Tawon

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 36

PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

HIPERSENSITIVITAS AKUT ET CAUSA


SENGATAN TAWON

Oleh:
Mona Mentari Pagi Surbakt
dr. Tjok Istri Anom Sturti,SpPD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya, Laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) yang berjudul
“Hipersensitivitas Akut et causa Sengatan Tawon” ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) ini disusun sebagai
salah satu syarat mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini, diantaranya:

1. dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD selaku dokter pembimbing yang telah
banyak memberikan didikan dan masukan yang membangun dalam
penyusunan laporan kasus ini.
2. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku kepala bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah.
4. Pasien NIS sebagai pasien pada pelaksanaan pengalaman belajar lapangan
kali ini.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.

Akhir kata semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat sesuai tujuan
penulisan dan dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan terkait
reaksi alergi khususnya hipersensitivitas akibat sengatan tawon. Serta tak lupa
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna meningkatkan
kualitas laporan ini. Terima kasih.

Denpasar, 31 Agustus 2016

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2
2.1 Definisi Hipersensitivitas ........................................................................ 2
2.2 Imunopatofisiologi Hipersensitivitas ...................................................... 3
2.3 Etiologi Hipersensitivitas ........................................................................ 9
2.4 Faktor Risiko Hipersensitivitas ............................................................... 10
2.5 Diagnosis Hipersensitivitas ..................................................................... 11
2.6 Penatalaksanaan dan Pencegahan Hipersensitivitas ............................... 13
2.7 Reaksi Hipersensitivitas Akibat Sengatan tawon ................................... 14
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 18
3.1 Identitas Pasien ....................................................................................... 18
3.2 Anamnesis ............................................................................................... 18
3.2.1 Keluhan Utama .............................................................................. 18
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang ........................................................... 18
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu .............................................................. 19
3.2.4 Riwayat Keluarga .......................................................................... 19
3.2.5 Riwayat Sosial ............................................................................... 19
3.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 19
3.4 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 21
3.5 Diagnosis................................................................................................. 22
3.6 Penatalaksanaan ...................................................................................... 22
3.6.1 Terapi ............................................................................................. 22
3.6.2 Planning Diagnosis ........................................................................ 22
3.6.3 Monitoring ..................................................................................... 22
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN ............................................................. 23
BAB V SARAN .................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................31
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tipe I: Alergen IgE, sel mast, mediator .............................................. 1


Gambar 2 Tipe II: IgM, IgG terhadap permukaan sel atau antigen matriks
ekstraseluler1Patogenesis Dengue Shock Syndrome (DSS) ............... 4
Gambar 3 Tipe III: Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan
IgM atau IgG3 yang diendapkan dalam membran basal seluler.......5
Gambar 4. Reaksi hipersensivitas lambat..........................................................5
Gambar 5. Pembentukan granuloma.................................................................7
Gambar 6. Patogenesis pada Hipersensivitas Tipe I.........................................8

Gambar 7. Etiologi dari reaksi hipersensitivitas...............................................10

Gambar 8. Algoritma Penanganan Syok Anafilaktik........................................13

Gambar 9. Tawon dan sarangnya......................................................................15

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Faktor Risiko Hipersensitivitas..............................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

Reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera
timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Hipersensivitas akut atau alergi
akibat sengatan tawon dapat berupa reaksi lokal maupun sistemik yang dapat
menimbulkan efek ke berbagai organ sampai menyebabkan kematian. Kematian
akibat sengatan tawon dilaporkan 40 sampai 50 kasus per tahun di Amerika
Serikat. Prevalensi reaksi alergi akibat sengatan tawon bervariasi antara 0,4
sampai 4% bahkan lebih, dengan angka mortalitasnya berkisar antara 0,09 sampai
0,45 per sejuta populasi setiap tahun. Untuk di Indonesia sendiri kejadian
tersengat tawon merupakan hal yang cukup sering dijumpai, mengingat Indonesia
merupakan negara tropis dimana serangga dapat berkembang biak dan tumbuh
dengan baik pada area tropis. Namun untuk prevalensi pasti kejadian tersengat
tawon di Indonesia belum diperoleh angka laporan untuk kasus tersebut.
Manifestasi alergi akibat sengatan tawon bergantung pada pembentukan antibodi
terhadap substansi antigen pada bisa tawon. Gambaran klinis dapat berupa reaksi
hipersensitifitas tipe lambat atau reaksi hipersensitifitas tipe cepat yang dapat
mengancam kehidupan dan memerlukan penanganan yang tepat dan cepat.

Di Bali terkhususnya di Denpasar, terdapat banyak tempat-tempat yang


memungkinkan tawon banyak berkebang biak, sehingga cukup sering dijumpai
kejadian tersengat oleh tawon. Tapi tak banyak yang mengganggap hanya biasa
saja, sehingga jika tersengat kembali atau memilki alergi lain dapat
mempengaruhi respon dalam tubuh dalam orang tersebut. Padahal sengatan tawon
dapat menimbulkan suatu masalah kesehatan yang berupa reaksi hipersensitivitas
bahkan sampai terjadinya kondisi gawat darurat berupa reaksi anafilaktik hingga
kondisi syok anafilaktik yang dapat menyebabkan kematian. Pada karya tulis
terkait pengalaman belajar lapangan ini akan dibahas suatu laporan kasus
mengenai hipersensitivitas akut akibat sengatan tawon serta hasil kunjungan kami
ke rumah pasien untuk identifikasi masalah serta pemberian usulan terkait
masalah-masalah tersebut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipersensitivitas


Sistem kekebalan tubuh merupakan bagian penting dari perlindungan manusia
terhadap penyakit, tetapi mekanisme perlindungan imun terkadang dapat
menyebabkan reaksi merugikan pada host. Reaksi tersebut dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitas.1 Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Hipersensitivitas juga diartikan sebagai respons imun yang berlebihan dan yang
tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.2 Adapun
klasifikasi untuk reaksi hipersensitivitas dari Gell dan Coombs yang saat ini,
merupakan sistem klasifikasi yang paling umum digunakan yang membagi reaksi
hipersensitivitas menjadi 4 jenis menurut kecepatannya dan mekanisme imun
yang terjadi yaitu3:
a. Reaksi Tipe I (reaksi hipersensitivitas cepat)
Reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul
sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali digunakan
Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila
terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Antigen yang
masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel
TM. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk
IgE. IgE akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel
zasr, basofil dan eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama,
alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesif,ft) pada permukaan sel mast
yarrg menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan
berbagai mediator antara lain histamin yang didapat dalam granul-granul sel dan
menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.
Gambar 1. Tipe I: Alergen IgE, sel mast, mediator1

Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen


adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di samping histamin,
mediator lain seperti prostagladin dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan
metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I yang
sering timbul beberapajam sesudah kontak dengan alergen.

b. Reaksi Tipe II (reaksi hipersensitivitas sitotoksik)


Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena dibentuk
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.
Ikatan antibody dengan antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu tersebut
dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis (Gambar 2). Lisis sel
dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent
Cell Cytotoxicity (ADCC). Contoh reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah
akibat reaksi transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru
dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun
seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan melalui mekanisme
reaksi tipe II. Anemia hemolitik dapat ditimbulkan oleh obat seperti penisilin,
kinin dan sulfonamid.
Gambar 2. Tipe II: IgM, IgG terhadap permukaan sel atau antigen matriks
ekstraseluler1

c. Reaksi Tipe III (reaksi kompleks imun)


Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan
kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi di sini
biasanya jenis IgG atau IgM. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang
kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage chemo tacti c fac t or.
Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitar
tempat tersebut. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten
(malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis
ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut
disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tidak disertai dengan
respons antibodi efektif. Pembentukan kompleks imun yang terbetuk dalam
pembuluh darah terlihat pada Gambar15. Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu
membentuk kompleks imun. Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang
melepas Cru dan Cru dan merangsang basofil dan trombosit melepas berbagai
mediator antara lain histamine yang meningkatkan permeabilitas vaskular. Sebab-
sebab reaksi tipe III dan alat tubuh yang sering merupakan sasaran penyakit
kompleks imun terlihat pada Tabel 1. Dalam keadaan normal kompleks imun
dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama dalam hati, limpa dan paru
tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks imun
merupakan faktorpenting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat
dimusnahkan dalam hati. Kompleks yang larut terjadi bila antigen ditemukanjauh
lebih banyak dari pada antibody yang sulit untuk dimusnahkan dan oleh karena itu
dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi
meskipun untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan
timbul bila kompleks imun menembus dinding pembuluh darah dan mengendap di
jaringan. Gangguan fungsi fagosit diduga dapat merupakan sebab mengapa
kompleks imun sulit dimusnahkan.
Gambar 3. Tipe III: Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan
IgM atau IgG3 yang diendapkan dalam membran basal seluler1

d. Reaksi Tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat) dimediasi oleh sel T.


Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul lebih dari
24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Dewasa ini, reaksi Tipe 4 dibagi
dalarn Delayed Type Hyper-sensitivity yang terjadi melalui sel CD4 dan T cell
Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.

Gambar 4. Reaksi hipersensivitas lambat1

Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Pada DTH, sel CD4.Thl yang


mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. CD4*Th1 melepas sitokin
(IFN-y) yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH,
kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti
enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin
proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-
contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut4:
1. Reaksi tuberkulin. Reaksi tuberkulin adalah reaksi dermal yang berbeda
dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20jam setelah terpajan dengan
antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear (50%o adalah limfosit dan
sisanya monosit). Setelah 48 iam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar
sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila
reaksi menetap, reaksi tuberkulin dapat berlanjut menimbulkan kavitas atau
granuloma.

2. Dermatitis kontak. Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respons terhadap bahan
yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan
dermatitis kontak. Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang
timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal tet'adi setelah
48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhats sebagai antigen
presenling cell (APC), sel Thl dan makrofag memegang peranan pada reaksi
tersebut.

3. Reaksi granuloma. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir


dengan hancurnya mikrooorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag
lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada beberapa keadaan terjadi hal
sebaliknya, antigen bahkan terlindung, misalnya telur skistosoma dan
mikobakteriumyang ditutupi kapsul lipid. DTH laonis sering menimbulkan
fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan gro wth factor oleh makrofdg yang dapat
menimbulkan granuloma. Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe IV yang
dianggap paling penting oleh karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal
tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag
yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau
kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma
terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran antigen yang persisten
dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin merupakan respons imun selular yang
terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi terhadap antigen
mikroorganisme yang sama misalnya M tuberkulosis dan M lepra. Granuloma
terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium sarkoidosis dan rangsangan
bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam hal ini makrofag tidak dapat
memusnahkan benda inorganik tersebut. Granuloma nonimunologis dapat
dibedakan dari yang imunologis oleh karena yang pertama tidak mengandung
limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal
dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang memiliki banyak nukleus disebut sel
raksasa Langhans. Sel tersebut mempunyai beberapa nukleus yang tersebar di
bagian perifer sel dan oleh karena itu diduga sel tersebut merupakan hasil
diferensiasi terminal sel monosit / makrofag. Granuloma imunologik ditandai oleh
inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag, kadang-kadang ditemukan sel
raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Di samping itu dapat ditemukan
fibrosis (endapan serat kolagen) yang terjadi akibat proliferasi f,rbroblas dan
peningkatan sintesis kolagen. Pada beberapa penyakit seperti tuberkolusis, di
bagian sentral dapat ditemukan nekrosis dengan hilangnya struktur jaringan
(Gambar 4 ).

