidak hanya memperbanyak polisi untuk menanggapi peristiwa kriminal,
tetapi juga membartu warga untuk memecahkan masalah yang menyebabkan
timbulnya tindak kriminal. Contoh lain: untuk dapat lebih mengembangkan usaha
kecil, berikanlah wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk
memecahkan masalah yang sedeng dihadapi.

3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian


pelayanan publik.
Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus maningkatkan
kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat
ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. Misalnya pada pelayanan
pos negara, akibat kompetisi yang semakin keras. pelayanan titipan kilat yang
disediakan menjadi relatif semakin cepat daripada kualitas di masa lalu

4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam
mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya, tetapi misinya.

5. Pemerintah yang bercrientasi pada hasil: membiayai hasil, bukan masukan.


Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja
ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Makin kompleks masalah yang
dihadapi, makin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya
logis dan adil, tetapi yang terjadi adaiah unit kerja tidak mempunyai insentif untuk
memperbaiki kinerjanya. Justru mereka memiliki peluang baru: makin lama
permasalahan dapat dipecahkan, makin banyak dana yang dapat diperoleh.

Pemerintah yang berorientasi pada hasil berusaha mengubah bentuk penghargaan dan
insentif itu, yaitu membiayai hasil, bukan masukan. Pemerintah wirausaha akan me-
ngembangkan suatu standar kinerja yang menystur seberapa baik suatu unit kerja
mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya. Makin baik
kinerjanya, makin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua
dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.

6. Pemerintah yang berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan,


bukan birokrasi.
Pemerintah tradisional sering kali salah dalam mengidentifikasi pelanggannya.
Penerimaan pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaatannya
harus disetujui oleh DPR/DPRD. Akibatnya, pemerintah sering kali menganggap
bahwa DPR/DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan anggaran adalah
pelanggannya. Bila DPR/DPRD dan para pejabat eksekutif tidak menomorsatukan
kepentingan kelompoknya maka hal ini tidak menyebabkan masalah. Namun, bila
mereka menomorsatukan kepentingan kelompoknya maka pelanggan yang
sebenarnya, yaitu masyarakat, akan cenderung dilupakan. Dalam kondisi seperti ini,
pemerintah tradisional akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi,
sedangkan kepada rnasyarakat mereka sering kali menjadi arogan.

Pemerintah yang berorientasi pada pelanggan tidak akan seperti itu. Ia akan
mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak
berarti bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab pada dewan legislatif, tetapi
sebaliknya, ia menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda (dual accountability)
kepada legislatif dan masyarakat. Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan
arogan, tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan
masyarakat.

7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekadar


membelanjakan.
Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya untuk menghasilkan
pendapatan dari aktivitasnya. Padahal, banyak yang bisa dilakukan untuk
menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik. Pemerintah
wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misalnya BPS dan
Bapeda, yang dapat meniual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat
penelitian, BUMN/BUMD, pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para
pengusaha dan masyarakat, penyertaan modal, dan lain-lain.

8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati.


Pemerintah tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan
publik untuk memecahkan masalah publik. Pemerintah birokratis cenderung bersifat
reaktif, seperti suatu satuan pemadam kebakaran, apabila tidak ada kebakaran maka
tidak akan ada upaya pemecahan. Pemerintah antisipatif tidak reaktif tetapi proaktif Ia
tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk
mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perencanaan strategis untuk
menciptakan visi.

9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarkis menuju partisipatif dan tim kerja.


Pada masa lalu, pemerintah yang sentralistis dan nierarkis sangat diperlukan.
Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komandonya
hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan masyarakat dan bisnis.
Pada saat itu, sistem tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat
primitif komunikasi antar berbagai lokasi sangat lamban, dan aparatur pemerintah
masih relatif belum terdidik (masin sangat membutuhkan petunjuk langsung atas apa
yang harus dilaksanakan). Namun sekarang keadaan sudah berubah, perkembangan
teknologi sudah sangat maju, kebutuhan/keinginan masyarakat dan bisnis sudah
semakin kompleks, dan staf pemerintah sudah banyak yang berpendidikan tinggi.
Sekarang ini, pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-
asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.

