XII MIA 5, 9
2016/2017
Memori
(Dicky Putra S.)
“Ibu.”
“Iya, Nak?” Sahut seorang wanita sembari duduk di kursi goyang dengan jemari yang tak
“Aku kedinginan.” Ujar seorang anak berkisar delapan hingga sepuluh tahun yang duduk di
“Ambilah selimut dirak sana.” Ujar ibu sambil menunjuk ke sebuah rak tua bertinggi satu
meter terbuat dari kayu di sebelah kanan ruangan kecil sederhana dengan lebar tak lebih dari
Dengan perlahan Mia membuka laci dan mengambil selimut kusam berwarna coklat
kehitaman. Selesai menutup laci Mia kembali duduk di samping ibunya, kemudian ia
Dengan senyuman diwajah melihat Mia, Ibu meletakkan syal yang sedang di rajutnya ke meja
yang terletak tidak jauh darinya. Kemudian ia menatap Mia dan sambil menepuk
“Yeaay.” Mia pun melonjak dengan gembira dan dengan senyum lebar ia berlari ke pangkuan
Ibu.
“Perlahan, Mia.” Dengan tertawa kecil Ibu pun memeluk Mia yang berlari kepangkuannya
dengan hangat. Kemudian seakan mengingat sesuatu, wajah Ibu yang semulai bahagia
berubah menjadi cemas sambil memalingkan wajah ke arah jendela, “Hujan belum juga
reda.”.
Memori Page 2
“Ibu, ayah belum pulang?”
“Belum, Mia. Hujan masih deras, mungkin ayah masih berteduh.” Dengan senyuman
“Mm.. Ibu. Bukankah Ibu beranji akan menceritakanku bagaimana Ibu bertemu dengan
Ayah?” Mengingat sesuatu Mia pun memandang Ibu dengan wajah penuh harapan.
“Benarkah?”
“Ibu tidak boleh berbohong.” Sahut Mia dengan nada menunjukkan kesal.
***
“B-bolehkah aku berkenalan d-denganmu?” Ujar seorang lelaki berumuran sekitar delapan
belas tahunan dengan terbata-bata. Terlihat dari wajahnya yang memerah dan tubuhnya yang
“Eh?” Sahut seorang gadis berumuran 15 tahunan terkejut mendengar pertanyaan yang
Bila memandang di belakang pria tersebut, terlihat empat laki-laki sebaya yang sedang
berusaha menahan tawa sambil melihat kearah lelaki dan gadis tersebut.
“Tentu, namaku Ami.” Ami dengan keranjang dikedua tangan menjawab dengan senyum
yang indah.
Lelaki tersebut terkejut dengan mulut terbuka dan setelah beberapa saat wajahnya mulai
memerah. Keempat lelaki di belakang pun serentak terdiam di tempat melihat kejadian
“Mm, halo?” setelah beberapa saat tidak merenspon Ami pun mulai bertanya.
“Minggir kau anak muda!” Tak sempat menjawab lelaki tersebut terdorong dari belakang dan
jatuh ke tanah.
Memori Page 3
“Anak muda jaman sekarang hanya bisa berdiri melamun saja! Menghalangi jalan orang lewat
saja.” Seorang kakek menubruk lelaki tersebut dan kemudian pergi dengan kesal.
Keduanya hanya dapat diam melihat sang kakek berjalan menggurutu menjauh dari mereka.
“Jadi…”
“Tunggu!” Tanpa menyadari Bana berteriak, ketika Ami hendak pergi. Ami yang mendengar
“Tidak apa, aku akan membantmu membawakannya.” Jawab Bana dengan menyodorkan
Keduanya pun kemudian berjalan mengelilingi pasar di pagi hari dengan cuaca yang cerah.
Ami akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melihat sayur mayur, menawar dengan
pedagang, menyapa orang yang dijumpai. Sedang Bana hanya terdiam dibelakang melihat
Ami kesana kemari tak henti-hentinya dengan tangan penuh barang yang dibeli oleh Ami.
Namun, seakan tidak merasakan berat ditangannya, Bana hanya dapat tersenyum melihat Ami
senyumannya.
“Dodi, lihat Bana, kawan kita sepertinya telah menjadi budak cinta.”
“Benar kau rik, lihatnya matanya, tak sekalipun ia memalingkan wajahnya dari Ami.”
“Biarkanlah saja, Dia. Namanya juga baru jatuh hati. Mengapa kita masih disini melihat orang
Memori Page 4
“Aku setuju sama Beno, daripada kita disini berdiri melihat mereka, mendingan kita makan
saja.” Keempat orang tersebut kemudian pergi meninggalkan Ami dan Bana berdua di tengah
kerumunan pasar.
“Mm? Bana maafkan aku, sepertinya aku terlalu berlebihan dalam membeli barang. Apa kau
butuh bantuan?” Ami menyadari keteledorannya setelah melihat kondisi Bana merasa
bersalah.
“Ahaha, tidak perlu Ami, hanya segini aku masih kuat.” Bana yang kedua tangannya penuh
dengan bawaan menjawab layaknya barang-barang hanya seberat kapas. Akan tetapi, keringat
yang mengalir di kulitnya serta urat nadi yang bermunculan di permukaan kulitnya
mengatakan sebaliknya.
