Anda di halaman 1dari 319

1

2
Ucapan
Terima Kasih
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan
segala nikmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas Bahasa Indonesia yang diberikan oleh Pak Arsyad
yaitu membuat novel.

i
Daftar Isi

ii
Prolog

K
onflik yang ia hadapi semakin membuat
batin gadis ini merasa dipenuhi sesak
yang tiada henti. Ia dilahirkan dari orang
tua yang sejak kecil memilih untuk menjalani
kehidupannya masing-masing. Ibunya memilih untuk
bersolo karir membuka cabang toko kue dimana-
mana, ayahnya sibuk menjalani profesinya sebagai
busines di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.
Namun, kasih sayang dari keduanya masih ia
rasakan. Sebut saja namanya Green.

Ia memiliki saudara kembar. Mereka lahir


pada hari, tanggal, dan tahun yang sama. Hanya
berselang tiga menit. Mereka tumbuh bersama.
Secara fisik wajah mereka identik, warna bola mata
mereka berbeda. Bola mata Green biru indah dan
diwarisinya dari ayahnya yang keturunan Belanda.
Sedangkan Faren memiliki bola mata cokelat gelap
seperti mamanya. Green juga lebih mirip ayahnya,
terutama sifat keras kepalanya.

1
Faren tumbuh sebagai cewek yang sangat feminim.
Cara bicara Faren lebih lembut dan penuh
pengertian, bacaan kesukaannya adalah majalah
kesehatan dan pengetahuan umum serta buku-buku
resep makanan. Faren senang bekerja di dapur
dengan Mama. Faren sangat senang main musik,
terutama piano. Green tidak terlalu feminim. Kalau
sudah ngomong Green suka ceplas-ceplos dan
senang berteriak. Hobi Green nongkrong di depan
TV dan channelnya juga channel anak nongkrong.
Green suka berenang dan setelah itu sibuk dengan
kertas gambar.

Mereka tidak pernah bertengkar. Keributan


sering datang dari Green yang paling sering uring-
uringan. Dan ujung-ujungnya Faren pasti akan
mundur duluan. Itulah sebabnya Green sangat
menyayangi Faren. Di usianya yang menginjak
remaja, ia memilih untuk melanjutkan studinya di
sebuah SMA favorit di Bogor. Disana ia tinggal
bersama nenek dan kakeknya setidaknya ia
merasakan kehangatan yang ia tidak dapatkan dari
kedua orang tuanya.

2


3
Satu

M
atahari mulai menampakkan dirinya di
ufuk timur. Sayup-sayup angin
berhembus, kicauan burung yang
bersiul semakin menambah keindahan suasana kota
Bogor saat itu. Hari ini adalah hari pertama Green
memasuki dunianya. Yup, hari pertama masuk
sekolah membuatnya merasa malas untuk bangkit
dari tempat tidurnya. Alarm yang ia setel semalam
pun juga tidak mempan untuk membuat tubuh gadis
ini beranjak dari mimpinya.

“Green.. green, bangun nak sudah jam setengah 7,


nanti kamu terlambat ke sekolah,” kata wanita
sebaya dari balik pintu kamar green. Namun green
masih belum bergerak sama sekali, hal yang

4
membuatnya malas datang ke sekolah di hari pertama
adalah masa orientasi dimana para senior yang sok
berkuasa pada juniornya. Dan hal itu yang sangat
tidak disukai oleh Green.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00,


matahari yang menyibak masuk ke kamar Green
mengalum lembut mengenai kulit putih langsat gadis
ini. Ia merogoh handphone yang sedari tadi
menyanyikan lagu favoritnya.

“Duh, sial kok aku malas begini yah ? aku harus


semangat, ini kan awal yang baru di hidupku
mungkin di luar sana ada hal menarik yang akan aku
temui,” batinnya sembari merogoh handuk yang
tergantung rapi di dekat lemarinya. Ia bergegas
masuk ke kamar mandi dengan harapan yang begitu
tinggi di dalam pikirannya.

“Pagi nek,” sapa Green pada wanita paruh baya yang


sibuk membenahi peralatan rumah yang sebetulnya
sudah tertata rapi.

“Duh, cucuku sayang cantik sekali pagi ini, kamu


sarapan gih sebelum ke sekolah,” sambil meraih roti

5
isi yang sepertinya sudah dibuat beberapa jam yang
lalu.

Hiruk pikuk di pagi hari kota Bogor terasa


menyesakkan. Pagi itu Green diantar oleh kakeknya
ke sekolah, maklumlah Green masih belum bisa
beradaptasi dengan sekolah barunya apalagi sifat
Green yang sangat pemalu membuatnya susah untuk
bergaul dengan yang lain.

“Kek, Green turun disini saja biar nanti kakek bisa


belok kiri langsung, soalnya di depan jalannya
macet,” kata Green sambil menunjuk persimpangan
di depan.

“Biar kakek antar masuk yah sampai di gerbang,


kamu kan belum terlalu tahu lingkungan di sekolah
ini, nanti kalau cucuku yang cantik ini tersesat
bagaimana?” kata kakeknya seraya merayu cucu
tersayangnya itu.

“Hihi, kalau itu maunya kakek Green bisa apa,”


tambahnya dengan pelukan hangat untuk kakeknya.

Halaman depan begitu sepi, hanya beberapa


petugas yang sibuk dengan map ditangan kiri dan

6
kanannya yang sibuk berlalu lalang tanpa
memperhatikan sosok gadis yang sedari tadi
kebingungan mencari ruangan kelasnya.

Tiba-tiba saja, “Brukk...”

“Aduh..” Green meringis kesakitan.

“Ma.. maaf, aku tidak sengaja,” kata orang itu


sembari mengulurkan tangannya pada Green
bermaksud membantunya bangkit dari posisinya
sekarang.

“Tidak apa-apa, aku bisa berdiri sendiri,” katanya


sambil membersihkan roknya.

Green merasa malu, hal pertama yang didapat


harusnya hal yang baik bukannya ditabrak oleh
cowok seperti ini. Apalagi Green paling anti yang
namanya dekat sama cowok yang belum ia kenal
sama sekali.

“Kamu murid baru yah disini ? soalnya aku belum


pernah melihatmu sebelumnya di sekolah ini,” tanya
cowok itu penasaran.

“ I.. iya aku murid baru disini,” jawabnya terbata-


bata.

7
“Haha, pantas. Terus apa yang kamu lakukan disini ?
bukannya semua murid baru sudah ada di ruangan
masing-masing mengikuti pengarahan?” tanyanya
lagi dengan nada yang membuat Green semakin
tidak mampu menjawabnya.

“Itu yang jadi masalahnya, aku tidak tahu dimana


ruangannya,” jawab Green agak sedikit malu.

“Ohh, kalau gitu biar aku antar kamu sebagai tanda


maaf dari saya, yuk sini,” jawabnya sambil
tersenyum yang sontak membuat Green kagum.

Deretan tangga yang harus dijejaki membuat


kaki Green letih, ternyata ruangan yang dimaksud
berada di lantai 3 pojok paling atas gedung sekolah.
Di depan ruangan tampak beberapa murid
perempuan dan laki-laki sibuk berbincang dan
seketika menoleh ketika melihat sosok laki-laki yang
mengantar Green.

“Hey kawan, liat tuh itu kan kak Yanda si cowok


paling hits di sekolah ini” bisik salah satu siswi
kepada teman sebangkunya.

8
“Tapi cewek disampingnya itu siapa?” tanya siswi
lain penasaran.

“Itu murid baru di sekolah kita,” jawab Sandra


dengan nada ketusnya.

Sandra adalah siswa yang paling hits di sekolah itu.


Maklum lah aset keluarganya bisa membeli apapun
yang ia inginkan.

“Oh yah? Cantik,” kata Lena teman satu geng Sandra


yang langsung dipelototi tajam oleh Sandra hingga
Lena terdiam.

“Cantikan aku dibandingkan dengan dia, pakaiannya


jelek dan ketinggalan jaman,” kata Sandra dengan
bangga.

Siswa yang mendengarnya langsung diam, tidak ada


yang berani membantah ucapannya karena Sandra
adalah anak salah satu pemegang saham di sekolah
itu. Sebenarnya Green mendengar pembicaraan
mereka, namun Green tidak mau membuat imagenya
buruk di hari pertamanya menginjakkan kaki di
sekolah itu. Green hanya berlalu meninggalkan
segerombolan siswa dan siswi yang sedari tadi

9
membicarakannya tanpa menoleh sedikit pun, begitu
pula dengan kak Yanda yang hanya terdiam di
samping Green. Menurut Yanda itu bukanlah
urusannya, toh orang yang menjadi bahan
pembicaraanya saja hanya diam.

 

10
Dua

G
reen berjalan sempoyongan. Sepanjang
koridor ia tak melihat seorang pun.
Suasana sekolah hari itu tidak seramai
biasanya.

“Kok sepi yah? kemana makhluk-makhluk itu?”


gumamnya dalam hati.

Ia terus berjalan mengelilingi koridor berharap ia


menemukan sosok sahabatnya. Hari ini mereka
sudah janji untuk masuk kelas bersama, soalnya
Green malu dengan aksesoris gugus yang ia kenakan.

Sepanjang koridor kelas ia telusuri hingga matanya


berhenti pada satu titik. Tepat di ujung persimpangan

11
kelas dan toilet ia melihat seorang siswi bersama
beberapa senior perempuan yang ditangannya ada
beberapa alat make-up yang digunakan untuk
mencoret-coret muka siswi itu. Tanpa berpikir
panjang Green mendekati dan berusaha membantu
siswi itu dari tangan-tangan senior yang tidak
bertanggung jawab.

“Berhenti, apa yang kalian lakukan disini?” kata


Green melerai bermaksud menghentikan senior-
senior itu. Sontak mereka kaget mendengar suara
dari arah belakang mereka.

“Kamu siapa? murid baru nggak usah belagu deh,


kamu mau ikutan permainan kami? ” kata salah
seorang senior yang tampaknya agak biasa saja.

“Kalian harusnya malu, bagaimana mungkin kalian


bisa jadi contoh kalau tingkah kalian seperti ini!”
kata Green tegas tanpa basa-basi.

Mendengar itu, mereka langsung mendekati


Green dan menarik paksa tubuh mungilnya itu.
Green meronta dan melawan mereka dengan
keahlian yang ia dapatkan dari ajaran kakeknya. Ia
terus menggigit dan menendang para senior itu

12
hingga ia mendapatkan celah untuk kabur. Ia meraih
siswi tadi berlari menjauhi para senior-senior tadi.
Namun sialnya, lagi-lagi ia bertemu sosok yang
Green kagumi yaitu Kak Yanda.

“Green? kamu kenapa ngos-ngosan begitu ?”


tanyanya penasaran, namun pandangannya beralih ke
siswi yang berdiri tepat di belakang Green, tampak ia
semakin penasaran.

“Green, coba kamu jelaskan semua ini!” tanyanya


lagi dengan nada agak sedikit ditinggikan.

“Mmm.. itu.. tadi .. aku..” Green berpikir masalah


ini jangan sampai kak Yanda tahu, karena jika ia tahu
ia takut kak Yanda mencari tahu senior-senior tadi
dan ujung-ujungnya pasti berdampak pada Green.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari


bawah tangga, Green takut jika yang datang itu
adalah senior-senior tadi, namun ketakutannya
berkurang karena ada kak Yanda bersamanya.

“Green, kamu disini ternyata. Dari tadi aku keliling


sekolah mencarimu,” ucap seseorang yang tidak
asing lagi bagi Green.

13
Suara itu sangat familiar di telinga Green, yah
itu adalah suara yang dari tadi dicari oleh Green yang
membuatnya terlibat dengan masalah yang sedang
menimpanya saat ini.

“ Rin, kamu dari mana aja sih? Aku cariin dari tadi
juga,” tanya Green kepada sahabat barunya itu.

“Maaf yah Ren, aku tadi sibuk mencari bukuku yang


hilang dan setelah itu aku mencarimu,” jawab Ririn
kepada Green.

“Tak apa, sebagai gantinya aku butuh bantuanmu


Rin, gara-gara mencarimu aku mendapat masalah
sekarang,” ucap Green mendengus kesal.

“Oke, aku akan membantumu menyelesaikan


masalahmu itu, tapi aku mau nanya, apa yang kamu
lakukan di sini bersama kak Yanda dan siswi ini?”
tanya Ririn sangat curiga.

“ Ohh, kami kebetulan bertemu di sini,” jawab Green


singkat.

“ Yasudah kalau begitu, cerita masalahmu nanti di


kelas saja Green soalnya aku mau ke kantin dulu
untuk membeli minuman untuk kita berdua,” ucap

14
Ririn kepada Green yang langsung di angguki oleh
Green.

Green kemudian pamit kepada kak Yanda


dan siswi yang masih belum dikenalnya.

“Kak, aku pamit dulu yah,” ucap Green kepada kak


Yanda.

“Ya sudah kalau begitu, tapi kamu masih punya


hutang penjelasan denganku Green,” ucap Yanda
dengan tatapan serius.

“I..yaa kak,” jawab Green terbata-bata.

“Oh iya, lain kali kita kenalan yah,” Ucap Green


kepada siswi yang Green belum tahu namanya
sambil tersenyum.

“ Iya..” jawab siswi itu yang diangguki Green.

Green dan Ririn kemudian berlalu


meninggalkan siswi yang belum dikenalnya beserta
kak Yanda. Sebenarnya Green merasa bersalah
kepada kak Yanda karena membuatnnya penasaran
tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya
namun Green juga takut jika nantinya kak Yanda
memberi perhitungan kepada seniornya itu. Green

15
masih bingung dengan semua itu, belum lagi jika ia
bertemu dengan senior itu, mungkin ia akan
mendapat perhitungan karena telah ikut campur, tapi
bukan Green namanya jika ia hanya melihat
ketidakadilan itu tanpa turun tangan karena ia pernah
merasakan ketidakadilan itu. Di sepanjang jalan,
Green hanya melamun memikirkan hal itu dan itu
tidak lepas dari pengawasan Ririn. Ririn merasa
kasihan dengan sahabatnya ini.

Bel pertama sudah berbunyi menggema di


setiap sudut sekolah. Tampak siswa-siswi
berbondong masuk ke ruangan kelas. Green dan
Ririn segera bergegas masuk ke ruangan. Hari itu
adalah hari kedua Green mengikuti kegiatan MOS.
Sebenarnya ia sudah gerah mengenakan pakaian ala
cewek kekinian dari planet entah planet apa yang
jelas ia risih dengan pakaian yang membalut
tubuhnya itu. Suara riuh para siswa baru membuat
Green merasa tidak nyaman. Ia memilih untuk duduk
di pojok belakang kelas setidaknya disana sedikit
lebih tenang ditemani dengan sahabat barunya itu.

16
“Oh iya Green lanjut dong cerita kamu tadi,” pinta
Ririn merengek seperti cacing penasaran.

“Ohh yang tadi, tidak penting kok Rin, aku malas


menceritakannya,” jawabnya ketus membuat raut
muka sahabatnya itu berubah drastis.

“Ayolah Green, aku penasaran tau,” pinta Ririn lagi


dengan nada yang sudah berbeda.

“Ok ok aku akan ceritakan tapi aku ada satu


permintaan untuk kamu,” jawabnya penuh semangat.

“Yah, Green mah tega begitu,” kata Ririn dengan


muka cemberut.

“Ya sudah, tidak usah ngambek kali,” jawabnya


cengar-cengir melihat perubahan drastis muka Ririn.

“Sini aku bisikin,” kata Green sambil mendekatkan


wajahnya ke telinga Ririn.

Selang beberapa saat siswa-siswa di depan


ruangan kelas berbondong masuk mengambil posisi
sigap, di belakangnya diikuti senior-senior
mengenakan almamater seragam kebangaan sekolah.
Namun, Green terkejut ketika melihat beberapa
orang diantara mereka tidak asing baginya. Betapa

17
terkejutnya ia, bayangan kejadian tadi pagi
membuatnya sontak kaget dan kebablasan. Tapi ia
heran mengapa senior-senior itu berlagak seperti
mereka tidak punya salah sama sekali.

“kok bisa yah mereka masang muka tidak berdosa


seperti itu,” batinnya.

Kegiatan pagi itu dibuka dengan perkenalan


sekolah dilanjutkan dengan perkenalan dewan-dewan
sekolah dan Osis sekolah. Setelah itu barulah satu
per-satu siswa baru memperkenalkan dirinya.

Green duduk termangu memandang


sepatunya dengan pandangan kosong, matanya
sesekali menutup dan menggigit bibirnya.

“Duh bagaimana ini, kalau sampai mereka


mengenaliku habislah riwayatku!” batin Green
dengan penuh kekhawatiran.

“Kamu kenapa Ren ? kok kayaknya kamu lagi mikir


sesuatu?” tanya Ririn melihat ada yang tidak beres
dari sahabatnya.

18
“Itu Rin, senior yang aku ceritakan tadi ada di depan,
aduh bagaimana yah kalau dia sampai mengenaliku,”
jawabnya dengan raut wajah cemas.

“Kamu tidak usah takut, kamu kan tidak bersalah.


Justru mereka yang harusnya malu,” kata Ririn
berusaha menenangkan sahabatnya.

“Tapi aku takut jika kak Yanda mengetahui hal ini, ia


akan memberikan perhitungan kepada mereka dan
akan membuat mereka semakin tidak menyukaiku,”
ungkap Green kepada Ririn dengan raut wajah
ketakutan.

Untunglah senior itu tidak mengenali Green hingga


kegiatan hari itu usai.



Lantunan suara merdu Taylor Swift


menyibak lembut di telinga Green, malam itu ia
memilih untuk istirahat lebih awal. Kegiatan di
sekolah hari ini dua kali lebih berat dari biasanya,
mungkin karena kejadian yang dialaminya tadi
menguras pikiran ditambah lagi puluhan anak tangga
ia jejaki untuk mencari sahabatnya itu.

19
“Green, buka pintunya nak,” pinta nenek green
mengetuk pintu kamarnya. Namun Green asyik
mendengarkan lantunan lagu penyanyi andalannya.

“Green.. Green..” mengetuk lebih keras membuat


cucu kesayangannya diam sejenak kemudian
beranjak ke arah pintu.

“Maaf nek, Green tidak mendengar nenek mengetuk


pintu,” katanya sedikit merasa bersalah.

“Tidak apa-apa nak, nenek cuma mau antarkan susu


ini soalnya nenek lihat kamu lemas sekali pulang dari
sekolah,” menyodorkan susu hangat pada Green.

“Terima kasih nenek paling top deh, besok Green


janji temani nenek seharian, hari ini aku absen curhat
dulu yah nek capek nih,” katanya sambil memeluk
wanita paruh baya di depannya.

“Ya sudah, tidur gih besok kan kamu masuk pagi


lagi, oh iya alarmnya jangan lupa disetel keras-keras
soalnya kalau cuma nada cetek begitu mana mungkin
bisa bangunin koala dari tidurnya,” kata nenek Green
mencoba meledek cucu kesayangannya itu.

20
“Ih nenek, kok samain Green sama koala, yang lebih
imut kek kayak marmut gitu!” balasnya cengar-
cengir.

“Iya terserah kamu deh nenek ikut saja, susunya


dihabiskan yah, nenek mau bicara sebentar dengan
kakekmu,” berlalu meninggalkan Green menuju
ruang tengah. Disana terlihat kakek Green yang
sibuk mengganti chanel tv.

“Ada hal apa yang mau kamu bicarakan ?” tanya


nenek Green sembari meletakkan kopi hangat di atas
meja.

“Tadi siang ayah Green menelpon katanya ia akan


mengunjungi putrinya minggu depan,” jawab kakek
Green singkat.

“Ada apa yah? kok nenek merasa heran soalnya


selama ini kan yang mereka pikirkan hanya
kesibukan mereka sendiri,” ujar nenek Green
keheranan.

“Tidak usah negatif seperti itu, mungkin ia


merindukan putrinya,” kata kakek meluruskan
pemikiran istri kesayangannya itu.

21


Sinar matahari menembus masuk ke kamar


Green, sayup-sayup angin menyibak lembut
rambutnya. Suasana di desa memang jauh berbeda
dengan di kota. Hal itu yang membuat Green betah
tinggal bersama kakek dan neneknya karena ia
menemukan suasana baru yang ia tidak rasakan di
kota bersama ayahnya termasuk kasih sayang yang
tidak ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Suara alarm yang sangat keras mengganggu


tidur panjangnya, dengan sigap ia meraih handphone
bermaksud mematikan alarmnya dan kembali ke
dalam alam mimpinya namun sontak ia kaget, kali
ini ia bangun telat lagi, dengan sigap ia meraih
handuk dan berlari ke kamar mandi.

“Pagi kek pagi nek,” katanya ketika melewati ruang


tengah.

Belum sempat kakek dan neneknya


menjawab Green langsung mencium tangan kedua
orang tersayangnya itu dan berlari mengambil sepatu
di rak dekat pintu.

22
“Green pergi dulu yah, telat nih!” katanya
meninggalkan keduanya dan berlari masuk ke mobil
yang sedari tadi menunggunya.



Hiruk-pikuk kota Bogor tiada hentinya. Sore


itu langit mendung pertanda hujan akan turun.
Tampak beberapa pedagang riuh membereskan
barang dagangan mereka, para pedagang kaki lima
memang selalu menghiasi tiap sudut lampu merah
ditambah para pengamen yang tidak mau kalah
mengumpulkan secuil rezeki dengan suara yang
mereka andalkan. Green diam memperhatikan
sekitarnya. Kaca jendelanya ia turunkan bermaksud
menikmati langit mendung sore itu. Tidak sengaja ia
dikagetkan oleh suara anak kecil yang bermaksud
menawarkan dagangannya pada Green.

“Kak, mau kue beras ? enak loh kak!” tawarnya pada


Green.

23
Sesaat Green menatap anak kecil itu, matanya
yang masih jernih dengan pakaian urak-urakan yang
ia kenakan membuat hati Green iba. Namun anak
kecil itu masih saja bisa terlihat bahagia, tersenyum
dengan begitu tulus dengan keadaan seperti itu
sedangkan dirinya yang terbilang cukup berada
terkadang merasa hidup ini seperti tidak adil baginya.
Tanpa berpikir lagi Green meraih dompet yang ada
di dalam tasnya dan mengeluarkan uang 20 ribuan
dan memberikannya pada anak kecil tadi.

“Ini dek, kuenya adek simpan saja untuk dijual,”


katanya dengan senyuman terindahnya.

“Makasih kak, semoga kakak selalu mendapatkan


kebahagiaan,” kata anak kecil tadi dengan muka
yang begitu bahagia dan berlari menghampiri
kawanannya.

Sesampai Green di rumah ia mendapati nenek


dan kakeknya yang sedang berbincang di ruang
tengah. Tampaknya mereka membicarakan hal yang
serius. Melihat itu Green memilih untuk tidak
menyapa keduanya dan masuk ke dalam kamar.

24
“Green, kamu sudah pulang nak,” kata neneknya
ketika melihat cucunya berlalu di hadapannya.

“Hehe, iya nek,” jawabnya singkat.

“Sini nak, duduk dulu,” pinta kakeknya sambil


menepuk-nepuk kursi disebelahnya.

Green mengurungkan niatnya untuk ke


kamar, ia berjalan menghampiri kakek dan neneknya.

“Green, minggu depan ayah kamu akan berkunjung


kesini,” kata kakeknya tanpa basa-basi.

“Ayah? Mama tidak ikut?” tanyanya melanjutkan


cerita kakeknya.

“Kakek tidak tahu nak, cuma ayahmu yang bicara


pada kakek,” jawabnya.

“Tidak, Green tidak mau kalau mama dan Faren


tidak ikut!” bangkit dan berlari meninggalkan kakek
dan neneknya.

Hatinya seketika kalut, rindu yang ia


tampung selama 9 tahun pada ibunya dan saudara
kembarnya itu seketika menyeruak. Green yang
selama ini dekat dengan ibunya ketimbang ayahnya

25
merasa tidak bahagia karena kehadiran ibunya lah
yang ia harapkan selama ini.

Ia juga sangat merindukan saudara


kembarnya, Faren. Mereka tidak pernah bertengkar.
Keributan sering datang dari Green yang paling
sering uring-uringan. Dan ujung-ujungnya Faren
pasti akan mundur duluan. Itulah sebabnya Green
sangat menyayangi Faren.



Suasana depan kelas Green ramai, tidak


seperti biasanya. Terlihat teman kelasnya sedang
membincangkan sesuatu.

