NIM : 190210204187
Kondisi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu sistem yang dibuat pemerintah dalam
rangka membimbing dan memberikan pelatihan yang dilakukan oleh pendidik
terhadap peserta didik. Diharapkan nantinya pendidik dapat membimbing para
peserta didik menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas dalam intelektual tetapi juga
mempunyai karakter yang baik. Semua itu bukan hanya tugas seorang guru,
melainkan banyak elemen yang berperan serta misalnya peran dari orang tua, teman
sebaya, dan juga kondisi lingkungan. Disini orang tua sangat berperan dalam
penanaman karakter pada anak. Orang tua bertugas mengawasi anak ketika dirumah,
baik dalam proses belajar maupun dengan siapa anak tersebut berteman, karena
lingkungan tempat tinggal juga merupakan faktor penunjang terbentuknya karakter
anak.
Faktanya saat ini masih banyak peserta didik yang tidak mempunyai karakter yang
baik. Dimana banyak pelajar yang tidak memiliki tata krama, berani melawan
gurunya, bahkan berperilaku sok jagoan ikut serta dalam tawuran. Sungguh ironi
yang perlu dituntaskan sampai ke akar-akarnya. Peran orang tua juga harus ikut
mendukung, di rumah siswa harus diajari tata krama yang baik, sopan santun,
maupun diajari tutur kata yang lemah lembut.
Realita selanjutnya adalah mengenai sistem pendidikan itu sendiri yang sering
berubah. Peserta didik sering kali dibuat seperti kelinci percobaan. Sistem pendidikan
Indonesia yang berorientasi pada nilai. Memang segala macam ujian akan dinilai
dengan hasil akhir sebagai resultnya. Hal ini diterapkan di semua jenjang pendidikan
di Indonesia. Bahkan sampai ada standarisasi khusus yang banyak membuat para
siswa stres dan depresi karena harus mencapai nilai minimal setara standarisasi sesuai
dengan yang ditentukan pemerintah. sehingga akhirnya banyak peserta didik yang
melakukan kecurangan demi mendapat nilai yang bagus. Yang kedua, sistem dimana
siswa wajib menguasai semua mata pelajaran disekolah. Tidak adanya kebebasan
untuk peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakatnya. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan.
Tidak hanya permasalahan system pendidikan, tetapi juga prinsip yang salah tentang
“sekolah adalah kewajiban bukan kesadaran.” Ada nilai-nilai pemaksaan yang
dibiaskan menjadi sebuah kewajiban. Sadar atau gak dengan adanya wajib belajar 9
tahun, seakan peserta didik dipaksa untuk belajar. Meski belajar dikatakan wajib,
peserta didik punya banyak cara agar dapat bolos sekolah. Artinya, masih banyak
peserta didik yang menjadikan sekolah hanya sebatas kewajiban bukan kesadaran
untuk menuntut ilmu.
Fakta yang kedua adalah “belajar karena nilai bukan karena menyenangkan”. Banyak
peserta didik yang merasa diberatkan dengan adanya standarisasi penilaian dari
pemerintah. Alhasil peserta didik harus belajar dengan keras demi mencapai sebuah
nilai, bukan karena belajar itu menyenangkan. Banyak dari mereka belajar mati-
matian hanya karena malu dan agar tidak terlihat bodoh di kelas. Selama ini nilai
menjadi acuan dalam mengukur kecerdasan peserta didik. Tak jarang dari mereka
merasa malu dan minder saat mendapat nilai jelek.
Fakta ketiga “kesalahan bukan untuk disalahkan tapi diperbaiki”. Tak jarang ketika
peserta didik melakukan kesalahan, guru menghukum dengan cara mempermalukan
siswa tersebut. Dan biasanya ini akan membuat siswa menjadi tidak suka kepada
gurunya.
Fakta keempat “belajar hanya kalau ada tugas”. Yap pasti jika kita mengajukan
pertanyaan kepada peserta didik “lebih suka bermain apa belajar?” pasti mereka akan
menjawab bermain. Balik lagi ke poin pertama dan kedua diatas bahwa belajar adalah
kewajiban yang sangat tidak menyenangkan. Sejak SD sadar atau tidak peserta didik
sudah ditekan untuk belajar sampai lulus SMA. Ditekan untuk mampu di semua mata
pelajaran, hal ini tentunya berdampak pada saat di perguruan tinggi nanti. Banyak
peserta didik yang salah jurusan dan mengalami kuliah yang berantakan. Tak hanya
sampai disitu, pada akhirnya banyak yang bekerja tetapi tidak sesuai dengan “gelar
sarjana”
Fakta kelima “kesalahan dibayar hukuman”. Sering terjadi sebagai hal yang lumrah di
berbagai sekolah dengan dalih membuat efek jera terhadap siswa yang bersalah. Lalu
jika siswa tersebut banyak melakukan kesalahan apa mungkin akan dihukum terus?
