Anda di halaman 1dari 8

M e m o r i

Dicky Putra Setiawan

XII MIA 5, 9

SMA Negeri 2 Surakarta

2016/2017
Memori
(Dicky Putra S.)

“Ibu.”

“Iya, Nak?” Sahut seorang wanita sembari duduk di kursi goyang dengan jemari yang tak

henti menari menggerakan jarum, menyulam benang.

“Aku kedinginan.” Ujar seorang anak berkisar delapan hingga sepuluh tahun yang duduk di

lantai kayu berdecit tak jauh dari wanita tersebut.

“Ambilah selimut dirak sana.” Ujar ibu sambil menunjuk ke sebuah rak tua bertinggi satu

meter terbuat dari kayu di sebelah kanan ruangan kecil sederhana dengan lebar tak lebih dari

6x7 meter dan dinding dari kayu mengitari ruangan.

“Laci yang mana, Bu?”

“Kedua dari bawah, Mia.”

Dengan perlahan Mia membuka laci dan mengambil selimut kusam berwarna coklat

kehitaman. Selesai menutup laci Mia kembali duduk di samping ibunya, kemudian ia

mengenakan selimut tersebut hingga menutupi sekujur tubuhnya.

“Masih dingin, Bu.”

Dengan senyuman diwajah melihat Mia, Ibu meletakkan syal yang sedang di rajutnya ke meja

yang terletak tidak jauh darinya. Kemudian ia menatap Mia dan sambil menepuk

pangkuannya berkata, “Kemari.”

“Yeaay.” Mia pun melonjak dengan gembira dan dengan senyum lebar ia berlari ke pangkuan

Ibu.

“Perlahan, Mia.” Dengan tertawa kecil Ibu pun memeluk Mia yang berlari kepangkuannya

dengan hangat. Kemudian seakan mengingat sesuatu, wajah Ibu yang semulai bahagia

berubah menjadi cemas sambil memalingkan wajah ke arah jendela, “Hujan belum juga

reda.”.

Memori Page 2
“Ibu, ayah belum pulang?”

“Belum, Mia. Hujan masih deras, mungkin ayah masih berteduh.” Dengan senyuman

menutupi kecemasannya Ibu menjawab Mia.

“Mm.. Ibu. Bukankah Ibu beranji akan menceritakanku bagaimana Ibu bertemu dengan

Ayah?” Mengingat sesuatu Mia pun memandang Ibu dengan wajah penuh harapan.

“Benarkah?”

“Ibu tidak boleh berbohong.” Sahut Mia dengan nada menunjukkan kesal.

Tertawa Ibu pun berkata, “Baiklah. Awalnya…”

***

“B-bolehkah aku berkenalan d-denganmu?” Ujar seorang lelaki berumuran sekitar delapan

belas tahunan dengan terbata-bata. Terlihat dari wajahnya yang memerah dan tubuhnya yang

gemetar betapa gugupnya ia.

“Eh?” Sahut seorang gadis berumuran 15 tahunan terkejut mendengar pertanyaan yang

dilontarkan kepadanya secara tiba-tiba dari belakang.

Bila memandang di belakang pria tersebut, terlihat empat laki-laki sebaya yang sedang

berusaha menahan tawa sambil melihat kearah lelaki dan gadis tersebut.

“Tentu, namaku Ami.” Ami dengan keranjang dikedua tangan menjawab dengan senyum

yang indah.

Lelaki tersebut terkejut dengan mulut terbuka dan setelah beberapa saat wajahnya mulai

memerah. Keempat lelaki di belakang pun serentak terdiam di tempat melihat kejadian

tersebutterjadi di depan mereka.

“Mm, halo?” setelah beberapa saat tidak merenspon Ami pun mulai bertanya.

“Minggir kau anak muda!” Tak sempat menjawab lelaki tersebut terdorong dari belakang dan

jatuh ke tanah.

Memori Page 3
“Anak muda jaman sekarang hanya bisa berdiri melamun saja! Menghalangi jalan orang lewat

saja.” Seorang kakek menubruk lelaki tersebut dan kemudian pergi dengan kesal.

Keduanya hanya dapat diam melihat sang kakek berjalan menggurutu menjauh dari mereka.

“Jadi…”

“N-Namaku Bana.” Sahut Bana dengan terbata.

“Baiklah, Bana. Aku harus pergi, selamat tinggal.”

“Tunggu!” Tanpa menyadari Bana berteriak, ketika Ami hendak pergi. Ami yang mendengar

Bana menoleh ke hadapannya.

“B-Bukankah barang bawaanmu berat? Bolehkah aku membantumu?”

