Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SEJARAH IDONESIA
MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN
ISLAM DI INDONESIA

OLEH
NABILA NURHIKMAH

SMKN 1 KURIPAN
TAHUN PELAJARAN 2020/2021
A. MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA DAN
KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad
Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat
3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia. Ketiga teori tersebut di
atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke
Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke
Nusantara.
Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian
materi berikut ini.

1. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat,
lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu
adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo
dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia
menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
Demikianlah penjelasan tentang teori Gujarat. Silahkan Anda simak teori
berikutnya.

2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
 Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan
berita Cina.
 Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh
mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
SedangkanGujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
 Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut
berasal dari Mesir. Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan
T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13
sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh
sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri. Dari penjelasan di atas, apakah Anda
sudah memahami? Kalau sudah paham simak

3. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya
berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan
budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu
Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra
Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di
pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu
Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-
tanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama
salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein
Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan
kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami
perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran
Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India). Demikianlah uraian
materi tentang proses masuknya Islam ke Indonesia.
Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan
dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan
seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut
berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut
dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang
tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang
Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan. Dengan adanya perkampungan
pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan
ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran
Islam semakin cepat berkembang.
Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh
yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok
pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan
masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut,
maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya
masing- masing. Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah
dijelaskan di atas, Islam
juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan
ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan
mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari
peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di
pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali
yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan
Islam di Jawa Timur.
2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah
Ampel Surabaya.
3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum
Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin,
menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri
(Gresik)
6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di
daerah Kudus.
7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan
ajaran Islam di daerah Demak.
8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid
menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di
Jawa Barat (Cirebon)
B.. Bukti-bukti awal masuknya agama dan budaya Islam ke Indonesia Untuk
mengetahui kapan Islam masuk ke Indonesia, kita dapat menelusurinya
melalui bukti-bukti yang ada. Bukti-bukti tersebut antara lain seperti berikut
ini.
a. Sumatra
Berita Cina zaman Tang tentang adanya masyarakat muslim di daerah
Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 Masehi. Berita Marcopolo yang singgah
di Perlak, sebuah kota muslim di Aceh pada tahun 1292 M. Berita Tome
Pires (1512-1515) dalam tulisannya Summa Oriental-nya menuliskan bahwa
di bagian pesisir Sumatra Utara dan Timur, yaitu mulai dari Aceh sampai
Palembang sudah banyak masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam. Berita
dari Ibnu Batutah, yang menyatakan bahwa ia mengunjungi kerajaan Islam
Samudra Pasai pada tahun 1345. Makam Sultam Malik As Saleh yang
berangka tahun 1297 merupakan bukti bahwa Islam telah masuk dan
berkembang di daerah Aceh pada abad ke-12. Mengingat Malik As Saleh
adalah seorang sultan, maka dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke
daerah Aceh jauh sebelum Malik As Saleh mendirikan Kesultanan Samudra
Pasai.
b. Jawa
Batu nisan Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun
475 H (1085 M). Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang
berangka tahun 1419 M. Nisan kubur situs Troloyo dan Troulan, di Jawa
Timur, Nisan ini 15 ~Atno~ Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG
Dalam Jabatan © Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia menunjukkan makam orang-orang muslim dengan
tarikhnya menggunakan tahun Saka, bukan tahun Hijriah. Pada nisan
pertama yang ditemukan di Troulan, tarikhnya menunjukkan tahun 1290
Saka (1368 M), sefangkan di Troloyo tarikhnya berkisar antara 1298-1533
Saka (1376-1611). Hal yang sangat menarik adalah pada nisan ditemukan
pula lambang Surya Majapahit sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Berita
Ma-Huan pada tahun 1413-15 M, ia pernah melakukanpelayaran untuk
mengunjungi pesisir Jawa. Dalam bukunya yang berjudul Ying-yai Sheng-
Lan (Peninjauan Umum tentang Pantai-pantai Samudra) diceritakan
keberadaan orang-orang muslim di Gresik. Keberdaan mereka telah
membuktikan bahwa di wilayah Majapahit, baik di daerah pesisir maupun di
pusat kerajaan telah terjadi Islamisasi. Berita Tome Pires (1512-1515)
menyebutkan bahwa selain masih adanya kerajaan Hindu-Budha, sudah ada
pula kerajaan bercorak Islam di Demak dan daerah-daerah lainnya di pesisir
Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, sampai Jawa Barat.
c. Kalimantan
Hikayat Banjar, memberikan informasi mengenai masuknya Islam di
Kalimantan Selatan. Menceritakan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan
di Kerajaan Nagara Daha (Kalimantan Selatan) antara Pangeran Samudra
dengan Pangeran Tumenggung. Pangeran Samudra meminta bantuan Demak
dengan syarat ia dan rakyatnya kelak akan masuk Islam. Peristiwa ini terjadi
kira-kira pada tahun 1550. Hikayat Kutai, memberikan informasi masuknya
Islam di Kalimantan Timur. Dalam hikayat ini disebutkan bahwa telah
datang dua orang muslim bernama Tuan di Bandang dan Tunggang
Pangarang. Mereka datang ka Kutai untuk memperkenalkan Islam kepada
Raja Mahkota setelah sebelumnya mereka mengislamkan Makassar. Raja
Mahkota masuk Islam setelah merasa kalah dalam beradu kesaktian.
Islamisasi ini diperkirakan terjadi pada tahun 1575 M.
d. Maluku
Tome Pires dan Antonio Galvao mengabarkan bahwa antara tahun 1460-
1465, Islam telah masuk ke Maluku. Raja Ternate telah memeluk Islam dan
hanya Raja Ternate yang disebut Sultan, sedangkan yang lainnya digelari
Raja. Hikayat 16 ~Atno~ Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam
Jabatan © Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia Tanah Hitu, ditulis oleh Rijali. Hikayat ini memberikan informasi
mengenai masuknya Islam di Ternate. Diperoleh informasi bahwa ia pernah
menemani rajanya yang bernama Zainal Abidin (1486-1500) ke Giri, Jawa
Timur untuk belajar Islam. Disebutkan pula bahwa Zainal Abidin
merupakan Perdana Jamilu dan Hitu. Sulawesi Tome Pires, memberikan
informasi tentang keberadaan Islam di Sulawesi. Menurut kesaksiannya,
pada awal abad ke-16 di Sulawesi banyak sekali kerajaan, yaitu seperti
Gowa- Tallo, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Di daerah Gowa pada abad ke-16,
telah terdapat masyarakat Muslim dan orang-orang Portugis. Hikayat Kutai,
memberikan informasi masuknya Islam di Makassar oleh Tuan di Bandang
sekitar tahun 1575.
B. Proses Islamisasi di Indonesia Kartodirdjo (1975:109) menyatakan bahwa
proses islamisasi di Indonesia berjalan mudah karena kedua belah pihak yakni
orang-orang Muslim yang datang dan golongan masyarakat Indonesia dapat
saling menerima. Secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa faktor politik,
ekonomi, sosial, dan budaya secara simultan telah memudahkan Islam
berkembang dan diterima di Indonesia. Dipandang dari faktor politik
berkembangnya Islam bersamaan dengan terjadinya pergolakan politik
kerajaan Hindu Budha. Contoh kasus tentang faktor politik adalah islamisasi
di Jawa Timur. Bersamaan dengan kegoncangan politik di Majapahit
menjelang keruntuhannya, Islam muncul menjadi kekuatan alternatif yang
sulit ditolak masyarakat.
Dilihat dari faktor ekonomi antara lain munculnya kekuatan para
pedagang Islam pada pelabuhan-pelabuhan strategis di kepulauan Nusantara
menjadi daya tarik luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Pedagang-
pedagang Muslim dapat menunjukkan sifat dan tingkah laku yang baik, dan
pemahaman keagamaan yang tinggi sehingga patut untuk dicontoh dan
diikuti. Ketika kemudian banyak pedagang dan bangsawan di daerah
pelabuhan memeluk Islam maka masyarakat di sekitarnya kemudian
mengikuti dan memeluk Islam.
Dari segi faktor sosial dapat dijelaskan antara lain adalah penggunaan
bahasa melayu oleh para Mubaligh, sehingga Islam dengan mudah dapat di
pahami oleh penduduk Nusantara karena kedudukan bahasa Melayu sebagai
bahasa penghubung (lingua franca). Aspek sosial lainnya adalah adanya
pandangan Islam yang tidak mengenal strata, padahal sebelum kedatangan
Islam masyarakat dipisahkan dalam kasta Islam dianggap sebagai nilai
pembebasan dan menjunjung persamaan dalam masyarakat. Faktor budaya
yang ikut mendukung berkembang Islam di Indonesia yakni sebelum
kedatangan Islam masyarakat Indonesia mempunyai sikap religius yang
baik, sehingga kedatangan Islam yang menawarkan sebuah keyakinan bukan
hal yang asing. Sikap masyarakat Indonesia yang terbuka menerima budaya
asing telah memungkinkan terjadinya interaksi dengan budaya Islam,
kemampuan para mubaligh menggunakan sarana budaya untuk
memperkenalkan Islam menjadi saluran Islamisasi yang efektif. Syarat yang
mudah untuk menjadi muslim (hanya dengan membaca syahadat) dan ritual
yang sederhana merupakan daya tarik yang cepat dapat diterima masyarakat
Indonesia.
Sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad
ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera.
Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab
bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-
komunitas Muslim. Lambat lauan, semakin bertambah duta-duta dari Timur
Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Seperti pada masa Dinasti
Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti
Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad
ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa
catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau
Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat
bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan
Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa
melawat terlebih dulu ke Sriwijaya. Selain Sabaj atau Sribuza atau juga
Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain
di Pulau Sumatera seperti Aceh Minangkabau menjadi lahan dakwah.
Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam
Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak
Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara. Di saat-saat itulah,
Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan
Samudera Pasai-Aceh menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam
sejarah.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu
yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam
mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang
Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri
Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke
Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar
sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini
mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa
dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.
Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam
yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan
hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah
satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian
kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat
Muawiyah bin Abu Sofyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang
menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan
Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling
terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa
dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa. Sebelum Demak
berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya
Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri,
Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama
dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan
pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusa Tenggara dan wilayah
Timur Indonesia lainnya.
Ada beberapa contoh Islamisasi di kepulauan Nusantara, seperti:
1. Islamisasi di Jawa (Khusus Wali Sanga) Peran wali Sanga dalam
penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya tidak
dapat di sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan
tanah Jawa telah menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran
masyarakat Islam Jawa3. Ada yang menganggap “Walisongo”-lah
perintis awal gerakan dakwah Islam di Indonesia. Karena jika dilihat
pada fase sebelumnya, islamisasi di Nusantara lebih dilaksanakan oleh
orang perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam kasus
Walisanga ini, aspek manajemen keorganisasian telah mereka
fungsikan. Yakni, mereka dengan sengaja menempatkan diri dalam
satu kesatuan organisasi dakwah yang diatur secara rasional,
sistematis, harmonis, tertentu dan kontinue serta menggunakan
strategi, methode dan fasilitas dakwah yang betul-betul efektif.
Untuk menunjukkan bahwa lembaga dakwah Walisanga bersifat
teratur dan kontinue, Saudi Berlian dalam menyunting bukunya Widji
Saksono, menunjukkan paling tidak lembaga Walisanga telah
mengalami empat kali periode sidang penggantian “pengurus‟.
Periode I: Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad al-Kubra, Muhammad
al-Maghribi, Malik Israil, Muhammad al-Akbar, Hasanuddin,
Aliyuddin dan Subakir. Periode II: Komposisi kepengurusan
dilengkapi oleh Raden Ahmad Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja‟far Shadiq (Sunan
Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syarif
Hidayatullah menggantikan Ali Akbar yang telah wafat. Periode III:
masuk Raden Paku (Sunan Giri) menggantikan Ishaq yang pindah ke
Pasai, Raden Said (Sunan Kalijaga) menggantikan Syeikh Subakir
yang kembali ke Persia, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
menggantikan Maulana Hasanuddin yang telah Wafat, Raden Qasim
(Sunan Drajat) menggantikan Aliyuddin yang telah wafat. Periode IV:
masuk Raden Hasan (Raden Fatah) dan Fathullah Khan, keduanya
menggantikan Ahmad Jumad alKubra dan Muhammad al-Maghribi.
Periode V: masuk Sunan Muria. tetapi besar kemungkinan
menggantikan Raden Fatah yang naik tahta sebagai Sultan I Demak.
Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa Walisanga telah
menggunakan beberapa strategi dan metode dakwah. Diantaranya
adalah dengan memobilisasi semua alat ta'tsir psikologis yang berupa
sensasi, conciliare, sugesti, hipnotis sampai de cere. Karena sensasi
inilah masyarakat awam dipaksa secara halus untuk menaruh
perhatian kepada para wali dan mengesampingkan yang lainnya.
Karena conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa
saja yang datang dari para wali. Karena sugesti, rakyat didorong
berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya. Karena
hipnotis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerk para wali
tanpa banyak selidik dan kritik. Selanjutnya, para wali dapat
mengendalikan dan mengarahkan awam sebagai obyek dakwahnya ke
mana saja yang mereka kehendaki. Selain strategi yang bersifat
psikilogis, Walisanga juga menerapkan strategi (pendekatan) politis.
Ini tercermin dalam langkah-langkah yang diambil terutama oleh
Raden Patah ketika mendirikan kerajaan Demak. Widji Saksono
mencatat bahwa Walisanga meneladani pendekatan Rasulullah SAW.
dalam berdakwa, yaitu: Bi al-hikmah wa al-Mau'idhah hasanah wa
jadilhum billati hiya ahsan. Sebagai praktek dari mau'idhah hasanah,
Walisanga memperlakukan sasaran dakwah, terutama tokoh khusus,
dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi bertemu pribadi.
Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan
(tazkir) tentang Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut,
bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian.
Metode ini dapat dilihat pada kasus Sunan Ampel ketika mengajak
Ariya Damar dari Palembang masuk Islam. Juga pada Sunan Kalijaga
ketika mengajak Adipati Pandanarang di Semarang untuk masuk
Islam. Pendekatan al-Hikmah, Walisanga menggunakannya dengan
jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan
sensasional. Pendekatan ini mereka pergunakan terutama dalam
menghadapi masyarakat awam. Dalam rangkaian ini kita dapati kisah
Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya. Atas usul Sunan
Kalijaga, maka dibuatlah keramaian Sekaten atau Syahadatain yang
diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang Begitu
juga dakwah Sunan Kudus dengan lembunya yang dihias secara unik
dan nyentrik. Apabila kedua pendekatan ini tidak berhasil, barulah
mereka menempuh jalan lain yaitu al-Mujadalah billati hiya ahsan.
Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus
terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap Islam.Walisanga
juga memakai strategi tarbiyatul ummah, terutama sebagai upaya
pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru
dakwah ke berbagai daerah. Sunan Kalijaga misalnya mengkader Kiai
Gede Adipati Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki
Cakrajaya dari Purworejo kemudian mengirimnya ke Lowanu untuk
mengislamkan masyarakat di sana. Sunan Ampel mengkader Raden
Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara, membuat
perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru
terbentuk itu. Untuk penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah
kerja Walisanga, digambarkan oleh Mansur Suryanegara, mempunyai
dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Pembagian itu
memakai rasio: 5 : 3 : 1. Jawa Timur mendapat perhatian besar dari
para wali. Di sini ditempatkan 5 Wali dengan pembagian teritorial
dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis,
mengambil wilayah dakwanya di Gresik. Setelah wafat wilayah ini
diambil alih oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi
dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban.
Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima wali di
Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di
wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto. Di
Jawa Tengah para wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan
Muria. Sasaran dakwah para wali di Jawa Tengah tentu berbeda
dengan yang di Jawa Timur. Di Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa
pusat kekuasaan Hindu dan Budha sudah tidak berperan, tetapi realitas
masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu dan
Budha. Sehingga dalam berdakwah Walisanga di Jawa Tengah ini
banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong
gamelan dll, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam. Saat
berlangsung aktivitas ketiga wali tersebutm pusat kekuasaan politik
dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah runtuhnya Majapahit dan
munculnya kerajaan Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya
kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini
memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis
yang menentukan.
Sedangkan di Jawa Barat proses islamisasinya hanya ditangani oleh
seorang Wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Dengan pertimbangan saat itu penyebaran ajaran Islam di Indonesia
Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila
dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun pemilihan
kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal
itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan
rempahrempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur.
Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang
mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat.
Oleh karena itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial
politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis, geopolitik
dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan Islam selanjutnya.
Demikianlah beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh
Walisanga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila
dikaji lebih mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk metode
dakwah Walisanga, di antaranya:
Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi
di antaranya bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel) dalam rangka
memperkuat dan memperluas dakwahnya ia menempuh, salah
satunya, dengan menjalin hubungan genealogis. Beliau menikahkan
putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri.
Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif
Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sariyah dengan Usman Haji
dari Ngudung.
Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah
persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh
Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan
mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta
Surabaya.
Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan
nilainilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi
juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-
aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah luku dan pacul
Sunan Kalijaga.
Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan
dengan masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan
Majagung sebagai nayaka (mentri) urusan ini. Beliau memikirkan
masalah halal haram, masak memasak, makan-makanan dll. Untuk
efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat
pertanian, perabot dapur, barang pecah belah. Begitu juga Sunan
Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transfortasi dan bangun
perumahan.
Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan
Sunan Giri tampil sebagai ahli negara Walisanga yang menyusun
peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tatacara keraton.
Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan,
pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan
tentang islamisasi Jawa oleh Walisanga, setidaknya ada dua faktor
elementer yang menopang keunggulan dan keistimewaan dakwah para
wali. Pertama, inklusifitas para wali dalam melihat ajaran Islam.
Kedua, potensi dan keunggulan yang dimiliki oleh para wali. Mereka
telah membuktikan diri sebagai mujtahid ulung yang memahami Islam
tidak saja sebagai teori abstrak tetapi juga sebagai realitas historis
kemanusiaan.
2. Islamisasi Kalimantan, Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera
dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus
mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan
Borneo kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu. Jalur
pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur
Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai.
Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah
semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam
kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur lain yang
digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang
dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini
menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak
mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula
yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-
ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad
al Banjari. (Baca: Empat Sekawan Ulama Besar).
3. Islamisasi Sulawesi Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama
telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi
ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah
Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis
yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini
sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski
belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga
menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al
Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa
pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada
ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate
yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia
memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh
kerajaan Ternate. Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan
Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah
mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk
Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama
para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan
mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang
melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis,
Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Palopp
4. Islamisasi Maluku Kepulauan Maluku yang terkenal kaya dengan
hasil bumi yang melimpah membuat wilayah ini sejak zaman antik
dikenal dan dikunjungi para pedagang seantero dunia. Karena status
itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke
Makassar dan kepulauan-kepulauan lainnya. Kerajaan Ternate adalah
kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini sejak
tahun 1440. Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun
1512, raja ternate adalah seorang Muslim, yakni Bayang Ullah.
Kerajaan lain yang juga menjadi representasi Islam di kepulauan ini
adalah Kerajaan Tidore yang wilayah teritorialnya cukup luas meliputi
sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat kepulauan Papua dan
sebagian kepulauan Seram. Ada juga Kerajaan Bacan. Raja Bacan
pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang
bersyahadat pada tahun 1521. Di tahun yang sama berdiri pula
Kerajaan Jailolo yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam
dalam pemerintahannya.
5. Islamisasi Papua, Beberapa kerajaan di kepulauan Maluku yang
wilayah teritorialnya sampai di pulau Papua menjadikan Islam masuk
pula di pulau Cendrawasih ini. Banyak kepala-kepala suku di wilayah
Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang di bawah administrasi
pemerintahan kerajaan Bacan. Pada periode ini pula, berkat dakwah
yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Pulau
Papua memeluk Islam. Namun, dibanding wilayah lain,
perkembangan Islam di pulau hitam ini bisa dibilang tak terlalu besar.
6. Islamisasi Nusa Tenggara Islam masuk ke wilayah Nusa Tenggara
bisa dibilang sejak awal abad ke-16. Hubungan Sumbawa yang baik
dengan Kerajaan Makassar membuat Islam turut berlayar pula ke
Nusa Tenggara. Sampai kini jejak Islam bisa dilacak dengan meneliti
makam seorang mubaligh asal Makassar yang terletak di kota Bima.
Begitu juga dengan makam Sultan Bima yang pertama kali memeluk
Islam. Bisa disebut, seluruh penduduk Bima adalah para Muslim sejak
mula. Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke Lombok. Orang-orang
Bugis datang ke Lombok dari Sumbawa dan mengajarkan Islam di
sana. Hingga kini, beberapa kata di sukusuku Lombok banyak
kesamaannya dengan bahasa Bugis. Dengan data dan perjalanan Islam
di atas, sesungguhnya bisa ditarik kesimpulan, bahwa Indonesia
adalah negeri Islam. Bahkan, lebih jauh lagi, jika dikaitkan dengan
peran Islam di berbagai kerajaan tersebut di atas, Indonesia telah
memiliki cikal bakal atau embrio untuk membangun dan menjadi
sebuah negara Islam.
C. Pola Penyebaran Islam di Indonesia Islam
Dikenal sebagai suatu agama mayoritas dianut penduduk di Indonesia,
memiliki beragam pola-pola penyebarannya, di antaranya lewat jalur-jalur
sebagai berikut:
a. Perdagangan Saluran perdagangan merupakan tahap yang
paling awal dalam proses Islamisasi. Tahap ini diperkirakan
pada abad ke-7 M yang melibatkan pedagang Arab, Persia, dan
India. Proses ini sangat menguntungkan, sebab bisa
dilaksanakan pada saat mereka berdagang. Dalam agam Islam,
semua orang Islam adalah penyampai ajaran Islam. Pada
saluran ini hampir semua kelompok masyarakat terlibat mulai
