Anda di halaman 1dari 16

REFERAT MATA

PTERIGIUM

Oleh :

Nuzulul Laili

201610330311188

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pterigium berasal dari kata Yunani pterygos yang berarti sayap kecil, yang
memberikan kesan perluasan jaringan seperti sayap yang berasal dari konjungtiva
ke bagian limbus kornea.1Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.Temuan patologik pada konjungtiva,
lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif.2 Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh
dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah
intrapalpebra, dan umumnya bilateral. Keadaan ini diduga merupakan suatu
fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang
banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatulistiwa, kasus-kasus
pterigium cukup sering didapati.Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya
matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah
paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan
alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan
berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi
II.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran
mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak
mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva
bulbaris). Berbagai macam obat mata dapat
diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva
ini mengandung sel musin yang dihasilkan
oleh sel goblet.2Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.4
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva palpebralis (konjungtiva tarsalis), melapisi permukaan posterior
kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan
membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Permukaan
licin, di celah konjungtiva terdapat kelenjar Henle.
- Konjungtiva bulbaris, melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali adanya lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (duktus kelenjar lakrimal
bermuara di forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris melekat longgar
pada kapsul Tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus. Di dekat kantus
internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang mengelilingi
suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar,
yang disebut “caruncle”.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsalis dengan
konjungtiva bulbaris. Mengandung banyak pembuluh darah, sehingga
pembengkakan mudah terjadi bila terdapat peradangan di mata. Di bawah
konjungtiva forniks superior terdapat glandula lakrimal dari Kraus dan muara
saluran air mata.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.2
Gambar 1. Anatomi konjungtiva
(sumber: www.google.com)
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis.Kedua arteri ini beranastomosis bebas bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk
pleksus limfatikus yang banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik)
nervus trigeminus.Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah.Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua
grup besar yaitu :
1. Penghasil musin
a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan
pada daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Kraus dan kelenjar
Wolfring.Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria.

Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme


namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal
dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu
berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang
baik.

Gambar 2. Skema Konjungtiva beserta tempat kelenjar


(sumber: www.snec.com)

II.1.2 Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.2
2. Membran Bowman
 Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.2
4. Membrane descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal kurang lebih sama dengan membran Bowman.2
5. Endotel
 Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. Lapisan ini membatasi ruang kamea okuli anterior.2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan.2

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system


pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.2

Gambar 3. Histologi kornea


(sumber: www.google.com)

II.2 Pterigium

II.2.1 Definisi

Pertumbuhan abnormal yang terdiri atas jaringan kolagen yang berbentuk


segitiga dengan dasar di limbus dan puncaknya berada di kornea. Penyakit
tersebut pada umumnya berjalan progresif di nasal atau temporal kornea, namun
biasanya berada di sisi nasal.4

Pterigium adalah suatu perluasan pinguecula ke kornea seperti daging


berbentu segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal.5
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif.Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi akan berwarna merah dapat
mengenai kedua mata.2

Gambar 4. Pterigium

II.2.2 Etiologi

Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi.2Pterigium disebabkan proses degenerasi akibat paparan
sinar UV berlebihan pada mata. Debu, angin, mata kering, dan iritasi juga
dikaitkan dengan penyebab terjadinya pterigium.6

II.2.3 Faktor Risiko

 Peningkatan paparan terhadap sinar ultraviolet, termasuk yang tinggal


iklim subtropis dan tropis
 Terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan
 Predisposisi genetik terhadap adanya pterigium yang terjadi ada di dalam
keluarga tertentu.5

II.2.4 Epidemiologi

Pterigium dilaporkan dua kali lebih terjadi pada laki-laki dibandingkan


dengan perempuan. Jarang pada pasien dengan pterigium sebelum usia 20 tahun.
Pasien yang lebih tua dari 40 tahun memiliki prevalensi pterigium lebih tinggi,
sementara pasien usia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insidensi pterigium
tertinggi.5

II.2.5 Patogenesis

Ultraviolet adalah mutagen untuk tumor supresor gene p53 pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan membentuk angiogenesis.Akibatnya terjadi perubahan degenerasi
kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular.Pada jaringan
subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah
epitelyang selanjutnya menembus dan merusak kornea.Kerusakan pada kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
yang sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.7

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.Pada keadaan


defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea.Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik.Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karenan itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.7

II.2.6 Patofisiologi

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan


proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel.Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan daerah basofilia
bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat
untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.5
Gambar 5. Histologi kornea pada pterigium

Pterigium memperlihatkan gambaran yang sama seperti pingekula.


Bedanya, pada pterigium lapisan Bowman dirusak.Destruksi lapisan Bowman
(panah 1) oleh jaringan fibrovaskular menghasilkan sebuah luka di kornea.
Terdapat juga formasi pannus (panah 2) dan inflamasi kronik (panah 3).7

II.2.7 Manifestasi Klinis

Mata merah dengan tajam penglihatan normal disertai jaringan


fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh secara abnormal berbentuk seperti sayap
(wing shaped). Gangguan penglihatan dapat terjadi jika pterigium menutupi aksis
visual atau terdapat astigmatisme.6

Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan


mata iritatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan memberikan
keluhan gangguan penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata
dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari Stocker)
yang terletak di ujung pterigium.2
II.2.8 Diagnosis