“Hm? Tetapi, aku masih harus membeli beberapa bahan-bahan makanan.”

“Tidak apa, aku akan membantmu membawakannya.” Jawab Bana dengan menyodorkan

tangannya untuk meraih keranjang Ami.

“Baiklah kalau begitu mohon bantuannya.”

“Dengan senang hati.” Bana menjawab dengan senyum mewarnai wajahnya.

Keduanya pun kemudian berjalan mengelilingi pasar di pagi hari dengan cuaca yang cerah.

Ami akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melihat sayur mayur, menawar dengan

pedagang, menyapa orang yang dijumpai. Sedang Bana hanya terdiam dibelakang melihat

Ami kesana kemari tak henti-hentinya dengan tangan penuh barang yang dibeli oleh Ami.

Namun, seakan tidak merasakan berat ditangannya, Bana hanya dapat tersenyum melihat Ami

melangkah seperti berdansa di tengah kerumunan orang, melihat keindahan gerakannya,

senyumannya.

“Dodi, lihat Bana, kawan kita sepertinya telah menjadi budak cinta.”

“Benar kau rik, lihatnya matanya, tak sekalipun ia memalingkan wajahnya dari Ami.”

“Biarkanlah saja, Dia. Namanya juga baru jatuh hati. Mengapa kita masih disini melihat orang

berpacaran? Membuat iri saja, Ayo kita pergi saja ke warung.”

Memori Page 4
“Aku setuju sama Beno, daripada kita disini berdiri melihat mereka, mendingan kita makan

saja.” Keempat orang tersebut kemudian pergi meninggalkan Ami dan Bana berdua di tengah

kerumunan pasar.

“Mm? Bana maafkan aku, sepertinya aku terlalu berlebihan dalam membeli barang. Apa kau

butuh bantuan?” Ami menyadari keteledorannya setelah melihat kondisi Bana merasa

bersalah.

“Ahaha, tidak perlu Ami, hanya segini aku masih kuat.” Bana yang kedua tangannya penuh

dengan bawaan menjawab layaknya barang-barang hanya seberat kapas. Akan tetapi, keringat

yang mengalir di kulitnya serta urat nadi yang bermunculan di permukaan kulitnya

mengatakan sebaliknya.

“Baiklah, kurasa sudah cukup untuk hari ini. Apakah kau mau ikut mengantarkannya ke

rumahku?” Ami yang tidak menyadari permasalahan yang diderita Bana bertanya dengan

tampang tak berdosa.

“Tentu saja, kau hanya tinggal menunjukan jalannya dan aku akan mengikutmu kemana pun

kau pergi.” Mendengar pertanyaan kunjugan ke rumah Ami, seakan ia telah diberi pelumas,

badan Bana menjadi tegap dan kembali bersemangat lagi.

Keduanya kemudian berjalan berdua menuju kerumah Ami. Mereka berbincang mengenai

satu hal ke hal yang lain, dari keluarga, hobi, kesukaan, dan lainnya. Detik menjadi menit,

waktu pun berlalu dan akhirnya mereka sampai kerumah Ami. Bana meletakkan barang-

barang di depan rumah Ami.

“Kau yakin tidak memerlukan bantuanku memasukkannya ke dalam? Ini berat.”

“Tidak perlu, Bana. Kau sudah banyak menolongku. Biarkan aku sendiri yang

memasukkannya, lagipula aku tidak sendirian di rumah, ada…”

Tak sempat menyelesaikan perkatannya, pintu rumah pun terbuka dan dari dalam ruang keluar

seorang pria berbadan besar dengan wajah garang menatap wajah Bana.

Memori Page 5
“Siapa ini Ami?”

“Ayah, dia Bana, kami bertemu di pasar dan ia menawarkan untuk membantu membawakan

belajaan Ami.”

“Hmm.. kalau begitu masuklah terlebih dahulu Ami, biarkan Ayah berbincang-bincang

dengan teman ‘baik’mu ini.”

“Tapi…” “Masuk.”

“..Baik, Ayah.” Tak memberi ruang untuk berkata, Ami pun kemudian masuk ke dalam

rumah setelah memandang Bana sekali sebelum masuk.

Bana yang melihat kejadian tersebut terjadi hanya dapat melihat terdiam dengan warna wajah

yang makin lama makin memucat, seakan ia telah melihat hantu.

“Jadi, kau bernama Bobo?”

“B-Bana, Pak.”

“Kau pikir aku Bapakmu?”

“M-Maaf, P-Paman.”

“Siapa yang mau jadi pamanmu, ha? Sudah, pergi sana!”