dari raja, birokrat, bangsawan, masyarakat kaya, sampai
masyarakat bawah. Proses dipercepat dengan mulai runtuhnya
kerajaan- kerajaan bercorak HinduBudha. Prosesnya mula-mula
para pedagang Islam berdagang di pusat-pusat perdagangan dan
kemudian di antaranya ada yang bertempat tinggal, baik hanya
untuk sementara maupun untuk waktu yang cukup lama. Dalam
perkembangannya para pedagang ini banyak kemudian yang
menetap sehingga lama kelamaan menjadi sebuah
perkampungan. Perkampungan ini kemudian dikenal sebagai
Pekojan, perkampungan orang Islam. Status mereka secara
ekonomi relatif baik, sehingga banyak menarik masyarakat di
sekitarnya untuk bekerja dengan para pendatang tersebut.
b. Perkawinan Saluran Islamisasi kedua adalah melalui
perkawinan. Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap yang
pertama. Banyak pedagang Muslim yang menetap tidak serta
membawa keluarganya, sehingga kemudian mereka menikah
dengan penduduk asli. Para pedagang lama kelamaan mulai
menetap, baik untuk sementara maupun permanen. Lambat laun
para pedagang ini membentuk perkampungan-perkampungan
yang dikenal dengan nama Pekojan. Wanita yang akan dinikah
sebelumnya telah masuk agama Islam, dengan demikian
terbentuklah keluarga muslim. Jumlahnya lambat laun semakin
banyak sehingga terciptalah masyarakat Islam. Saluran
islamisasi melalui perkawinan ini sangat efektif jika yang
melakukan perkawinan adalah saudagar Islam dengan anak
kaum bangsawan atau Raja. Dari perkawinan ini akan
mempercepat islamisasi karena pengaruh sosio politik kaum
bangsawa dan para raja cukup besar di kalangan masyarakat.
Pada tahap selanjutnya para pedagang ini ada yang mulai
membentuk keluarga dengan cara menikahi para penduduk
lokal, misalnya antara Raden Rahmat (Sunan Ampel) dengan
Nyai Manila. Namun proses ini tidak begitu mudah, mengingat
perkawinan dengan orang penganut berhala dianggap kurang
sah, karena itu wanita tersebut harus masuk Islam terlebih
dahulu. Hal ini dapat dijalankan dengan sederhana, karena tidak
memerlukan upacara. Cukup dengan mengucapkan kalimat
Syahadat. Adanya proses ini menyebabkan penyebaran agama
Islam berjalan lancar karena keluarga hasil perkawinan akan
membentuk keluarga muslim. Selain itu, tidak mustahil dari
pihak keluarga kedua mempelai timbul ketertarikkan untuk
masuk agama Islam. Dalam beberapa babad diceritakan adanya
proses ini, misalnya Maulana Ishak menikahi Putri Blambangan
dan melahirkan Sunan Giri. Dalam Babad Cirebon diceritakan
perkawinan antara Putri Kawunganten dengan Sunan Gunung
Jati, Babad Tuban menceritakan tentang perkawinan antara
Raden Ayu Teja, Putri Adipati Tuban dengan Syekh
Ngabdurahman.
c. Pendidikan
Pendidikan juga merupakan saluran Islamisasi di Indonesia.
Sudah disinggung sebelumnya bahwa banyak mubaligh yang
kemudian menyiapkan kader melalui pendidikan dengan
mendirikan pesantren. Para ulama, kyai, dan guru agama sangat
berperan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan
Islam. Para tokoh Islam ini menyelenggarakan pendidikan
melalui pondok pesantren bagi para santri-santrinya. Dari para
santri inilah nantinya Islam akan disosialisasikan ditengah-
tengah masyarakat. Di pesantren itulah kader ulama penerus
ulama disiapkan untuk mengembangkan Islam diseluruh
pelosok Indonesia. Seorang santri yang telah tamat belajar di
pesantren akan kembali ke daerahnya masingmasing dan
menjadi guru agama dan tokoh keagamaan. Beberapa pesantren
awal yang dikenal luas adalah Ampel dan Giri yang sudah
muncul ketika Majapahit masih berdiri. Ampel dan Giri dikenal
sebagai tempat pendidikan para mubaligh yang banyak
mengislamkan wilayah Indonesia.
d. Tasawuf
Tasawuf juga merupakan saluran Islamisasi yang keemapat,
bahkan dinilai para ahli merupakan saluran terpenting.
Alasanya karena melalui Tasawuf memudahkan penerimaan
Islam oleh masyarakat yang belum memeluk agama Islam.
Tasawuf merupakan ajaran untuk mengenal dan mendekatkan
diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung
secara sadar dengan Allah SWT. dan memperoleh ridha-Nya.
Guru-guru Tasawuf dengan kebajikannya tetap memelihara
unsur-unsur lama dalam masyarakat dengan diwarnai oleh
ajaran islam. Nilai-nilai Islam yang diperkenalkan kepada
masyarakat Indonesia menunjukkan persamaan dengan alam
pikiran yang telah dimiliki oleh orang Indonesia. Hal ini dapat
di buktikan pada islamisasi di Jawa dan Sumatera khususnya.
Para guru Tasawuf mampu mengemas islam dalam bahasa yang
dapat dimengerti dan disarankan oleh masyarakat Indonesia,
sehingga relatif tidak menimbulkan pertentangan antara Islam
dengan yang sudah ada sebelumnya. Saluran tasawuf termasuk
yang berperan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Hal ini dimungkinkan karena sifat taswuf yang memberikan
kemudahan dalam pengkajian ajarannya karena disesuaikan
dengan alam pikiran masyarakatnya. Bukti-bukti mengenai hal
ini dapat kita ketahui dari Sejarah Banten, Babad, Tanah Jawi,
dan Hikayat Raja-raja Pasai. Tasawuf masuk ke Indonesia pada
abad ke-13 M dan mazhab yang paling berpengaruh adalah
Mazhab Syafi’i.
e. Kesenian Saluran Islamisasi yang lain adalah melalui kesenian.
Kesenian dengan berbagai bentuknya telah dimanfaatkan para
mubaligh untuk memperkenalkan ajaran Islam. Bahkan
penyebaran Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari
tembangtembang Jawa yang digubah oleh para wali. Demikian
juga dengan gamelan dan wayang sebagai puncak kesenian
Jawa, telah dimanfaatkan Sunan Kalijaga untuk berdakwah.
Cabang-cabang seni yang lebih mudah penyentuh hati
masyarakat sekitar adalah seni bangun, seni pahat, seni ukir,
seni qasidah, dan sebagainya. Bukti-bukti perkembangannya
adalah bangunan Masjid Agung, Demak, Cirebon, Bantem,
Banda Aceh yang kemudian menjadi pusat kegiatan syiar Islam
ke daerahnya. Di Keraton Cirebon juga kita temukan seni ukir
yang bercorak Islami yaitu ukiran lafal ayat-ayat Al Qur’an.