10. Pemerintah yang berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan


dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif
(sistem prosedur dan pemaksaan).
Ada dua cara alokasi sumber daya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme
administratif. Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam
mengalokasikan sumber daya, Pemerintah tradisional menggunakan mekanisme
administratif sedangkan pemerintah yang berorientasi pada pasar menggunakan
mekanisme pasar. Dalam mekanisme administratif, pemerintah tradisional
menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku,
kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur
tersebut). Dalam mekanisme pasar, pemerintah yang berorientasi pada pasar tidak
memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem
Insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.

Munculnya konsep New Public Management berpengaruh langsung terhadap konsep


anggaran publik. Salah satu pengaruhnya adalah terjadinya perubahan sistem
anggaran dari anggaran tradisional menjadi anggaran yang lebih berorientasi pada
kinerja, Berikut Ini akan dibahas jenis-jenis anggaran dengan pendekatan New Public
Management.

D. Perubahan Pendekatan Anggaran


Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya New Public
Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih
Sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan
tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik
anggaran kinerja (performance budgeting), Zero-Based Budgeting (ZBB), dan Planning,
Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki
karakteristik umum, sebagai berikut: :
1. Komprehensif/komparatif.
2. Terintegrasi dan lintas departemen.
3. Proses pengambilah keputusan yang rasional.
4. Berjangka panjang.
5. Spesifikasi tujuan dan pemeringkatan prioritas.
6. Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost).
7. Berorientasi input, output, dan outcome, bukan sekedar input.
8. Adanya pengawasan kinerja.

E. Anggaran Kinerja
Anggaran dengan pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan
yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh
tidak adanya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian
tujuan dan sasaran pelayanan publik. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat
menekankan pada kosep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan
ini juga mengutamakan mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta
pendekatan yang sistematik dan rasional dalam proses pengambilan keputusan. Untuk
mengimplementasikan hal-hal tersebut, anggaran kinerja dilengkapi dengan teknik
penganggaran analitis.

Anggaran kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Oleh karena itu
anggaran digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penilaian kinerja didasarkan pada
pelaksanaan value for money dan efektivitas anggaran. Pendekatan ini cenderung menolak
pandangan anggaran tradisional yang menganggap bahwa tanpa adanya arahan dan
campur tangan, pemerintah akan menyalahgunakan. kedudukan mereka dan cenderung
boros (over spending). Menurut pendekatan anggaran kinerja, dominasi pemerintah akan
dapat diawasi dan dikendalikan melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan
dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Dengan kata lain, pemerintah dipaksa
bertindak berdasarkan cost minded dan narus efisien Selain didorong untuk menggunakan
dana secara ekonomis, Pemerintah juga dituntut untuk mampu mencapai tujuan yang
ditetapkan. Oleh karena itu, agar dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya
program dan tolok ukur sebagai standar kinerja.

Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan
penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan
sasaran program. Penerapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai
dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai
dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan program serta penentuan indikator kinerja yang
digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.

F. Zero-Based Budgeting (ZBB)


Konsep Zero-Based Budgeting (ZBB) dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan
yang ada pada sistem anggaran tradisional. Penyusunan anggaran dengan menggunakan
konsep Zero-Based Budgeting dapat menghilangkan incremental dan line-item karena
anggaran diasumsikan mulai dari nol (zero-base). Penyusunan anggaran yang bersifat
incremental mendasarkan basarnya realisasi anggaran tahun ini untuk menetapkan
anggaran tahun depan, yaitu dengan menyesuaikannya dengar tingkat inflasi atau jumlah
penduduk. ZBB tidak berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk menyusun anggaran
tahun ini, tetapi penentuan anggaran didasarkan pada kebutunan saat ini. Dengan ZBB
seolah-olah proses anggaran dimulai dari hal yang baru sama sekali, item anggaran yang
sudah tidak relevan dan tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi dapat hilang dari
struktur anggaran atau mungkin juga muncul item baru.