II.2.8.1 Anamnesis

Pasien dengan pterigium menunjukkan berbagai macam keluhan mulai


dari tidak ada gejala sampai kemerahan, pembengkakan, gatal, iritasi, penglihatan
menjadi kabur berhubungan dengan peninggian lesi pada konjungtiva dan kornea
yang berdekatan pada satu atau kedua mata.5

II.2.8.2Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular


berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai
kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari
jaringan pterigium ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang
merupakan tempat deposisi besi yang disebut garis Stocker. Pada umumnya
jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik dan biasanya terletak di nasal.8

Gambar 6. Pterigium

Pembagian pterigiumyaitu :
a. Tipe I
Meluas kurang 2 mm dari kornea.Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala Pterigium.Lesi sering
asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan.Pasien dengan
pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
b. Type II
Menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
c. Type III
Mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual.Lesi yang luas
terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan
bola mata.

Pterigium dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : www.inascrs.org/pterygium


a. Derajat 1 : jika Pterigiumhanya terbatas pada limbus kornea.
b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea.
c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam
keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
d. Derajat 4 : Pertumbuhan Pterigiummelewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

II.2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Topografi kornea dapat sangat berguna dalam menentukan derajat


astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.5

II.2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan


pembedahan bila terjadi ganguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme
ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan.Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberi steroid.Pemberian
vasokontriktor perlu kontrol dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan, jika
sudah ada perbaikan. Tindakan pembedahan kombinasi autograf konjungtiva dan
eksisi adalah suatu tindakan bedah plastik yang dilakukan bila pterigium telah
mengganggu penglihatan dan mengurangi resiko kekambuhan.2

II.2.9.1 Konsevatif
Pada keadaan dini pterigium tidak memerlukan terapi dan hanya
konservatif saja. Lindungi mata dari sinar matahari, udara kering, debu dengan
kacamata.2
II.2.9.2Farmakologis
Pada keadaan meradang, kemerahan dan rasa perih dari pterigium dapat
diatasi dengan:
a. Air mata buatan (GenTeal)
Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan kornea
yang irreguler akibat tumbuhnya pterigium.

b. Prednisolone acetate
Suspensi kortikosteroid untuk penggunaan topikal. Penggunaan dibatasi

pada mata dengan inflamasi yang signifikan.2

II.2.9.3Bedah
Pembedahan dilakukan jika sudah ada keluhan penglihatan dan gangguan
kosmetik.Terdapat beberapa teknik dalam pembedahan.
a. Teknik Bare Sclera
Teknik ini melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara
memungkinkan sklera untuk epitelisasi.Tingkat kekambuhan tinggi, antara
24 % dan 89 %, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
b. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 % dan setinggi 40 %
pada beberapa studi prospektif.Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di
atas sklera yang telah di eksisi pterigium tersebut.

c. Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa membran amnion berisi faktor penting untuk
menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai..Sebuah
keuntungan dari teknik ini dengan autograft konjungtiva adalah pelestarian
bulbar konjungtiva.Membran Amnion biasanya ditempatkan diatas sklera,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah.Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts
konjungtiva.2

II.2.10 Diagnosis Banding


 Karsinoma sel skuamosa
 Pseudopterigium
 Pinguecula
 Kista dermoid

II.2.11 Komplikasi

Komplikasi pterigium antara lain:

 Distrorsi dan/atau penglihatan sentral berkurang

 Mata merah

 Iritasi

 Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea.5

II.2.12 Prognosis

Kekambuhan tinggi pada negara yang beriklim tropis.


BAB III

KESIMPULAN

Pterigium adalah pertumbuhan abnormal yang terdiri atas jaringan kolagen yang
berbentuk segitiga dengan dasar di limbus dan puncaknya berada di
kornea.Penyakit tersebut pada umumnya berjalan progresif di nasal atau temporal
kornea, namun biasanya berada di sisi nasal.Pterigium disebabkan proses
degenerasi akibat paparan sinar UV berlebihan pada mata. Debu, angin, mata
kering, dan iritasi juga dikaitkan dengan penyebab terjadinya pterigium. Gejala
klinis pterigium berupa mata merah dengan tajam penglihatan normal disertai
jaringan fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh secara abnormal berbentuk
seperti sayap (wing shaped). Gangguan penglihatan dapat terjadi jika pterigium
menutupi aksis visual atau terdapat astigmatisme.Pengobatan pterigium adalah
dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi ganguan
penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah
menutupi media penglihatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :
http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf. 2013
2. Ilyas S. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
hal:2-6, 116 – 117.
3. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorland’s Illistrated Medical
Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
4. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asbur’s. 2007.General
Ophthalmology 17th . Philadelpia : McGrawHill.
5. www.google.com/pterigium
6. www.snec.com/pterigium
7. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asbur’s.2007.General
Ophthalmology 17th .Philadelpia : McGrawHill.
8. Departemen Ilmu Kesehatan Mata. 2011. Pemeriksaan Dasar Mata.
Jakarta: FKUI
9. Fisher, Jerome P., 2015. Pterygium. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall.
10. FKUI. 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
11. Sinambela, M. 2016. Proporsi Pterigium Di Rsud Dr. Pirngadi Medan
Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara.
12. Nasution, DM. 2014. Hubungan Pekerjaan pada Penduduk yang Tinggal
di Sekitar Pantai dengan Kejadian Pterigium di Kelurahan Bagan Deli
Kecamatan Medan Belawan. Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai