Tawon
Tawon
Tawon
Oleh:
Mona Mentari Pagi Surbakt
dr. Tjok Istri Anom Sturti,SpPD
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya, Laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) yang berjudul
“Hipersensitivitas Akut et causa Sengatan Tawon” ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) ini disusun sebagai
salah satu syarat mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini, diantaranya:
1. dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD selaku dokter pembimbing yang telah
banyak memberikan didikan dan masukan yang membangun dalam
penyusunan laporan kasus ini.
2. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku kepala bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah.
4. Pasien NIS sebagai pasien pada pelaksanaan pengalaman belajar lapangan
kali ini.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Akhir kata semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat sesuai tujuan
penulisan dan dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan terkait
reaksi alergi khususnya hipersensitivitas akibat sengatan tawon. Serta tak lupa
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna meningkatkan
kualitas laporan ini. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Faktor Risiko Hipersensitivitas..............................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
Reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera
timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Hipersensivitas akut atau alergi
akibat sengatan tawon dapat berupa reaksi lokal maupun sistemik yang dapat
menimbulkan efek ke berbagai organ sampai menyebabkan kematian. Kematian
akibat sengatan tawon dilaporkan 40 sampai 50 kasus per tahun di Amerika
Serikat. Prevalensi reaksi alergi akibat sengatan tawon bervariasi antara 0,4
sampai 4% bahkan lebih, dengan angka mortalitasnya berkisar antara 0,09 sampai
0,45 per sejuta populasi setiap tahun. Untuk di Indonesia sendiri kejadian
tersengat tawon merupakan hal yang cukup sering dijumpai, mengingat Indonesia
merupakan negara tropis dimana serangga dapat berkembang biak dan tumbuh
dengan baik pada area tropis. Namun untuk prevalensi pasti kejadian tersengat
tawon di Indonesia belum diperoleh angka laporan untuk kasus tersebut.
Manifestasi alergi akibat sengatan tawon bergantung pada pembentukan antibodi
terhadap substansi antigen pada bisa tawon. Gambaran klinis dapat berupa reaksi
hipersensitifitas tipe lambat atau reaksi hipersensitifitas tipe cepat yang dapat
mengancam kehidupan dan memerlukan penanganan yang tepat dan cepat.
TINJAUAN PUSTAKA
2. Dermatitis kontak. Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respons terhadap bahan
yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan
dermatitis kontak. Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang
timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal tet'adi setelah
48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhats sebagai antigen
presenling cell (APC), sel Thl dan makrofag memegang peranan pada reaksi
tersebut.
Mekanisme dasar dari hipersensivitas tipe 1 adalah degranulasi sel mast tiba-tiba
pelepasan mediator inflamasi, dipicu oleh antibodi spesifik kelas IgE. Ini adalah
suatu contoh inflamasi akut, tetapi lebih dicetuskan oleh suatu kehadiran antigen
tertentu bukan oleh cedera atau infeksi. Dengan pelepasan sistemik (anafilaksis),
muncul bronkospasma, muntah, ruam kulit, edema hidung dan tenggorokan,
kolaps vaskular, yang kadang fatal, sedagkan jika pelepasan hanya bersifat
setempat, maka salah satu gejala ini akan mendominasi, tergantung pada lokasi
paparan terhadap antigen. Hipersensivitas tipe 1 juga menjadi dasar dari sejumlah
kasus asma, dimana pemicuan inflamasi lokal yang terus menerus menimbulkan
hipersensivitas dinding paru dan mengakibatkan bronkokonstriksi berkepanjangan
dan obstruksi saluran nafas.
Gambar 6. Patogenesis pada Hipersensivitas Tipe I1
Mekanisme dasar dari hipersensivitas adalah degranulasi sel mast tiba – tiba
pelepasan mediator inflamasi, dipicu oleh antibodi spesifik kelas IgE. Ini adalah
suatu contoh inflamasi akut, tetapi lebih dicetuskan oleh suatu kehadiran antigen
tertentu bukan oleh cedera atau infeksi. Dengan pelepasan sistemik (anafilaksis),
muncul bronkospasma, muntah, ruam kulit, edema hidung dan tenggorokan,
kolaps vaskular, yang kadang fatal, sedagkan jika pelepasan hanya bersifat
setempat, maka salah satu gejala ini akan mendominasi, tergantung pada lokasi
paparan terhadap antigen. Hipersensivitas tipe 1 juga menjadi dasar dari sejumlah
kasus asma, dimana pemicuan inflamasi lokal yang terus menerus menimbulkan
hipersensivitas dinding paru dan mengakibatkan bronkokonstriksi berkepanjangan
dan obstruksi saluran nafas. Antigen yang dapat memicu reaksi ini disebut
‘alergen’. Orang yang menderita alergi biasanya memiliki peningkatan kadar IgE
dalam darah mereka dan disebut ‘atopik’, suatu ciri yng biasanya diwariskan.3
Reaksi hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit
setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian
anafilaksis adalah sebagai berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan
reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.7
1. Obat
• Antibiotik : penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide,
kanamisin, dll.