“S-Siap.” Bana pun kemudian bergegas keluar dari rumah Ami dan pergi ke tempat Bana dan

temannya biasa berkumpul.

“Sudah selesai, Yah? Bana?”

“Dia terburu-buru pergi. Mungkin dia teringat ada hal penting.”

“Oh, baiklah kalau begitu.” Ami pun mengambil belanjaan dari tangan Ayahnya dan pergi ke

dapur untuk menempatkannya.

Hari demi hari berlanjut, berkali-kali Bana berkunjung ke rumah Ami. Terkadang ia berhasil

menemuinya, dan terkadang ia harus berhadapan dengan ayah Ami yang kemudian

mengharuskannya untuk berbalik arah dengan tangan hampa. Pernah pula ia sekali tertangkap

basah oleh ayahnya dan kunjungan berubah menjadi perlombaan berlari.

Memori Page 6
Terkadang mereka berjanji untuk bertemu disuatu tempat dan kemudian mereka berjalan

tanpa arah bersama, berdua, tanpa ada yang mengganggu mereka. Mereka akan berjalan

berdampingan, saling sahut menyahut ketika salah satu dari mereka mengucapkan sesuatu

kemudian salah satunya akan tersenyum atau tertawa mendengar perkataan yang terlontar.

“Hm? Hujan.” Sahut Ami, telapak tangan mengadah, merasakan jatuhnya air dari langit satu

demi satu sembari menengok ke langit, ke arah awan yang menebarkannya.

“Awan telah menggelap rupanya.” Bana menyetujui pernyataan Ami.

“Ami, payungmu.”

“Ah, biar ku bukakan sebentar.” Ami menjawab sambil meraih payung di tangan kirinya dan

membuka daun payung selebarnya.

“Maaf, aku hanya membawa satu payung saja.”

“Bukan salahmu, seharusnya aku lebih mempersiapkan diri.”

“Tapi..” “Tak apa Ami, kamu tidak kehujanan adalah hal yang lebih penting bagiku.”

“… B-bagaimana kalau kita menggunakannya berdua, m-meskipun agak sempit.” Seketika

wajah Ami memerah dan ia menundukkan kepalanya, tak kuat menatap mata Bana.

“J-jika kau tak keberatan.” Dengan sergap ia mendekat ke Ami, takut Ami akan berubah

pikiran. Kepala menunduk masuk ke perlindungan payung, tangan Bana meraih gagang

payung dan tanpa sengaja menggenggam tangan Ami.

“”Ah.”” Sahut mereka bersamaan.

“T-terima kasih.” Bingung hendak berkata apa Bana hanya dapat berterima kasih, dan Ami

hanya dapat menjawab dengan anggukan kepala.

Dengan muka merah, keduanya berjalan di kesunyian malam, berdua, dibawah perlindungan

payung, tanpa sekatah kata. Suara rintik hujan menenggelamkan suara debaran jantung

mereka dan di belakang tirai hujan pula tubuh mereka terlihat berjalan, berdampingan.

***

Memori Page 7
***

“Kemudian aku dan ayahmu…”

“Sepertinya aku terlalu sibuk sendiri mengenang masa laluku.” Sang Ibu tersenyum melihat

anaknya yang tertidur di pelukannya.

“Aku pulang.” Sahut seorang pria membuka pintu rumah kemudian masuk secara bergegas

dan menutupnya kembali.

“Ssst! Perlahan Bana, anakmu baru tertidur.” Jari telunjuk didepan mulutnya, Ami

memperingatkan Bana.

“Oh? Apakah kau menceritakan dongeng padanya lagi?” Selesai melepaskan mantelnya yang

basah terkena air hujan, Bana mendekati Ami di kursi goyang, ia kemudian mengelus kepala

Mia.

“Iya, tetapi kali ini bukanlah dongeng. Aku menceritakan tentang kita.” Ami menjawab

dengan tersenyum.

“Benarkah? Aku harap kau tidak memburukkanku secara berlebihan dihadapannya.”

“Ahahaha, tanyakanlah saja apa anggapannya tentang ayahnya yang ternyata penakut besok.

Sekarang, bisakah kau menolongku memindahkannya ke kasur?”

“Tentu, mari aku bantu angkat dia.”

“Perlahan.”

Kemudian dengan Mia dikedua tangan, Bana memindahkannya ke kamar dan mengenakan

selimut dengan perlahan, takut membangunkan Mia. Kemudian ia mengecup dahi Mia dengan

penuh rasa kasih sayang.

“Selamat malam, Mia”

Tamat

Memori Page 8

Anda mungkin juga menyukai