Proses Impiementasi ZBB.


Proses implementasi ZBB terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Identifikasi unit-unit keputusan
Struktur organisasi pada dasarnya terdiri atas pusat-pusat pertanggungjawaban
(responsibility center). Setiap pusat pertanggungjawaban merupakan unit pembuat
keputusan (deciscion unit) yang salah satu fungsinya adalah untuk menyiapkan
anggaran. Zero-Based Budgeting merupakan sistem anggaran yang berbasis pusat
pertanggungjawaban sebagai dasar perencanaan dan pengendalian anggaran. Suatu
unit keputusan merupakan kumpulan dari unit keputusan level yang lebih kecil.
Sebagai contoh, pemerintah daerah merupakan suatu unit keputusan besar yang dapat
dipecah-pecah lagi menjadi dinas-dinas, dinas-dinas dipecah lagi menjadi subdinas-
subdinas, subdinas dipecah lagi menjadi subprogram, dan seterusnya. Dengan
demikian, suatu pemerintah daerah bisa memiliki ribuan unit keputusan.
Setelah dilakukan identifikasi unit-unit keputusan secara tepat, tahap berikutnya
adalah menyiapkan dokumen yang berisi tujuan unit keputusan dan tindakan yang
dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dokumen tersebut disebut paket-
paket keputusan (decision packages).

2. Penentuan paket-paket keputusan


Paket keputusan merupakan gambaran komprehensif mengenai bagian dari
aktivitas organisasi atau fungsi yang dapat dievaluasi secara individual. Paket
keputusan dibuat oleh manajer pusat pertanggungjawaban dan harus menunjukkan
secara detail estimasi biaya dan pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk
pencapaian tugas dan perolehan.manfaat. Secara teoretis, paket-paket keputusan
dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai alternatif kegiatan untuk melaksanakan
fungsi unit keputusan dan untuk menentukan perbedaan level usaha pada tiap-tiap
alternatif. Terdapat dua jenis paket keputusan, yaitu:
a. Paket keputusan mutually-exclusive
Paket keputusan yang bersifat mutually-exclusive adalah paket-paket keputusan
yang memiliki fungsi yang sama. Apabila dipilih salah satu paket kegiatan atau
program, konsekuensinya adalah menolak semua aiternatif yang lain.

b. Paket keputusan incremental


Paket keputusan incremental merefleksikan tingkat usaha yang berbeda
(dikaitkan dengan biaya) dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Terdapat base
package yang menunjukkan tingkat minimal suatu kegiatan dan paket lain yang
tingkat aktivitasnya lebih tinggi yang akan berpengaruh terhadap kenaikan
level aktivitas dan juga akan berpengaruh terhadap biaya. Setiap paket
memiliki biaya dan manfaat yang dapat ditabulasikan dengan jelas.

3. Memeringkat dan mengevaluasi paket keputusan


Jika paket keputusan telah disiapkan, tahap berikutnya adalah memeringkat
semua paket berdasarkan manfaatnya terhadap organisasi. Tahap ini merupakan
jembatan untuk menuju proses alokasi sumber daya di antara berbagai kegiatan yang
beberapa di antaranya sudah ada dan lainnya baru sama sekali.

Keunggulan ZBB

1. Jika ZBB dilaksanakan dengan baik, dapat menghasilkan alokasi sumber daya
secara lebih efisien.
2. ZBB berfokus pada value for money.
3. Memudahkan untuk mengidentifikasi terjadinya inefisiensi dan ketidakefektifan
biaya.
4. Meningkatkan pengetahuan dan motivasi staf dan manajer.
5. Meningkatkan partisipasi manajemen level bawah dalam proses penyusunan
anggaran.
6. Merupakan cara yang sistematik untuk menggeser status guo dan mendorong
organisasi untuk selalu menguji alternatif aktivitas dan pola perilaku biaya serta
tingkat pengeluaran.