Gambar 5. Pembentukan granuloma1

2.2 Imunopatofisiologi Hipersensivitas Tipe 1

Mekanisme dasar dari hipersensivitas tipe 1 adalah degranulasi sel mast tiba-tiba
pelepasan mediator inflamasi, dipicu oleh antibodi spesifik kelas IgE. Ini adalah
suatu contoh inflamasi akut, tetapi lebih dicetuskan oleh suatu kehadiran antigen
tertentu bukan oleh cedera atau infeksi. Dengan pelepasan sistemik (anafilaksis),
muncul bronkospasma, muntah, ruam kulit, edema hidung dan tenggorokan,
kolaps vaskular, yang kadang fatal, sedagkan jika pelepasan hanya bersifat
setempat, maka salah satu gejala ini akan mendominasi, tergantung pada lokasi
paparan terhadap antigen. Hipersensivitas tipe 1 juga menjadi dasar dari sejumlah
kasus asma, dimana pemicuan inflamasi lokal yang terus menerus menimbulkan
hipersensivitas dinding paru dan mengakibatkan bronkokonstriksi berkepanjangan
dan obstruksi saluran nafas.
Gambar 6. Patogenesis pada Hipersensivitas Tipe I1

Mekanisme dasar dari hipersensivitas adalah degranulasi sel mast tiba – tiba
pelepasan mediator inflamasi, dipicu oleh antibodi spesifik kelas IgE. Ini adalah
suatu contoh inflamasi akut, tetapi lebih dicetuskan oleh suatu kehadiran antigen
tertentu bukan oleh cedera atau infeksi. Dengan pelepasan sistemik (anafilaksis),
muncul bronkospasma, muntah, ruam kulit, edema hidung dan tenggorokan,
kolaps vaskular, yang kadang fatal, sedagkan jika pelepasan hanya bersifat
setempat, maka salah satu gejala ini akan mendominasi, tergantung pada lokasi
paparan terhadap antigen. Hipersensivitas tipe 1 juga menjadi dasar dari sejumlah
kasus asma, dimana pemicuan inflamasi lokal yang terus menerus menimbulkan
hipersensivitas dinding paru dan mengakibatkan bronkokonstriksi berkepanjangan
dan obstruksi saluran nafas. Antigen yang dapat memicu reaksi ini disebut
‘alergen’. Orang yang menderita alergi biasanya memiliki peningkatan kadar IgE
dalam darah mereka dan disebut ‘atopik’, suatu ciri yng biasanya diwariskan.3

Reaksi hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit
setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian
anafilaksis adalah sebagai berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan
reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.7

2.3 Etiologi Hipersensitivitas

Terdapat beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis,


yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak
bisa di golongkan. Secara umum penyebab anafilaksis dapat dikelompokkan
sebagai berikut:

1. Obat
• Antibiotik : penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide,
kanamisin, dll.
• Kemoterapeutik : carboplatin and doxorubicin.
• Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies, tetanus,
tipoid.
2. Makanan
• Kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, jamur, udang, ikan, kerang,
nasi.
• Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan
3. Bisa/cairan binatang: serangga, ular, laba-laba, ubur-ubur, nyamuk.
4. Natural rubber latex (NRL): Dalam dunia kesehatan seperti masker, alat
tensimeter, stetoskop, handschoen, kateterm tourniquets. Selain itu barang -
barang yang mengandung NRL lain seperti, sarung tangan, kondom, dot bayi,
balon, mainan, dan alat olahraga.
5. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan.
6. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
7. Idiopatik

Gambar 7. Etiologi dari reaksi hipersensitifitas7

2.4 Faktor Risiko Hipersensitivitas

Faktor risiko terjadinya alergi antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan,
maupun riwayat atopi. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada wanita dewasa
(60%) yang umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak – anak
usia dibawah 15 tahun. Rute pajanan parenteral biasanya menimbulkan reaksi
yang lebih berat dibandingkan oral.4

Tabel 1. Faktor Risiko Hipersensitivitas

Riwayat Keluarga Respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk
sejak dini pada masa gestasi. Berbagai lokus genetik
mempunyai asosiasi dengan penyakit alergi.

Allergic March Perjalanan alamiah penyakit alergi mengikuti kurve yan


disebut dengan allergic march, dimana dermatitis atopic
dan alergi makanan sering menjadi manifestasi klinis
pertama penyakit atopi pada usia sekitar 6 bulan/tahun
pertama dan dermatitis atopic ini akan menjadi asma atau
riniti alergik di kemudian hari

Faktor Lingkungan Faktor lingkungan adalah factor yang cukup banyak


berpengaruh terhadap timbulnya gejala penyakit alergi.
Terdapat banyak allergen yang dapat mencetuskan rekasi
alergi.

Faktor Regulasi Sel mast juga merupakan sumber dari bebrapa sitokin yang
Sitokin mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada
individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap
antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE

2.5 Diagnosis Hipersensitivitas

Untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.4

1. Anamnesis
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi akut, sistemik yang melibatkan lebih dari
satu sistem organ seperti kulit dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem
kardiovaskular, sistem gastrointestinal yang dapat mengancam nyawa. Gambaran
atau gejala klinik suatu alergi berbeda-beda gradasinya sesuai dengan tingkat
sensivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik,
gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Gejala pada alergi dapat dimulai dengan bersin, hidung
tersumbat atau batuk saja yang kemudian dapat diikuti dengan sesak nafas. Gejala
pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada alergi,
salah satunya bias menimbulkan oedem. Walaupun gejala ini tidak mematikan
namun gejala ini terpenting untuk diperhatikan sebab ini merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan
gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit
kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih
berat. Manifestasi dari gangguan gastroinstensinal berupa perut kram, mual,
muntah sampai diare yang dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala gangguan nafas dan sirkulasi. Disamping itu alergi ini juga dapat
menimbulkan pusing.

Diagnosis anafilaksis berdasarkan kriteria Sampson HA adalah sebagai berikut 3

1) Onset akut (dalam hitungan menit sampai beberapa jam) dengan melibatkan
jaringan kulit dan mukosa atau keduanya (pruritus generalisata, flushing
sembab bibir, lidah dan ovula). Dan minimal salah satu yang berikut :
a. Keluhan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor, hipoksemia).
b. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
2) Dua atau lebih dari gejala gambaran klinis yang terjadi segera paska paparan
a. Keterlibatan jaringan kulit dan mukosa, (pruritus generalisata, flushing
sembab bibir, lidah dan ovula)
b. Keterlibatan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor,
hipoksemia).
c. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
d. Gejala gastrointestinal (mual, muntah, kram perut)
Penurunan tekanan darah segera paska paparan. Tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah sebelumnya.
Dimana apabila dari manifestasi klinis ditemukan gejala di luar dari kriteria
tersebut maka digolongkan ke dalam reaksi hipersensitivitas akut.

2. Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi nafas meningkat. Adanya takikardia, edema
periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa
urtikasia dan eritema.5

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hitung eosinophil darah tepi dapat normal ataupun
meingkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit (skin prick test/SPT) untuk
mencari faktor pencetus yang disebabkan allergen hirup dan makanan dapat
dilakukan setelah pasiennya sehat.5

2.6 Penatalaksanaan dan Pencegahan Hipersensitivitas


Pada reaksi hipersensitivitas akut penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
Evaluasi ABC-Airway, Breathing dan Circulation. Selanjutnya apabila ABC stabil
kita dapat memberikan antihistamin dapat berupa dypenhhidramin 10 mg secara
intramuskular, selanjutnya pasien dapat diobservasi selama 4 sampai 6 jam.
Apabila keluhan pasien membaik pasien dapat dipulangkan dan diberi obat oral
berupa ceterizine 1x1.

Gambar
8.

Algoritma Penanganan Syok Anafilaktik


Apabila keluhan pasien tidak membaik maka pasien dapat dirawat opname
kemudian diberikan steroid dan diobservasi selama 4 jam apabila kondisi
membaik maka pasien boleh dipulangkan. Sedangkan apabila keluhan belum
kunjung hilang maka dicari tau apa penyebabnya, atau apabila terjadi syok
anafilaktik maka dilakukan injeksi epinefrin dengan dosis 0,01 ml/kg/BB sampai
mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4
kali. Seandainnya kondisi semakin memburuk atau memang kondisinya sudah
buruk, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler dan bisa dinaikan sampai 0,5
ml selama pasien diketahui tidak mengidap penyakit jantung Dosis maksimal
epinefrin untuk orang dewasa adalah 0,5 miligram dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB dimana pemberian epinefrin harus dimonitor secara ketat pada pasien
dengan gangguan jantung serta pasien geriatri.
Pencegahan terhadap paparan alergen merupakan penatalaksanaan terbaik. Untuk
mengetahui secara pasti alergen yang berpotensi menyebabkan hipersensitivitas
dapat dilakukan uji cukit (Skin Prick Test) agar dapat menghindari paparan
alergen yang berpotensi tersebut.8
Pencegahan merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam tatalaksana reaksi
anafilaksis. Pencegahan dapat berupa :8
1) Riwayat penyakit : apakah ada reaksi alergi sebelumnya. Pemberian antibiotic
dan obat-obatan lainnya secara rasional (tepat pasien, tepat indikasi, tepat
obat, tepat dosis dan cara pemberian, serta waspada efek samping). Pemberian
oral lebih dianjurkan daripada parenteral.
2) Informed consent / persetujuan keluarga
3) Bila terjadi reaksi, berikan penjelasan dasar kepada pasien dan keluarga agar
tidak terulangnya kejadian tersebut.

2.7 Reaksi Hiipersensitivitas Akibat Sengatan Tawon

Tawon merupakan serangga yang termasukke dalam ordo Hymenoptera dimana


tawon memiliki alat perlindungan diri berupa sengat berisi toksin yang berada
pada bagian belakang tubuhnya. Toksin tawon mengandung apamin, melitin,
histamin, asetilkolin, 5-hidroksitriptamin, enzim, dan substansi serupa protein.
Zat-zat ini bersifat anafilaktogenik, hemolitik, neurotoksik, antigenik, dan
sitolitik. Apabila terjadi se3ngatan tawon maka akan terjadi reaksi lokal pada kulit
yang biasanya berlangsung singkat. Reaksi normal akan menimbulkan nyeri,
bengkak, dan kemerahan pada daerah sengatan. Kadang-kadang timbul reaksi
lokal yang luas pada tempat sengatan, namun hal ini akan hilang dalam waktu 2
sampai 3 hari.
Gambar 9. Tawon dan sarangnya9

Pada reaksi hipersensitifitas tipe lambat ditandai dengan timbulnya lesi yang
mengeras bila disertai papul yang persisten dan berkembang menjadi
hiperpigmentasi, bahkan sering menimbulkan ekskoriasi dan krusta. Rasa gatal
dapat ringan sampai berat, bersifat sementara atau menetap. Cekungan pada
bagian sentral sering terlihat tetapi akan menghilang kemudian. Reaksi anafilaksis
dimulai dalam beberapa detik atau beberapa menit setelah terjadinya sengatan.
Gejala pada kulit berupa rasa gatal, kemerahan, urtikaria, dan angioedema. Gejala
kardiovaskular berupa hipotensi disertai sinus takikardi atau bradikardi, yang
menunjukkan tipe reaksi vasovagal.4,9

Gejala respirasi berupa bronkospasme (dengan mengi pada ekspirasi), edem laring
(stridor inspirasi) atau timbulnya dispne dengan suara napas yang normal. Gejala
sistim pencernaan berupa kaku pada usus, muntah dan diare (kadang-kadang
berdarah), dan kaku pada uterus. Reaksi yang berat dapat disertai perasaan akan
datangnya malapetaka dan syok. Akibat lanjut dari sengatan tawon dapat
menimbulkan komplikasi ke berbagai organ. Dilaporkan adanya kasus neuropati
optikus setelah mengalami sengatan tawon, ditandai dengan hilangnya
kemampuan visual, perdarahan dan edem pada diskus optikus dan skotoma
sentralis. Komplikasi sengatan tawon juga dapat mengenai organ ginjal dan hati.
Dilaporkan terjadinya kasus gagal ginjal akut dan gangguan hati akibat sengatan
tawon, yang menyebabkan timbulnya hipotensi, hemolisis intravaskular,
rhabdomyolisis sebagai akibat efek toksik dari bisa tawon.

Diagnosis alergi sengatan tawon ditegakkan berdasarkan timbulnya gejala dan


tanda akibat alergi sengatan tawon disertai ditemukannya tawon sebagai
penyebab. Pada daerah sengatan akan disertai timbulnya reaksi lokal dan dapat
ditemukan alat sengat tawon pada kulit pasien.

Pada reaksi lokal diperhatikan apakah tawon meninggalkan sengatnya pada kulit
pasien. Singkirkan sengat tersebut dengan menggunakan penjepit atau dengan
kuku jari. Jangan lakukan penekanan pada sengat tersebut karena dapat
mengakibatkan pelepasan bisa lebih banyak kedalam kulit. Untuk mengurangi
rasa nyeri dan pembengkakan cukup digunakan kompres dingin, tetapi reaksi
lokal yang luas membutuhkan pengobatan dengan antihistamin dan kortikosteroid
(prednison). Jika terjadi reaksi anafilaksis, obat pilihannya adalah epinefrin dalam
larutan 1:1000, diinjeksikan secara intramuskular atau subkutan dengan dosis 0.2-
0.5 ml atau 0.01 ml/kg berat badan. Pemberiannya dapat diulangi dalam 15 menit
jika masih diperlukan. Pada reaksi berat yang persisten dapat digunakan infus
intravena epinefrin (1:10.000) dengan dosis 0.1 ug/kg/menit dengan pemantauan
jantung yang ketat untuk mempertahankan tekanan sistolik 80 mmHg. Jika
hipotensi dan syok tidak respon terhadap epinefrin, harus diberikan cairan
intravena dengan larutan garam isotonis (NaCl 0.9%) secara cepat (>100
ml/menit). Pasien diletakkan pada posisi Trandelenberg dengan meninggikan
kedua kakinya. Timbulnya edema laring mungkin menyulitkan pemasangan
selang endotrakeal maka diperlukantindakan bedah trakeostomi untuk
mempertahankansaluran napas. Tindakan krikotirotomi diperlukan jika belum
dapat dilakukan trakeostomi.Pada keadaan timbulnya obstruksi bronkus
penanganannya sama seperti asma bronkial. Diberikan aminofilin 6 mg/kg berat
badan dalam 20 ml dextrose 5% secara intravena dalam masa 10-15 menit sebagai
dosis awal , dilanjutkan dengan 0.9 mg/kg/jam sebagai dosis pemeliharaan. Jika
bronkospasme menetap diberikan bronkodilator β adrenergik secara nebulisasi.
Jika terdapat tanda gagal napas dengan nilai PaCO2 >65 mmHg diperlukan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Pada reaksi tipe lambat yang terjadi
kemudian cukup diberikan antihistamin oral seperti difenhidramin 1-2 mg/kg BB.
Kombinasi antagonis H1 dan antagonis H2 seperti simetidin dengan dosis 4
mg/kgBB memberikan hasil yang lebih baik. Pengobatan topikal dengan krem
kortikosteroid kurang efektif dan penggunaan antihistamin topikal dapat
berpotensi timbulnya sensitisasi dan tidak berperan pada pengobatan alergi
sengatan tawon Untuk pengobatan jangka panjang pada pasien dengan alergi
sengatan tawon dapat dilakukan pengobatan secara imunologis yang efektif untuk
mencegah reaksi alergi akibat sengatan tawon.9
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : NIS

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan Tanggal Lahir : Denpasar, 26 Juni 1966

Umur : 50 tahun

Alamat : Jalan Tukad Pakerisan Gang V, Denpasar

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Tanggal MRS : 24 Agustus 2016

3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : bengkak pada kelopak mata kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dalam keadaan sadar ke RSUP Sanglah tanggal 24 Agustus 2016
dengan keluhan bengkak pada kelopak mata kanan. Bengkak dirasakan sejak 2
jam SMRS setelah tersengat tawon di rumah. Bengkak pada kelopak mata
dirasakan tebal, panas, dan mengganggu lapang pandang. Saat itu pasien sedang
sembahyang di pelinggih rumahnya dan tiba-tiba pasien disengat tawon sebelum
sempat menghindar. Pasien mengatakan tersengat di dua lokasi yaitu di kelopak
mata kanan bagian atas dan di belakang leher. Keluhan lainnya adalah pasien
merasakan gatal dan bentol kemerahan yang terasa panas di sekujur tubuhnya
yakni di bagian perut, wajah, kedua kaki dan tangan yang dirasakan beberapa
menit setelah tersengat tawon. Pasien menyatakan hanya mengoleskan minyak
bokashi pada lokasi bengkak dan kemerahan di kulitnya, namun karena tidak
kunjung membaik pasien memutuskan untuk datang ke UGD RSUP Sanglah.
Keluhan lain seperti adanya sesak, mual, muntah, nyeri perut disangkal oleh
pasien. Riwayat pingsan juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, dan ginjal


disangkal oleh pasien. Adanya riwayat atopi seperti adanya rhinitis, asma, serta
dermatitis disangkal. Untuk riwayat alergi obat disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya yakni gatal-gatal di
kulit serta bentol kemerahan setelah mengkonsumsi telor asin. Namun dulu pasien
hanya membiarkan keluhannya dan mengoleskan minyak bokashi saja, dan gatal-
gatal serta bentol kemerahan tersebut hilang setelah kurang lebih satu jam.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang pernah mengalami keluhan


yang sama. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, dan
ginjal dalam keluarga disangkal oleh pasien. Untuk riwayat alergi terhadap obat
dan makanan di keluarga pasien disangkal. Adanya riwayat atopi seperti adanya
rhinitis, asma, serta dermatitis di keluarga pasien juga disangkal.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien adalah ibu rumah tangga yang sehari-harinya lebih banyak menghabiskan
waktu di dalam rumah. Pasien mengatakan dia sudah menyadari adanya sarang
tawon di dekat pelinggih di halaman rumahnya. Pasien sudah sempat meminta
suami pasien untuk membersihkan sarang tawon tersebut, namun suami pasien
tidak juga membersihkan sarang tawon tersebut.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis ( GCS : E4V5M6 )


Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 82x/menit, regular

RR : 20x/menit

Suhu badan : 36,5oC

Tinggi badan : 155 cm

Berat badan : 58 kg

BMI : 24,14 kg/m2

Status Generalis

Mata : anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema
palpebra +/-

THT : sekret -/- , hiperemis pada faring (-), Tonsil T1/T1

Leher : JVP PR+0 cmH2O , Pembesaran limfe (-), urtikaria (+)

Thorak

Cor Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V MCL S

Perkusi : batas kiri: ICS V MCL S

batas kanan: 1 cm PSL D

batas atas : ICS II

Auskultasi : S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Po Inspeksi : gerak pernapasan simetris statis dan dinamis,


retraksi (-) suprasternal, barrel chest (-)

Palpasi : Vokal fremitus N/N, nyeri tekan (-)

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Vesikuler Ronki Wheezing


+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen Inspeksi : distensi (-), terdapat urtikaria (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Perkusi : timpani (+)


+ +
Ekstremitas: hangat edema - - sianosis - -
+ + - - - -

Terdapat urtikaria di sekujur ekstremitas.

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel 3.1 Darah Lengkap ( 24 Agustus 2016 )

PARAMETER RESULTS REMARKS UNIT REFERENCE

WBC 6.60 103µL 4,10-11,00

% neut 60.70 % 47,00-80,00

% lymph 30.11 % 13,00-40,00

% mono 7.34 % 2,00-11,00

% eos 0.77 % 0,00-5,00

% baso 1.07 % 0,00-2,00

# neut 4.01 103µL 2,50-7,50

# lymph 1.99 103µL 1,00-4,00

# mono 0.48 103µL 0,10-1,20

# eos 0.05 103µL 0,00-0,50

# baso 0.07 103µL 0,00-0,10


RBC 4.79 106µL 4,50 – 5,90

HGB 14.98 g/dL 12,0-16,0

HCT 46.59 Tinggi % 36,00-46,00

MCV 97.24 fL 80,00-100,00

MCH 31.28 Pg 26,00-34,00

MCHC 32.16 g/dL 31,00-36,00

RDW 11.57 Rendah % 11,60-14,80

PLT 290.80 103µL 150,00-440,00

MPV 8.49 fL 6,80-10,00

Tabel 3.2 Kimia Klinik (24 Agustus 2016 )

Parameter Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan

SGOT 15,80 U/L 11,00 - 33,00


SGPT 14,10 U/L 11,00 – 50,00
BUN 7,10 mg/dL Rendah 10,00 – 23,00
Creatinine 0,63 mg/dL 0,50 – 1,2
Random blood 97,00 mg/dL 70,0 – 140,0
glucose
Natrium (Na) 136 mmol/L 136 - 145

Kalium (K) 3,89 mmol/L 3,50 – 5,10

3.5 DIAGNOSIS
Hipersensitivitas akut tipe I et causa gigitan tawon (insect bite)
3.6 PENATALAKSANAAN
Rencana terapi :
 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Methyprednisolone 62,5 mg intravena tiap 12 jam
 Dipenhydramin 10 mg intravena tiap 8 jam
Planning Diagnostic:

 Total IgE
Monitor:

 Keluhan (gatal dan bengkak)


 Vital Sign
 Tanda-tanda reaksi anafilaktik
BAB IV

KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN


Kunjungan dilakukan pada hari Rabu, 31 Agustus 2016. Kami mendapat
sambutan yang baik dari pasien dan keluarga. Adapun tujuan diadakannya
kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta
mengidentifikasi masalah yang terdapat pada pasien. Selain itu kunjungan
lapangan ini juga memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien
dimana diharapkan untuk di kemudian hari penyakit yang sama, yakni reaksi
hipersensitivitas tidak terulang kembali. Pasien dalam kasus ini baru pertama kali
terkena gigitan tawon. Untuk keluhan gatal-gatal dan kemerahan sebelumnya
pernah juga dialami pasien yakni setelah mengkonsumsi telor asin. Namun gejala
tersebut tidak selalu muncul setiap pasien mengkonsumsi telor asin, sehingga
pasien masih mengkonsumsi telor asin meskipun jarang-jarang. Saat kami
melakukan kunjungan, keluhan bengkak, kemerahan, dan gatal-gatal yang dialami
pasien sudah tidak ada dan pasien sudah bisa melakukan aktivitas seperti semula.

4.2 IDENTIFIKASI MASALAH


Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal
menghadapi penyakitnya antara lain:

1. Pasien masih belum mengetahui bahwa gigitan serangga, khususnya disini


sengatan tawon dapat berpotensi untuk menimbulkan kondisi emergency
yakni berupa reaksi anafilaksis bahkan bisa sampai terjadi syok anafilaktik.
Dan pasien mengira bahwa gejala berupa kemerahan, bengkak, gatal serta
sensasi panas yang dirasakannya saat tersengat tawon tersebut tidak akan
menjadi suatu kondisi yang serius sehingga pasien hanya melakukan
pengobatan dengan mengoleskan minyak bokashi saja ke sekujur urtikaria
yang terbentuk tersebut.
2. Pasien tidak mengetahui apa saja pertolongan pertama yang dapat dilakukan
pada kejadian gigitan serangga khususnya pada sengatan tawon.
3. Pasien tidak mengetahui bahwa kondisi terdahulu yang pernah dialami
pasien yakni gatal-gatal dan kemerahan setelah mengkonsumsi telor asin
tersebut merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akut atau alergi.
4. Pasien merupakan warga yang tinggal di Indonesia, dimana kita ketahui
bahhwa Indonesia merupakan negara tropis dimana terdapat berbagai jenis
spesies serangga yang dapat hidup dan berkembang biak. Kejadian tersengat
tawon memang dapat terjadi pada setiap orang. Pada kasus pasien, pasien
memang telah menyadari adanya sarang tawon di pelinggih di pekarangan
rumahnya, namun karena pasien tidak berani membersihkan sarangnya
tersebut dan suaminya selalu menunda ketika diminta membersihkan pasien
menjadi korban sengatan tawon tersebut.

4.3 ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN


a. Kebutuhan fisik-biomedis
1. Kecukupan Gizi
Menurut pengakuan pasien, biasanya pasien makan 3 kali dalam sehari,
sehingga nutrisi harian pasien dapat tercukupi dengan baik. Makanan disiapkan
oleh pasien sendiri dengan menu nasi dan lauk pauk seperti tempe, tahu,
sayuran, dan terkadang mengonsumsi daging babi, sapi, ikan, atau ayam.
Pasien juga rutin mengkonsumsi buah-buahan dan terkadang meminum
minuman probiotik. Pasien juga mengatakan suka mengemil dan makan snack.
2. Kegiatan fisik
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Kegiatan pasien sehari-harinya
adalah mengurus cucu dari anak pertamanya yang masih berusia 1 tahun,
memasak, membersihkan rumah, dan mebanten. Aktivitas pasien merupakan
aktivitas yang sedang, tetapi pasien mengaku tidak pernah berolahraga karena
pasien merasa takut jika terlalu lelah dan beraktivitas terlalu berat.
3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan
Jarak dari rumah pasien ke RSUP Sanglah ± 1 km. Dimana jarak ini tergolong
relatif dekat dan mudah untuk ditempuh. Akses dari rumah pasien menuju
Puskesmas maupun Rumah Sakit Swasta yaitu RS BROS juga relatif dekat
yaitu ± 2 km, selain itu terdapat pula klinik dokter umum yang berjarak + 500
meter namun hanya buka pada sore hari.
4. Lingkungan
Pasien tinggal di sebuah rumah yang beralamat di Jalan Pakerisan Gang V
Denpasar dengan luas tanah 2 are (200 m2) dan luas bangunan 1,75 are (175
m2). Pasien tinggal dengan suami, ketiga anaknya yang berusia 26 tahun, 24
tahun dan 19 tahun, sorang menantu yang berusia 23 tahun dan seorang cucu
yang berusia 14 bulan dengan total penghuni sebanyak 7 orang. Terdapat
halaman rumah yang relatif sangat kecil dimana sekaligus difungsikan untuk
parkir motor. Selain itu terdapat 1 buah ruang tamu yang menyatu dengan area
terbuka sebagai teras rumah, 4 buah kamar tidur, 1 buah dapur, dan 1 buah
kamar mandi. Rumah pasien terletak di tengah kota Denpasar, namun akses
menuju ke rumah pasien cukup sulit karena terletak di sebuah gang yang tidak
terlalu mudah diidentifikasi dari jalan Tukad Pakerisan yang merupakan jalan
utama serta gang tersebut sangat sempit dan diameternya hanya cukup untuk
dilewati satu buah sepeda motor. Dari segi lingkungan, lingkungan rumah
pasien tergolong pemukiman yang sangat padat.
Untuk kondisi dalam rumah, secara keseluruhan terlihat rapi dan kebersihannya
juga cukup. Area dalam rumah memiliki ventilasi dan sirkulasi udara di dalam
rumah utama dan cukup memadai. Sumber masuknya cahaya matahari pagi
dan sore ke dalam rumah memadai karena adanya ruang terbuka berupa teras.
Rumah pasien beratapkan genteng dengan tembok batako semen yang diplester
dan dicat. Plafon terbuat dari triplek kayu dan lantai dilapisi keramik.
Pasien tinggal di kamar tidur utama, secara keseluruhan kamar pasien terkesan
rapi dan bersih. Untuk ventilasi dan sirkulasi didalam kamar cukup memadai
karena terletak dekat dengan akses masuk ke dalam rumah dan terdapat jendela
yang terbuka ke halaman rumah. Sinar matahari dapat masuk ke kamar tidur
pasien. Pasien sering tidur di kamar bersama dengan suami. Tempat tidur
pasien tampak bersih dan rapi.

Di rumah pasien juga terdapat satu buah dapur dan satu buah kamar mandi, dan
tempat untuk menjemur baju yang terletak di area samping rumah. Dapur
pasien relatif sempit dan terletak di bagia samping depan rumah. Dinding dan
lantai dapur terbuat dari batako yang diplester dan dicat. Untuk kamar mandi
cukup bersih dan rapi, dinding dan lantai kamar mandi terbuat dari batako yang
diplester dan dicat. Kamar mandi tersebut terdiri dari satu jamban jongkok
yang bersih,1 buah bak yang rutin dikuras, 1 buah keran pancuran dan saluran
pembuangan limbah yang lancar. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk
mandi, mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak.

Halaman rumah pasien tergolong sangat sempit, ditambah lagi halaman rumah
ikut difungsikan sebagai tempat parkir Kendaraan pribadi yaitu 3 buah sepeda
motor sehingga halaman rumah pasien terkesan padat dan sumpek. Di halaman
rumah juga terdapat satu buah pelinggih dan beberapa tanaman, namun di
bagian pelinggih tampak berdebu dan terlihat jarang dibersihkan. Tempat
pembuangan sampah diletakkan di pojok halaman rumah. Pasien tidak
memelihara hewan peliharaan. Lingkungan rumah pasien berada di sebuah
gang yang terbuat dari paving-paving. Diameter gang sangat sempit dan hanya
cukup untuk dilewati satu buah sepeda motor. Warga di sekitar rumah cukup
ramah dan hubungan pasien dengan tetangga dikatakan baik.
b. Kebutuhan bio-psikosoial
1. Lingkungan biologis
Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien tidak terdapat riwayat alergi,
ataupun adanya kondisi atopi seperti adanya penyakit asma, dermatitis, serta
rhinitis. Adanya alergi makanan pada anggota keluarga pasien juga disangkal.
Saat proses kunjungan, pasien mengatakan kondisi kesehatan dirinya dan
keluarganya dalam keadaan baik. Jika terdapat anggota keluarga yang sakit,
maka akan segera dibawa ke RSUP Sanglah karena RSUP Sanglah merupakan
fasilitas kesehatan terdekat dari rumah pasien.

2. Faktor psikososial
Dari segi psikologis pasien mengaku tidak memiliki permasalahan yang dapat
memicu terjadinya stres atau berpengaruh terhadap kesehatan. Dari segi sosial,
keluarga pasien merupakan keluarga yang harmonis dimana saat ini pasien
sedang menikmati kesehariannya sebagai seorang nenek dengan mengurus
cucu semata wayangnya. Hubungan pasien dengan tetangga juga cukup dekat,
dimana walaupun biasanya pada siang hari pasien hanya berada berdua di
rumah dengan sang cucu pasien bisa emminta pertolongan kepada tetangga
apabila terjadi suatu kondisi emergency.