“Baiklah, kurasa sudah cukup untuk hari ini. Apakah kau mau ikut mengantarkannya ke
rumahku?” Ami yang tidak menyadari permasalahan yang diderita Bana bertanya dengan
“Tentu saja, kau hanya tinggal menunjukan jalannya dan aku akan mengikutmu kemana pun
kau pergi.” Mendengar pertanyaan kunjugan ke rumah Ami, seakan ia telah diberi pelumas,
Keduanya kemudian berjalan berdua menuju kerumah Ami. Mereka berbincang mengenai
satu hal ke hal yang lain, dari keluarga, hobi, kesukaan, dan lainnya. Detik menjadi menit,
waktu pun berlalu dan akhirnya mereka sampai kerumah Ami. Bana meletakkan barang-
“Tidak perlu, Bana. Kau sudah banyak menolongku. Biarkan aku sendiri yang
Tak sempat menyelesaikan perkatannya, pintu rumah pun terbuka dan dari dalam ruang keluar
seorang pria berbadan besar dengan wajah garang menatap wajah Bana.
Memori Page 5
“Siapa ini Ami?”
“Ayah, dia Bana, kami bertemu di pasar dan ia menawarkan untuk membantu membawakan
belajaan Ami.”
“Hmm.. kalau begitu masuklah terlebih dahulu Ami, biarkan Ayah berbincang-bincang
“Tapi…” “Masuk.”
“..Baik, Ayah.” Tak memberi ruang untuk berkata, Ami pun kemudian masuk ke dalam
Bana yang melihat kejadian tersebut terjadi hanya dapat melihat terdiam dengan warna wajah
“B-Bana, Pak.”
“M-Maaf, P-Paman.”
“S-Siap.” Bana pun kemudian bergegas keluar dari rumah Ami dan pergi ke tempat Bana dan
“Oh, baiklah kalau begitu.” Ami pun mengambil belanjaan dari tangan Ayahnya dan pergi ke
Hari demi hari berlanjut, berkali-kali Bana berkunjung ke rumah Ami. Terkadang ia berhasil
menemuinya, dan terkadang ia harus berhadapan dengan ayah Ami yang kemudian
mengharuskannya untuk berbalik arah dengan tangan hampa. Pernah pula ia sekali tertangkap
Memori Page 6
Terkadang mereka berjanji untuk bertemu disuatu tempat dan kemudian mereka berjalan
tanpa arah bersama, berdua, tanpa ada yang mengganggu mereka. Mereka akan berjalan
berdampingan, saling sahut menyahut ketika salah satu dari mereka mengucapkan sesuatu
kemudian salah satunya akan tersenyum atau tertawa mendengar perkataan yang terlontar.
“Hm? Hujan.” Sahut Ami, telapak tangan mengadah, merasakan jatuhnya air dari langit satu
“Ami, payungmu.”
“Ah, biar ku bukakan sebentar.” Ami menjawab sambil meraih payung di tangan kirinya dan
“Tapi..” “Tak apa Ami, kamu tidak kehujanan adalah hal yang lebih penting bagiku.”
wajah Ami memerah dan ia menundukkan kepalanya, tak kuat menatap mata Bana.
“J-jika kau tak keberatan.” Dengan sergap ia mendekat ke Ami, takut Ami akan berubah
pikiran. Kepala menunduk masuk ke perlindungan payung, tangan Bana meraih gagang
“T-terima kasih.” Bingung hendak berkata apa Bana hanya dapat berterima kasih, dan Ami
Dengan muka merah, keduanya berjalan di kesunyian malam, berdua, dibawah perlindungan
payung, tanpa sekatah kata. Suara rintik hujan menenggelamkan suara debaran jantung
mereka dan di belakang tirai hujan pula tubuh mereka terlihat berjalan, berdampingan.
***
Memori Page 7
***
“Sepertinya aku terlalu sibuk sendiri mengenang masa laluku.” Sang Ibu tersenyum melihat
“Aku pulang.” Sahut seorang pria membuka pintu rumah kemudian masuk secara bergegas
“Ssst! Perlahan Bana, anakmu baru tertidur.” Jari telunjuk didepan mulutnya, Ami
memperingatkan Bana.
“Oh? Apakah kau menceritakan dongeng padanya lagi?” Selesai melepaskan mantelnya yang
basah terkena air hujan, Bana mendekati Ami di kursi goyang, ia kemudian mengelus kepala
Mia.
“Iya, tetapi kali ini bukanlah dongeng. Aku menceritakan tentang kita.” Ami menjawab
dengan tersenyum.
“Ahahaha, tanyakanlah saja apa anggapannya tentang ayahnya yang ternyata penakut besok.
“Perlahan.”
Kemudian dengan Mia dikedua tangan, Bana memindahkannya ke kamar dan mengenakan
selimut dengan perlahan, takut membangunkan Mia. Kemudian ia mengecup dahi Mia dengan
Tamat
Memori Page 8