Kelemahan ZBB

1. Prosesnya memakan waktu (time consuming), terlalu teoretis dan tidak praktis,
membutuhkan biaya yang besar, serta menghasilkan kertas kerja yang
menumpuk karena pembuatan paket keputusan.
2. ZBB cenderung menekankan manfaat jangka pendek.
3. Implementasi Z8BB membutuhkan teknologi yang maju.
4. Masalah besar yang dihadapi ZBB. adalah pada proses memeringkat dan me-
review paket keputusan. Mereview ribuan paket keputusan rnerupakan pekerjaan
yang melelahkan dan membosankan sehingga dapat memengaruhi keputusan.
5. Untuk melakukan pemeringkatan paket keputusan dibutuhkan staf yang memiliki
keahlian yang mungkin tidak dimiliki organisasi. ZBB berasumsi bahwa semua
staf memiliki kemampuan untuk mengalkulasi paket keputusan. Selain itu, dalam
pemeringkatan muncul perimbangan subjektif atau mungkin terdapat tekanan
politik sehingga tidak objektif lagi.
6. Memungkinkan munculnya kesan yang keliru bahwa semua paket keputusan
harus masuk dalam anggaran.
7. Implementasi ZBB menimbulkan masalah keperilakuan dalam organisasi.

G. Planning, Programming and Budgeting System (PPBS)


PPBS merupakan teknik penganggaran yang didasarkan pada teori sistem yang
berorientasi pada output dan tujuan dengan penekanan utamanya adalah alokasi sumber
daya berdasarkan analisis ekonomi. Sistem anggaran PPBS tidak mendasarkan pada
struktur organisasi tradisional yang terdiri dari divisi-divisi, tetapi berdasarkan program,
yaitu pengelompokan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. PPBS sdalah salah satu
model penganggaran yang ditujukan untuk membantu manajemen pemerintah dalam
membuat keputusan alokasi sumber daya secara lebih baik. Hal tersebut disebabkan
sumber daya yang dimiliki pemerintah terbatas jumlahnya, sementara tuntutan masyarakat
tidak terbatas jumlahnya. Dalam keadaan tersebut, pemerintah dihadapkan pada pilihan
alternatif keputusan yang memberikan manfaat paling besar dalam pencapaian tujuan
organisasi secara keseluruhan. PPBS memberikan rerangka untuk membuat pilihan
tersebut.

Proses Implementasi PPBS

Langkah-langkah implementasi meliputi:

1. Menentukan tujuan umum organisasi dan tujuan unit organisasi dengan jelas.
2. Mengidentifikasi program-program dan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
3. Mengevaluasi berbagai alternatif program dengan menghitung cost-benefit dari
masing-masing program.
4. Pemilihan program yang memiliki manfaat besar dengan biaya yang kecil.
5. Alokasi sumber daya ke masing-masing program yang disetujui.
PPBS mensyaratkan organisasi menyusun rencana jangka panjang untuk
mewujudkan tujuan organisasi melalui program-program. Kuncinya adalah bahwa
program-program yang disusun harus terkait dengan tujuan organisasi dan tersebar ke
seluruh bagian organisasi. Pemerintah harus dapat mengidentifikasi struktur program dan
melakukan analisis program. Struktur program merupakan rerangka untuk
mengidentifikasi keterkaitan antara sumber daya yang dimiliki dengan aktivitas yang akan
dilakukan Untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi, struktur program merupakan semacam
kerangka bangunan dari desain sistem PPBS. Analisis program terkait dengan kegiatan
menganalisis biaya dan manfaat dari masing-masing program sehingga dapat dilakukan
pilihan. Untuk-mendukung hal tersebut, PPBS membutuhkan sistem informasi yang
canggih agar dapat memonitor kemajuan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sistem
pelaporan anggaran PPBS harus mampu melaporkan hasil (manfaat) program, bukan
sekedar jumlah pengeluaran yang telah dilakukan.

Karakteristik PPBS:

1. Berfokus pada tujuan dan aktivitas (program) untuk mencapai tujuan.


2. Secara eksplisit menjelaskan implikasi terhadap tahun anggaran yang akan datang
karena PPBS berorientasi pada masa depan.
3. Mempertimbangkan semua biaya yang terjadi. 
4. Dilakukan analisis secara sistemik atas berbagai alternatif program, yang meliputi: 
(a) identifikasi tujuan, (b) identifikasi secara sistematik alternatif program untuk
mencapai tujuan, (c) estimasi biaya total dari masing-masing alternatif program dan
(d) estimasi manfaat (hasil) yang ingin diperoleh dari masing-masing alternatif
program.

Kelebihan PPBS

1. Memudahkan dalam pendelegasian tanggung jawab dari manajemen puncak ke


manajemen menengah.
2. Dalam jangka panjang dapat mengurangi beban kerja.
3. Memperbaiki kualitas pelayanan melalui pendekatan sadar biaya
(costconsciousness/cost awareness) dalam perencanaan program.
4. Lintas departemen sehingga dapat meningkatkan komunikasi, koordinasi, dan kerja
sama antardepartemen.
5. Menghilangkan program yang overlapping atau bertentangan dengan pencapaian
tujuan organisasi.
6. PPBS menggunakan teori marginal utility sehingga mendorong alokas! sumber daya
secara optimal.

Kelemahan PPBS

1. PPBS membutuhkan sistem informasi yang canggih, ketersediaan data, adanya sistem
pengukuran, dan staf yang memiliki kapabilitas tinggi.
2. Implementasi PPBS membutuhkan biaya yang besar karena PPBS membutuhkan
teknologi yang canggih.
3. PPBS bagus secara teori, tetapi sulit untuk diimplementasikan.
4. PPBS mengabaikan realitas politik dan realitas organisasi sebagai kumpulan manusia
yang kompleks.
5. PPBS merupakan teknik anggaran yang statistically oriented. Penggunaan statistik
terkadang kurang tajam untuk mengukur efektivitas program. Statistik hanya tepat
untuk mengukur beberapa program tertentu saja.
6. Pengaplikasian PPBS menghadapi masalah teknis. Hal ini terkait dengan sifat
program atau kegiatan yang lintas departemen sehingga menyulitkan dalam 
melakukan alokasi biaya. Sementara itu, sistem akuntansi dibuat berdasarkan
departemen, bukan program.

Masalah Utama Penggunaan ZBB dan PPBS

1. Bounded rationality, keterbatasan dalam menganalisis semua alternatif untuk


melakukan aktivitas.
2. Kurangnya data untuk membandingkan semua alternatif terutama untuk mengukur
output.
3. Masalah ketidakpastian sumber daya, pola kebutuhan di masa depan.
4. Perubahan politik, dan ekonomi. Pelaksanaan teknik tersebut menimbulkan beban
pekerjaan yang sangat berat.
5. Kesulitan dalam menentukan tujuan dan pemeringkatan program terutama ketika
terdapat pertentangan kepentingan (conflict of interest).
6. Sering kali tidak memungkinkan melakukan perubahan secara cepat dan tepat.
7. Terdapat hambatan birokrasi dan perlawanan politik yang besar untuk berubah
(resistance to change).
8. Pelaksanaan teknik tersebut sering tidak sesuai dengan proses pengambilan keputusan
politik. Politik berusaha membuat pelaksanaan lebih "technocratic" yang hal tersebut
bisa memengaruhi proses anggaran.
9. Pada akhirnya, pemerintah beroperasi dalam dunia yang tidak rasional.

Anda mungkin juga menyukai