3. Faktor spiritual
Pasien serta keluarga sangat menjunjung tinggi nilai keagamaan, sehingga
pasien dan keluarga jauh dari pikiran– pikiran negatif.
BAB V

SARAN

5.1 Usulan Penyelesaian Masalah

Berdasarkan masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan


penyelesaian masalah yakni:

1. Mengedukasi pasien mengenai efek serta komplikasi yang dapat


ditimbulkan dari gigitan serangga (insect bite) khususunya sengatan
tawon. Disini pasien diedukasi bahwa sengatan tawon dapat
menimbulkan masalah kesehatan mulai dari yang ringan sampai berat.
Kondisi yang sebelumnya dialami pasien tergolong kondisi yang ringan
karena berefek pada kulit dan mukosa saja. Pada kasus lain, sengatan
tawon dapat berakibat pada terjadinya reaksi anafilaktik bahkan sampai
terjadinya syok anafilatik yang dapat menyebabkan kematian. Dimana hal
tersebut tergolong kepada kondisi alergi berat. Disini pasien diedukasi
mengenai tanda-tanda terjadinya reaksi anafilaktik yaitu apabila terdapat
manifestasi klinis berupa: pada saluran napas bisa terjadi sesak tiba-tiba,
sulit bernafas dan detak jantung tiba-tiba meningkat, adanya keluhan pada
saluran cerna seperti kesulitan menelan, mual muntah, serta diare serta
manifestasi pada kulit berupa adanya gatal, bengkak, dan kemerahan.
2. Mengedukasi pasien mengenai pertolongan pertama yang dapat
dilakukan pada kondisi tersengat tawon. Pada kondisi tersengat tawon hal
yang dapat dilakukan yakni mencabut sengatan itu dengan menggunakan
benda-benda yang permukaannya pipih dan keras, misalnya dengan
menjepit menggunakan dua kartu yang tipis. Hindari menekan-nekan
bekas sengatan, sebab akan membuat racun sengatan menyebar ke tubuh.
Selanjutnya cuci bagian yang tersengat dengan menggunakan sabun.
Setelah itu berikan salep antibiotik. Hal lain yang bisa dilakukan yakni
setelah sengatan berhasil dicabut, letakkan es batu di handuk kecil atau
lap, lalu tempelkan pada kulit yang bengkak karena tersengat. Dan
berikan obat pereda nyeri seperti ibuprofen, parasetamol, atau aspirin.
Selanjutnya dilakukan observasi apabila terdapat gejala yang mengarah
ke alergi berat yaitu adanya reaksi anafilaktik agar segera ke fasilitas
kesehatan terdekat.
3. Mengedukasi pasien bahwa pasien memiliki riwayat alergi dan
berpotensi untuk memiliki alergi terhadap makanan lain. Pasien
sebelumnya pernah gatal-gatal di sekujur tubuh setelah makan telor asin.
Disini kami mengedukasi pasien bahwa pasien memiliki potensi alergi
terhadap benda atau makanan lain dan tidak ada salahnya untuk
melakukan tindakan preventif agar reaksi hipersensitivitas tersbut tidak
terulang.
4. Mengedukasi pasien mengenai cara menjaga kebersihan lingkungan
rumah agar kejadian serupa yakni sengatan tawon tidak terulang kembali.
Dimana hal-hal yang dapat dilakukan adalah rajin membersihkan rumah
dan memperhatikan apakah terdapat sarang tawon di rumah, apabila iya
cara membersihkan sarang tawon adalah yang pertama yakni
menggunakan alat perlindungan diri yang dapat menutupi seluruh
permukaan tubuh yakni baju lengan panjang, sweater untuk menutupi
leher, kacamata, tudung kepala, sepatu bot, dan sarung tangan.
Selanjutnya untuk membersihkan sarang tawon tersebut dapat
menggunakan pestisida, dimana lebih baik membasmi sarang tawon pada
malam hari atau subuh karena waktu-waktu tersebut adalah periode
dimana tawon tidak terlalu aktif. Selain menggunakan pestisida dapat
juga menggunakan asap api (hanya untuk di area terbuka), menggunakan
larutan air sabun cuci piring, atau dapat juga menggunakan vacuum
cleaner. Dan yang paling penting adalah apabila merasa tidak yakin utnuk
membersihkan sarang tawon tersebut sendiri pilihan memanggil jasa
profesional dapat dipertimbangkan.
5.2 Saran

Adapun saran yang kami berikan ke pasien yakni sebagai berikut:


1. Menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan berupa skin prick
test untuk mengetahui apakah pasien memiliki alergi lain. Mengingat
sebelumnya pasien memiliki riwayat gatal-gatal dan kemerahan sesudah
mengkonsumsi telor asin. Sehingga apabila pasien telah mengetahui
agen-agen lain yang dapat menjadi pemicu alergi pada tubuhnya, pasien
dapat menghindari agen kausatif tersebut.
2. Menyarankan pasien untuk senantiasa menjaga kebersihan rumah. Dan
menyarankan apabila melakukan pekerjaan seperti berkebun untuk
menggunakan alat perlindungan diri seperti topi dan sarung tangan untuk
menghindari gigitan serangga.
DAFTAR PUSTAKA

1. Simons FER et al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. WAO Journal. 2011.

2. Lieberman P, et al. Epidiemology and diagnosis: An update practice parameter. J


Allergy Clin Immunol. 2012; 115:S483-523.

3. Simons FER. Anaphylaxis pathogenesis and treatment. Allergy 2011; 66 (Suppl.


95): 31–34.

4. Simons FER, et.al.2012 Update:World Allergy Organization Guidelines for the


Assessment and Management of Anaphylaxis. WAO Journal 2011; 4:13-37

5. Baratawidjaya KB. Hipersensivitas Tipe I. Imunologidasar. Edisike – 6. Jakarta:


BalaiPenerbit FKUI; 2004. p. 1-31.

6. Baratawidjaya KB. Reaksi hipersensivitas. Imunologi dasar. Edisike – 6. Jakarta:


BalaiPenerbit FKUI;2004. p.73-90

7. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Dasar edisi ke – 1. Jakarta: Pusat


Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. h. 457-95.

8. Markum H.M.S, editor. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Jakarta : Pusat


Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2005.

9. Faisal, H.M, Loebis Sjabaroeddin. Peran Imunoterapi pada Alergi Sengatan


Lebah. Sari Pediatri 2004; 6(3): 104-109

Anda mungkin juga menyukai