• Kemoterapeutik : carboplatin and doxorubicin.
• Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies, tetanus,
tipoid.
2. Makanan
• Kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, jamur, udang, ikan, kerang,
nasi.
• Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan
3. Bisa/cairan binatang: serangga, ular, laba-laba, ubur-ubur, nyamuk.
4. Natural rubber latex (NRL): Dalam dunia kesehatan seperti masker, alat
tensimeter, stetoskop, handschoen, kateterm tourniquets. Selain itu barang -
barang yang mengandung NRL lain seperti, sarung tangan, kondom, dot bayi,
balon, mainan, dan alat olahraga.
5. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan.
6. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
7. Idiopatik
Faktor risiko terjadinya alergi antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan,
maupun riwayat atopi. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada wanita dewasa
(60%) yang umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak – anak
usia dibawah 15 tahun. Rute pajanan parenteral biasanya menimbulkan reaksi
yang lebih berat dibandingkan oral.4
Riwayat Keluarga Respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk
sejak dini pada masa gestasi. Berbagai lokus genetik
mempunyai asosiasi dengan penyakit alergi.
Faktor Regulasi Sel mast juga merupakan sumber dari bebrapa sitokin yang
Sitokin mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada
individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap
antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE
1. Anamnesis
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi akut, sistemik yang melibatkan lebih dari
satu sistem organ seperti kulit dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem
kardiovaskular, sistem gastrointestinal yang dapat mengancam nyawa. Gambaran
atau gejala klinik suatu alergi berbeda-beda gradasinya sesuai dengan tingkat
sensivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik,
gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Gejala pada alergi dapat dimulai dengan bersin, hidung
tersumbat atau batuk saja yang kemudian dapat diikuti dengan sesak nafas. Gejala
pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada alergi,
salah satunya bias menimbulkan oedem. Walaupun gejala ini tidak mematikan
namun gejala ini terpenting untuk diperhatikan sebab ini merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan
gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit
kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih
berat. Manifestasi dari gangguan gastroinstensinal berupa perut kram, mual,
muntah sampai diare yang dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala gangguan nafas dan sirkulasi. Disamping itu alergi ini juga dapat
menimbulkan pusing.
1) Onset akut (dalam hitungan menit sampai beberapa jam) dengan melibatkan
jaringan kulit dan mukosa atau keduanya (pruritus generalisata, flushing
sembab bibir, lidah dan ovula). Dan minimal salah satu yang berikut :
a. Keluhan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor, hipoksemia).
b. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
2) Dua atau lebih dari gejala gambaran klinis yang terjadi segera paska paparan
a. Keterlibatan jaringan kulit dan mukosa, (pruritus generalisata, flushing
sembab bibir, lidah dan ovula)
b. Keterlibatan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor,
hipoksemia).
c. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
d. Gejala gastrointestinal (mual, muntah, kram perut)
Penurunan tekanan darah segera paska paparan. Tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah sebelumnya.
Dimana apabila dari manifestasi klinis ditemukan gejala di luar dari kriteria
tersebut maka digolongkan ke dalam reaksi hipersensitivitas akut.
2. Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi nafas meningkat. Adanya takikardia, edema
periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa
urtikasia dan eritema.5
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hitung eosinophil darah tepi dapat normal ataupun
meingkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit (skin prick test/SPT) untuk
mencari faktor pencetus yang disebabkan allergen hirup dan makanan dapat
dilakukan setelah pasiennya sehat.5
Gambar
8.
Pada reaksi hipersensitifitas tipe lambat ditandai dengan timbulnya lesi yang
mengeras bila disertai papul yang persisten dan berkembang menjadi
hiperpigmentasi, bahkan sering menimbulkan ekskoriasi dan krusta. Rasa gatal
dapat ringan sampai berat, bersifat sementara atau menetap. Cekungan pada
bagian sentral sering terlihat tetapi akan menghilang kemudian. Reaksi anafilaksis
dimulai dalam beberapa detik atau beberapa menit setelah terjadinya sengatan.
Gejala pada kulit berupa rasa gatal, kemerahan, urtikaria, dan angioedema. Gejala
kardiovaskular berupa hipotensi disertai sinus takikardi atau bradikardi, yang
menunjukkan tipe reaksi vasovagal.4,9
Gejala respirasi berupa bronkospasme (dengan mengi pada ekspirasi), edem laring
(stridor inspirasi) atau timbulnya dispne dengan suara napas yang normal. Gejala
sistim pencernaan berupa kaku pada usus, muntah dan diare (kadang-kadang
berdarah), dan kaku pada uterus. Reaksi yang berat dapat disertai perasaan akan
datangnya malapetaka dan syok. Akibat lanjut dari sengatan tawon dapat
menimbulkan komplikasi ke berbagai organ. Dilaporkan adanya kasus neuropati
optikus setelah mengalami sengatan tawon, ditandai dengan hilangnya
kemampuan visual, perdarahan dan edem pada diskus optikus dan skotoma
sentralis. Komplikasi sengatan tawon juga dapat mengenai organ ginjal dan hati.
Dilaporkan terjadinya kasus gagal ginjal akut dan gangguan hati akibat sengatan
tawon, yang menyebabkan timbulnya hipotensi, hemolisis intravaskular,
rhabdomyolisis sebagai akibat efek toksik dari bisa tawon.
Pada reaksi lokal diperhatikan apakah tawon meninggalkan sengatnya pada kulit
pasien. Singkirkan sengat tersebut dengan menggunakan penjepit atau dengan
kuku jari. Jangan lakukan penekanan pada sengat tersebut karena dapat
mengakibatkan pelepasan bisa lebih banyak kedalam kulit. Untuk mengurangi
rasa nyeri dan pembengkakan cukup digunakan kompres dingin, tetapi reaksi
lokal yang luas membutuhkan pengobatan dengan antihistamin dan kortikosteroid
(prednison). Jika terjadi reaksi anafilaksis, obat pilihannya adalah epinefrin dalam
larutan 1:1000, diinjeksikan secara intramuskular atau subkutan dengan dosis 0.2-
0.5 ml atau 0.01 ml/kg berat badan. Pemberiannya dapat diulangi dalam 15 menit
jika masih diperlukan. Pada reaksi berat yang persisten dapat digunakan infus
intravena epinefrin (1:10.000) dengan dosis 0.1 ug/kg/menit dengan pemantauan
jantung yang ketat untuk mempertahankan tekanan sistolik 80 mmHg. Jika
hipotensi dan syok tidak respon terhadap epinefrin, harus diberikan cairan
intravena dengan larutan garam isotonis (NaCl 0.9%) secara cepat (>100
ml/menit). Pasien diletakkan pada posisi Trandelenberg dengan meninggikan
kedua kakinya. Timbulnya edema laring mungkin menyulitkan pemasangan
selang endotrakeal maka diperlukantindakan bedah trakeostomi untuk
mempertahankansaluran napas. Tindakan krikotirotomi diperlukan jika belum
dapat dilakukan trakeostomi.Pada keadaan timbulnya obstruksi bronkus
penanganannya sama seperti asma bronkial. Diberikan aminofilin 6 mg/kg berat
badan dalam 20 ml dextrose 5% secara intravena dalam masa 10-15 menit sebagai
dosis awal , dilanjutkan dengan 0.9 mg/kg/jam sebagai dosis pemeliharaan. Jika
bronkospasme menetap diberikan bronkodilator β adrenergik secara nebulisasi.
Jika terdapat tanda gagal napas dengan nilai PaCO2 >65 mmHg diperlukan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Pada reaksi tipe lambat yang terjadi
kemudian cukup diberikan antihistamin oral seperti difenhidramin 1-2 mg/kg BB.
Kombinasi antagonis H1 dan antagonis H2 seperti simetidin dengan dosis 4
mg/kgBB memberikan hasil yang lebih baik. Pengobatan topikal dengan krem
kortikosteroid kurang efektif dan penggunaan antihistamin topikal dapat
berpotensi timbulnya sensitisasi dan tidak berperan pada pengobatan alergi
sengatan tawon Untuk pengobatan jangka panjang pada pasien dengan alergi
sengatan tawon dapat dilakukan pengobatan secara imunologis yang efektif untuk
mencegah reaksi alergi akibat sengatan tawon.9
BAB III
LAPORAN KASUS
Umur : 50 tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Status : Menikah
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : bengkak pada kelopak mata kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dalam keadaan sadar ke RSUP Sanglah tanggal 24 Agustus 2016
dengan keluhan bengkak pada kelopak mata kanan. Bengkak dirasakan sejak 2
jam SMRS setelah tersengat tawon di rumah. Bengkak pada kelopak mata
dirasakan tebal, panas, dan mengganggu lapang pandang. Saat itu pasien sedang
sembahyang di pelinggih rumahnya dan tiba-tiba pasien disengat tawon sebelum
sempat menghindar. Pasien mengatakan tersengat di dua lokasi yaitu di kelopak
mata kanan bagian atas dan di belakang leher. Keluhan lainnya adalah pasien
merasakan gatal dan bentol kemerahan yang terasa panas di sekujur tubuhnya
yakni di bagian perut, wajah, kedua kaki dan tangan yang dirasakan beberapa
menit setelah tersengat tawon. Pasien menyatakan hanya mengoleskan minyak
bokashi pada lokasi bengkak dan kemerahan di kulitnya, namun karena tidak
kunjung membaik pasien memutuskan untuk datang ke UGD RSUP Sanglah.