Kenapa sistem hukuman tidak diganti dengan “berprestasi mendapat hadiah”.
Fakta keenam “jago matematika pintar, jago main bola bodoh”. Konsep lain dari
pintar dan bodoh disekolah adalah perbandingan jago matematika dan jago main bola.
Pastinya guru dan orang tua sering bilang “main bola gak bikin kamu tambah pintar”.
Artinya, disini guru hanya focus pada kemampuan siswa yang pandai matematika
agar bisa mengikuti olimpiade dan mengharumkan nama sekolah. Hal ini tentunya
tidak dapat disamaratakan karena pada dasarnya peserta didik mempunyai
kemampuan di bidangnya masing-masing.
Fakta ketujuh “fasilitas pendidikan yang kurang memadai”. Banyak kita temukan
sekolah dengan kualitas bangunan yang sudah tidak layak, khusunya di pelosok desa.
Mereka bahkan tidak mempunyai meja belajar dan buku yang memadai. Hal ini yang
menyebabkan pendidikan tidak dapat berkembang dengan optimal.
Fakta kesepuluh “hilangkan diskriminasi, mereka yang tak miliki pendidikan tinggi
juga punya kapabilitas sendiri”. Tak jarang dari masyarakat memandang sebelah mata
seseorang yang tidak berpendidikan. Kembali ke permasalahan “berorientasi pada
nilai”. Kenapa dari kita selalu melihat hasil akhir adalah segalanya? Tak hanya guru,
bahkan di dunia kerja pun banyak perusahaan yang hanya melihat gelar atau sekedar
ipk. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah dapat membantu mereka
dengan membuka lapangan kerja yang menitikberatkan pada skill.
Fakta kesebelas “anak disabilitas juga punya hak yang sama dalam pendidikan”.
Masih banyak ditemukan sekolah yang ternyata belum mempunyai kesiapan untuk
program pendidikan inklusi. Ada berbagai kendala yang muncul misalnya, masih
minimnya pemahaman tentang pendidikan inklusi, masih minimnya kualitas guru
pendidikan inklusi dimana guru masih belum sensitive dan proaktif terhadap
permasalahan peserta didiknya, dan masih banyak yang lainnya. Hal ini
menyebabkan anak disabilitas pada akhirnya tidak dapat menerima pendidikan
dengan baik. Alhasil mereka putus sekolah dikarenakan tidak adanya fasilitas yang
mendukung. Tentunya sangat disayangkan karena banyak dari mereka justru
memiliki kemampuan yang lebih cerdas dibandingkan dengan mereka yang terlahir
normal.
Akhirnya konsep pendidikan yang terarah hanya akan menjadi angan-angan semata.
Bahkan kenyataan di lapangan, masih banyak guru yang mengutamakan formalitas
semata. Peningkatan kualifikasi akademik seakan tidak bermakna, dikarenakan
banyaknya guru yang meraih gelar sarjana dengan cara yang instan. Bagaimana ingin
melahirkan peserta didik yang berkualitas, jika para pendidiknya saja jauh dari
profesionalitas?
Apalagi jika dilihat dalam kenyataannya, plagiat sudah menjadi tradisi sebagian
mahasiswa bila mendapat tugas dari dosennya. Tradisi copy paste dari internet
kemudian diklaim sebagai hasil karyanya merupakan kecelakaan dalam dunia
pendidikan. Semua itu lantas akan bermuara pada tugas akhir skripsi. Saat ini bisa
kita lihat di media social semakin maraknya oknum yang menawarkan jasa penulisan
tugas, skripsi, tesis, dan yang lainnya. Alhasil budaya instan inilah yang akan
melahirkan sarjana yang tidak berkualitas. Persoalan tersebut tentunya akan membuat
resah sebagian kalangan. Maju tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas
pendidikan itu sendiri. Pemerintah harus lebih serius dalam mengembangkan
pendidikan. Misalnya dalam hal meningkatkan kualitas guru seperti dengan
memberikan pelatihan-pelatihan khusus secara berkala. Keterbatasan akses
pendidikan bisa dihindari dengan membangun lembaga pendidikan yang kualitasnya
sama antara di desa dengan di kota, sehingga terwujudnya pemerataan pendidikan.
Diperlukan suatu pendidikan yang terkonsep dengan jelas. Mulai dari hulu sampai
hilir. Dimana program pendidikan harus berjangka panjang dan tidak terputus-putus.
Pendidikan karakter harus lebih diperhatikan lagi dengan dimasukkannya kurikulum
berbasis etika dan humanisme. Dimulai dari pendidikan seks, pendidikan anti-
korupsi, pendidikan narkotika dan sebagainya. Alhasil ini akan menjadi proses
penyadaran terhadap peserta didik sehingga kedepannya ada hubungan yang jelas
antara ilmu dan etika. Diharapkan terciptanya generasi penerus yang lebih baik.