“Ren, Rennn sini deh!” katanya sambil menarik


tangan Green dan duduk di teras depan kelas.

“Ada apa sih Rin, kamu kok ngos-ngosan kayak


habis lari marathon saja,” katanya.

“Anu Ren, di kelas kita ada siswa baru loh. Cakep


ihh, nggak sanggup aku liatnya. Tuh anak-anak lagi

26
membicarakan itu. Sini deh kita masuk ke kelas,”
menarik tangan Green dan berlari menuju kelas.

Green menatap cowok itu, rasanya muka itu tidak


asing baginya.

“Revan..”Ucap Green memanggil anak baru itu.

“Oh hai Green, kamu di kelas ini juga? kebetulan


sekali yah!” timpalnya.

Lagi-lagi wajah itu membuatnya terpaku, ia


sangat menyukai wajah itu. Semenjak kedatangan
Revan di sekolah itu hari-hari Green terasa bahagia
sekali ditambah kak Yanda yang sudah menjadi
sahabatnya yang selalu ada ketika Green dijaili para
senior ataupun membutuhkan bantuan. Di sisi lain
ada Ririn yang selalu menemaninya sehingga tercipta
persahabatan diantara keempatnya.



27
Tiga

S
emua masalah yang menimpa Green
membuat dirinya sangat lelah. Namun ada
satu alasan yang membuat dirinya tetap
bertahan ditengah-tengah semua masalah itu. Yah,
ingin membahagiakan orang-orang tersayang seperti
kakek, nenek, serta ayah, ibu dan Faren.

Dunia sekolah yang ia jejaki benar-benar


membuat dirinya merasa hidup ini memang perlu
tantangan, hidup begitu keras dan harus
diperjuangkan. Hal inilah yang membuat ia tumbuh
menjadi gadis yang lebih tangguh dari biasanya.

Sore itu sepulang sekolah, Green memilih


untuk bersantai dulu dengan sahabatnya. Akhir
pekan melepaskan penat setelah aktivitas selama

28
seminggu. Mereka sepakat untuk mengunjungi pusat
pertokoan buku yang berada di tengah kota.

”Green, bagaimana kalau hari ini kita nonton ? film


dari Edward Cullen udah rilis loh!” kata Ririn
bersemangat.

Sahabatnya ini memang sangat mengidolakan


artis barat dengan kulit seperti mayat hidup yang
menurut Green masih kalah cakep dari kak Yanda,
cowok yang pertama kali ia temui di sekolah.

“Iya deh tapi kamu yang traktir yah.. Hehe,” katanya


bermaksud meledek sahabatnya itu.

“Aduh aku lagi nggak ada uang nih Green,” ujarnya.

“Santai aja kali Rin, aku cuma bercanda kok,”


lanjutnya.

“Kok di sana ramai yah?” menunjuk ke arah


kerumunan orang.

“Yuk kita kesana, kayaknya ada sesuatu yang seru


disana,” menarik tangan Green mendekati
kerumunan itu.

Ternyata disana ada sebuah pertunjukan


lukisan yang diadakan oleh komunitas gambar. Mata

29
Green memandang di sekeliling, riuh ramai orang-
orang disana, tampaknya komunitas ini dihuni oleh
orang-orang elit dan eksis. Tiba-tiba pandangan
Green berhenti pada lelaki yang berdiri di dekat
panggung berpakaian sangat rapi dengan setelan
jasnya, begitu tinggi, tubuh yang tanpa lemak. Green
memandang sekilas ketika lelaki itu memasuki
ruangan. Hatinya melompat. Pandangannya menuju
ke arah setelan hitam elegan yang menutupi
lengannya. Berbagai macam pemikiran memenuhi
kepalanya tentang jas hitam yang tampak oke,
sedangkan setelan itu sepenuhnya salah. Bagaimana
kalau dia memakai jeans? Pengamatannya menjadi
tak penting lagi pada akhirnya. Dia terlihat begitu
fantastik dalam setelan itu, hingga membuat Green
tidak sadar kalau lelaki itu sudah berdiri di depannya.

“Apakah kamu punya waktu?” tanya lelaki itu


kepada Green.

“Ii..ya kak,” jawab Green terbata-bata.

“Bisakah kamu berdiri sambil berpose seperti


model?”pinta laki-laki itu.

30
“Maaf kak, tapi aku kurang pede seperti kakak yang
tadi,” Ucap Green sedih karena mengecewakan lelaki
itu.

“Tak apa, kamu hanya perlu berdiri di sini selama 3


menit, terserah kamu ingin berpose seperti apa,”
Ucap lelaki itu kepada Green sambil tersenyum
lembut membuat Green terpaku akan pesona lelaki
yang ada didepannya ini.

Akhirnya Green menyetujui permintaan lelaki


yang Green masih tidak tahu namanya itu. Selama 3
menit, Green berdiri sambil memegang pipinya yang
merona karena membayangkan wajah tampan lelaki
yang baru saja memintanya berdiri saat ini. Namun
seketika ia tersadar bahwa ia tidak boleh
mengkhianati Revan yang lebih dulu mengisi
hatinya. Green tersadar bahwa dirinya sedari tadi
diperhatikan oleh banyak orang.

“Ii..iya kak,” katanya sambil berdiri terpaku.

Tiga menit telah berlalu, lelaki itu masih


tampak serius memperhatikan dengan jeli tiap
bagian-bagian yang ia gambar.

31
“Sudah, kamu nggak usah tegang begitu. Gambarnya
udah jadi kok” katanya sambil berdiri mendekati
Green.

“Nih,” sambil menyodorkan kertas yang ada di


tangannya.

“Wah bagus sekali kak, kakak hebat yah!” kata


Green takjub.

“Oh iya lupa, nama kamu siapa?” tanyanya mengusik


fokus Green pada gambar yang ada di tangannya.

“Green Priatna Wulandari, salam kenal!” ujar green


bersemangat.

“Halo Green, aku Michael Agustin kamu bisa


panggil aku Michael” tambahnya membuat Green
merasa tidak canggung lagi.

Ternyata orang ini baik juga (batinnya)

“Oh iya nanti kita bincang-bincang lagi yah soalnya


aku ada job di belakang, ini kartu nama saya siapa
tau kita bisa jadi teman yang baik,” kata Michael
menyodorkan kartu nama dari dompetnya.

32
Belum sempat green membalasnya Michael
langsung berlalu meninggalkan Green yang masih
belum paham arti pertemuannya dengan laki-laki itu.

“Aduh kamu disini rupanya, dari tadi aku cariin


juga,” Kata Ririn dengan lega.

“Hihi maafin aku yah Rin, aku nggak sadar tuh


soalnya tadi aku ngeliat cowok yang super kece, tau
nggak hal baiknya lagi aku sempat jadi modelnya loh
dan lagi, nih!” katanya sambil menyodorkan kertas
kecil di tangannya.

“Apaan nih?” kata Ririn penasaran dan membaca


secarik kertas itu,“kartu nama? kok bisa segampang
itu dia ngasih kartu namanya ke kamu?”tanyanya
heran.

“Kalau itu aku nggak terlalu paham juga, soalnya


tadi aku bicaranya nggak terlalu lama,”kata Green
ikut penasaran.

“Hayoo ngaku, kamu kan yang minta duluan,” kata


Ririn meledek.

“Ih nggak tuh, hellow!” katanya dan berlalu


meninggalkan sahabatnya.

33
“Bercanda tau!” kata Ririn menyusul sahabatnya itu.

Setelah berhasil menghampiri Green, Ririn


kemudian menatap sahabatnya yang baru saja ia
temui dengan serius. Melihat hal itu, Green merasa
aneh dengan sikap sahabatnya yang cepat berubah.

“Green, aku mau jujur sama kamu,” ucap Ririn


pelan.

“Kamu mau jujur apa sama aku?” tanya Green


penasaran.

“Sebenarnya besok aku dan ibuku akan pindah ke


Medan karena nenekku sedang sakit dan tidak ada
yang merawatnya. Sebenarnya aku sudah sangat
nyaman tinggal disini, apalagi aku sudah
menemukan sahabat sebaik kamu Green tapi mau
bagaimana lagi, aku harus ikut bersama ibuku,”ujar
Ririn sendu.

Mendengar hal itu Green sangat sedih dan


tanpa sadar meneteskan air mata. Green sangat
terpukul mengingat semua orang yang ia sayangi
meninggalkannya. Melihat Green terdiam sambil
menangis, Ririn langsung menhamburkan

34
pelukannya dan ikut menangis bersama Green. Ririn
sangat mengerti bagaimana perasaan Green yang
sudah sangat terpukul dengan semua masalah yang
menimpanya dan ditambah lagi dengan dirinya yang
akan pergi ke Medan dan mungkin tidak akan
kembali.



Malam yang indah dipenuhi bintang-bintang


yang seakan menari-nari di atas langit. Malam itu
sengaja Green menyempatkan waktunya sebentar
mencari kedamaian malam dengan duduk di sofa
teras rumah. Matanya memandang kosong ke atas.
Badannya sedikit ia baringkan, sesekali ia menghirup
nafas dalam-dalam. Entah mengapa malam ini ia
benar-benar merindukan mamanya belum lagi Ririn
telah meninggalkannya membuat hari-harinya lebih
rumit lagi.

Zrttttt...zrrttt.. nada tanda pesan baru dari handphone


Green.

35
From : 0846xxxxx

Malam Green, maaf aku ganggu. Kamu sekarang


dimana?

“Siapa nih, kok nomornya asing yah?” batinnya dan


tidak mempedulikan pesan itu, ia melanjutkan waktu
santainya.

“Green, masuk gih nanti kamu sakit. Angin malam


tidak baik untuk kesehatanmu nak,” kata neneknya
yang Green tidak sadari kedatangannya.

“Ah nenek bikin jantung Green mau copot aja, nanti


nek, aku merasa nyaman disini,” katanya
meyakinkan.

“Kalau gitu biar nenek temani yah?” kata neneknya


meraih kursi kecil di samping Green.

“Tidak usah nek, nanti nenek sakit, yuk kita masuk,”


katanya bangkit dan menarik tangan neneknya.

“Kamu kenapa nak? Sepertinya kamu ada masalah.


Coba deh cerita ke nenek,” katanya dengan lembut
membelai rambut cucunya.

36
“Green rindu sama mama nek,” katanya memeluk
erat neneknya.

“Kalau Green rindu kenapa tidak telpon dia saja?”


usulnya menenangkan cucunya.

“Green malu nek, mama aja nggak pernah rindu


sama Green,” katanya lagi melanjutkan.

“Aduh cucu nenek, masa sama mamanya saja malu.


Coba gih” saran neneknya.

“Baik nek, aku coba yah,” katanya meraih


handphonenya yang ada di atas mejanya. Jemarinya
lihai menekan tombol nomor yang ada di
handphonenya.

Tuutt.tutt..tuttt

“Tidak diangkat nek, mama sesibuk itu kah sampai


lupa denganku?” ujar Green sedih.

“Coba sekali lagi, mungkin dia lagi sibuk atau dia


tidak dengar panggilan cucuku ini,” kata neneknya
berusaha menenangkan.

Tutt.tuuttt

“Iya halo?”

37
“Mama ? Mama ..”

“Green, kamu kenapa nak?” katanya seakan cemas


mendegar panggilan anaknya.

“Mama Green rindu,” katanya begitu dalam hingga


air matanya ia tidak bisa bendung lagi mendengar
suara mamanya.

Malam itu hati Green sedikit merasa lebih


tenang, setidaknya rindu pada mamanya sudah
terbalaskan meskipun ia tidak merasakan kehadiran
mamanya disini. Hal itu yang membuat hatinya
sudah semakin kuat, jauh dari orang tua membuatnya
lebih mandiri dan dewasa.



“Mama... ”

Green berlari menghampiri sosok yang ia


rindukan berdiri di depan pintu disusul oleh gadis
mungil yang ia sangat kenali.

“Mama kok tidak bilang-bilang sih mau kemari?”


katanya kemudian.

38
“Aduh Green, biarin mama kamu masuk dulu gih,”
tambah neneknya melihat anak kesayangannya
dengan raut lelah seperti itu. Maklum perjalanan
mereka kali ini sempat tersendak dikarenakan cuaca
yang tidak menentu.

“Faren, duh rindunyaaaa!” Green memeluk saudara


kembarnya itu dengan tangisan bahagia yang tidak
bisa ia bendung.

“Kamu tidak berubah yah, masih cerewet kayak


dulu,” ledek Faren kemudian.

“Oh iya, mama kok tiba-tiba banget sih kesini, kasih


kabar dulu kek, ulang tahun Green kan masih lama,”
katanya begitu ceria.

“Sengaja mama tidak bilang biar anak kesayangan


mama ini terkejut,” tambah mamanya, “Oh iya,
kebetulan juga mama mau buka cabang cake disini
soalnya di Bogor peluang usahanya bagus,”
lanjutnya.

“Oh ya? bagus dong, Green bisa bareng mama dan


Faren lagi,” katanya dengan perasaan bahagia yang
tidak terbendung.

39


Di rumah, Faren adalah tempat curhat Green.


Di sekolah, Green mempunyai kak Yanda untuk
berbagi cerita.

Pada malam hari yang cerah, Green dan


Faren duduk di ayunan. Malam itu Green
menceritakan first lovenya dengan malu-malu.

“Ren, kamu dari tadi senyam-senyum kayak gitu


kenapa sih?” Tanya Faren.

“ Kamu tahu nggak?” Green mendorong ayunan


dengan kaki, “kayaknya aku baru jatuh cinta nih…”

“Jatuh cinta?” Faren langsung tertarik.

“Kata kak Yanda sih begitu…katanya aku sudah


kena sindrom cinta-cintaan. Suka salah tingkah kalau
di dekat orangnya, deg-degan tidak keruan, suka
gemes sendiri, ingin tampil lebih cantik, lebih
perfect. Tidak kayak biasa deh!”

40
“Waah… pantasan… aku juga sering perhatiin kamu
akhir-akhir ini suka melamun sendiri, senyam-
senyum sendiri, dan kayak lebih bahagia saja. Jadi
kamu lagi suka sama seseorang, ya?”

Green mengangguk, “Namanya Revan,” kata Green.

“Namanya bagus tuh, pasti orangnya cakep, ya kan?”


ujar Faren.

“Cakep, pintar, dan aku yakin, romantis,” timpal


Green. “Revan, dia teman sebangkuku dan kami
dekat banget. Aku, Revan dan kak Yanda adalah tiga
sahabat. Tapi aku memendam perasaan khusus buat
Revan. Tidak tahu kenapa, perasaan itu muncul
begitu saja.” Ujar Green panjang lebar.

“Wah… selamat ya, Green sudah punya pacar!”


teriak Faren bersemangat.

“Ssst… jangan keras-keras! Aku belum pacaran,


tau!” kata Green pelan.

“Terus, ngapain jatuh cinta dong?”tanya Faren.

“Duh… makanya, sekali-sekali jadi anak gaul, anak


nongkrong dong! Jangan mikirin sains terus!” ujar
Green, “Jatuh cinta itu tidak harus memiliki, kata

41
orang-orang sih…” Green buru-buru meralat, “tapi
kalau bagiku, jatuh cinta bikin kita merasa memiliki,
posesif, walaupun dia belum jadi pacar kita. Pacaran
itu awalnya jatuh cinta, tapi tidak semua jatuh cinta
bisa jadi pacaran. Yang jelas cinta itu rumit, lebih
rumit dari pada teori jagat raya kesukaanmu itu,
mengerti?” jelas Green panjang lebar.

Faren manggut-manggut sambil berpikir.

“Mengerti tidak?” ulang Green.

“Aku ngerti kalau aku tidak bakal jatuh cinta,” Sahut


Faren polos.

“Gimana sih?” tukas Green sebal.

“Katanya lebih rumit daripada teori jagat raya, teori


itu saja aku belum tuntas, apalagi teori cinta,” ujar
Faren dengan polosnya.

GUBRAAAAKKKK!!!!



“FARENNN…!!!” teriak Green.

“Ada apa, Green? tidak perlu teriak kayak begitu,


kali!” tegur Faren.

42
“Revan datang! Sumpah! Aku grogi nih! Grogi!!
Temani aku dong…” desak Green seraya mendorong
Faren keluar kamar, “dia sudah di ruang tamu! Aku
grogi banget…”

“Iya..Iya, jangan dorong-dorong kalau gitu,” ujar


Faren.

Green menggandeng tangan Faren dengan tangan


gemetaran saking gugupnya, “Segitu banget sih,
memangnya kalau jatuh cinta jadi aneh begini ya?”
bisik Faren.

“Sudaaah… diam saja!” bisik Green.

Sesampainya di ruang tamu, mereka memperhatikan


Revan yang sedang asyik memencet-mencet
ponselnya.

“Van, ini kembaran aku, yang pernah aku ceritain itu


lho!” kata Green.

“Kok pake ceritain aku segala sih!” protes Faren


sambil berbisik.

“Soalnya aku tidak punya bahan lain buat


diceritain!” bisik Green.

“Kenapa?!”

43
“Karena aku lagi jatuh cinta.”

“Eh, ada apa?” Revan jadi salah tingkah.

“Tidak ada apa-apa kok!” tukas Green.

Faren menarik kesimpulan baru, “Kalau ada sikap


yang alasannya tidak bisa dijelaskan dengan logika,
jawabannya hanya satu jatuh cinta.”

“Eh, aku bikin minuman dulu, ya!” cetus Green.

“Biar aku saja!” timpal Faren, “Kamu disini saja…”

“Tidak! Aku saja yang bikin!” Green segera bergegas


ke dapur, tidak sampai semenit dia sudah kembali
dengan nampan berisi tiga gelas minuman dingin.

“Kita jadi belajar sejarah, kan ya?” tanya Green


kepada Revan.

“Aku ambil buku dulu, ya!” ujar Green bersemangat.

Green pergi ke kamar dan mengambil buku


sejarahnya. Sekembalinya ke ruang tamu, Green
terpaku menyaksikan wajah Revan dan Faren terlihat
pucat pasi.

“Kalian kenapa?” Green langsung shock.

44
Faren tidak sanggup mengatakan apa-apa selain
menunjuk gelas minuman Green.

“Memangnya kenapa sih?” tukas Green seraya


menenggak minuman itu.

BRRRRRRZZZZZ…!!!

Green langsung menyemburkan minuman itu.

“Minuman apa sih yang sebenarnya kamu bikin?”


tanya Faren.

“Lemon tea…” jawab Green.

“Biasa kok, Green, gagal itu biasa,” kata Faren


lembut sambil menenangkan Green yang terlihat
sangat malu.

“Tapi aku yakin sudah benar bikinnya…” pikir


Green.

“Tidak masalah kok, Ren. Cuma lain kali jangan


salah bedakan garam sama gula, terus jeruk
lemonnya jangan kebanyakan, itu saja kok,” ujar
Revan.

“Sudah, sekarang kamu belajar saja, yang lain biar


aku yang bereskan,” tukas Faren seraya mengelap
meja dan membawa gelas-gelas ke belakang.

45
Tak lama kemudian Faren kembali dengan dua gelas
lemon tea asli dan dua potong black forrest cherry
hitam yang sangat menggoda.

“Kok cuma dua?” tanya Green.

“Hari ini aku kan ada les musik, Ren…” sahut Faren,
“kok kamu jadi pelupa begitu sih?” godanya.

“Hush!” tukas Green, Faren hanya terkikik dan


berlalu dari ruang tamu.

“Kenapa kita tidak belajar matematika saja, Ren?


Lusa kan ulangan matematika kalau sejarah kita
tinggal hafal sendiri saja nanti malam,” saran Revan.

“Oh, iya. Ya!” kata Green, ia bangkit berdiri hendak


mengambil buku matematikanya.

“Green, aku berangkat dulu, ya!” seru Faren.

“Oke! Be carefull my honey bunny sweety twiny…”


kata Green.

Faren tertawa kecil.



“Aku kesal banget, Far!” Green mendengus.

46
“Kesal kenapa?” tanya Faren menahan ayunan
dengan kakinya.

“Masa sampai sekarang hubungan aku sama Revan


tidak jelas begitu, dari dulu tidak ada kemajuan sama
sekali,” ujar Green sedih.

“Maksud kamu bagaimana sih?” tanya Faren tidak


mengerti yang dikatakan Green.

“Tidak ngerti, aku kesal saja, aku yakin sekali dia


punya perasaan yang sama terhadapku, tapi sampai
sekarang dia beum juga nembak aku, paling tidak
bilang sayang kek! Masa aku harus menunggu
sampai tua sih?” omel Green.

Faren tersenyum kecil, “Sabar saja… kalau kamu


yakin dia punya perasaan yang sama, kamu tidak
perlu kesal begitu, kan? Yang penting kamu kan
tahu, dia sayang sama kamu…”

“Tau ah… kalau dia memang sayang, seharusnya dia


kan nunjukin perasaannya. Sekarang aku malah jadi
mikir, jangan-jangan selama ini aku saja yang
kegeeran,” jelas Green.’

47
“Jangan pesimis begitu dong… Belum pasti kayak
gitu, lagi…” Faren menyemangati, “Aku yakin sekali
Revan punya perasaan yang sama ke kamu, kamu
tunggu saja” hibur Faren.

“Sebodo ah!” Green makin sewot aja, “dia first love


aku, Far, dan first love biasanya tidak gampang
dilupakan. Aku sendiri percaya aku juga kayak gitu,
sampai sekarang perasaan aku ke dia semakin kuat,
kadang cinta memang aneh, kita tidak peduli dia
membalas perasaan kita atau tidak, yang jelas kita
menyayanginya dengan tulus dan mungkin… ini
hanya soal waktu,” ujar Green.

Faren merangkul Green, “Kalau ngomongin cinta,


kamu mengerti sekali ya…”

“Hehehe… tidak juga sih… itu aku kutip dari kak


Yanda,” Green mengaku malu-malu.

“Oh ya, memangnya pas kamu curhat ke kak Yanda,


dia bilang apa? Bukannya kalian bertiga dekat, ya?
Mana tahu Revan cerita ke kak Yanda, kan?” tanya
Faren.

48
“Hmmm… kata kak Yanda, Revan itu tertutup soal
cewek. Tapi dari sikap Revan ke aku, kak Yanda
juga yakin Revan punya feeling. Katanya sih
mungkin dia lagi nunggu waktu yang tepat saja untuk
nembak…” jelas Green.

“Waktu yang tepat? Bisa jadi,” jelas Faren.



“Ren… maaf ya, aku tidak bisa temani kamu ke toko


buku, aku lupa sudah janji sama Yuki. Tidak apa-apa
kan?” kata Faren tidak enak.

“Lho, kok kamu begitu sih! Bodo ah, pokoknya


kamu sudah janji sama aku!” sergah Green.

“Duh, please banget deh, Ren, sekali ini saja…”


Faren memohon.

“Tidak ah! Kemarin-kemarin juga kamu begitu, dari


dulu kamu bilang sekaliiiii terus!” teriak Green
dengan nada tinggi .

“Kali ini benar kok, Ren… penting banget…” ucap


Faren memohon.

49
“Kenapa tidak bilang saja ke Yuki kalau kamu sudah
janji duluan sama aku?! Masa kamu lebih mentingin
teman daripada sodara sendiri sih?” bantah Green
tidak mau kalah.

Faren hanya terdiam sambil menunduk dan


memainkan jari ,Green langsung iba.

“Ya sudah deh, kalau kamu memang mau pergi


sama Yuki, pergi saja. Tapi hati-hati yah,” ujar
Green.

“Makasih banget ya, Ren…” katanya sambil


memeluk Green.

Green mengangguk, walaupun sebenarnya dia masih


jengkel.



“Maaf Ren, aku harus menyelesaikan tugas paper


dari Mr. Brian, waktunya sudah mepet banget nih,
kalau tidak percaya, tanya saja Yuki atau Lira,” ujar
Faren seraya menyodorkan ponselnya.

“Duh, gimana siiih…” erang Green kesal.

50
“Maaf…”

“Ya, sudah! Pergi sana! Pergi pergi pergiiiii!!!” usir


Green

“Ren… maaf ya, kalau aku jadi sering bikin kamu


sebel…” ujar Faren.

“Sudah… tidak apa-apa!” tukas Green.

Faren menggenggam tangan Green erat-erat, “Maaf


ya, sudah bikin kamu sebel,” Faren mengulangi
ucapannya, “aku sayang banget sama kamu, aku
janji, setelah ini aku tidak bakal bikin kamu sebel
lagi dan tidak akan pernah bikin kamu marah…”
janji Faren meyakinkan saudara kembarnya itu.

Faren memeluknya erat-erat dan lama, seolah-olah


takkan pernah melepaskan Green lagi. Akhirnya
Green sendiri yang melepaskan pelukan itu dan
mendorong Faren dengan lembut.

“Iya-iya, sana gih, kakek sudah nungguin kamu dari


tadi,” ujar Green yang heran adegannya yang tiba-
tiba jadi melankolis begini, “take it easy…”
lanjutnya.

51
Akhir-akhir ini Faren sering tidak punya
waktu untuk menemani Green. Sepertinya Faren
sibuk terus dengan kegiatannya, seperti mungkin
juga dialami semua siswa Courdia International
School (CIS).

Green meregangkan tubuh dengan malas.


Kemudian bergerak-gerak untuk melekukan otot-
ototnya yang tegang. Dia memutuskan untuk
melakukan kesibukan lain yang lebih menarik,
seperti… menggambar! Karena terlalu asyik
menggambar, dia nyaris tidak menyadari telepon
rumahnya sudah berdering heboh sejak tadi.

“Iya-iya!” omel Green seraya bangkit berdiri dengan


terburu-buru. Tanpa sengaja tangannya menyenggol
sesuatu. PRAAAAANG!

Mug kesayangan Faren! Astaga, Faren bisa


ngambek! Pikir Green. Sekelabat perasaan aneh
seolah menyentaknya. Namun Green segera menepis
perasaan itu dan mengangkat telepon yang sudah
hamper hilang kesabaran itu.

“Halo,” ujar Green cepat, “Ya? Benar. Apa?! Ta…


ta… tapi… tidak mungkin!” Green membanting

52
telepon dan merosot duduk di samping meja.
Dunianya berputar cepat. Tubuhnya sekonyong-
konyong terasa sangat ringan, tulang-tulangya seperti
lenyap. Rasanya seperti bermimpi, “Ini hanya
mimpi… hanya mimpi…” Green meyakinkan
dirinya di antara deru napasnya yang memburu.

“Faren dan kakek – kecelakaan – Instalasi Gawat


Darurat – tak sadarkan diri,” Green berusaha
merangkai potongan-potongan kata yang tadi
didengarnya, “tapi tidak mungkin! Tadi Faren dan
kakek masih bersamaku, Faren menggenggam
tanganku dan berjanji takkan pernah membuatku
marah lagi, kalau begitu, cerita konyol dari mana
ini?” Green berusaha meyakinkan dirinya.



Bersama Wulan dan nenek, Green pergi ke


rumah sakit. Faren tampak tak berdaya. Kakek juga
sudah dilarikan ke kamar operasi. Berharap mereka
bisa tertolong. Kecelakaan beruntun telah mengantar

53
mereka ke tempat ini, dengan kondisi yang tak
terkatakan dan penuh derai air mata.

“Mama…!” Green tak sanggup melihat Faren, dia


langsung memeluk mamanya dengan tangisan tak
tertahan.

Wulan yang telah bersusah payah


membangun ketegaran akhirnya roboh dan ikut
menangis. Tubuhnya gemetar hebat dan perlahan dia
menelan tangisnya, memberi sedikit kekuatan kepada
Green untuk menerima kenyataan.

“Apakah Faren merasa sakit? Apakah dia merasa tak


berdaya? Tapi kenapa Faren begitu tenang, seolah-
olah tidak merasakan apa-apa? Apakah dia memang
tak bisa lagi merasakan apa pun?” gumam Green,
“Far…” Green mencoba menggenggam jemari Faren
yang penuh goresan dan memar, “Farr…” air mata
Green kembali menetes, “aku di sini, Far…” Green
menunduk pedih di samping Faren, “aku di sini…”


Faren hanya bertahan sebentar. Dia pergi
begitu saja tanpa sempat membuka mata, tanpa

54
memberi syarat apa pun. Disusul dengan kakek yang
tidak bisa tertolong lagi.

Sekarang Green berdiri dengan tubuh goyah,


separuh jiwanya bagaikan ditelan bumi. Dan kini,
Green hanyalah belahan retak yang mencoba
bertahan.

“Far…” Green mengguncang nisan yang belum


kokoh itu, “Faren, kembali…” tangis Green kini
menjadi-jadi. “KEMBALIIIII…!!!AKU BILANG
KEMBALIIIII…!!!”

Wulan tidak mengatakan apa-apa.


Dirangkulnya Green dan ditahannya tubuh putrinya
yang gemetar hebat. Ayah Green, Piter, memeluk
mereka dalam isakan tertahan. Tak ada kata yang
dapat mengobati kehilangan yang baru saja mereka
alami.



Selama sebulan Green tidak mau tidur di


kamarnya. Kamar yang dulu dia tempati bersama

55
Faren. Green belum ingin mengakui bahwa apa yang
dialaminya itu nyata. Dia ingin menganggap dirinya
sedang bermimpi. Dan Green ingin segera terbangun
dari mimpi itu. Selama di sekolah, seperti biasa
Revan dan kak Yanda selalu bersamanya.

“Ren… ke kantin yuk,” bujuk kak Yanda, “lapar


nih…”

“Duluan gih,” Sahut Green tanpa menoleh,


tangannya sibuk dengan kertas dan pensil.

“Di rumah kamu kayak gini juga ya? Kasihan banget


mama kamu, dia pasti makin sedih liat kamu kayak
begini,” ujar Revan seraya merangkul bahu Green.

“Kalian tidak mengerti apa yang aku rasakan!” kata-


kata itu selalu menjadi senjata pamungkas Green
untuk membuat kedua sahabatnya terdiam.

“Ya sudah, aku ke kantin kalau gitu, tunggu di sini,


ya,” Kata kak Yanda seraya beranjak meninggalkan
mereka. Kini tinggal Green yang sibuk mencorat-
coret dan Revan yang memperhatikannya dalam
diam.

56
“Aku juga merasa kehilangan, Ren,” bisik Revan
kemudian, “ tapi tidak ada yang bisa kita lakukan
selain menerimanya.”

Green mendengarkan, tapi sama sekali tidak


menggubrisnya. Bagaimana pun, yang dirasakannya
jauh lebih dalam daripada orang lain. Dia sudah
bersama-sama Faren sejak mereka di kandungan,
lahir bersama, tumbuh bersama. Tak seorang pun
memiliki ikatan batin yang di milikinya dengan
Faren. Karena Faren adalah sebagian dirinya, bagian
yang kini telah hilang.

“Ren, aku mau jadi seseorang yang bisa mengisi


hari-harimu. Di saat kamu sedih ataupun senang, aku
ingin jadi bagian hari-harimu. Dan aku akan buat
kamu kembali tersenyum. Buat kamu ceria lagi,”
kata Revan tulus.

Pensil di tangan Green terlepas dan jatuh ke


meja. Green menoleh dan menatap cowok itu dengan
penuh tanda tanya. Apa maksudnya? Inikah yang
telah di nanti-nantikannya selama ini?

“Aku sayang kamu, Ren,” ujar Revan pelan.

57
Kalau saja Faren masih ada, mereka pasti
akan bersorak kegirangan karena apa yang di nanti-
nantikan Green jadi kenyataan. Tapi sekarang,
pantaskah Green bergembira?

“Makasih ya,” jawab Green sambil tersenyum samar,


lalu melanjutkan menggambar. Menorehkan garis-
garis yang tak bisa diartikan siapa pun.



Untuk pertama kali, malam itu Green


memasuki kamarnya. Kamar yang sangat luas itu
kini sepi. Ia menghidupkan MP3 playernya cukup
keras untuk mengisi kesunyian. Dengan begini,
mungkin ia lebih kuat.

Green memandang ke arah tempat tidur


Faren. Tempat tidur yang ia rapikan sebulan yang
lalu. Sisi kamar itu takkan terisi lagi. Kamar itu
terlalu luas baginya. Sempat terlintas di benak Green
untuk pindah ke kamar tamu yang luasnya hanya
separuh kamar ini. Tapi tidak, kamar tamu itu juga
sering di tempati Faren, saat ia ingin belajar serius

58
dan menghindar dari Green yang selalu merecokinya
dengan guaruan tidak bermutu. Kamar itu bahkan
penuh pernak-pernik Faren, seakan-akan itu kamar
miliknya. Akhirnya Green memutuskan untuk tetap
menggunakan kamarnya saja dan merapikan buku-
buku Faren yang masih tergeletak di meja.

Satu per satu ia menyusun buku-buku,


majalah, koran sekolah, dan surat kabar. Semua
bacaan berat yang tak bisa di cerna Green karena dia
memang tidak minat sama sekali dengan bacaan-
bacaan itu. Green menyimpan semuanya di lemari
buku Faren yang penuh sesak.

Terakhir, sebuah diary Emo Bear berwarna


biru suram. Satu lagi kebiasaan Faren yang tidak di
minati Green. Diary ini adalah bagian dari hari-hari
Faren. Green tak pernah tahu isinya, tapi sekarang
buku kecil itu ada di tangannya. Lancangkah dia jika
mengintip isinya? Tidak. Tentu saja tidak. Selama ini
mereka selalu berbagi dan bercerita. Green membuka
halaman terakhir yang ditulis Faren. Halaman
terakhir yang menutup kisah hidupnya yang singkat.

59
Jumat, 13 Mei 2011

Tugas paper harus selesai!

Siang ini aku akan diskusi bareng Yuki dan Lira


untuk menyelesaikan tugas dari Mr. Brian yang
banyak dan susahnya minta ampun! Dan yang
paling gawat, udah hampir deadline! Hehehe,
untung Yuki sama Lira tidak marah karena kemarin
aku kabur.

Sampai sekarang aku tidak tahu harus bagaimana


sama Green. Aku takut ketahuan. Tapi sepertinya sih
semua berjalan lancar. Green tidak akan pernah
tahu tentang hal ini, sampai kapan pun ini akan
tetap menjadi rahasia. Aku benar-benar tidak ingin
dia tahu.

“Rahasia? Selama ini Faren selalu terbuka kepadaku.


Semua tentang apa yang dialami dan dirasakannya.
Dan sekarang ada rahasia?”gumam Green. Jantung

60
Green berdebar seru, ia beranjak menuju tempat tidur
dan meneruskan membaca diary itu.

Kamis, 12 Mei 2011

Hari ini seharusnya aku ngerjain tugas paper sama


Yuki dan Lira. Mereka kesal karena aku tidak bisa.
Aku juga bikin Green kesal karena tidak jadi
nemenin dia ke toko buku. Aku sebenarnya bimbang,
tapi aku sudah memaksa Revan untuk meluangkan
waktu pergi nonton hari ini. Jadi terpaksalah aku
berbohong kepada Green.

“Revan?” Darah Green berdesir kencang membaca


nama itu ditulis dengan tulisan tangan Faren yang
rapi.

Tapi hari ini aku benar-benar senang. Kami nonton


film horor yang seru banget. Semua yang kualami
hari ini dan hari-hari sebelumnya sungguh istimewa.
Sejujurnya aku benar-benar menyukai Revan… first
lovenya Green, dan… first loveku juga… Maaf, Ren,

61
jangan salahkan aku. Salahkan hati yang tak dapat
kukendalikan ini… Tapi satu hal yang pasti, aku
takkan merebut Revan darimu untuk selamanya.

Emosi Green berkecamuk. Perasaannya tak


menentu. Apa maksud Faren di balik semua ini?
Sekarang dia akan mengetahui semuanya dengan
jelas. Green membuka lembaran diary itu dengan
tangan gemetar. Green harus mengakui satu hal yang
sangat menyakitkan, Faren membohonginya. Green
membuka halaman saat pertama kali ia
memperkenalkan Revan kepada Faren.

Minggu, 10 April 2011

Hari ini Green senang sekali. Untuk pertama kali


dia mengundang teman cowoknya ke rumah. Revan
Alexander, cowok yang ditaksir Green setengah
mati. Kentara sekali Green grogi banget, sampai-
sampai aku bisa merasakan tangannya gemetaran.

Aku bahkan sampai tidak habis pikir bagaimana


perjuangan Green membuat lemon tea yang rasanya

62
amat sangat aneh itu di dapur. Bayangkan coba,
lemon teanya dikasih garam dan sari lemon yang
kelewat banyak. Dan aku nekat mencicipinya pula!
Sinting! Tapi aku salut padanya. lagian memang
tidak sia-sia kok, Revan cakep banget. Lebih cakep
daripada Tora, cowok most wanted di sekolahku.
Green benar-benar serasi dengannya. Aku sendiri
terkesima pada cowok itu, tapi entah kenapa aku
merasakan ganjil yang sedikit aneh, tapi kenapa itu
sangat menyenangkan. Lucu ya? Tapi aku juga
senang banget liat Green makin senang begitu.

Tidak ada hal aneh yang tertulis sampai


halaman itu berakhir. Sampai akhirnya Green
berhenti pada halaman baru yang memuat nama
Revan.

Rabu, 27 April 2011

Aku dikejutkan kedatangan siswa baru di kelas


musikku. Revan Alexander, dia memperkenalkan

63
namanya. Revan Alexander adalah Revan. Dia
mengajakku main music bersama. Dia menunjukkan
permainan pianonya yang sangat lincah sehingga
aku bertanya-tanya untuk apa dia ikut les musik.

Ia menawarkan diri mengantarku pulang. Terang


saja aku menolak. Dan dia tidak memaksaku lagi.
Sebelum berpisah, sebenarnya aku ingin bertanya
kenapa dia ikut les musik tingkat menengah seperti
aku. Kemampuannya bahkan bisa dibilang
mendekati maestro. Tapi aku mengurungkan niat
untuk bertanya lalu berbalik pulang.

Cukup sampai di situ. Green mencerna semua


yang telah dibacanya. Dadanya sesak, pandangannya
berkaca-kaca. Di dekatnya juga ada album foto yang
tadinya terkunci. Green membuka dengan paksa
menggunakan obeng, sehingga sebagian album agak
koyak. Dan betapa terkejutnya dirinya ketika melihat
foto-foto yang tersusun di sana. Foto-foto Faren dan
Revan bermain piano berdua, makan es krim di alun-
alum kota, tertawa di taman bermain, dan… Oh, apa

64
itu? Green tak dapat melihatnya dengan jelas. Air
mata telah mengaburkan pandangannya.

“Apa-apaan ini?!” teriak Green.

Inikah yang ditinggalkan Faren untuknya?


Sepenggal cerita yang menambah luka hati? Dan
mengapa semua ini tersingkap saat Faren sudah tidak
ada? Apa arti semua ini? Apa yang bisa
dilakukannya?

Green meringkuk di tempat tidur, menahan


isakan yang tak diinginkannya, mengulangi setiap
bait kata dengan perasaan tak percaya. Diary itu
basah oleh air matanya yang tak terbendung. Kini dia
harus menerima kenyataan yang mencabik dan
merusak semua itu. Bahwa dia telah didustai,
dikhianati.

Dengan nanar Green menatap diary itu. Kalau


saja dia tidak menemukannya, kalau saja diary itu
ikut terkubur bersama Faren, mungkinkah semuanya
jadi lebih baik?

Dengan amarah berkecamuk, Green


melempar diary itu dan mendengar bunyi debam

65
pelan di samping lemari. Seharusnya diary itu telah
dicampakkan sejak dulu, dan lebih baik lagi kalau
tidak pernah ada!

Green membenamkan wajah dan melepaskan


tangisnya yang pilu. Untuk pertama kali seumur
hidupnya, Green benar-benar membenci Faren. Siapa
yang harus disalahkan? Faren? Revan? Atau dirinya
yang telah lancang membuka privasi saudaranya?

Sampai sekarang aku tidak tahu harus gimana sama


Green. Aku takut ketahuan. Tapi sepertinya sih
semua berjalan lancar. Green tidak akan pernah
tahu tentang hal ini, sampai kapan pun ini akan
tetap menjadi rahasia. Aku benar-benar tidak ingin
dia tahu…

“Kamu sudah merahasiakannya dengan baik, Far,


merahasiakan sampai akhir hayatmu” ujar Green.
Semua kenangan indah Green bersama Faren rusak
sudah. Tak ada yang bisa dia rindukan dari sosok
saudara kembarnya itu.

66
Green hampir tak ingat ucapan Revan tadi
siang. Kalau dia tidak salah dengar, cowok itu bilang
sayang dan ingin menjadi bagian hidupnya.
Kebohongan dengan semua itu.

“Revan benar-benar brengsek, kenapa bukan dia saja


yang pergi? Dunia sudah muak dengan orang-orang
munafik seperti Revan!” teriak Green.

Kesedihan Green kini tertutup amarah dan


kebencian. Green akhirnya tidur dengan mimpi
buruk. Mimpi buruk yang akan mengikutinya sampai
kapan pun.



“Ren?” Revan memanggil Green, mengiringi


langkah cepat dan bergegas gadis itu. Hari ini sikap
Green sangat aneh, sangat tidak biasa dan belum
pernah sejutek ini.

“KAMU JANGAN PERNAH DEKAT-DEKAT


AKU LAGI DEH! DENGAR?!” Green sekonyong-

67
konyong berbalik dan menghunjam Revan dengan
hardikannya.

“Memangnya kenapa? Jadi ini jawaban kamu soal


kemarin?” Revan semakin tidak mengerti.

“IYA! JELAS?!”

“Aku belum tuli, Ren. Kamu tidak perlu teriak-teriak


begitu supaya aku dengar. Tolong kasih penjelasan!”
mohon Revan.

Semuanya sudah terlalu jelas bagi Green. Dia


hanya tidak sudi menyebut-nyebut atau mengungkit
nama Faren lagi dalam hidupnya. Faren sudah pergi
tanpa bisa mempertangung jawabkan kesalahan
terbesar hidupnya. Tak ada yang bisa diperbaiki
kalau urusannya dengan orang yang telah pergi untuk
selamanya.

“Dengar, tidak ada penjelasan apa-apa. Dan mulai


saat ini, kamu tidak usah memikirkanku. Pikirin saja
diri kamu sendiri. Jelas?!” kata Green sengit.

“Ren, kalau kamu nolak aku, tidak perlu kayak


begini caranya. Kalau kamu tidak senang aku punya

68
perasaan ke kamu, bukan ini penyelesaiannya.
Kamu…”

“Sudah! Aku capek dengerin kamu! Kalau kamu


memang sayang sama aku, tolong penuhi satu
permintaanku, MENJAUH DARIKU!”

Selesai berkata begitu Green lari dengan gemuruh


tak menentu menyesakkan dadanya. Saat itu
dilihatnya Yanda yang baru saja menuju mobilnya.

“Kak YANDA!” panggil Green.

Yanda berhenti sejenak melihat Green


menghampirinya. Sepuluh meter di belakang cewek
itu, Revan tampak berdiri terpaku. Mungkinkah
Green akhirnya mengetahui sesuatu? Tapi tidak
mungkin, Faren sudah berjanji tidak akan
mengatakan apa pun… lagi pula, kenapa baru
sekarang Green bersikap seperti ini?

Revan terus memandang Green dengan perasaan tak


menentu. Dia yakin cewek itu tidak tahu apa-apa.
Faren sudah berjanji padanya. Ataukah Faren sengaja
memberi tahu Green, untuk sekadar melampiaskan

69
perasaannya? Untuk kesekian kali Revan berkata
dalam hati, tidak mungkin.



Malam itu Revan terus berusaha


menghubungi Green. Sampai akhirnya Green
mematikan ponsel. Cewek itu membuka laptop dan
langsung online. Dia membuka mail, dan mulai
menulis.

From: Green Priatni Wulandari.

To: Peter Caude Lars

Subject: Daddy, I cried

Dad, I’ve found a suck kind of love. A nightmare for


every girl in this small world! Tapi Green bukan
cewek dungu yang gampang dibodohi. Green sudah
bisa memutuskan apa yang terbaik bagi Green.
Bagaimana kabar Daddy? Balas secepatnya! Kalau

70
bisa Green kepingin chat lagi. Green kangen sama
Daddy…

Green keluar dari kamar dan melihat


mamanya ditemani nenek sedang sibuk merapikan
ruang tamu. Green duduk dan menatap mamanya
yang sedang menata pernak-pernik di meja.

“Ma, Green tidak ingin tinggal di sini lagi,” Green


menyampaikan kata-kata yang tadi disusunnya.

Wulan menatap putrinya, padangannya yang


penuh tanya sudah cukup bagi Green untuk memulai
penjelasannya.

“Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali bertiga,”


kata Green sambil memeluk bantal, “sekarang rumah
ini jadi terasa semakin besar, semakin kosong,
semakin sunyi, dan semakin jauh dari kehangatan.
Apalagi setiap sudut, setiap dinding, setiap benda di
rumah ini menyimpan kenangan tentang orang-orang
yang telah pergi. Daddy, Faren, kakek sama saja,”
gumam Green.

71
Semua itu semakin membuat Green terkurung
dalam kesedihan. Dan Green ingin lepas dari semua
itu. Kali ini kata-kata itu meluncur begitu saja
mengikuti perasaan yang selama ini dipendam
Green. Terutama sejak… terungkapnya
pengkhianatan Faren…

Wulan berdiri dan duduk di samping Green.


Dia merangkul dan membelai putrinya dengan penuh
perasaan.

“Apa yang kamu pikirkan itu, persis dengan apa


yang sering terlintas di pikiran Mama…” kata Wulan
jujur.

“Terus kenapa Mama tidak pernah bilang?” tanya


Green heran, sekaligus senang, karena mamanya
sependapat dengannya.

“Mama hanya tidak ingin membebani kamu dengan


keinginan Mama. Mama pikir kamu akan keberatan
karena harus berpisah dengan teman-temanmu. Lagi
pula, minggu depan kamu ulangan umum kenaikan
kelas, kan? Mama hanya ingin menunggu waktu
yang tepat untuk mengatakannya, dan itu pun kalau
kamu tidak keberatan,” jelas Wulan.

72
Green terkesiap dengan tuturan lembut
mamanya. Tentu saja dia sangat tidak keberatan.
Green sudah tidak tahan, ingin pergi jauh-jauh
meninggalkan semua ini.

“Kalau begitu Mama sudah nyusun planning dong?”

“Begitulah, Mama sudah bicara dengan Om Surya


dan dia akan mencarikan rumah untuk kita di Jogja.”

“Jogja? It sounds so interesting!” kata Green dengan


senyum manisnya yang menawan, wajahnya seketika
langsung cerah.



Empat

73
“Green, kok kamu masih disini, mama tungguin loh
dari tadi di luar. Kasian nenek kamu dari tadi berdiri
menunggumu di depan. Ayo nak kita berangkat!”
seru mamanya tidak sabar.

Green menoleh, lalu mengangguk. Sebentar


lagi dia akan meninggalkan tempat ini, tempat dia
banyak menghabiskan sorenya dengan tenang.
Tempat yang paling banyak memberinya curahan
inspirasi dan kedamaian hati bersama orang-orang
yang disayanginya. Seharian pun takkan cukup
untuknnya mengungkit kenangan rumah ini.

Dia melangkah menuju pintu keluar. Green


menghampiri piano itu, mengusapnya pelan sepenuh
perasaan. Piano ini takkan pernah berdenting lagi,
takkan melantunkan melodi yang menghanyutkan
perasaan orang-orang yang mendengarnya.

Green menatap pintu kamarnya yang terletak


di seberang sofa keluarga. Green duduk di atas

74
tempat tidur dan memandang berkeliling. Dia
menghampiri sisi lemari yang sudah kosong, ia
menarik buku kecil yang nyaris terlupakan itu, diary
bergambar Emo Bear berwarna biru kusam. Diary itu
pernah basah oleh air matanya. Green memasukkan
diary itu ke dalam tas dan mengunci pintu.

Dia tiba di pintu yang terpentang lebar dan


melewatinya. Kini dia telah selangkah meninggalkan
rumah.

“Sudah?” tanya mamanya berkata penuh empati.

Green mengangguk, “Sudah.”

Mamanya menarik gerendel pintu dan


menutupnya dengan bunyi debam pelan. Dia
mengeluarkan kunci dengan gantungan berkilau.

“Ma, biar Green saja yang menguncinya, boleh,


kan?” pintanya.

Mamanya tersenyum, “Tentu, Sayang.”

Green memasukkan anak kunci itu ke lubang


dan memutarnya. Pintu terkunci sempurna. Mereka
melangkah melintasi halaman sambil bergandengan
tangan, saling menguatkan. Akhirnya Green merasa

75
emosinya sedikit mereda. Ah, semakin jauh
meninggalkan semua ini, semakin baik, batinnya.

“Green boleh minta sesuatu, Ma?”

“Katakan saja, Sayang.” ia merangkul pundak


putrinya.

“Green ingin piano itu dibawa.”

Mamanya terdiam sejenak.

“Tidak boleh?” tanya Green.

“Tidak kok, itu bisa diurus secepatnya” kata


mamanya. “Omong-omong, kamu sudah
memberitahu Daddy soal kepindahan kita?”

“Tentu saja, semalam Green sudah meng-e-mail


Daddy. Tapi Green tidak yakin Daddy akan
membacanya dalam waktu dekat. Daddy masih sibuk
dengan proyek Yunaninya. Menyebalkan, kan?”

“Suatu hari nanti dia juga akan kembali kepada kita,


Sayang,” kata mamanya yakin.

Mendengar hal itu hati Green menjadi lebih tenang


dan berjalan menuju mobil.

76


Rumah itu jauh lebih sederhana. Sangat


cocok untuk mereka bertiga. Rumah itu memang tipe
minimalis. Sangat praktis dan modern.

“Rumah kita?” tanya Green tanpa bisa


menyembunyikan kekaguman.

“Yap, welcome home,” seru mamanya.

Mereka masuk. Rumah itu sangat sejuk dan


tenang. Green menjatuhkan diri ke sofa dan
menyalakan TV, mencari channel kesukaan anak
nongkrong se-Indonesia dan ikut bernyanyi.
Mamanya sibuk di dapur, tempat favoritnya di
rumah, tempat dia menghabiskan lebih dari separuh
hidupnya. Beda lagi dengan nenek Green, ia lebih
memilih berdiam diri di kamar dan memperhatikan
seisi rumah yang baru mereka tempati.

Zrrt… Zrrrt…

77
Green menarik ponsel dari saku celananya.

“Ma! Telepon dari Om Surya…!!” serunya tanpa


beranjak dari sofa.

“Angkat saja, Sayang…!” balas mamanya tidak mau


kalah.

“Huh… si Mama!” kata Green seraya berlari ke


dapur. “Nih, Ma!”

“Ihh… pencetin! Pencetin! Mama kan tidak ngerti!”


katanya panik.

Green tersenyum geli, “Nih, udah,” katanya sambil


menyerahkan ponsel touch screennya.

“Halo? Ya? Ya, baru sampai… Lumayan


melelahkan… Suka, apalagi Green… iya. Makasih
ya,” mamanya menyerahkan ponsel itu ke tangan
Green.

“Om Surya bilang apa?”

“Cuma memastikan kita sudah sampai, terus nanya


kita suka rumahnya atau tidak. Gitu…” jelas
mamanya.

“Sip banget, malah!” celetuk Green.

78


“Ren, sudah larut banget, bobo gih!” tegur mamanya


lembut.

“Masih kepingin nonton, Ma,” Jawab Green malas-


malasan.

“Ah, masa? Dari tadi Mama perhatiin kamu tidak


mengikuti filmnya tuh,” sambungnya.

“Mama rese ah, sok perhatian segala… orang dari


tadi nonton kok!” Green membela diri sekenanya
sambil menyembunyikan diary, “Memangnya Mama
tahu dari mana?”

“Pertama, kalau nonton film lucu, kamu pasti ketawa


ngakak sampai tidak kenal orang dan lemparin bantal
ke TV,” mamanya tersenyum geli, “Tapi dari tadi
kayaknya filmnya tidak ngaruh sama kamu. Tidak
kayak biasa. Terus dari pandangan kamu saja
ketebak banget kamu lagi mikirin yang lain.
Daripada kayak begini, mending kamu bobo gih,”
perintah Wulan kepada anak kesayangannya itu.

79
“Ah… Tidak! Masih pengin nonton, Ma!” ujar
Green.

“Ya sudah...Mama mau tidur dulu ya, tapi kamu


jangan kemalaman, oke?” ucap mama Wulan kepada
Green sambil meninggalkan Green yang masih
dengan posisi yang sama seperti sebelumnya.

“Oke deh, Ma…” sahut Green.

Sudah setengah dua belas, tapi dia belum


mengantuk. Green meraih ponsel dan memencet
beberapa angka yang sangat dikenalnya, lalu
menunggu.

“Halo?” sebuah suara yang sangat akrab menyahut di


seberang sana.

“Halo…” jawab Green.

“Ini siapa?” suara itu kembali terdengar di sela-sela


suara ribut di latar belakang.

“Green. Pa kabar kamu Nda?”

“Green? Hei, ke mana saja kamu seminggu ini? Aku


hubungi nomor kamu tidak pernah aktif. Kamu ke
mana sih? Aku nyariin kamu, tau nggak?” cowok

80
bernama Yanda itu memberondongnya dengan nada
menuduh.

“Ribut banget…” komentar Green.

“Biasa, anak-anak lagi ngumpul. Bentar, aku keluar


dulu,” Ujar cowok itu.

“Nah, sekarang jawab pertanyaaku. Kemana saja


kamu selama ini, dan kenapa nomor kamu tidak aktif
lagi?”

“Udah aku buang, sekarang aku pakai yang ini. Dan


tolong kamu jangan ngasih tau nomor ini ke siapa
pun,” ujar Green.

“Memang kenapa? Kamu benar-benar bikin aku


bingung!” komentar Yanda, “barusan aku juga
dengar dari anak-anak kalau kamu mau pindah
sekolah gitu. Aku heran sekaligus kaget, tapi aku
tidak percaya sebelum aku klarifikasi dulu ke kamu.
Aku harap sih itu berita tidak benar, ya kan, Ren?”
ujar Yanda.

“Mmm… berita ini bener kok. Sekarang… ngg…


Aku udah di Jogja,” sahut Green.

81
“What?! Jangan bercanda, Ren!” Yanda benar-benar
tidak percaya, “Kamu kok tidak cerita sih? aku kan
sohib kamu, dan selama ini kita saling percaya.
Akhir-akhir ini kamu benar-benar berubah. Drastis!
Kamu udah nggak terus terang lagi ke aku, kamu
tidak berikan aku kesempatan buat bantuin kamu
keluar dari masalah kamu lagi. Kamu gimana sih,
Ren? Aku kehilangan kamu, tau nggak sih? Dan
sekarang aku harus nerima kenyataan kamu sudah
pindah tanpa pamit. Apa kamu nggak nganggep aku
lagi, Ren? Jujur, sekarang aku jadi kecewa sama
kamu,” cerocos Yanda, “aku ngerti apa yang kamu
alami itu…”

“Udah, Nda!” potong Green, “aku tidak mau


ngebahas itu lagi. Tidak penting!” elak Green karena
merasa muak

Yanda sangat kaget, Green pun terdiam. “Maafin


aku, Nda. Aku tidak bermaksud begitu, Aku tidak
bilang-bilang karena aku takut nantinya aku berubah
pikiran. Soalnya selama ini cuma kamu yang bisa
ngerti aku dan selalu jujur sama aku. Cuma kamu

82
yang bisa aku percaya…” ungkap Green meyakinkan
Yanda

“Terus kenapa…” Yanda terdengar putus asa.

“Sebenarnya aku tidak ingin ada yang tahu


keberadaanku. Kamu satu-satunya yang aku kasih
tahu, kamu ngerti, kan?” jelas Green

“Trus gimana dengan Revan…” tanya Yanda

“Jangan sebut nama dia lagi!” teriak Green dengan


nada tingginya.

“sebenarnya ada apa sih sama dia?! Bukannya


hubungan kalian baik-baik aja? Atau sebenarnya
memang ada masalah? Kamu kenapa sih, Ren?
Selama ini kalau kamu ada masalah sama dia, kamu
selalu cerita ke aku. Kamu benar-benar bikin aku
nggak ngerti,” ungkap Yanda keheranan dengan
sikap Green.

“Yang jelas, Nda, aku nggak bisa bernapas kalau


masih di sana. Apalagi mama aku, ini semata aku
lakukan demi mama aku!” jelas Green memelankan
suaranya

83
“Sekalian kamu lari dari masalah kamu, kan?” tuding
Yanda.

“Mau gimana lagi? Aku juga merasa lebih nyaman di


sini. Aku pengen membuka lembaran baru hidupaku.
Aku sadar kok, semua orang bilang aku berubah, dan
aku rasa, di sini aku bisa jadi diri aku sendiri,”
ungkap Green meyakinkan dirinya sendiri.

“…”Yanda terdiam.

“Nda, kamu tahu kan, yang aku alamin itu berat


banget? Aku terlalu lemah untuk menerima semua
itu. Aku tidak sanggup, Nda. Aku pengin terbebas,
Aku pengin lupain masa lalu,” ujar Green.

“Ren, maafin aku ya… seharusnya aku lebih ngertiin


kamu, sebagai sahabat aku memang egois, aku
merasa gagal…” kata Yanda dengan pelan.

“Kamu tidak salah kok. Bagiku, sebagai sahabat


kamu sudah melakukan yang terbaik,” ujar Green.

“Thanks. Ren, aku harap kamu nemuin apa yang


kamu cari di sana. Aku harap kamu bahagia, tapi
jangan pernah kamu lupakan aku. Ntar kalau aku ke

84
Jogja, kamu mau kan, ketemu sama aku?” ujar
Yanda.

“Sip banget, Nda. Kamu selamanya tetap sahabatku.


Sudah dulu, ya…aku mau tidur,” izin Green
memutuskan telepon.

Setelah percakapannya dengan Yanda telah


selesai, Green kemudian terdiam, dadanya terasa
sesak muak dengan segalanya dan tanpa sadar air
matanya telah membasahi pipinya. Green menangis
menjadi-jadi, meluapkan segala yang ia rasakan.

Zrrrt… zrrrt…

Getaran ponsel mengejutkan Green dari isakannya.

“Kamu tidak nangis kan, Ren?” tanya Yanda.

“Tidak kok,” dusta Green.

“Tidak perlu bohong, Ren. Kamu bikin aku


khawatir,” lirih Yanda.

“Kamu tidak usah khawatir, Nda. Aku baik-baik


aja,” ujar Green meyakinkan Yanda.

“Kamu tidak baik-baik saja. Aku tahu ini berat


banget buat kamu. Walaupun selama ini aku
mengenal kamu sebagai cewek yang tegar, ceria,

85
dan… agak jail,” Yanda tersenyum hampa, “kalau
saja aku bisa selalu ada buat bantu kamu...”jujur
Yanda.

“Kamu tidak perlu merasa bersalah gitu. Di sini aku


akan mengembalikan semua itu. Semua kebahagiaan
yang sempat hilang dan jati diri aku yang seakan
tenggelam. Semua itu akan lebih baik kalau aku di
sini,” ujar Green.

“Aku senang dengarnya,Ren. Itu baru kamu banget.


Ya sudah, kamu tidur ya… aku tidak mau kamu
sakit,”ujar Yanda.

“Makasih ya, Nda. kamu perhatian banget sama


aku,” ucap Green sambil tersenyum.

“Makasih juga karena kamu masih menganggap aku


sahabat terbaik kamu,” balas Yanda.

“Pasti, tidak ada yang bisa menggantikan itu,” sahut


Green.

Green terisak semakin dalam sambil


menyembunyikan wajah di antara lutut. Malam itu
pun dia kembali menumpahkan kekecewaannya,

86
sama seperti malam-malam sebelumnya. Namun
Green berjanji, ini terakhir kali dia melakukannya.



Minggu pagi yang sangat cerah, Green


terbangun dan meregangkan otot-ototnya yang kaku
sehabis terbaring semalaman di sofa. Dia terlalu lelah
karena menangis. Dia mencuci muka di wastafel dan
bercermin. Matanya tampak sembap. Dia pun masuk
ke kamar mandi. Setelah itu dia beranjak ke dapur,
dan melihat mamanya sudah asyik dengan kesibukan
paginya.

“Bikin apa sih, Ma?” tanya Green sambil


menghampiri kulkas untuk mengambil segelas air.

“Kue tart. Ambil telur di kulkas, Sayang,” ujar


Wulan sambil menimbang tepung.

“Berapa?” tanya Green.

“Semua aja, bawa wadahnya sekalian, ya,” balas


Wulan.

87
Green memperhatikan tangan terampil
mamanya saat mengolah adonan. Green
memperhatikan mamanya yang sangat tenang tanpa
beban.

“… if tomorrow never comes…” Green


bersenandung.

“Nah, sekarang kita sarapan yuk. Mama udah masak


nasi goreng spesial kesukaan kita,” ajak Wulan
penuh semangat.

“Oh ya?!” ujar Green senang.

Green mengambil piring dan menjangkau


mangkuk nasi goreng yang kaya dengan beragam
variasi.

“Hmmm… lezaaat,” decak Green puas, “masakan


Mama enak terus Numero uno deh!” ujarnya, “kata
orang-orang di TV, two thumbs up!” celoteh Green
layaknya anak kecil.

Mamanya tersenyum kecil melihat kelakuan


putrinya.

88
“Green jadi pengin belajar masak, jadi pintar kayak
Mama, biar nanti bisa buka toko kue kayak Cake
Resort, waaah!” tanpa sadar Green sudah berkhayal
jauh sekali.

“Hei, habisin makannya dulu,” tegur Wulan.

“Oh ya, omong-omong, Cake Resort Mama yang di


Semarang nggak tutup, kan?” tanya Green.

“Ya nggak dong, toko kita kan udah banyak


pelanggannya, sayang kalau bikin mereka kecewa.
Kan ada Om Surya dan Tante Arini yang ngawasin
di sana,” jelas Wulan, “jadi ceritanya, Mama mau
coba buka cabang di sini. Om Surya udah cariin
tempat yang bagus buat Mama. Toko kita kan sudah
cukup di kenal, jadi rasanya kita tidak perlu memulai
dari nol. Mudah-mudahan semua berjalan lancar
sesuai rencana,” jelas Wulan mantap.

“Amin…” kata Green sungguh-sungguh.

Cake Resort adalah toko kue mama Green yang


sudah dirintis sejak lama dan sukses.

Ting!

89
Sebuah suara melengking menandakan kue
sudah matang. Aroma lembut langsung menguar di
seantero dapur. Green membantu mamanya
mengoleskan krim dan menghias kue.

“Nah, habis ini tinggal dimasukkan ke kotak,” kata


Wulan.

Green mengernyit tidak mengerti, “untuk apa?”

Wulan tersenyum simpul, “Kita kan belum


berkenalan dengan tetangga. Apalagi tetangga kita
cuma satu, karena di depan rumah kita penginapan,
dan si sisi lain juga cuma jalan,” jelas Wulan.

“Oh…” Green mengangguk mengerti.



90
Lima

T
idak terasa sudah seminggu Green, Wulan
dan nenek tinggal di rumah baru. Green
sering mengajak Rina si anak tetangga
untuk bermain bersama di rumah. Sore itu Green
kegerahan. Green menghampiri kulkas. Nyaris
kosong.

“Mama… kulkasnya kosong!” teriak Green.

Mamanya bergegas datang, “Kalau begitu, kamu ke


supermarket deh. Mau, kan?” bujuk mamanya,
“Mama kan capek habis mengurus toko,” bujuk
Wulan.

“Boleh deh!” katanya bersemangat, “tapi gimana


perginya? Green kan nggak tahu di mana letak
supermarket?” tanya Green kebingungan.

91
Mamanya berpikir sejenak, “Oh, kalau nggak salah
tadi Manda bilang dia mau keluar ada urusan,
mungkin bisa barengan. Coba kamu tanya ke sebelah
gih, biar Mama bikin catatan belanjanya dulu!” pinta
Wulan.

“Oke,” ujar Green sambil buru-buru keluar.

Baru saja mamanya selesai mencatat, Green sudah


muncul lagi.

“Ma, cepet! Tante Manda udah mau berangkat!


Katanya bisa lewat supermarket tapi agak jauh.
Cepet, Ma!” Green berteriak.

“Ini,” ujar mamanya. Green pun berlalu secepat kilat.

Sesampai di supermarket, Green segera asyik


menyusuri rak-rak penuh berbagai macam cokelat,
permen, kerupuk, dan segala gurih-gurih dan nggak
bikin eneg. Setelah keranjang penuh, Green
menyerah dan segera antre di kasir. Dengan sabar dia
menunggu sampai akhirnya mendapat giliran.

“Malam, Mbak,” sapa mbak kasir, sambil


mengeluarkan belanjaan Green.

92
“Malam,” jawab Green cuek. Green memandang
pintu kaca dan ternyata langit sudah hitam total.

Akhirnya mbak kasir menyerahkan belanjaan


Green yang sudah dihitung. Setelah membayar
belanjaan itu, Green keluar dari supermarket dengan
hati gembira, tahu-tahu Green tersadar.

“Aku pulangnya ke mana, ya?” gumamnya, “Green


lupa alamat rumah! ponsel ketinggalan, lagi! Uang
tinggal goceng lagi! “ keluh Green.

Akhirnya Green mencari wartel untuk


menelepon mamanya. Dia menghubungi ponselnya
yang ketinggalan di depan meja TV. Tidak ada yang
menjawab.

Green mengipas-ngipas leher dengan


dompetnya biar adem sedikit. Tiba-tiba ada yang
merebut dompetnya dan membawa kabur. Green
langsung mengejar orang yang merebut dompetnya.

“Woiii… copeeet! Mau lari ke mana kamu!” teriak


Green, “woi… ambil aja uangnya! Aku ikhlas! Tapi
kembaliin dompetku…!” teriak Green.

93
Pencopet itu terus berlari hingga mencapai belokan,
sedetik pun pandangan Green tak pernah lepas dari
pencopet tersebut .

BRUKK!!

Separuh tubuh Green menimpa kantong


belanjaan. Green sempat melihat pencopet masuk ke
gang kecil di ujung toko buku.

“Awww…” erang Green. Telapak tangannya lecet


dan mulai berdarah. Dia melihat orang yang di
tabraknya. Cowok itu merintih kesakitan sambil
membersihkan siku.

Green mencoba berdiri, “Maaf…” katanya dengan


nada yang sangat menyesal.

Cowok yang masih terduduk itu tersenyum pahit,


“Gue nggak apa-apa,” katanya lalu bangkit berdiri,
“kamu sendiri gimana?” tanyanya ke Green.

“Sangat baik sekali,” sahut Green sambil meringis.


“Syukur deh kamu nggak apa-apa, kalau iya makin

94
apes aja! aku benar-benar minta maaf, ya,” keluh
Green

“Iya, tenang aja,” jawab cowok itu santai.

Green berbalik dan menghampiri kantong


belanjaannya.

“Aku bantuin, ya?” kata cowok yang belum Green


tahu namanya itu, “kamu kenapa sampai lari-lari
heboh begitu sih?” tanyanya lagi.

“Aku lagi ngejar orang yang nyopet dompeku,”


jawab Green kesal.

“Terus copetnya ke mana?” tanya cowok itu lagi.

“Tau!” jawab Green kesal.

Green mengucapkan terima kasih dengan tampang


muram.

“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya cowok itu


lagi karena khawatir dengan kondisi Green yang
menurutnya sangat sial.

“Sedikit,” jawab Green singkat.

“Terus ntar kamu pulangnya gimana?” tanyanya


lagi.

95
“Nggak tahu,” ungkap Green pasrah.

“Hhh… kalau aku tinggal sekarang, kamu yakin bisa


pulang?” tanyanya dengan nada mengejek.

Green menggeleng.

“Hei…” cowok itu mengibas-ngibaskan tangan di


depan tatapan Green yang kosong.

Green tersental, “Apa? Belum pergi, ya?” tanyanya.

Cowok itu makin prihatin, “Ya udah, kau aku antar


pulang, uang kamu semua pasti ada di dompet,”
ujarnya.

“Makasih banget…” ujarnya, “eh, tapi sebentar,”


Green berpikir sejenak.

“Kenapa?”

“Aku masih penasaran dengan dompetku,” kata


Green seraya berjalan menuju gang di samping toko
buku. Di lihatnya benda yang dicarinya.

“Dompetku!” sorak Green. Green meraba sisi


tersembunyi tempat dia menyimpan kalungnya yang
sangat berharga.

“Syukurlah,” desahnya lega.

96
“Gimana?” tanya cowok itu.

“Nggak apa-apa, dompetnya ketemu tapi uangku


raib,” sahut Green.

“Ya udah, aku antar pulang deh. Rumah kamu di


mana?” tanya cowok itu lagi.

Green terdiam, dan tersenyum bloon, “Itu dia


masalahnya…”

Cowok itu menatap Green heran, “Ya sudah, kalau


begitu kita makan aja bentar yuk? Kamu kacau
banget keliatannya. Biar aku yang traktir,” katanya
menenangkan.

Green mengangguk pelan. Dia mengikuti


cowok itu ke kafe. Di sana mereka berkenalan dan
Green pun menceritakan kisah sedihnya.

“Jadi kamu orang baru ya?” Tanya cowok yang


mengaku bernama Tama itu.

“Begitulah. Baru, ceroboh dan sial,” Green


menambahkan, “Oh ya, dan satu lagi.”

“Apa?” tanya Tama tertarik.

“Hari ini aku ulang tahun,” sahut Green.

97
“Wah, happy birthday, ya!” kata Tama seraya
mengulurkan tangan. Green menyambut dengan
penuh rasa terima kasih.

“Oh ya, gimana cara aku antar kamu pulang kalau


gitu?” tanya Tama.

“Itulah…” ujarnya lelah, “aku cuma tahu ada


penginapan di depan rumahku, namanya…
namanya… kalau tidak salah Secretly!” tebak Green.

“Secretly? Oke, kita cari naik motor kalau begitu!”


ajak Tama.

“Biar aku ingat sedikit-sedikit sih jalannya,” kata


Green saat mereka melaju di atas motor, “maaf ya,
aku jadi ngerepotin kamu,” tambahnya, “tapi aku
yakin tadi lewat belokan ini.”

“Tidak masalah. Kalau begitu berarti sudah tidak


jauh lagi, kan?” Tanyanya lagi.

“Mudah-mudahan,” sahut Green.

“Hmmm… bagaimana kalau kita tanya orang dulu?”


usul Tama.

“Terserah deh,” sahut Green.

98
Cowok itu memarkir motornya di depan pos polisi
kecil, dan menanyai petugas di sana.

“Dapat!” seru Tama.

Mereka tidak banyak mengobrol. Tama melihat


tulisan “SECRETLY”

“Nah, itu dia! Akhirnya!” seru Tama seraya


menghentikan motor di depan rumah yang cukup
menawan, “kita sampai, Green!”

“Green?” Tama baru menyadari punggungnya terasa


berat, ternyata cewek itu tertidur, “Green …” cowok
itu mengguncang punggung Green pelan, “Ren?”

“Ngg?” Green mendesah pelan.

“Sudah di depan rumah,” ujar Tama lembut.

“Hah?” Green baru setengah sadar.

“Sudah sampai,” uang Tama.

“Oh, iya!” ujar Green penuh semangat, “makasih


banyak ya,” katanya. Refleks, dia memeluk cowok
itu dari belakang, “Nggg… eh… maaf,” kata Green
buru-buru.

99
Tak di duga gerimis turun. Green menurunkan
belanjaannya.

“Ma! Mamaaa….!!!” teriak Green.

“Kamu suka banget teriak, ya?” ujar Tama sambil


menutup sebelah telinganya.

“Hehehe… bukan begitu… nanti Mama tidak


dengar,” sahut Green, “MAMAAAAA!!!” teriaknya
lagi

“Green!” terdengar seruan dari rumah sebelah.

“Kamu ke mana saja? Mama cemas banget!”


ujarnya. “Tadi Mama sudah cari ke supermarket
tempat kamu belanja, tapi kamu tidak ada!” ucap
Wulan khawatir.

“Ceritanya nanti saja deh. Panjang!” kata Green.

“Teman Green, ya?” sapa Wulan ramah.

“Eh… iya, Tante,” sahut Tama, “Nggg… saya mau


pamit dulu ya, Tan,” lanjutnya.

“Buru-buru amat, mampir dulu ya…” ujar Wulan


sambil membuka pintu, “lagian hujan, tunggu
sebentar saja,” bujuknya lagi.

100
“Kemalaman…” bisik Tama di telinga Green.

“Masuk dulu!” balas Green dengan bisikan lebih


keras.

Hujan menerpa teras tempat mereka berdiri, “Tuh,


kan… benar kata Mama, tunggu sebentar,” bujuk
Green.

Mama Green kemudian menghidupkan lampu.

“SURPRISEEEE!” sorak wulan.

Green terpana. Ruang tamu telah disulap menjadi


ruang pesta. Tak lama setelah itu tetangga mereka,
Manda, Erwin, dan Rina bersorak kompak.

“HAPPY BIRTHDAY!!!”

“HOREEEE… PESTA!!!” sorak Rina.

Green nyaris tak percaya. Air matanya


mengalir begitu saja. Wulan memeluk Green.

“Sekali lagi, selamat ulang tahun ya,” kata Tama.

“Happy birthday to you… happy birthday to you…”

Lagu itu ikut memeriahkan suasana malam


yang mendung. Sesaat Green memandang mamanya
dengan penuh arti, kemudian meniup lilinnya. Wulan

101
membalas tatapan Green dengan anggukan kecil
yang juga penuh arti. Green tersenyum tipis,
memejamkan mata, dan meniup lilin.

“Selamat ulang tahun, Green Revalin,”ucap Wulan.

“Makasih ya, Ma,” ucap Green.

Mamanya memeluk Green dengan tegar dan


mencoba tetap tersenyum.

“Ehm sudah lumayan reda hujannya,” kata Tama,


“aku pulang dulu, ya?”

“Umm… kok buru-buru sekali sih?” kata Green.

“Sudah kemalaman,” jawab Tama.

“Iya sih, ya sudah, aku panggil Mama dulu, ya?” kata


Green sambil memanggil mamanya.

“Makasih ya, sudah direpotin Green,” ujar Wulan.

“Sama-sama, Tante, saya pamit dulu,” kata Tama


seraya beranjak dari ruang tamu.

“Hei tunggu!” tegur Green, “nih!” katanya sambil


menyodorkan sesuatu.

“Apa itu?” tanya Tama.

102
“Jaket,” sahut Green, “biar tidak kedinginan dan
kena hujan. Gerimis malah lebih sering bikin sakit
lho!”

“Oh begitu,” sahut Tama sambil membuka lipatan


jaket yang sepertinya masih baru itu, “belum pernah
dipakai, ya?” ada tulisan Greenvan.

“Umm… itu jaket kompakan kelasku waktu di


Bogor, baru dapat pertengahan semester lalu.
Memang belum pernah dipakai, kebesaran sih, tidak
pas aja di badanku jadinya. Pakai saja,” jelas Green.

“Makasih, ya. Juga buat pestanya yang keren!” kata


Tama, “hope we’ll meet again.”

“I hope so. Daaah…” kata Green sambil


melambaikan tangan



103
Enam

G
reen berdiri di lapangan upacara dan
memutuskan berdiri di baris paling depan.
Dia risih diperhatikan terus. Sebenarnya
Green memang terlihat cukup mencolok. Pagi itu dia
tampil sangat manis, wajahnya yang sedikit blasteran
dengan mata biru yang indah. Belum lagi rambut
hitamnya yang tebal dan mengilap digerai begitu
saja.

BRUKK…

“Ups, maaf…” cowok penyusun skenario di atas


tanpa sadar menabrak cewek yang sejak tadi
ditatapnya itu.

“He..eh… tidak apa-apa kok,” kata Green.

104
“Benar kamu tidak apa-apa, kan?” tanya cowok itu
sok perhatian.

“Iya,” Green mulai risih karena orang-orang melihat


mereka seperti mendapat tontonan menarik.

“Hati-hati, dia pemangsa cewek tuh!” terdengar


sorakan heboh dari kejauhan. Green segera berbalik
dan mempercepat langkah menuju barisan terdepan.
Dia terus menunduk menatap semut-semut.

T idak lama kemudian lapangan telah dipenuhi


siswa-siswi berseragam putih abu-abu. Upacara
bendera dimulai. Green tidak terlalu memperhatikan
karena sengatan matahari pagi mengusik ketenangan
jiwanya yang harus berdiri tegap di barisan terdepan.

Green mendengar moderator mengumumkan


agar pemimpin upacara mengambil tempat di
lapangan. Green menatap sosok yang berjalan lurus
ke arahnya, lalu memalingkan wajah.

Deg!

Sosok itu semakin familiar.

Deg…

deg… deg

105
Green menguatkan hati untuk menatap kenyataan di
depan matanya…

Deg… degdeg… deg… degdegddeg…

Cowok itu mengenali aku atau tidak ya? Batin


Green.

Deg… deg…

Akhirnya cowok itu menghentikan langkah


tepat di hadapan Green! Saat itulah mereka bertemu
pandang lalu terpana. Selama sesaat pemimpin
upacara seperti kehilangan kesadaran sebelum
akhirnya menyadari posisinya. Lagi-lagi wajah
Green memanas, dan dia kembali tertunduk, tidak
berani menatap cowok itu.



Green ditempatkan di kelas XI IPA 4.

“Aku boleh duduk di sini?” tiba-tiba seorang cowok


berambut ikal mengusik Green dari lamunannya.

“Mmm… ya, tentu saja,” jawab Green ramah.

106
Cowok itu duduk di samping Green, lalu terdiam
tanpa melakukan apa-apa. Walaupun merasa agak
aneh dengan sikap cowok itu, Green diam saja dan
melanjutkan kesibukan mencoret-coret buku
catatannya yang masih kosong.

“Hmm, kenalin, aku Haikal,” akhirnya si cowok


bersuara. Dia mengulurkan tangan.

“Aku Green,” sambutnya.

“Oh ya, aku harap kamu bisa bantu aku beradaptasi


di sekolah ini. Jujur saja, aku agak pendiam kalau
berada di lingkungan baru,” kata Haikal.

Green mengangkat alis.

“Tunggu! Jadi maksudmu, kamu anak baru di


sekolah ini?” tanya Green.

Sekarang giliran Haikal yang memasang wajah


heran. “Iya…” jawabnya, “memangnya kamu tidak
kenal teman-teman kamu sendiri?” tanyanya.

“Hmmph… hahaha… ups, maaf!” Green cepat-cepat


meralat sikapnya yang tidak sopan.

“Kenapa sih?” tanya Haikal hati-hati.

107
“Hmmm… tidak kok, aku merasa lucu saja kamu
ngomong seperti itu. Jujur saja, sebenarnya ini juga
hari pertamaku di sekolah ini,” jelas Green sambil
melontarkan senyum manis yang membuat siapa pun
terpesona.

“Oh, begitu…” Haikal mengerti, “kebetulan sekali,


ya? Aku jadi tidak canggung karena punya teman
senasib,”

“sama!” balas Green ceria.



108
Tujuh

T
iga hari pertama di awal tahun ajaran jelas
asyik. Meski harus gotong royong
membersihkan kelas dan lingkungan
sekolah.

“Ternyata di sini asyik juga, ya,” ujar Haikal sambil


duduk di bangku yang menghadap Green. Cewek itu
memejamkan mata.

“Hmmm…” kata Green tanpa membuka mata.

“Kamu tidak haus? Aku mau ke kantin beli


minuman,” ujar Haikal.

109
Mata Green langsung terbuka, “Aku titip milkshake
sama Chitato, ya!” dengan semangat dia merogoh
kantongnya.

Haikal tersenyum melihat tingkah Green, “Ya sudah,


kamu tunggu di sini ya,” katanya sambil berlalu.

Green meregangkan tangannya yang


lumayan capek setelah merapikan bougenville di
samping taman. Ditatapnya lapangan sekolah yang
luas. Di sana sedang berlangsung kegiatan MOS
siswa baru. Green menangkap sosok Tama yang
sedang mengawasi kegiatan MOS. Green
memperbaiki jilbab kusutnya dengan jari-jari
lentiknya.

“Hai, sendirian?” tiba-tiba Tama sudah mucul di


hadapan Green.

“Eh… hai…” Green jadi salah tingkah.

Tama duduk di samping Green.

“Sibuk ya?” Green melontarkan pertanyaan basi.

“Yaaah… lumayan,” sahut Tama, “aku tidak


nyangka bakal ketemu kamu di sini,” katanya.

“Aku juga kaget,” sahut Green.

110
“Tapi aku senang banget lho, soalnya bisa dibilang
doaku terkabul,” ujar Tama sambil tersenyum, “oh
ya, tangan kamu yang luka kemarin gimana, masih
sakit?” tanya cowok itu sambil meraih tangan Green
dan mengamatinya. “

“Ngg… tidak lagi,” Kata Green sambil menarik


tangannya. Tapi Tama menahan.

“Ada apa?” tanya Green. Cowok itu menatapnya.

“Kamu mau tutup mata sebentar?” pinta Tama.

“Buat apa?” tanya Green.

“Tutup saja. Tiga detik cukup kok,” sahut Tama.

Akhirnya Green menutup mata. Tiga detik berlalu.

“Sekarang, buka mata kamu,” kata Tama.

Green membuka mata dan…

“A present for you…” kata Tama sambil meletakkan


sebuah kado kecil di tangan Green, “maaf ya, telat.”

“Benar nih buat aku?” Green tidak yakin dengan apa


yang dilihatnya. Dibukanya kotak itu. Dia mendapati
sebentuk gelang dengan liontin kupu-kupu kecil yang

111
sangat manis, “kalung?” bisik Green, “this is so cute
…!”

“Suka?” tanya Tama.

“Banget! Sumpah!” jawab Green sambil tersenyum


manis.

“Aku pasangkan ya,” ujar Tama, “Tadinya nanti sore


aku mau mampir di rumah kamu antarin hadiah ini.
Eh, kita malah ketemu di sini,” lanjutnya.

Green mengangkat lengannya sementara Tama


memakaikan gelang itu.

“Cantik,” kata Tama spontan.

Green hanya menatap cowok itu. Tama jadi salting


sendiri.

“Tidak heran sih lihat cewek lupa diri kalau udah


berhadapan sama aku. Hehehe…” kata Tama sambil
tersenyum.

“Ih… norak,” balas Green sambil memukul lengan


cowok itu.

“Awww!” Tama berteriak sambil mengusap-usap


lengannya yang masih sakit karena ditabrak Green

112
beberapa hari yang lalu, “sakit, tau! Cantik-cantik
tapi sadis…” ujar Tama.

“TAMAAA!” suara seorang cewek, “kamu ke mana


saja sih?! Kami pusing nyariin kamu, tau! Kamunya
malah ada di sini,” kata cewek berambut ikal panjang
itu melempar pandangan tidak suka pada Green,
“tahu orang sibuk malah digangguin!” umpatnya
kepada Green.

“Kamu kalau bicara bisa sopan sedikit nggak sih?”


tegur Tama.

Tahu-tahu Haikal muncul dari arah berlawanan. Dia


menghampiri Green.

“Tiffany?” ujar Haikal pelan.

Cewek bernama Tiffany itu jelas-jelas kaget.


Dia langsung menarik Tama menjauh secepat
mungkin.

“Kamu kenal dia?” tanya Green sinis.

Haikal tidak menjawab.

“Hei!” tegur Green sambil menepuk lengan Haikal.

“Eh, maaf. Apa?” tanya Haikal.

113
“Tuh cewek rese banget!” Green menumpahkan
kekesalannya pada Haikal.

“Tadi itu cowoknya, ya?” tanya Haikal.

“Mana aku tahu?! Aku saja baru dua hari di sini.


Sama seperti kamu!” jawab Green sewot, “memang
kamu kenal di mana sama nenek sihir itu?” tanyanya
ketus.

“Bisa di mana saja,” jawab Haikal sekenanya.



“Sst… Ren!” sebuah sikutan membuat Green kaget.

“Ihhh… kamu apaan sih, Ra,” Green mendesis sebal,


“bikin jantungan, tau!”

“Sst… liat tuh!” tiara menunjuk bangku di sudut


perpustakaan. Haikal. Green cuma geleng-geleng
kepala.

Tidak terasa satu bulan sudah berlalu. Green


sekarang lebih dekat dengan Tiara, cewek imut yang
suka banget sama Haikal yang sudah jadi idolanya

114
sejak pertama sekolah. Beberapa kali Green sempat
memergoki cowok itu menatap Tiffany dari jauh.
Tatapannya pun gimana… gitu. Huh… kasihan, pikir
Green.

“Memangnya kenapa lagi dia?” ujar Green.

“Cakep banget… apalagi kalau lagi baca buku sains


gitu…” sahut Tiara, “apalagi kalau…”

“Ih, biasa aja, kali!” potong Green.

“Tapi aku sukaaa…” sahut Tiara.

Green tidak berkomentar dan kembali


menekuni deretan buku. Karena Haikal cowok tipikal
kutu buku yang hobi nongkrong di perpus, maka
nyaris setiap hari Green ditarik Tiara kesitu,
sembunyi di balik rak, terus dia sendiri akan menatap
cowok itu tidak habis-habisnya.

“Ren, Ren!” tiara kembali menyikut Green.

“Apa lagi sih?” Green mendengus kesal.

“Itu…” kata Tiara

“Itu apa?” tanya Green.

115
“Si Haikal kenapa tuh?” tanya Tiara.

“Kenapa bagaimana?” kata Green sambil menoleh


pada Tiara. Sekarang Haikal mengangkat bukunya
hingga menutup wajah, jelas sedang mengawasi
sesuatu.

“Dia melihat ke arah sana,” ujar Green.

Deg!

Green melihat Tiffany sedang bercerita


dengan suara sangat pelan dengan Tama. Mereka
mendekatkan kepala. Entah kenapa rasa cemburu
tiba-tiba muncul begitu saja di hati Green. Semenjak
dia bersekolah di sini Tama selalu berusaha
menemuinya, bagi Green semua itu belum terlalu
berarti. Tama sepertinya terlalu terikat dengan
Tiffany. Cowok itu sepertinya terlalu menuruti
keinginan Tiffany, meskipun itu tidak sesuai dengan
keinginan hatinya.

“Kenapa…” Green mendengar isakan kecil di dekat


kakinya.

“Kenapa apa?” tanya Green lembut sambil


menyentuh bahu Tiara.

116
“Kenapa cowok yang aku taksir justru merhatiin
cewek lain? Dan kenapa harus si nenek sihir itu,
coba,” kata Tiara diselingi isakannya.

“Sudah, kita keluar saja yuk,” ajak Green.

Green dan Tiara kemudian berlalu meninggalkan


ketiga orang tersebut.



117
Delapan

“Huh, mana panas, tidak ada teman, lagi. Garing!”


Green ingin menunggu matahari sedikit redup untuk
berjalan kaki menuju halte yang lumayan jauh.

“Mau aku antar pulang, Ren?” suara Haikal membuat


Green tersentak.

“Lho, kamu belum pulang?” tanya Green heran.

“Baru mau nih. Tadi aku lupa balikin buku


pepustakaan makanya tidak langsung pulang,” jawab
Haikal.

“Oh…” kata Green paham, “boleh juga.”

118
Dalam lima menit Green sudah duduk di
boncengan Haikal. Tiba-tiba Haikal mengerem
motornya dan berbalik arah secepat dia bisa.

“Ada apa sih?” tanya Green.

Haikal sedang membuntuti Honda Jazz hijau


metalik. Entah siapa penumpang mobil itu.
Akhirnya mobil itu berhenti di depan kafe yang tidak
terlalu ramai. Dengan penasaran Green menunggu
sampai pintu mobil akhirnya terbuka.

Aduh! Cewek nenek sihir itu lagi! Green lagi-


lagi panas melihat cowok yang turun dari sisi lain
mobilTama.

“Mau ngapain?” tanya Green.

Haikal tidak menjawab.

“Kamu aneh, tahu?! Kenapa juga kamu


mengharapkan Tiffany sampai seperti ini? Mending
kamu tanggapin orang yang justru sangat peduli
sama kamu!” kata Green tegas. Dia teringat Tiara
yang hanya bisa kecewa dengan sikap Haikal yang
tidak pernah memedulikannya.

119
“Memangnya ada yang peduli sama aku?” tanya
Haikal.

“Kal… buka dong mata dan hati kamu itu. Cewek di


dunia ini bukan cuma Tiffany!”

“Tau kok,” sahut Haikal, “langsung


pulang?”tanyanya lagi.

“Pulang saja deh,” jawab Green.



“Benar-benar malam yang indah!” decak Green.

“Aku juga suka langit malam! Apalagi kalau ada


bulannya, ada bintangnya, pasti indah sekali. Ya kan,
Kak?” sahut Rina.

Green sedang memotong sayuran. Malam itu


Green dan mamanya diundang ikut acara barbeque di
halaman belakang rumah tetangganya itu. Acara itu
untuk merayakan kenaikan jabatan papa Rina, juga
kehamilan Manda. Akhirnya Rina bakal dapat adik.

120
Malam itu penampilan Green super santai,
dengan celana pendek dan kaus pink polos yang
ringan. Rambutnya yang panjang diikat rapi.

“Ih… aku tidak suka paprika,” celetuk Rina, “hampir


semua sayuran aku tidak suka.”

Green terkesiap memandang Rina.

“Kakak kenapa?” tanya Rina cemas, “kak?!”


ulangnya. “KAKAAAAKKK!!”

“Eh iya… tidak apa-apa,” sahut Green. Benaknya


bergegas lari ke Faren, saudara kembarnya yang
telah meninggalkannya.

Tiba-tiba Handphone Green bergetar

“Tama...”

“Halo…” jawab Green malas-malasan.

“Ren, kamu tidak di rumah?” tanya Tama.

“Iya, aku di rumah sebelah. Kenapa?” jawab Green.

“Aku ada di depan rumah kamu. Kamu keluar, ya?


Tidak lama kok,” pinta Tama.

“Oke,”jawab Green singkat.

121
Jantung Green berdebar-debar. Green
mendapati cowok super keren itu berdiri di samping
motor.

Tama mendongak dan tersenyum hangat.

“Hei, tumben datang malam-malam begini?” tanya


Green.

“Mmm… aku tidak mengganggu, kan?” tanya Tama.

“Menurut kamu?” kata Green santai.

Tama tersenyum kecil, “Lagi makan, ya?”

“Kok tahu?” tanya Green heran.

“Nih…” dengan ibu jarinya cowok itu menghapus


noda saus di sudut bibir Green, “makan saja masih
kayak anak kecil. Belepotan.”

Green tersipu.

“Eh… tidak apa-apa tahu,” Tama menenangkannya.

“Terus, ada apa?” tanya Green.

“Oh ya, ban motorku tadi kempis, kalau ke bengkel


jauh, paling dekat ke rumah kamu. Makanya aku
kemari. Boleh tidak aku titip motorku untuk malam
ini saja?” jelas Tama.

122
“Oh…” Green sedikit kecewa.

“Ngg… boleh, kan?” Tama jadi tidak yakin setelah


melihat ekspresi Green.

“Oh, iya tidak apa-apa!” jawabnya dengan senyum


kecewa.

Cowok itu pun mendorong motornya ke pekarangan


rumah Green.

“Umm… kayaknya aku balik sekarang saja, ya,” kata


Tama.

“Hah? Segitu doang?” tanya Green.

“Oh ya, makasih banyak…” kata Tama.

“Bukan itu maksudku,” kilah Green, “mmm… tapi


ya sudah deh kalau kamu memang mau buru-buru
pulang.”

Cowok itu terlihat kikuk, “Bukan begitu, aku tidak


mau ganggu acara kamu. Itu saja,” ujarnya serius,
“mmm… sebenarnya aku mau kasih surprise ajakin
kamu keluar, tapi kayaknya aku lagi kurang
beruntung. Apalagi ternyata kamu juga ada acara.
Mana sudah kemalaman, lagi,” jelas Tama.

123
“besok-besok aku bikin janji dulu deh biar tidak
berantakan,” lanjutnya.

“Oh begitu ya. Tidak apa-apa, lagi,” jawab Green.

“Maaf ya,” kata Tama.

“It’s okay,” sahut Green.

“Oh ya, jaketmu sudah lama mau aku kembalikan,


tapi…”

“Eits, tidak usah dilepas. Pakai saja, aku tidak pernah


pakai kok. Sudah aku bilang kan, kegedean,” sangkal
Green.

Cowok itu menatap Green penuh makna, “Makasih,


ya,” bisiknya.



“Ren…!” suara Tiara membuat Green yang sedang


menggambar terkaget-kaget. Kesibukannya
menggambar membuat ia mengingat kenangan ketika
pertama kali bertemu dengan sahabatnya, Yanda.

“Hmmm?” Green bergumam.

124
“Kamu kok kayak tidak penasaran gitu sih?” tanya
Tiara manyun.

Green menegakkan kepala, “Memangnya ada cerita


apa?” Tanya Green.

“Aku lagi senang banget, tahu nggak”

“Tahu…” sahut Green, “banget! Memang ada apa


sih? Ada bagi-bagi sembako, ya?”

“Ih… bukan!” tukas Tiara gemas, “tadi aku bicara


lagi sama Haikal! Senang sekali! Habis orangnya
asyik sekali, tahu nggak?”

“Tahu…” jawab Green.

“Dia tanggapin omonganku banget lho. Terus kalau


ketawa… duh, makin cakep! Terus, besok aku mau
ke rumahnya. Hebat kan aku?”

“Hebat sekali! Tapi kamu mau ngapain sih ke


rumahnya?” tanya Green.

“Aku bilang saja pengen belajar Fisika sama dia.


Senin kan kita ulangan, jadi alasanku tuh urgent
banget. Masuk akal kan?” kata Tiara, “ternyata
Haikal tuh kalau diajak cerita heboh juga ya, aku
pikir anaknya pendiam.”

125
“Wah, selamat deh!” kata Green, “makin dekat sama
target dong!” godanya.

“Tidak secepat itu, kali, Ren,” katanya malu-malu.

“Green!” sebuah suara mengalihkan perhatian


keduanya. Mereka melihat Tama masuk kelas dan
berjalan mendekat.

“Aku ke toilet dulu, ya!” kata Tiara.

Tama duduk di bangku Tiara sambil menghadap ke


belakang, sehingga mereka berhadap-hadapan.

“Ada apa, Tama?” tanya Green.

“Nanti malam kamu tidak ada acara barbekyu lagi,


kan? Aku mau ajak kamu keluar,” kata Tama.

“Mmm, masa barbekyuan tiap hari sih?” Green


tertawa manis.

“Jadi kamu mau aku ajak keluar?” tanya Tama.

Green mengangguk manis.

“Ya sudah, aku kembali ya, nanti Tiffany uring-


uringan lagi cari aku!” kata Tama seraya berbalik
cepat.

126
Mendengar itu, kebahagiaan yang tadi sempat
mengisi dada Green sertamerta lenyap. Dalam
benaknya bertanya mengapa selalu Tiffany, Tiffany,
Tiffany!



Green terjebak dalam suasana kafe yang heboh.

“Ren, dari tadi kok diam saja?” tegur Tama. Sejak


berangkat Green memang sudah pasang tampang
bete.

“Lagi ada masalah ya, Ren?” tanya Tama, “aku ajak


keluar di waktu yang salah, ya?”

“Tidak kok,” sahut Green, “biasa aja,” jawabnya


acuh.

“Tapi tadi kamu kayak tidak mau cerita sama aku


tuh. Kayak kamu tidak ada di sini aja, kayak aku
tidak ada di samping kamu. Ada apa sih, Ren?”
Tama mulai jengkel.

“Kok kamu jadi sewot sih?” Green tidak mau kalah.

127
“Siapa yang tidak sewot? Kamu tidak jelas gitu,”
kata Tama.

“Ya sudah!” bentak Green.

“Ya sudah apa?” tanya Tama keheranan.

“Pulang,” pinta Green singkat.

“Ren, kamu kok jadi begini sih? Kalau ada masalah,


kamu cerita dong. Jangan kayak begini… aku jadi
bingung mesti bagaimana,” Tama melunak sambil
meremas tangan Green.

“Tidak ada masalah kok.” Green menarik tangannya,


“Ya sudah, maafkan aku ya.”

Green sungguh kesal karena Tama buru-buru


meninggalkannya begitu teringat pada Tiffany.

Tapi kalau dipikir-pikir dia kan bukan siapa-siapanya


Tama.

“Pusing ah!” sergah Green.

“Pusing? Jadi dari tadi kamu diam-diaman karena


pusing?” tanya cowok itu, “kenapa tidak bilang dari
tadi? Kita kan bisa batalin perginya, terus kamu bisa
istirahat di rumah.”

128
“Eh, tidak. Bukan pusing kayak begitu. Pusing saja
sama suasana ribut-ribut begini. Mana orangnya
banyak, lagi!” Green mencoba ngeles.

“Oh… begitu ya? Kalau bilang dari awal kan aku


tidak perlu ngadepin kamu yang tidak betah begitu,”
kata Tama lega. “Mumpung masih banyak waktu,
kita pindah saja yuk!”

“Eh, tidak usah,” tukas Green.

“Sudaaah… yuk!” ujar Tama seraya menarik tangan


Green.

Green merasa bersalah. Ini cowok baik sekali.


Pengertian sekali.

“Ke mana?” tanya Green saat mereka beranjak


meninggalkan kafe.

“Ke tempat yang bisa bikin kita berpikir jernih dan


menenangkan pikiran,” jawab Tama, “mmm…
karena lumayan jauh, kayaknya kita balap sedikit ya.
Tidak apa-apa, kan?”

“Ngg… tapi kamu hati-hati, ya,” ujar Green.

“Oke!”

129
Dalam sedetik mereka sudah melesat dengan
kecepatan tinggi. Dia tidak memerhatikan jalan yang
mereka lalui, melainkan menyandarkan kepalany di
punggung Tama. Lalu memejamkan mata.

“Kamu aman-aman saja, kan?” Tama setengah


berteriak.

“Iya!” sahut Green, suaranya gemetar.

Tama menambah laju motor. Gila! Kayak lagi


balapan.

“AKU TAKUUUUTT…!!!”

Mendengar itu Tama segera menurunkan


kecepatan dan menepi. Tubuh Green sedikit bergetar.
“Kamu tidak apa-apa Ren?!” Tanya Tama cemas.

“Aku… Aku… sudah tidak apa-apa,”sahutnya


terbata.

Tama menoleh dan menatap cewek itu cemas, “Tidak


apa-apa, kan?” ulangnya sambil menekan bahu
Green lembut.

Green memandang sisi kirinya dengan


tatapan nyaris tidak percaya, Laut. Wajahnya kontan

130
sumringah dan sangat senang. Melihat itu, Tama
tersenyum lega.

“Kita belum sampai, tapi sudah lumayan dekat,”


katanya seraya terus menatap Green. Cewek itu
sangat manis saat tersenyum.

“Kita jalan lagi?” usulnya.

Green mengangguk, “Tidak pakai balap lagi, ya.”

Mereka pun melaju. Bulan purnama mulai


naik. Tak lama kemudian Tama menghentikan
motornya di depan kafe.

“Yuk!” ajak Tama. Dia menggenggam tangan Green


dan menariknya ke sisinya.

Mereka memasuki kafe. Suasana di dalam


juga sangat tenang, musik yang lembut terdengar
sangat menenangkan. Mereka duduk di bagian kafe
yang terbuka. Di sana mereka dapat memandang
langit dan laut dengan bebas.

“Bagus sekaliii…” seru Green, “aku tidak tahu ada


tempat yang begini bagus. Makasih sudah ngajak aku
ke sini, ya!”

131
“Sama-sama. Lihat kamu seperti ini bikin aku
bahagia. Aku belum pernah merasakan kebahagiaan
seperti sekarang ini,” kata Tama.

Green menatap cowok itu sesaat dan


tersenyum penuh arti. Ditatapnya laut yang disinari
cahaya bulan.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, dia


sungguh-sungguh merasa tenang dan jiwanya
tenteram. Dia merasa bebas, seakan-akan
menemukan dirinya yang baru, dirinya yang terlepas
dari segala kesedihan yang selalu mendera dan
menekannya.

“Tahu tidak apa yang aku pikirkan saat ini?” tanya


Tama.

“Apa?” Green terus menatap laut.

“Aku lagi mikir bagaimana bilang ke mama kamu


karena telat antar putri kesayangannya pulang,”
jawab Tama

“Hah?!” Green terperangah, “memangnya sekarang


sudah jam berapa?”

“Liat saja jam tanganmu,” kata Tama.

132
Dengan was-was Green menatap jam tangannya.

“My God!” dia nyaris berteriak



133
Sembilan

M
eski malam telah larut dan tubuhnya
sangat letih, Green bahagia. Ketika
sudah berbaring di tempat tidur,
pikiran Green melayang entah ke mana. Diraihnya
ponsel.

“Halo…” suara Yanda terdengar sangat berat.

“Sudah tidur, ya?” tanya Green.

“Tidak ada alasan buat begadang soalnya,”jawab


Yanda.

“Kalau sekarang ada, gimana?” goda Green

“Mau cerita apa?” Yanda terdengar bersemangat.


Sejak kematian saudara kembarnya Faren, Green

134
seolah menutup diri rapat-rapat dan tak pernah lagi
berbagi cerita.

“Tidak ada. Mau tahu kabar kamu saja,” jawabnya


seolah tidak ada beban.

Yanda langsung kecewa, “Oh, aku baik-baik saja


kok. Kamu ssendiri?”

“Tidak tahu,” jawabnya singkat.

“Kenapa tidak tahu? Apa kamu masih belum bisa


curhat sama aku lagi?” Yanda terdiam sebentar,
“kamu tahu? Dia nanyain kamu terus,” ungkap
Yanda.

“Biarkan saja,” tukas Green, “tidak penting.”

“Tidak penting? Tapi aku yang repot jadinya. Kamu


tahu kan, aku tidak bisa bohong? Dia terus
menginterogasiku. Dia tahu aku pura-pura tidak tahu.
Sampai-sampai dia mengobrak-abrik contact di
HPku. Untung nama kamu sudah aku samarin,” jelas
Yanda.

“Baguslah,” timpal Green.

“Ren, dia kehilangan kamu,” Yanda menekankan


kata kehilangan, “aku tanya kalian ada masalah apa,

135
dia bilang tidak ada. Dia bahkan mengaku bingung.
Kalian aneh. Sebenarnya, ada apa sih? Ini tidak biasa
bagiku!”

“Aku…” Green menimbang cukup lama,


“entahlah… aku belum siap buat cerita. Semua terasa
baru, masih segar. Aku masih belum sanggup.”

“Aku tahu kehilangan yang kamu alami sangat berat.


Itu sebabnya aku tidak mau kamu menahannya
sendiri. Aku ingin kamu bagi kesedihan itu padaku.
Bukan begini…” mohon Yanda.

“Tapi… sebenarnya tidak sesederhana itu,” Green


menarik napas dalam-dalam.

“Terus apa, Ren…” tanya Yanda penasaran.

“Um… gimana ya?” Green tahu, di seberang sana


Yanda menahan napas menunggu penjelasannya,
“Baiklah,” akhirnya Green menyerah.

Lalu kata-kata itu meluncur saja dari


bibirnya. Tangis kembali mengiringi setiap untai kata
yang di ucapkannya.

“Sekarang kamu sudah tahu alasanku, kan?” tanya


Green.

136
Yanda terdiam cukup lama.

“Aku juga tidak nyangka,” hanya itu yang bisa di


ucapkannya.

“Tapi kamu beneran janji ya, setelah apa yang aku


ceritain ini, sikapmu ke dia tidak bakal berubah.
Bersahabatlah seperti biasa,” kata Green.

“Janji,” katanya setengah hati.

Green pun menceritakan semuanya.


Pertahanannya benar-benar runtuh. Dia menarik
napas dalam-dalam, merasa lebih lega.

“Nda, sekarang kamu tidur gih. Perasaanku sudah


lebih baik. Makasih ya sudah dengarkan ceritaku.”

Di seberang sana Yanda mengangguk tanpa suara.


“Bagaimana Green bisa sanggup menyimpan semua
itu selama ini?” batinnya tak percaya.

“Nda? Halooo,” bisik Green.

“Eh, iya, Ren,” Yanda tersentak, “good night, ya!”


tambahnya buru-buru.

Setelah memutuskan hubungan teleponnya,


Green turun dari tempat tidur dan bersandar di
sisinya.

137
Sesaat dia melamun, memandang meja
belajarnya lama sekali. Green bangkit dan
mengambil diary yang nyaris tertinggal di rumahnya
dulu. Dia menatap diary itu. Green membalik sampul
tebal tersebut dan langsung mendapati foto Faren
yang tersenyum manis. Matanya kembali berkaca.
Apa kamu masih bisa tersenyum, Ren? Desisnya
pelan.



Sepertinya Tiffany sudah kehabisan


kesabaran. Dia tidak boleh kehilangan Tama lagi.
Setiap kali cowok itu tidak ada, dia pasti
menemukannya sedang bersama Green. Cewek sok
manis itu sedang mencoba merebut Tama, rupanya.
Sejak awal Tama melarangnya mendekati Green.
Tama benar-benar melindungi cewek itu.

“Memangnya apa sih istimewanya anak baru itu?


Entah bagaimana cewek itu menarik perhatian Tama
begitu rupa,” tanya Tiffany pada dirinya sendiri

138
Tiffany setengah berlari. Dia baru saja
menumpahkan tangisnya di toilet. Tangis yang
membuatnya semakin percaya betapa tidak adilnya
dunia ini. Dia teramat membutuhkan seseorang yang
selalu menemaninya di saat-saat seperti ini, cuma
Tama yang bisa mengerti dan menenangkannya.

Tiffany berhenti di ujung koridor


laboratorium Kimia. Sekonyong-konyong Tiffany
melihatnya. Sosok yang sedang tertawa lepas, tawa
yang belum pernah didengarnya. Kenapa Tama tak
pernah terlihat begitu gembira bersamanya? Dan
kenapa semua itu justru terjadi saat dia bersama
Green?

Apakah selama ini dia hanya menjadi beban? Air


matanya mengalir hangat. Andai saja…

“Fan! Tiffany!!”

Tiffany melihat wajah cemas di balik air


matanya. Di peluknya cowok itu erat-erat.

“Fan, kamu kenapa? Ada apa?!” tanya Tama

Tiffany mencoba bersuara, “Mama…”

139
Green menyaksikan sendiri mereka
berpelukan. Tama bahkan tidak menoleh ke arah
Green lagi, seolah-olah Green tak pernah ada di sana
bersamanya.

Satu detik.

Tiga menit.

”Apa yang mereka bicarakan?” batin Green.

Lima menit.

Cukup, Green menghela napas. Green berlari, dia


tidak akan menangis di situ



“Kamu kenapa, Ren?!” tanya Tiara tanpa ampun di


telepon.

Green menjauhkan ponselnya, “kamu bisa jaga suara


tidak sih?” omelnya.

“Oke, oke,” suara Tiara melunak, “jadi, kenapa kamu


tiba-tiba ngilang dari sekolahan saat istirahat, trus
tidak balik-balik lagi? Dan apa maksudmu minta aku

140
bawa pulang tas kamu yang segede karung beras ini,
hah?!” ungkap Tiara.

Green memijat dahinya dengan dua jari, “Maaf, tidak


bermaksud apa-apa. Aku sakit.”

“Sakit? Memangnya aku gampang dibohongin?”


ungkap Tiara.

“Ra… please… kepalaku sakit nih… biarkan aku


istirahat dulu…” Green memohon.

“No way!” tolak Tiara.

“Ra…” mohon Green.

“Ada apa sih denganmu dan Tama?” tuding Tiara.

Air mata Green kembali bercucuran, “tidak ada


masalah dengan dia.”

“Jelas ada masalah! Aku liat dia balik sama si nenek


sihir. Sebelumnya dia kan sama kamu!” Tiara
mendengus kesal.

Hati Green mencelos.

“Tidak ada hubungannya denganku. Jelas?!”


tukasnya kesal.

“Jelas sekali,” sahut Tiara, “bohongnya.”

141
“Ra, kamu kenapa sih?!” kata Green.

“Kamu tuh yang kenapa?” Tiara masih ngotot.

“Sori, Ra,” ujar Green dengan sangat menyesal


sambil menutup telepon.



Green menggenggam tangan Faren erat-erat.


Mereka berjalan bergandengan. Melintasi pasir putih
yang sangat halus dan akhirnya sampai di tepi pantai.
Kejaran ombak menyambar kaki mereka hingga
terbenam sesaat.

“Jangan pergi lagi, ya?” pinta Faren sungguh-


sungguh. “Jangan tinggalkan aku sendiri. Please…”
diraihnya tangan Green yang lain, lalu ditatapnya
saudara kembarnya itu dengan sungguh-sungguh.

Mereka mundur beberapa langkah dari


kejaran ombak. Faren duduk di atas pasir, lalu
meraih bintang laut yang tertimbun pasir.

“Kamu! Ada-ada saja!” kata Green.

“Ren, kamu tidak mau minta maaf?” tanya Faren.

142
“Minta maaf? Soal apa?” Green kebingungan
dengan pertanyaan Faren

“Ah, sudahlah,” sanggah Faren tidak ingin


menjelaskan maksud dari pertanyaannya.

Faren bangkit dan berdiri dan berjalan menyambut


ombak, terus melangkah hingga separuh kakinya
terendam air laut.

“Kamu ngapain, Ren?” sahut Green setengah


berteriak.

Faren terus berjalan hingga separuh tubuhnya


terbenam. Green mengejar Faren.

“REEN!!! KAMU BISA TENGGELAM!!!” teriak


Green, “REEEN!” ulangnya putus asa. Tahu-tahu
ombak yang sangat besar menghantam Green hingga
tubuhnya seketika tak berdaya. Lalu terdengar suara
lain dari kejauhan. Semakin lama semakin dekat dan
jelas…

“Green…? Ren…? Bangun, Nak!”

Teriakan bercampur ketukan bertubi-tubi


membangunkan Green dari mimpi anehnya.

143
“Ya,” jawab Green, sambil berjalan menuju pintu
dan memutar anak kuncinya.

“Sejak kapan tidur pake ngunci kamar segala? Kalau


terjadi apa-apa terus kamu tidak bisa bangun,
bagaimana? Seandainya kebakaran? Gempa bumi?
Angin ribut?” cerocos Wulan.

“Ih, Mama! Pagi-pagi sudah ngasih kuliah gratis!”


ujarnya seraya ngeloyor ke kamar mandi.



Di sekolah

Saat Green sampai di kelas, tasnya sudah di


tempat. Tiara sedang sibuk menulis. Tiara
mengabaikannya.

“Ra, aku minta maaf karena mematikan telepon


kemarin,” Green mencoba bersuara, “ya?Ya?”
bujuknya.

Tiara terus menulis.

144
“Ra, aku akan jelaskan kalau kamu mau dengerin dan
berhenti bersikap kayak gini!”

Tiara tetap saja cuek.

“Kamu ngapain sih?” Green mencoba teknik lain,


tapi sayang Pak Efendy, guru matematika yang
sangat jauh dari ramah keburu masuk kelas.

Tiara menoleh sesaat dan menjawab, “PR


matematika.”

“Astaga! Green lupa!” ujar Green.

“Yang tidak mengerjakan PR lebih baik keluar


dengan sportif sekarang juga, sebelum saya
mengusirnya sendiri!” ucap Pak Efendy tegas.

“Oke deh, bisa dibilang ini kecelakaan beruntun, “


kata Green pasrah.

Green keluar kelas dengan sangat malu. Dia


berjalan gontai menyusuri koridor-koridor kelas.
Baru jam 8 pagi. Tahu-tahu dia sudah sampai di
depan aula, dekat parkiran motor. Sepeda motor
Tama tidak ada! Green merasa heran.

Dengan langkah pasti dia berbalik dan nekat


menuju kawasan kelas tiga. Tiba-tiba…

145
“Nak, tunggu sebentar!” sebuah suara
mengejutkannya. Green berbalik dan melihat Bu
Yasmin berdiri di pintu masuk ruang guru.

“Ya, Bu?” tanya Green.

“Maaf, Ibu mau minta tolong. Ini,” kata Bu Yasmin


seraya menyerahkan map, “tolong antarkan ini ke Bu
Elmi, dia mengajar di kelas 3 IPA 4, sampaikan dari
ibu,ya? Ibu ada keperluan.”

“Yes!” Green menarik napas lega. Dengan begini dia


tidak perlu mengintip. Green berjalan ke kelas yang
dimaksud.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk!” sebuah suara menjawab dari dalam ruang


kelas.

Green membuka pintu dan merasakan semua mata


tertuju padanya.

“Ada apa?” tanya seorang guru.

146
“Ini, Bu, dari Bu Yasmin,” kata Green seraya
menghampiri sang guru. Lalu sekilas dia
mengedarkan pandang.

Dia tidak ada.

“Sudah lengkap, terima kasih, ya,” ucap Bu Elmi.


Green berbalik dan keluar kelas diiringi suit-suit jail
murid-murid cowok.

Dari sana Green menuju perpustakaan,


“Sebenarnya sedekat apa sih mereka, sejauh apa sih
Tama terjebak dalam labirin kehidupan Tiffany?”
tanya Green penasaran. Akhirnya Green mendengar
bel tanda istirahat bergema.

“Hhhhh…” dia mendesah malas. Green tidak ingin


kembali ke kelas. Apa gunanya juga kalau
sahabatnya sendiri sedang tidak mau bicara
dengannya.

Tak lama kemudian Green melihat Haikal


masuk ke perpustakaan. Sebuah ide cemerlang
mengusik pikiran Green. Mungkin dia bisa
mendapatkan petunjuk dari Tama.

“Hai!” sapa Green.

147
“Hai juga,” balas Haikal dan kembali menekuni
bukunya.

“Serius banget sih!” tukas Green.

“Tumben kamu sendirian. Biasanya sama Tiara,


kan? Dan selalu mencari buku di rak itu,” ujar Haikal
sambil menunjuk rak kesayangan Tiara, tempat dia
biasa mengawasi Haikal.

“Kok dia tahu?” batin Green.

“Oh ya?” Green pura-pura terkejut.

“Ehm, begini, aku cuma mau nanya sesuatu,” Green


buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Kayaknya serius?” Haikal menutup buku, “tapi aku


tidak jamin bisa menjawab pertanyaanmu.”

“Ya, liat aja nanti!” balas Green, “aku Cuma ingin


tahu apa saja yang kamu ketahui tentang Tiffany.
Karena aku yakin kamu tahu banyak tentang dia.
Apalagi kamu selalu nguntit dia setiap pulang
sekolah.”

Ekspresi Haikal berubah.

148
“Aku bukan penguntit! Dan aku tidak suka kamu
nuduh aku seenak jidatmu!” tukas Haikal
tersinggung.

“Oh, maaf. Maksudku ya… ngikutin orang diam-


diam gitu deh. Jadi apa?” tanya Green.

“Maksud kamu?” tukas Haikal ketus.

“Ya, semua yang kamu ketahui tentang Tiffany!”


Green kehilangan kesabaran.

“Tidak ada!” Haikal jelas masih tersinggung.

“Hah?! kamu yakin?” balas Green jengkel, “aku tahu


kok selama ini kamu selalu mengamati Tiffany, dan
selalu ingin tahu apa saja yang dilakukannya. Tapi
sayangnya, kamu sudah ngelewatin satu kejadian
penting kemarin.”

Haikal memandang Green penuh tanda Tanya.

“Karena cuma aku yang liat kejadian kemarin,” kata


Green dengan gaya misterius.

“Memangnya kemarin ada apa?” desak Haikal.

“Wah, aku tidak bisa kasih tahu kamu. Mengingat


kata kamu tadi, kamu tidak tahu apa pun tentang
Tiffany,” Green sok jual mahal.

149
“Oke deh kita barter informasi. Tapi kamu duluan!”
kata Haikal menyerah.

“Jadi?” tanya Haikal penasaran.

“Ehm… jadi begini,” kata Green, “oke, begini.


Kemarin aku liat Tiffany nyamperin Tama sambil
menangis. Dan aku liat mereka… pelukan,” hati
Green serasa dicubit.

Dia yakin Haikal pasti merasakan hal yang sama.

“Dan anehnya, hari ini mereka sama-sama tidak


masuk sekolah,” jelas Green.

“…” Haikal terdiam.

Haikal hanya menunduk.

“Aku mengerti perasaanmu. Karena itu aku ingin


tahu informasi tentang Tiffany. Mungkin saja kita
mendapat petunjuk tentang keberadaan mereka, ya
kan?” kata Green melunak.

“Kenapa sih kamu peduli sama Tiffany?” tanya


Haikal.

Green langsung terdiam telak-telak.

150
“Eh, cuma kebetulan kok. Kebetulan saja aku liat
Tiffany kayaknya lagi ada masalah, lalu kebetulan
aku tahu mereka tidak masuk hari ini, terus kebetulan
aku liat kamu disini, dan aku jadi ingin ngasih tahu
hal ini ke kamu. Soalnya aku yakin, informasi ini
pasti penting sekali buatmu,” Green mencoba
mengelak, “yah, kebetulan kadang-kadang memang
sangat berharga,” lanjutnya risih.

“Makasih banget ya, ternyata kamu peduli padaku,”


kata Haikal sungguh-sungguh.

“Iya. Namanya juga teman,” Green jadi salah


tingkah.

“Tapi sayangnya aku benar-benar tidak punya


informasi penting yang berkaitan dengan itu,” Haikal
sangat menyesal, “kalau saja aku tahu lebih
banyak…”

“Kamu sabar ya, Kal,” katanya simpatik. Tiba-tiba


terdengar bunyi bel istirahat tanda istirahat usai, “Eh,
sudah bel. Aku duluan, ya,” kata Green.

Haikal mengangguk pelan. Haikal sebenarnya


menyimpan rahasia terbesar Tiffany. Tak seorang

151
pun boleh mengetahuinya… bahkan tidak orang yang
terdekat dengannya saat ini.

Haikal melangkah keluar perpustakaan, sama


sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi sepasang
mata tak henti mengawasinya.

“Oh, jadi begini maksud kamu,Ren?” bisik Tiara


pahit. Matanya basah dan dia tidak beranjak dari rak
buku tempatnya mengawasih Haikal dan Green sejak
tadi. Dia bisa melihat dengan jelas bagaimana Haikal
menatap Green, walaupun dia tidak tahu bagaimana
Green membalas tatapan itu.

“Akhirnya aku tahu juga kan, Ren? Pantas kamu


tidak mau cerita ke aku,” kata Tiara.



Siang itu Green asyik main kartu dengan


mamanya. Wajahnya penuh coreng moreng adonan
kue yang memang sengaja disisihkan untuk
permainan kartu ini.

152
Green mengeluarkan kartu yang menurutnya
dapat mengubah nasibnya.

“Hmmm,” Wulan tersenyum penuh kemenangan.

“Jangan bilang Mama…” tuduh Green.

“Mama menang lagi!” seru Wulan. Bel pintu


berbunyi nyaring.

“Aku harus buka pintu,” kata Green.

Green membuka pintu dengan santainya.


Namun seketika wajahnya langsung dingin. Tama
yang berdiri di depan pintu nyaris tidak mengenali
makhluk yang menatapnya sangar itu. Nyaris seluruh
wajahnya berlepotan lapisan kental, lengket, dan
berwarna kuning. Sungguh sangat tidak indah
dipandang mata, pikir Tama geli.

“Ehm… apakah saya sedang berhadapan dengan


cewek manis bernama Green ?” tanya Tama
menahan tawa.

Green merasakan sensasi aneh saat Tama


menyebutkan nama itu, “Tidak, kamu salah orang!”
tukasnya judes.

“Greennn…” bujuk Tama.

153
“Apaan sih?” tanya Green ketus.

“Ehm… kamu lagi sibuk, kan?” Tama berusaha


mengalihkan pandangan.

“Lumayan,” sahut Green singkat, “kamu kenapa sih?


Mau ngetawain aku? Memangnya ada yang salah
dengan tampanku, heh?” tantangnya sebal.

“Hmmmmph… hahahaha… mmph…” Tama


membekap mulut, berusaha menahan tawa, “ya, maaf
deh kalau aku bikin kamu sebal karena ganggu acara
maskeranmu yang belum kelar. Aku tunggu sampai
selesai saja deh!” katanya sambil menahan geli.

Tahu-tahu setetes adonan kental jatuh dari


wajah Green. Green merasa konyol sendiri.

“Oh, TIDAAAKKK…” refleks Green berteriak


menahan malu. Dia berbalik dan berlari ke wastafel
untuk menyelamatkan harga dirinya yang nyaris tak
bersisa.

“Bodoh! Bodoh! Bodoh!” umpat Green sebal! Bisa-


bisanya aku tampil sebodoh ini di depan cowok yang
kusuka?

154
Setelah mengeringkan wajah, Green kembali
ke ruang tamu. Mamanya sedang asyik bercerita
dengan cowok tak diundang itu. Green duduk di
samping mamanya.

“Ya sudah. Mama ke belakang dulu, ya, kayaknya


kue Mama sudah matang tuh,” ujarnya seraya
berdiri. “Jangan cemberut gitu dong,” tegur Wulan.

“Ren, sebenarnya aku mau ngajak kamu keluar.


Kamu mau, kan?” pinta Tama tanpa basa-basi.

“Ke mana?” tanya Green.

“Ada deh, yang pasti kamu tidak bakal kecewa deh.


Mau, kan?” tanya Tama.

Green pura-pura berfikir.

“Mama bilang apa?” Green balik bertanya. Dia yakin


Tama sudah membahas niatnya ini dengan mamanya.

Tama tersenyum dan memandang Green. “Kata


Mama, boleh”



155
Sepuluh

G
reen tidak banyak bicara. Dia penasaran
dengan mobil yang dikendarai Tama ini.
Sepertinya kok familiar ya. Honda Jazz
hijau metalik. Green yakin sekali pernah melihat
mobil ini. Tapi entah di mana…

“ACnya tidak hidup kan, Ren? Kayaknya kok dingin


banget, ya,” Tama memecah kebisuan.

“Apaan sih!” cetus Green sebal.

“Eh, tidak jauh dari sini ada bakso super enak lho…”
Tama tidak meladeni kejengkelan Green, “katanya
bisa bikin hangat suasana yang dingin gitu deh!”
lanjutnya sok polos.

156
“Cerewet banget,” gumam Green sok jaim.

“Tapi serius enak lho, Ren,” kata Tama.

Green tetap diam.

“Ini dia tempat baksonya,” kata Tama sambil


menepikan mobil, “kalau mau coba, kita bisa makan
di sini dulu,” dia menawarkan.

“Kamu bisa berhenti pura-pura ?” Green berusaha


menahan emosi, “tujuan awalnya tidak ke sini, kan?”

“Memang bukan, habis suasananya dingin sih. Kan


perlu dihangatin dulu,” ujar Tama.

“Ren,” ujar Tama sambil menyentuh bahu Green.

Refleks Green menepis tangan cowok itu kuat-kuat.


“KAMU APA-APAAN SIH?!” sergah Green gusar.

“Ren… Kamu kenapa sih?” Tama tetap berusaha


tenang.

“Ren…” Tama mendesah, “kamu kenapa? Aku


salah, ya? Aku buat kamu marah? Aku buat kamu…”

“IYA! AKU MEMANG MARAH, AKU SEDIH,


AKU KECEWA, PUAS?!” Green berteriak.
Tangisnya pecah.

157
Tama terdiam. Dia tahu cewek itu memendam
perasaan terhadapnya.

“Maaf, Ren. Aku tidak bermaksud buat kamu


marah,” Tama membelai rambut Green lembut.
“Kamu jangan nangis lagi, ya, kita lanjutin
perjalanan. Bentar lagi sampai kok,” bujuk Tama.

Green mengusap air matanya, kemudian


mengangguk, “Aku juga minta maaf,” katanya
kemudian.

Tama melihat Green sudah tenang. Dia pun


mengemudi dengan santai. Dia takut cewek di
sampingnya itu akan meninggalkannya. Green
menatap langit senja yang mulai memerah dan
lampu-lampu jalan yang berpijar.

Green tidak melontarkan satu patah kata pun


sampai Tama memarkir mobilnya di tanah lapang.
Ternyata Green tertidur lelap. Ditatapnya cewek itu
lamaaa… sekali. Hanya dalam hitungan hari cewek
itu telah membuatnya rindu setengah mati.

“Ren...Green,” Tama menepuk-nepuk bahu Green.

“Green …” Tama memanggil lembut, “Green.”

158
Green tersentak, “Hmmmmh…” dia menggeliat dan
kembali tertidur.

“Kita sudah sampai, Ren,” Tama membelai rambut


Green.

“Ngg…? Sampai? Sampai dimana?” Green berusaha


duduk tegak.

“Kita sudah sudah Parangtritis lagi nih!” kata Tama


sambil mengambil jaket di jok belakang, jaket yang
dulu di berikan Green untuknya. Kemudian dia
menyodorkan tas kertas ke pangkuan Green.

Mereka sudah tiba di pantai yang pernah


didatanginya sebelumnya bersama Tama.

“Ini apa?” tanya Green sambil membuka kantong


kertas itu.

“Buatmu, Ren. Soalnya di sini dingin banget. Ingat,


kan?” jelasnya, “dan aku tidak mau kamu masuk
angin terus sakit.”

Green menarik sweter hijau lembut yang sangat


manis dari dalam kantong kertas, “Wow… Bagus
yah…” puji Green, “makasih, ya,” katanya sambil
mengenakan sweter.

159
Green kembali memandangi pantai. Dari sini
lautan terlihat jauh lebih indah dan menenangkan.
Tama mengenakan jaket pemberian Green, lalu
mengajaknya keluar mobil. Sekelebat Green teringat
sesuatu, sesuatu yang di lihatnya bersama Haikal.
“Mobil itu,” Green berkata agak ragu, “Tiffany,
kan?” Tanyanya lagi.

Tama heran Green tahu, “Benar,” jawabnya singkat.

Mereka pasti jauh lebih dekat daripada yang


disangkanya.Tama menggenggam tangan Green,
mengajak Green mendekat pantai. Hanya ada mereka
dan ombak. Mereka melangkah dalam diam. Tama
duduk di pasir dan Green mengikuti dalam diam.

“Jangan pernah tinggalin aku kayak begitu lagi,”


Green memecah keheningan.

Green teringat sekilas bayangan Faren yang


mengatakan hal senada kepadanya.

“Aku memang mau minta maaf soal itu,” kata Tama


sungguh-sungguh, “maaf, aku sudah buat kamu
marah. Buat kamu kecewa,” ungkap Tama.

160
Dan untuk itulah kita di sini, Green berkata dalam
hati.

“Maaf,” ulang Tama, “waktu itu aku kalut liat


Tiffany seperti itu, buat aku tidak bisa ninggalin dia.
aku serba salah, dan aku terdesak oleh pilihan. Aku
sadar Tiffany tanggung jawabku, jadi…”

“Kamu memilih Tiffany,” di dalam hati Green


melanjutkan kata-kata yang tak sanggup diutarakan
cowok itu. Persaannya kembali sesak.

“Tanggung jawab?” Green bertanya pelan.

“Benar, Tiffany memang bukan pacarku, tapi apa


pun yang terjadi padanya, aku tidak bisa
mengabaikannya, karena… ”

“Sudah! Kamu jangan terbelit-belit! Tidak usah pake


ucapan-ucapan klise segala! Tidak usah merangkai
kata indah kayak pujangga buat sekadar ngomongin
ini!” akhirnya Green meledak juga.

“KALAU KAMU MAU CERITAIN KISAH


INDAH KAMU SAMA TIFFANY, APA PUN
TUJUAN KAMU, LANGSUNG SAJA! AKU

161
DENGERIN! BIAR KAMU PUAS! BIAR KAMU
Senang!” bentak Green seraya bangkit berdiri.

“Ren…?” kata Tama seraya meraih tangannya.

“SUDAH!!” Green merenggut tangannya dan berlari


menuju ombak.

Tama bangkit berdiri dan berlari menyusulnya.


“TAPI INI BUKAN TENTANG AKU DAN
TIFFANY, REN!” serunya.

“LALU SIAPA LAGI?” Green tidak mau kalah.

Lama mereka sama-sama terdiam, “Oke, aku akan


dengerin kamu,” kata Green tenang.

Mereka kembali ke tempat tadi dan duduk sesaat


dalam diam. Pelan langit mulai gelap.

“Ini tentang Tiffany, dan mamanya,” Tama mulai


bicara, “mama Tiffany sudah lama dirawat di panti
rehabilitasi,” lanjut Tama pelan, “seharusnya tidak
lama lagi mamanya sudah bisa pulang dan
berkumpul lagi bersama Tiffany. Tapi hari itu
Tiffany mendapat kabar kalau mamanya… mencoba
bunuh diri lagi.”

“Lagi?” ujar Green spontan.

162
“Ya, untuk kedua kali. Aku juga tidak tahu pasti
kenapa mamanya bisa bertindak seperti itu. Padahal
hanya dia milik Tiffany saat ini. Aku tahu derita
batin yang dialami Tiffany jauh lebih berat daripada
yang bisa aku bayangkan. Walaupun dia selalu
berusaha meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja,
aku tidak terlalu yakin. Aku sampai tidak habis pikir
kenapa cewek seperti Tiffany bisa tegar menghadapi
semua ini,” jelas Tama.

“Tiffany hanya memiliki mamanya?” tambahnya.

“Begitulah. Tapi Tiffany tidak cerita banyak tentang


itu. Yang aku tahu, Tiffany berasal dari keluarga
broken home. Waktu orangtuanya bercerai, Tiffany
dipaksa mamanya ikut dengannya, meskipun hal itu
sangat bertentangan dengan keinginannya sendiri.
Mereka pun pindah ke sini dan tinggal di
apartemen.”

“Sejak itu hidup Tiffany berantakan. Karier


mamanya hancur dan dia memperlakukan putrinya
dengan buruk. Tiffany menjadi tempat pelampiasan
kekecewaannya. Saat dilanda masalah, mamanya
selalu lari ke pesta-pesta, minum-minum, merokok.

163
Dan saat itu dia tidak ingat siapa dirinya lagi, apalagi
Tiffany, putri satu-satunya. Dan itulah yang dihadapi
Tiffany nyaris setiap hari.”

Green tidak tahu harus bilang apa.

“Dan selama itulah aku selalu berusaha menjadi


sahabat Tiffany. Aku berusaha selalu ada saat dia
membutuhkan teman, saat dia sendirian atau
ketakutan,” jelas Tama.

Sekelabat rasa cemburu kembali membakar hati


Green.

“Aku membantu sebisaku. Ketika Tiffany tahu


mamanya seperti itu, dia langsung lari ke aku.
Akhirnya, aku minta tolong orang tuaku untuk
nolongin mamanya Tiffany yang sempat nyaris
overdosis. Sejak itu mama Tiffany aman bersama
orang tuaku, terutama mama. Dan selama itu pula
Tiffany dititipin ke aku. Aku menjaga dan
mengawasi dia. Biar Tiffany tidak salah arah. Biar
dia tidak macam-macam. Karena aku sendiri sadar
Tiffany labil dan nekat,” jujur Tama.

Green terdiam lama sekali.

164
“Keadaan mama Tiffany bagaimana?” tanya Green.

“Baru melewati masa kritis, jadi kami bisa pulang


dari pusat rehabilitasi. Tapi dia masih belum sadar,
jadi masih harus dirawat,” jawab Tama.

“Terus kenapa kalian balik?” tanya Green heran.

“Besok ada ulangan. Jadi kami memutuskan untuk


pulang dulu,” jawab Tama.

“Terus Tiffany? Apa dia tidak apa-apa ditinggal…


sendiri?” tanya Green.

“Tidak masalah. Malah sebenarnya dialah yang


saranin ke saya untuk menemui kamu,” ungkap
Tama.

Tama langsung melanjutkan, “Dia mengatakan


sebelum aku sempat memintanya.”

Green tertegun.

“Kenapa?” tanya Tama melihat Green tertegun.

“Entahlah,” sahut Tama pasrah, “tapi yang jelas,


Tiffany tidak buta, tidak tuli, dan dia juga punya
perasaan. Dia sadar perbuatannya salah karena terlalu
memonopoliku, dan menghalangi cewek-cewek lain
yang ingin berteman denganku. Namun di sisi lain

165
dia juga sadar ada satu hal yang tidak bisa dia
halang-halangi . Dan itu adalah… perasaanku,” jelas
Tama.

Wajah Green memanas dan darahnya berdesir.

“Mungkin selama ini aku memang tidak peduli apa


yang diinginkan Tiffany. Aku juga tidak peduli sama
cewek-cewek yang batal mendekatiku lantaran takut
sama Tiffany. Semua itu tidak penting buatku,” kata
Tama.

“Namun semua itu tidak berlaku sejak aku


mengenalmu, Ren. Aku tidak mau kamu
diperlakukan dengan buruk oleh Tiffany karena kita
dekat. Aku melarang Tiffany melakukannya. Aku
tahu dia kecewa. Tapi aku juga tidak tahu harus
bagaimana, apalagi Tiffany tidak mau tahu, tetap
keras kepala, dan menutup mata terhadap apa yang
aku rasakan,” jujur Tama.

Tama menatap Green lurus-lurus sampai


cewek itu menunduk dan nyaris salah tingkah.

“Rasa itu tidak pernah singgah di hatiku sebelumnya.


Perasaan yang mungkin tidak selalu indah untuk

166
dirasakan apalagi kalau kamu jauh dari aku. Kamu
tidak tahu bagaimana resahnya aku waktu ninggalin
kamu kemarin. Tapi di sisi lain aku merasa
bertanggung jawab terhadap Tiffany. Aku jadi serba
salah,” jelas Tama sambil menatap Green sendu.

Green tidak bergeming.

“Ren...” Tama menyapa Green yang membatu.


“Green…?” tanyanya sekali lagi.

“Hmmm… yah, maaf” ujar Green buru-buru, malu


sendiri. Tama melihat kilatan aneh di mata Green
setiap kali memanggilnya dengan nama itu.

“Tiffany titip ini sebelum aku pergi. Katanya


buatmu. Aku tidak tahu apa isinya, tapi aku sudah
janji akan menyampaikannya ke kamu,” kata Tama
sambil menyodorkan secarik kertas.

Dengan bimbang Green membuka lipatan kertas itu.


Apa sih maunya Tiffany? batinnya.

Aku tahu, tidak semua yang kita inginkan


selalu dapat diraih. Dan aku tahu, tidak selalu orang
yang kita cintai bisa mencintai. Waktu terus bergulir

167
dan akhirnya aku sadar, dia telah menemukan
cintanya.

Mungkin inilah saatnya dia menyelami


hatinya sendiri, walaupun hatiku sakit. Entah
kenapa, melihat dia hampa tanpa cintanya, hatiku
lebih sakit lagi. Aku masih ingin melihatnya
tersenyum dan tertawa lepas, walaupun itu bukan
buatku, walaupun itu buat hatiku sakit.

Walaupun aku belum sepenuhnya yakin atas


keputusanku ini, namun kali ini aku membiarkan dia
menemui cintanya.

Tiffany

“Apa Tiffany ngomong kasar?” tanya Tama.

“Tidak kok,” jawab Green, “mungkin sedikit banyak


aku bisa mengerti perasaannya. Aku juga tidak bisa
berkomentar banyak. Sebenarnya yang dialami
Tiffany tidak jauh berbeda dengan yang aku alami.
Bedanya aku hanya sedikit lebih beruntung,
mungkin,” jelas Green

168
“Maksud kamu, Ren?”

Green tersenyum miris, “memang sih di keluargaku


tidak ada yang seperti itu sampai harus di bawa ke
rehabilitasi ataupun mencoba bunuh diri berulang
kali. Tapi bagian hidup aku cukup menyedihkan.
Namun yang paling penting sekarang aku masih
punya Mama yang sayang padaku,” ungkap Green
bangga.

Green memeluk kakinya dan menopangkan


dagunya di lutut. Kemudian dia menatap langit,
mengharapkan keberanian untuk bersuara,
keberanian untuk menyampaikan perasaan.

Tama kembali memandang Green dan berkata, “Ren,


apa pun penilaianmu terhadapku setelah ini, aku
mungkin tidak peduli. Karena aku cuma ingin kamu
tahu, kalau aku… kalau aku sayang padamu…” jujur
Tama mantap.

Degup jantung Green sangat kuat dan dekat.


Green tidak mengatakan apa-apa. Bahasa diamnya
sudah lebih dari cukup bagi Tama.

“Makasih ya,” ujar cowok itu lembut.

169


Tiffany baru saja menyelesaikan ulangan


yang membuatnya pusing setengah mati. Sekarang
dia pusing dan mual.

“Tama, aku ke kamar mandi dulu,” katanya buru-


buru dan langsung lari.

Huek… huek…

Tiffany muntah-muntah di wastafel. Dia


mengeringkan wajah dengan tisu.

Zrrt… zrrt…

Tiffany menekan tombol hijau di HPnya yang


bergetar.

“Ya. Saya sendiri. Apa?! Sekarang juga? Baiklah,”


kata Tiffany dengan wajah yang pucat.

170
Dengan panik Tiffany keluar kamar mandi
dan menuju kelas. Mamanya kembali kritis. Dia
tidak menemukan Tama. Tiffany menghubungi
ponsel cowok itu, tapi tidak berhasil. Dengan gusar
dia merenggut tasnya, lalu berjalan secepat mungkin
menuju ruang piket dan meminta surat izin.

“Fan! Kamu mau ke mana?” Haikal tahu-tahu


muncul di hadapannya, “kamu kenapa, Fan? Ada
apa?” tanya Haikal cemas.

“Bukan urusanmu! Minggir!” bentak Tiffany. Dia


kembali melangkah.

“Tidak!” Haikal menggenggam tangan Tiffany


sangat erat.

“Hei! Kamu kenapa sih?! Kamu nyakitin aku, tahu!


Lepaskan!” Tiffany meronta melawan.

“Apa sih maumu?” tantang Tiffany.

“Aku cuma ingin kamu berhenti bersikap seperti ini


padaku!” tukas Haikal, “aku ingin kamu bicara lagi
padaku, dan kita kayak dulu lagi. Aku ingin kita
kembali bersama. Aku mohon,” suara Haikal
melunak.

171
“In your dreams!” tukas Tiffany ketus, “aku tidak
butuh kamu atau siapa pun yang bersama kamu!
mengerti?” bentak Tiffany.

“Kamu dulu tidak seperti ini,” ungkap Haikal sendu.

“Makasih buat perhatianmu,” sahut Tiffany.

“Aku menyesal, Fan. Aku…” kata Haikal.

“Maaf aku buru-buru, dan aku tidak punya waktu


mendengarkan rentetan penyesalanmu.
Permisi!”jelas Tiffany sambil berlalu meninggalkan
Haikal.

“Aku sayang kamu. Dan aku yakin kamu juga masih


sayang padaku. Karena aku kenal bagaimana kamu,
Fan. Lebih daripada siapa pun,” lirih Haikal.



Green menopang dagunya dengan malas.


Perpustakaan sangat sepi. Dia mulai mengerjakan
soal fisika.

“Tidak ada toleransi lagi! Dengan sangat menyesal


saya tidak mengizinkan Anda mengikuti kelas saat

172
ini. Selesaikan semua soal halaman 111 dan tulis
kalimat perjanjian sebanyak 100 kali dan harus
disertai stempel perpustakaan!” kata Bu Hanna
sangat tegas, “silakan keluar karena saya akan
melanjutkan materi!” lanjutnya.

Tanpa sadar Green melamun dan nyaris


ketiduran di kelas Bu Hanna. Bosan mencoba
menyelesaikan soal yang begitu rumit, Green mulai
menulis kalimat perjanjian dengan hati-hati.

Belum separuh jalan Green sudah amat sangat bosan.

“Ren, aku mau cerita sama kamu,” sebuah suara


menyentakkan Green.

“Haikal? Ngapain kamu di sini? Tidak diusir Bu


Hanna juga, kan?” tanya Green. Wajah Haikal kusut
dan sangat tertekan.

“Kamu kenapa, Kal?” tanya Green.

“Tidak kok, aku cuma mau cerita sama kamu saja,”


jawab Haikal.

“Cerita? cerita apa?” tanya Green penasaran.

“Mmm… Tiffany,” lirih Haikal.

173
“Jadi kamu benar-benar ingin tahu lebih banyak
tentang Tiffany?” tanya Green.

Haikal mengangguk pelan.

“Memangnya penting buatmu?” tanya Green lagi.

“Iya, Tiffany penting banget buatku!” jawab


Haikal.“Kamu tidak tahu betapa berartinya dia
bagiku!”jujur Haikal.

“Iya, iya, aku ngerti kok,” ujar Green sabar.


Bayangan jail melintas di benaknya yang lagi ngadat.

“Tolong bantu aku, please…” kata Haikal lagi.

Green menimbang-nimbang sejenak, “tapi… dengan


dua syarat, bagaimana?”

“Syarat? Syarat apa?!” Haikal seakan kehabisan


kesabaran.

“Hmm… pertama, kamu harus berhasil bawa kabur


aku dari sekolah. Aku suntuk banget di sini,” Green
memandang Haikal sekilas.

“Terus yang kedua… kita tukaran informasi tentang


Tiffany, aku yakin kamu juga tahu beberapa hal
tentang dia. Nah, bagaimana?” usul Green.

174
“Kenapa harus begitu?” protes Haikal.

“Karena cuma itu yang bisa bikin aku mau cerita


sama kamu!” jawab Green sok jual mahal, “kalau
tidak mau yasudah, aku juga mau ngerjain ini nih.
Sibuk!” ujarnya Green.

“Ya sudah, aku setuju,” Haikal menyerah. Dia


sendiri bingung bagaimana caranya kabur dari
sekolah.

Green tersenyum simpul. Bisa jadi Tiffany masa lalu


Haikal.

“Siiip… deh!” bisik Green, “anak-anak biasanya


manjat pagar di belakang labor kimia buat kabur.
Termasuk aku,” lanjutnya.

Jantung Haikal berdegup kencang, dia ragu.


Bagaimana kalau tidak berjalan lancar? Akhirnya
Haikal memutuskan untuk meladeni ide gila Green.

“Yuk,” ajak Green penuh semangat.

Mereka menyelinap di balik dinding gedung


perpustakaan. Akhirnya mereka sampai juga di labor
kimia. Tembok kokoh yang memisahkan sekolah
dengan lingkungan luar itu bergerigi, hasil karya

175
siswa pelanggan bolos supaya mudah dipanjat dan
dilompati. Belum lagi pohon jambu yang tumbuh
subur mempermudah aksi minggat mereka ini.

“Sempurna…” desis Green.

“Ladies first?” tanya Haikal.

“Cowok duluan, masa aku manjat kamu nungguin di


bawah! Mau ngintip kamu?” repet Green sambil
merapatkan roknya.

Haikal jadi malu dan salah tingkah, “maaf, aku tidak


tahu.”

Haikal memanjat pohon jambu dengan hati-


hati, menjangkau bagian atas tembok, dan
menaikinya.

Haikal menoleh ke arah Green, “Hati-hati ya, aku


tunggu di seberang.”

Green mengangguk mantap, Haikal


menghilang di balik tembok. Dengan hati-hati Green
melangkahi semak. Dia nyaris mencapai pohon
ketika sesuatu merayap melewati sepatunya. Green
melihat ke bawah dan menemukan seekor ular kecil
yang lumayan panjang.

176
“WAAA!!! ULAR…!!! ULAAARRR…!!” teriaknya
histeris. Dia langsung menangis ketakutan.

“HEI, SIAPA DI SANA?” suara Pak Irwan, guru


kimia yang mungkin sedang berada di labor. Green
langsung panik.

“Ren! Cepat naik!” Haikal muncul dari balik tembok.

Tanpa babibu Green memanjat pohon jambu.


Dengan sigap Haikal menyambut tangan Green dan
menariknya ke tembok. Terdengar suara kaki Pak
Irwan.

“Siap-siap ya, kita lompat!” Haikal memberi aba-


aba.

“Aku takuuuut!” protes Green.

“Aku jamin tidak ada ular!” Haikal tidak kalah


panik.

Langkah Pak Irwan semakin dekat.

“Baiklah, kita lompat sekarang,” bisik Green panik.

Mereka melompat, sebelum mencapai tanah, Haikal


memeluk Green sehingga cewek itu tidak jatuh
menghantam tanah seperti dia.

177
“Haikal, kamu tidak kenap…” tanya Haikal terbata-
bata.

Haikal memeluk Green erat-erat.

“Aku khawatir banget sama kamu, Ren. Aku tidak


mau kamu kenapa-kenapa!” Haikal mempererat
pelukannya hingga Green nyaris tidak bisa bernapas,
“kamu tanggung jawab aku selama kita kabur,”
lanjut Haikal.

Green mendorong lembut tubuh Haikal.

“Aku tidak apa-apa kok, lagian semua ini kan ideku


seharusnya aku yang minta maaf sama kamu,” jelas
Green.

“Tapi kamu benar tidak apa-apa, kan? Tidak ada


yang luka, kan? Tidak sempat di gigit ular, kan?”
Haikal masih kelihatan cemas.

Green menggeleng lembut. Haikal menyentuh wajah


Green yang masih basah oleh air mata.

“Syukurlah kamu tidak apa-apa,” ungkap Haikal.

Dalam sekejap Green menyesap habis minuman


dingin yang mereka beli. Mereka duduk di bawah
pohon mahoni tua di sudut lapangan basket.

178
“Capek juga ya,” katanya.

“Hmmm…” gumam Haikal, “jadi?”

“Jadi apa?” tanya Green.

“Ren, kamu tidak lupa kan, kita jauh-jauh berjuang


sampai ke sini buat apa?”

“Oh iya,” Green menepuk kening seenaknya, “aku


nyaris lupa.”