D. KERAJAAN YG BERCORAK ISLAM

a. Kerajaan Perlak
Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah
kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada
tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan
Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar
Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan
Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan
bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan
menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah
menjadi Bandar Khalifah.

Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum
Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263
M).

Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat


terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan
mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan
Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja
Tumasik (Singapura sekarang).

Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar


Sultan Muhammad Syah.

Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat


kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah
Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah
beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja
Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri
Ganggang Sari.

Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata
uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari
perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
b. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai
raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di
sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur
Aceh).

Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra


Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti
berikut.

(1) Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan


Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui
perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai
berkembang menjadi negara maritim yang kuat di Selat Malaka.

(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak


1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian
disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.

(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad
ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-
negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat
penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki
armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan
berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan
Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai
diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan
maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.

Catatan lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu
Battuta, seorang pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada tahun
1345, Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak
pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini
mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata
uangnya uang emas yang disebur deureuham (dirham).

Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini
menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan
ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam
dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah
satunya ialah Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi
panglima di Demak kemudian menjadi penguasa di Banten

c. Kerajaan Aceh
Kerajaan Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang
didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528),
menjadi penting karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya
Kerajaan Malaka.

Para pedagang kemudian lebih sering datang ke Aceh.

Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak
pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum
bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah
kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.

Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh
mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-
1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh
bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan
Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun
undang-undang tata pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.

Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan
Aceh. Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani
(1636- 1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam
Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat
pertikaian antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah
dan sunnah sal jama’ah. Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun
1904.

Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan


internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang
Islam.
Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan
ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli
tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-
Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil.
Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke
Jawa.

Dalam kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa


kejayaannya. Dengan menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh
menjadi kerajaan yang kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan
timah serta rempah-rempah.
d. Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya

Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan
oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah
atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami
kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi
Demak untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Dengan
bantuan para ulama Walisongo, Demak berkembang menjadi pusat
penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.
Sebagai kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan
oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden
Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa
pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi
daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup
berpengaruh di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di
Kalimantan. Karena memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban,
Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak
berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak
mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak
membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya
Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
Raden Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia tidak
memerintah lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang yang
berani.

Ia berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa.


Karena mati muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan
Trenggono (1521-1546). Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa
kejayaan. Trenggono berhasil membawa Demak memperluas wilayah
kekuasaannya. Pada tahun 1522, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah
menyerang Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Baru pada tahun 1527, Sunda
Kelapa berhasil direbut. Dalam penyerangan ke Pasuruan pada tahun 1546, Sultan
Trenggono gugur.
Sepeninggal Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan
kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang
seharusnya menjadi raja dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono.
Sunan Prawoto kemudian dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar
Sedolepen.

Namun, Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu
Sultan Trenggono yang menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke
Pajang.

Kerajaannya kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang.

Sultan Hadiwijaya kemudian membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa
dalam pertempuran melawan Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng
Pemanahan menerima hadiah berupa tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki
Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati, dan keduanya sekaligus diangkat sebagai
bupati di daerahnya masing-masing. Bupati Surabaya yang banyak berjasa
menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur diangkat sebagai wakil raja dengan
daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Panarukan.

Ketika Sultan Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan


Benowo. Pada masa pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto
melakukan pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
oleh Pangeran Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan
Hadiwijaya. Tahta Kerajaan Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo
kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke
Mataram.

Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai
pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang
megah, yaitu Masjid Demak.
Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung)
yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan
penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi
penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga
memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya,
perekonomian Demak berkembang degan pesat.

e. Kerajaan Mataram dan Peninggalannya


Sutawijaya yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo
kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki
Ageng Pemanahan, di Mataram. Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan
Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.

Pemerintahan Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus


karena diwarnai oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di
Kotagede (sebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang
untuk menundukkan para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan
Mataram, seperti Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak.
Namun, semua daerah itu dapat ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya
ialah Surabaya dengan bantuan Sunan Giri.

Setelah Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar
Sultan Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia
wafat dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan
Pangeran Sedo Krapyak.

Mas Jolang kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram
yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini kemudian
lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Mataram
mencapai masa keemasan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered. Wilayah
kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan
Agung bercita-cita mempersatukan Jawa. Karena merasa sebagai penerus Kerajaan
Demak, Sultan Agung menganggap Banten adalah bagian dari Kerajaan Mataram.
Namun, Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Sultan Agung kemudian
berniat untuk merebut Banten.
Namun, niatnya itu terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa.
VOC juga tidak menyukai Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan
dulu dengan VOC. Sultan Agung dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628
dan 1629.

Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di


Jawa.

Sultan Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti berikut.


(1) Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh
Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).

(2) Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang


Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
(3) Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan
dipegang oleh para Bupati.

(4) Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati


atau syahbandar.
Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-
1677). Amangkurat I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa
pemerintahannya. Mataram diserang oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat
digagalkan karena dibantu Belanda.

Amangkurat I kemudian digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703). Pada masa


pemerintahannya, wilayah Kerajaan Mataram makin menyempit karena diambil
oleh Belanda.

Setelah Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi
berkuasa penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun
1755, Mataram terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti:
Ngayogyakarta Hadiningrat (Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat
di Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I dan
Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan raja Susuhunan
Pakubuwono III. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan Mataram.
Kehidupan sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram
maju hampir dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan
Majapahit, muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa,
Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan
yang terkenal adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan
Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan
matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.

f. Kerajaan Banten
Kerajaan yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian
dari Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan
Fatahillah. Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah
adalah salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk
memerintah di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran
Pasarean dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon.
Pada tahun 1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Hasanuddin diangkat menjadi Raja Banten.

Setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan


diri dari Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin
(1522- 1570). Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung.
Artinya, Bantenlah yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para
pedagang dari Cina, Persia, Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar
di Banten. Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena
letaknya sangat strategis, Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga
para pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor
lainnya, Banten merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di
pasaran dunia.
Sultan Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf (1570-1580).

Pada masa pemerintahannya, Banten berhasil merebut Pajajaran dan Pakuan.

Pangeran Yusuf kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang


bergelar Kanjeng Ratu Banten ini baru berusia sembilan tahun ketika diangkat
menjadi raja. Oleh sebab itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, Maulana
Muhammad dibantu oleh Mangkubumi. Dalam tahun 1595, dia memimpin
ekspedisi menyerang Palembang. Dalam pertempuran itu, Maulana Muhammad
gugur.

Maulana Muhammad kemudian digantikan oleh putranya Abu’lmufakhir yang


baru berusia lima bulan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Abu’lmufakhir
dibantu oleh Jayanegara. Abu’lmufakhir kemudian digantikan oleh Abu’ma’ali
Ahmad Rahmatullah. Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah kemudian digantikan
oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692).

Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang


maju dengan pesat. Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada
tahun 1671 mengangkat purtanya, Sultan Abdulkahar, sebagi raja
pembantu. Namun, sultan yang bergelar Sultan Haji berhubungan dengan
Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak menyukai hal itu berusaha
mengambil alih kontrol pemerintahan, tetapi tidak berhasil karena Sultan
Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah perang saudara. Sultan Ageng
Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian, lambat laun
Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang berada
di bawah kekuasaan Belanda.
g. Kerajaan Cirebon
Kerajaan yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah
didirikan oleh salah seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar
Syarif Hidayatullah.

Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak


mengirimkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang
Portugis di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya.
Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah.
Setelah Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif
Hidayatullah meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta.

Syarif Hidayatullah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran


Pasarean. Inilah raja yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.

Pada tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.

Dengan politik de vide at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu
sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi
Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon
terbagi menjadi 3, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil
dikuasai VOC pada akhir abad ke-17.
h. Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua kerjaan:
Gowa dan Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng
Manrabia, menjadi raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng
Mantoaya, menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat
pemerintahannya terdapat di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut
sebagai Kerajaan Makassar.

Karena posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara,
Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur
yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang
tangguh terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan
pertahanan laut Makassar.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669).

Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai


ke Sumbawa dan sebagian Flores di selatan.

Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin


bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia
bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering terjadi
pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian
menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil
memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian
Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli
dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar, Makassar
harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja Bone.

Sultan Hasanuddin kemudian digantikan oleh Mapasomba. Namun, Mapasomba


tidak berkuasa lama karena Makassar kemudian dikuasai Belanda, bahkan seluruh
Sulawesi Selatan.

Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam.


Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan
dan pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur.
Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di selatan
seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan daerah yang kaya dengan
sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar mampu memenuhi semua
kebutuhannya bahkan mampu mengekspor.

Karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur
perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e,
sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis
oleh Amanna Gappa.

i. Kerajaan Ternate dan Tidore


Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan
raja Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di
Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur
sebagai raja.

Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena
Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat
hasil rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu
tidak berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku,
kedua kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut
terjadi persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan
Ternate sebagai sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang
masuk Maluku pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.

Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi
pertikaian terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin
memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata
bangsa Eropa itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran
agama mereka. Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate,
Sultan Khairun (1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao
Paulo, Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis.
Setelah sadar bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik
kembali. Sultan Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583).
Pada masa pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu
tidak terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil
memperluas daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina.
Sementara itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada
masa pemerintahan Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil memperluas pengaruh
Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai di selatan dan Misol di Irian.

Anda mungkin juga menyukai