Keluhan lain seperti adanya sesak, mual, muntah, nyeri perut disangkal oleh
pasien. Riwayat pingsan juga disangkal oleh pasien.
Pasien adalah ibu rumah tangga yang sehari-harinya lebih banyak menghabiskan
waktu di dalam rumah. Pasien mengatakan dia sudah menyadari adanya sarang
tawon di dekat pelinggih di halaman rumahnya. Pasien sudah sempat meminta
suami pasien untuk membersihkan sarang tawon tersebut, namun suami pasien
tidak juga membersihkan sarang tawon tersebut.
RR : 20x/menit
Berat badan : 58 kg
Status Generalis
Mata : anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema
palpebra +/-
Thorak
Perkusi : sonor/sonor
3.5 DIAGNOSIS
Hipersensitivitas akut tipe I et causa gigitan tawon (insect bite)
3.6 PENATALAKSANAAN
Rencana terapi :
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Methyprednisolone 62,5 mg intravena tiap 12 jam
Dipenhydramin 10 mg intravena tiap 8 jam
Planning Diagnostic:
Total IgE
Monitor:
KUNJUNGAN LAPANGAN
Di rumah pasien juga terdapat satu buah dapur dan satu buah kamar mandi, dan
tempat untuk menjemur baju yang terletak di area samping rumah. Dapur
pasien relatif sempit dan terletak di bagia samping depan rumah. Dinding dan
lantai dapur terbuat dari batako yang diplester dan dicat. Untuk kamar mandi
cukup bersih dan rapi, dinding dan lantai kamar mandi terbuat dari batako yang
diplester dan dicat. Kamar mandi tersebut terdiri dari satu jamban jongkok
yang bersih,1 buah bak yang rutin dikuras, 1 buah keran pancuran dan saluran
pembuangan limbah yang lancar. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk
mandi, mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak.
Halaman rumah pasien tergolong sangat sempit, ditambah lagi halaman rumah
ikut difungsikan sebagai tempat parkir Kendaraan pribadi yaitu 3 buah sepeda
motor sehingga halaman rumah pasien terkesan padat dan sumpek. Di halaman
rumah juga terdapat satu buah pelinggih dan beberapa tanaman, namun di
bagian pelinggih tampak berdebu dan terlihat jarang dibersihkan. Tempat
pembuangan sampah diletakkan di pojok halaman rumah. Pasien tidak
memelihara hewan peliharaan. Lingkungan rumah pasien berada di sebuah
gang yang terbuat dari paving-paving. Diameter gang sangat sempit dan hanya
cukup untuk dilewati satu buah sepeda motor. Warga di sekitar rumah cukup
ramah dan hubungan pasien dengan tetangga dikatakan baik.
b. Kebutuhan bio-psikosoial
1. Lingkungan biologis
Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien tidak terdapat riwayat alergi,
ataupun adanya kondisi atopi seperti adanya penyakit asma, dermatitis, serta
rhinitis. Adanya alergi makanan pada anggota keluarga pasien juga disangkal.
Saat proses kunjungan, pasien mengatakan kondisi kesehatan dirinya dan
keluarganya dalam keadaan baik. Jika terdapat anggota keluarga yang sakit,
maka akan segera dibawa ke RSUP Sanglah karena RSUP Sanglah merupakan
fasilitas kesehatan terdekat dari rumah pasien.
2. Faktor psikososial
Dari segi psikologis pasien mengaku tidak memiliki permasalahan yang dapat
memicu terjadinya stres atau berpengaruh terhadap kesehatan. Dari segi sosial,
keluarga pasien merupakan keluarga yang harmonis dimana saat ini pasien
sedang menikmati kesehariannya sebagai seorang nenek dengan mengurus
cucu semata wayangnya. Hubungan pasien dengan tetangga juga cukup dekat,
dimana walaupun biasanya pada siang hari pasien hanya berada berdua di
rumah dengan sang cucu pasien bisa emminta pertolongan kepada tetangga
apabila terjadi suatu kondisi emergency.
3. Faktor spiritual
Pasien serta keluarga sangat menjunjung tinggi nilai keagamaan, sehingga
pasien dan keluarga jauh dari pikiran– pikiran negatif.
BAB V
SARAN
1. Simons FER et al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. WAO Journal. 2011.