“Aku ingin kamu ceritakan semua yang kamu


ketahui tentang Tiffany,” kata Haikal, “sekarang
juga.”

Green mulai bercerita sambil menerawang.

“Kenapa Tiffany berkeras menghadapi semua itu


sendirian? Padahal aku selalu siap membantunya,”
ujar Haikal lirih, “aku selalu ingin tahu keadaannya,
apa saja yang di rasakannya, tapi dia tidak pernah
berikan aku kesempatan. Aku tidak tahu apa salahku,
keadaanlah yang bikin aku jadi serba salah!”

“Kamu pasti sayang sekali ya, sama Tiffany. Ya


kan?” tanya Green, “kamu tidak perlu cerita kok
tentang dia. Aku rasa sudah cukup yang aku ketahui
tentang dia.”

179
Haikal diam sejenak, “Benar, aku memang sayang
sama Tiffany, tapi kalau boleh jujur… aku juga
sayang sama kamu.”

“Kamu bilang apa?!” tanya Green kaget.

Dia menatap tidak percaya cowok yang duduk


disampingnya itu.

“Aku sayang Tiffany, dan aku juga sayang sama


kamu,” ulangnya, “aku tidak tahu sejak kapan
perasaan itu muncul. Yang jelas, makin hari rasa itu
makin kuat di hatiku,” ujar Haikal lirih.

“Tapi…” suara Green tercekat.

“Kamu jangan konyol, Kal!” kata Green seraya


berdiri, lalu pergi dari situ.



180
Sebelas

S
ejak Haikal izin keluar kelas hanya beberapa
menit setelah Green diusir Bu Hanna, Tiara
tidak dapat berkonsentrasi. Mereka pasti ada
apa-apa.

Bel istirahat berbunyi, tanpa pikir panjang Tiara


berbelok menuju perpustakaan, tempat yang tanpa
sengaja telah menyimpan banyak cerita tentang
dirinya dan sahabatnya.

Sesampai di depan perpustakaan, Tiara melangkah


sangat pelan, matanya mengawasi siapa saja yang
ada di dalam, melangkah menuju rak tempat dia bisa
bersembunyi dan mengamati. Mereka ternyata tidak
ada di sana. Mungkin dia akan memaafkan Green.

181
Sampai akhirnya Tiara mendengar kabar itu. Dua
siswa nyaris kedapatan sedang kabur dari sekolah,
namun tidak berhasil tertangkap karena guru yang
memergoki kalah cepat. Tiara menghela napas
dengan susah payah saat menyadari dua bangku di
belakangnya tetap kosong sampai pelajaran berakhir.

Dugaannya benar, Green ternyata memang


memendam perasaan terhadap Haikal, tetapi berpura-
pura cuek. Ternyata nama Tama hanya dipakai
sebagai benteng untuk menutupi perasaannya yang
sebenarnya. Tiara tersenyum sinis. Cerita-cerita
Green tentang dirinya dengan Tama bisa saja isapan
jempol belaka.

Dering ponsel membuat Tiara terkejut. Green. Tanpa


pikir panjang dia menekan tombol Reject dan merasa
sedikit puas. Tak lama kemudian Green
mengiriminya SMS. Tiara memutuskan untuk
mematikan ponselnya. Hatinya masih terluka.

“Tega kamu Green,” bisiknya.



182
“Kamu jangan konyol, Kal!”

Kata-kata itu terus terngiang di benak Haikal.


Haikal yakin cewek itu sebenarnya menyimpan
perasaan terhadapnya. Haikal tersenyum tipis
mengingat tingkah cewek itu, yang sering
mengawasinya dari balik rak tersembunyi ditemani
sahabatnya, Tiara.

“Kamu benar-benar aneh. Kenapa juga kamu


mengharapkan Tiffany sampai kayak gini? Mending
kamu nanggepin seseorang yang justru peduli sama
kamu!” ucapan Green yang lain berkelabat di benak
Haikal. Ketika itulah dia merasa cintanya bersambut,
perasaan yang dirasakannya seiring waktu yang
dihabiskannya bersama Green sebagai teman
sebangku.

“Memangnya ada yang peduli sama aku?” tanya


Haikal. Dia ingin tahu apakah Green bersungguh-
sungguh dengan ucapannya.

“Kal… buka dong mata dan hati kamu itu. Cewek di


dunia ini bukan cuma Tiffany,” ujar Green.

183
Benar-benar ucapan yang sangat gamblang
dan tidak ambigu. Sejak itu Haikal membiarkan rasa
itu semakin tumbuh memenuhi hatinya, dan dia
bahagia karenanya.

“Kamu jangan konyol, Kal!”

Kata-kata itu lagi.

“Aku akan buktikan aku tidak konyol seperti yang


kamu kira Ren,” bisik Haikal pada langit-langit
kamarnya.



Green duduk gelisah di tempat tidur. Dia


memikirkan Haikal dengan keanehannya, Tiara
dengan dirinya, Tiffany dengan mamanya, Tama
dengan dirinya.

Green meraih ponselnya, mencoba menghubungi


Tiara namun gagal. Akhirnya Green mengirim SMS.

“Angkat dong, Ra. Aku mau bicara. Please…,” batin


Green.

184
Green makin gelisah. Bagaimana dia harus
bersikap besok? Apa yang akan dikatakannya kepada
Haikal? Seharusnya Haikal tidak menyimpan
perasaan seperti itu terhadap Green atau siapa pun,
jika di hatinya masih ada cewek lain.

“Benar, aku memang sayang Tiffany, tapi kalau


boleh jujur… aku juga sayang sama kamu.”

Kata-kata Haikal bagaikan petir menyambar.


Mungkin dia sedang labil, pikir Green. Ah,
sebaiknya Green berpura-pura kejadian tadi sore
tidak pernah terjadi.

Green teringat pada Tiara. Tiara tidak boleh


tahu hal ini. Dia belum memaafkan Green. Hanya
kerena masalah sepele, hanya karena Green
memutuskan telepon Tiara waktu itu.



“Kami tidak pacaran, Pak!” bantah Green.

Pagi itu Green dan Haikal dipanggil menghadap


Kepala Sekolah karena kasus kabur kemarin.

185
“Jangan membantah dan memotong pembicaraan!”
Pak Herman tampak murka.

Haikal tertunduk penuh rasa bersalah. Tapi


Green tidak.

“Hukuman kalian akan semakin berat jika masih


bersikap kurang ajar. Terutama kamu!” Pak Herman
menatap Green tajam.

Green terdiam kesal. Kesal rasanya melihat


cowok bersikap tidak berdaya kayak begitu.

“Nah, akhirnya kalian sadar,kan, seberapa serius


kesalahan kalian?” ujar Pak Herman.

Tok! Tok!

Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Pak


Herman, “Ada apa, Bud?”

“Maaf, Pak. Pohon jambu di belakang labor kimia itu


jadi ditebang, Pak?” Tanya Pak Bud, tukang kebun
sekolah. “Pak Irwan bilang, sebaiknya minta
persetujuan langsung dari Bapak,” lanjutnya.

Raut wajah Pak Herman langsung muram, “Tebang


saja, biar tidak ada lagi siswa yang bisa kabur dengan
mudah dari sekolah ini,” kata Pak Herman, “tapi

186
sampaikan kepada Pak Irwan agar pohon itu
didokumentasikan dulu sebelum ditebang, jelas?”

“Baik, Pak. Permisi,” Pak Bud menutup pintu.

Haikal dan Green memandang Pak Herman dengan


raut wajah heran.

“Apa?” tanya Pak Herman, “pohon jambu itu saya


tanam sendiri sewaktu bersekolah di sini. Pohon itu
hasil cangkongan terbaik di kelas saya dalam tugas
akhir biologi, dan saya mendapat nilai tertinggi saat
itu,” tanpa sadar Pak Herman bernostalgia sendiri.

Green nyaris meledak tertawa mendengarnya.


Pasti Pak Herman sedih sekali dengan nasib pohon
jambunya yang tragis itu.

“Seharusnya saya tidak menanamnya di situ,” kata


Pak Herman lagi.

“Maafkan kami soal pohon itu, Pak,” sindir Green.


Haikal langsung saja menyikutnya keras.

“Aw, sakit tau!” tukas Green.

“Hei, apa yang kalian lakukan, heh?! Masih mencoba


bermesraan ya!” Pak Herman langsung marah-
marah.

187
“Ini,” Pak Herman menyodorkan dua amplop
cokelat. “Tolong sampaikan kepada orangtua kalian.
Kalian diskors tiga hari, mulai hari ini!”

Tanpa banyak bicara kedua siswa itu


mengambil amplop masing-masing dan melangkah
keluar. Green langsung terpingkal-pingkal mengingat
nasib pohon jambu Pak Herman.

“Hei, kamu bisa diam tidak sih?! Nanti kalau Pak


Herman tahu kamu ngetawain dia, bisa habis deh
kita!” kata Haykal.

“Memangnya kenapa?” tukas Green.

“Apa kamu tidak takut anak-anak yang jagoan bolos


jadi dendam sama kita karena pohonnya ditebang?”
tanya Haykal.

“Kenapa mesti marah sama kita? Marah saja sama


Pak Bud yang mengeksusi si pohon. Hihihi…” Green
masih terkikik. Haikal tersenyum melihat tingkah
cewek itu.

“Apa nanti kata mama aku kalau tahu anaknya yang


manis ini ternyata bandel, ya? Hhh… menyedihkan!”
Green menggaruk hidungnya.

188
“Kamu bagaimana, Kal? bagaimana caranya beritahu
mama sama papa kamu?” Green mencerocos.

Haikal tidak menjawab. Cowok itu sedang


merenung.

“Tidak usah diambil pusing deh, nanti biar aku yang


ngaku ke orang tua kamu kalau aku biang
keroyoknya! Kamu tenang saja,” ujar Green, “aku
juga tidak menyangka urusannya jadi serius begini.
Kena skors, lagi!” lanjutnya.

“Kamu tidak perlu khawatirin aku. Kalau masalah


mama, dia sudah tidak peduli lagi hal-hal begini, tapi
kalau papa…” Haikal menarik napas, “dia pasti akan
mengerti. Kita memang kena skors, tapi ini justru
bagus!” komentarnya mantap.

“Maksud kamu, Kal? Kamu tidak bercanda, kan?!”


tanya Green serius.

“Aku tidak pernah bercanda, Ren,” sahut Haikal,


“kamu mau bantu aku sekali lagi?”

“Whatever you say,” sahut Green.

“Oh ya. Ngg… soal kemarin. Maaf ya,” ujar Haikal.

“Lupain saja!” kata Green.

189
Mereka sampai di kolam belakang sekolah
dan duduk di tempat yang terlindung dari cahaya
matahari.

“Aku bisa bantu apa?” tanya Green.

“Kamu pikir kamu sudah tahu semua tentang


Tiffany?” tanya Haikal.

“Ya ampun, Tiffany lagi?! Apa sudah tidak ada hal


lain selain Tiffany di benak cowok ini?” Green
memutar bola matanya bosan.

“Tidak juga. Tapi aku rasa apa yang aku tahu tentang
Tiffany sudah cukup kok!” jawab Green.

Haikal tersenyum simpul, “Tapi masih ada satu hal


yang belum kamu ketahui,” katanya.

“Memangnya penting buatku?” celetuk Green.

“Mungkin tidak terlalu. Tapi sangat penting buatku.


Tiffany…” Haikal mengendalikan suaranya, “dia…
kakakku.”

HAAHH…!!!

“Apa?!” kaget Green.

190
“Tiffany kakaku,” ulang Haikal, “kami bersaudara,”
jelas Haikal.

“Tapi… tidak kelihatan seperti itu tuh,” ujar Green.

“Tiffany jelas menutupinya. Sejak awal aku masuk


sekolah ini, dia sudah mengingatkanku untuk tidak
pernah cerita sama dia, apalagi dekatin dia. Dia
benar-benar memutuskan hubungan,” ujar Haikal.

“Terus, kamu diam begitu saja?” tanya Green sekali


lagi.

Haikal menggeleng, “Aku selalu berusaha cerita


sama dia, kakak aku sendiri. Tapi dia selalu
menghindar, bahkan mengancam akan pindah
sekolah kalau aku masih mengganggu dia,” jelas
Haikal.

Bisa-bisanya Tiffany bersikap seperti itu…

“Dulu Tiffany tidak begini, dia kakak paling baik


dan paling mengerti aku. Dia berubah sejak Mama
dan Papa bercerai. Aku sendiri tidak menyangka
jalan hidupku bakal seperti ini. Dulu akuu bahagia
banget. Tapi semua itu memudar sejak Mama jadi
perancang ternama dan bergaul dengan model dan

191
kalangan selebriti. Gaya hidupnya berubah total, dan
kami pun merasa asing dengan Mama yang sibuk
dengan kariernya, Mama yang cara hidupnya sangat
berbeda, shopping ke luar negeri, pesta-pesta, minum
alkohol, merokok. Dia bukan Mama yang kami
kenal,” Haikal memukul tanah dengan gusar, “sejak
itu pertengkaran mewarnai rumah kami, teriakan-
teriakan, umpatan, tangisan, pecahan kaca, semua
bercampur jadi nada sumbang yang harus aku dengar
setiap hari. Tiffany beberapa kali kabur dari rumah.
Sedangkan aku lebih memilih mengurung diri di
kamar,” ungkap Haikal, “sampai akhirnya kata-kata
cerai mengakhiri semua perseturuan di bawah atap
rumah kami. Aku sendiri tidak kaget dengan
keputusan itu, begitu pula Tiffany. Namun sedikit
keributan kembali terjadi saat Mama memaksa
Tiffany ikut dengannya. Aku tidak tahu lagi
bagaimana ceritanya sampai akhirnya Tiffany
mengalah dan ikut Mama. Aku sendiri hanya bisa
mengurung diri saat semua keributan itu terjadi.
Bahkan aku tidak keluar saat mereka akhirnya pergi
dari rumah. Aku memang pengecut! Ketika semua

192
berakhir, aku tidak berani menatap kehancuran itu,
duniaku seakan runtuh dan tidak pernah kembali
utuh lagi,” lanjutnya.

“Apakah sejak itu Tiffany memusuhimu?” tanya


Green iba.

“Bisa jadi,” jawab Haikal, “aku tahu dia marah


karena Aku membiarkan dia pergi sama Mama tanpa
sedikit pun membelanya. Aku benar-benar menyesal.
Mungkin pikirannya hidupku tenang dan bahagia
bersama Papa yang sangat menyayangi kami. Tapi
dia salah. Hidupku memang tidak ada masalah. Papa
selalu memberikan yang terbaik buatku. Tapi
menikmati semua itu sendiri, tidak membuatku
bahagia sama sekali. Aku selalu memikirkan nasib
Tiffany. Dan aku tidak menyangka yang dialami
Tiffany jauh lebih buruk daripada dugaanku.”

“Terus gimana dengan papa kamu?” tanyanya lagi.

“Kami sama saja. Kami berusaha membiasakan diri


dengan rasa sepi, berusaha menepis rasa kehilangan.
Bersikap seakan tidak pernah ada masalah, padahal
hati kami hampa. Papa pura-pura tidak peduli,
padahal dia selalu mencari keberadaan Tiffany,

193
sampai akhirnya dia mengetahui di mana Tiffany
bersekolah dan aku dipindahin ke sini, ke sekolah ini.
Tapi memang tidak banyak yang bisa aku lakukan,
apalagi Tiffany selalu memusuhiku. Jadi Papa hanya
meminta aku ngawasin dia, selagi keadaan Tiffany
baik-baik saja, berarti begitu juga keadaan Mama,”
Haikal menarik napas panjang, “sampai akhirnya aku
lihat Tiffany menangis kemarin, dan dia kelihatan
sangat panik. Bahkan pada saat terdesak itu pun
Tiffany masih menolak cerita sama aku. Aku tidak
tahu harus berbuat apa. Makanya aku mencarimu,”
jelas Haikal.

“Jadi apa rencanamu sekarang?” tanya Green.

“Aku mau, kamu bawa aku ke tempat Mama dan


Tiffany,” ujar Haikal, “semalam aku sudah cerita
semuanya ke Papa, dan Papa meminta padaku
mengatur semua ini. Jadi, hari ini juga aku harap
kamu tidak keberatan kita ke sana.”



194
Suasana hening menyelimuti atmosfer di
mobil Haikal. Papa Haikal, Dean, sesekali dia
memainkan jarinya pada roda kemudi. Haikal sendiri
sibuk pada ponselnya. Sementara itu, di jok
belakang, Tama dan Green juga duduk diam. Ketika
tahu-tahu Green memaksa Tama ke Surakarta tanpa
memberi penjelasan sedikit pun, cowok itu bingung,
apalagi setelah mendengar cerita Haikal.

“Tiffany tidak pernah cerita dia punya adik. Dia


selalu bercerita seakan-akan dia anak tunggal,” kata
Tama, “aku sendiri juga tidak berani bertanya lebih
jauh tentang keluarganya. Aku cuma mendengarkan
apa yang mau dia ceritakan padaku. Itu saja,” lanjut
Tama lagi.

“Dari cerita Haikal, Tiffany memang tidak mau


orang-orang tahu mereka bersaudara,” tambah Green.

“Aku yakin sekarang Tiffany ada di tempat


mamanya. Kemarin waktu aku kembali dari kantin,
Tiffany sudah tidak ada. Aku mencoba menghubungi
kembali pakai nomor si Aji, tapi nomornya tidak
aktif. Aku yakin dia sudah mencoba menghubungi
nomorku. Tapi ponselku lagi mati,” kata Tama.

195
“Yah, siapa yang bakal menduga ceritanya bisa
begini. Semua serba tidak terduga. Yang jelas kamu
bersedia kan, mengantar Haikal dan papanya ke
sana? Aku kan tidak tahu tempatnya,” cerocos Green.

“Ya pastilah, tidak mungkin aku tolak, kan? Tapi


kamu ikut juga kan, Ren?” tanya Tama.

“Ihh… iyalah… Kamu kan belum kenal Haikal,”


tukas Green.

Kini Green memandang ke luar jendela mobil. Mata


Green mulai terasa berat, dia sangat lelah.

“Aku tidur, ya?” Green setengah berbisik kepada


Tama.

“Tidur saja,” Tama balas berbisik.

Green pun bersandar di bahu Tama dan


memejamkan mata. Namun pada saat yang sama
Haikal melirik lewat kaca spion di depannya. Mereka
terlihat sangat dekat dan saling berbagi. Kenapa
selama ini dia tidak pernah menyadarinya?

Haikal memperhatikan bagaimana Green


berbicara dan menatap Tama. Tatapannya sangat
berbeda dengan yang selama ini dilihat Haikal. Kini

196
Haikal mengerti, Green tidak pernah sedikit pun
menaruh hati kepadanya.

Haikal mengalihkan pandang. Cemburu. Dia


tahu dirinya cemburu. Dia kembali menatap wajah
Green yang terlelap. Sangat alami dan manis.

Green bukan untuknya. Tapi bagaimana


dengan Tiffany? Bukankah dia sangat dekat dengan
Tama? Bukan. Yang harus dipikirkannya saat ini
adalah dirinya, Tiffany, Mama, dan Papa. Biarkanlah
cinta itu.

“Mama haus, Fan…” suara serak seorang wanita


paruh baya menyentak Tiffany dari lamunannya.

“Mama sudah bangun?” tanya Tiffany, dia


menghapus air matanya, “sudah enakan?” tanyanya.

“Entahlah,” jawab Fio. Tubuhnya terasa letih dan


tidak berdaya.

“Baju Mama sudah beres, Fan?” untuk kesekian kali


Fio mengusik lamunan Tiffany.

“Belum, mama belum bisa pulang hari ini,” jawab


Tiffany. “Lihat keadaan dulu ya, Ma,”bujuk Tiffany.

197
“Tapi… Mama sudah bosan di sini, Fan,” celetuk
Fio.

Tiffany diam saja. Perkataan mamanya


barusan terdengar sangat egois. Bicara soal bosan,
sudah lama dia merasa bosan dengan kehidupan
abnormal yang dijalaninya bersama mamanya. Ingin
rasanya Tiffany meneriakkan perasaannya.

“Aku keluar dulu,” katanya sambil berdiri dan


menuju pintu.

“Fan,” panggil mamanya, “jangan tinggalin


Mama…”

Tiffany tidak menggubris permohonan


mamanya. Dia terus berjalan keluar. Kali ini
keegoisan adalah miliknya. Fio hanya terdiam
menyaksikan kepergian putrinya. Terkadang Saza
mendengar isak tertahan putrinya. Dia tidak bisa
menyalahkan sikap putrinya. Semua yang terjadi
adalah kesalahannya, dan dia menyesal. Sebagai
seorang ibu, dia telah gagal. Fio sering bermimpi
kalau saja dia bisa mengembalikan waktu dan
mengembalikkan kebahagiaan yang dulu.

198
Tiffany berjalan tertunduk, “Ah, kenapa semua jadi
begini… begitu menyakitkan bagiku,” tiba-tiba
bayangan Tama berkelabat di benaknya, dan dia
semakin merana.

Dia duduk di bangku taman yang kosong.


Ditatapnya langit yang mendung. Dia tidak ingin
hidup seperti ini lagi. Dia yakin sanggup bertahan
tanpa siapa pun. Dia akan pergi begitu mamanya
diperbolehkan pulang. Dia akan mencari jalannya
sendiri, dia akan pergi jauh dan menghilang dari
semua yang pernah dikenalnya.

“Ma, Fany tidak ingin ketemu Mama lagi. Semoga


Mama cepat sembuh, Fany ingin pergi secepatnya.
Semoga di suatu saat, kita akan bertemu lagi di saat
dan tempat yang berbeda. Dan semoga kita sama-
sama beruntung,” ujar Tiffany lirih.

“Ren…” terdengar bisikan lembut Tama di telinga


Green.

“Ngg?” Green membuka matanya yang berat.

199
“Mmmm…” Green menegakkan tubuh. Green
memandang keluar jendela dan melihat Haikal sudah
berdiri di luar bersama papanya, “cepat sekali…”

“Dasar tukang tidur!” Tama mengacak-acak rambut


Green, “turun yuk!” ajak Tama .

Green turun dan memandang bangunan di


depannya. Dimana-mana rumah sakit sama saja.
Sama-sama menakutkan dan menyedihkan.

“Aku tidak mau masuk ke sana, aku di luar saja.


Tidak apa-apa,” kata Green.

“Lho, kenapa?” sahut Tama heran, “yuk!” ditariknya


lengan Green.

Green bertahan ditempatnya berdiri. Tama


menoleh dan memandang gadis itu yang tiba-tiba
terlihat pucat dan tegang. Tangan Green dingin dan
kaku.

“Ren?!” Tama memanggil Green. “Ren?!” lanjutnya.

Green langsung bersandar pada roda mobil, “jangan


paksa aku. Please…” katanya lemah.

“Tapi… kenapa?” tanya Tama.

Green hanya menggeleng.

200
“Kalo gitu aku masuk dulu yah, kasian mereka
nungguin aku,” kata Tama.

Akhirnya dia meninggalkan Green.


Disusulnya Haikal dan papanya yang sedang
menunggu di mobil. Tama menjelaskan dimana Fio
dirawat dan meminta maaf karena tidak bisa
menemani.

Tama kembali menemui Green dan kondisi


cewek itu masih seperti tadi.

“Ren, kamu kenapa tiba-tiba seperti ini?” tanya


Tama panik.

Green menggeleng lemah. Akhirnya Tama


menopang tubuh Green ke dalam mobil.

“Ren, kamu kenapa?” Tama tidak bisa berhenti


cemas.

“Ren.” Tama merangkul cewek itu dan memeluknya


erat. “Kamu kenapa, Ren…” tanya Tama sekali lagi.

“Di tempat seperti ini, aku menyaksikan dia pergi.


Untuk selamanya. Meninggalkan rasa sakit yang
teramat dalam,” Green menahan tangis.

201
Tama tidak mengatakan apa-apa,
dibiarkannya Green mencurahkan perasaannya.

“Saudaraku sudah pergi. Ke tempat yang


membuatnya tidak bisa kembali lagi. Dulu aku
sangat sayang sama dia. Sekarang aku membencinya.
Tapi di saat yang sama kadang aku juga sangat
merindukannya. Aku ingin memarahi dia, tapi aku
tahu dia tidak bisa mendengarkanku lagi, dan tidak
akan ada yang berubah,” jelas Green.

“Sudah, sudah,” Tama menenangkan.

Dibelainya kepala Green dengan lembut,


“Sekarang aku ada di sini. Aku akan buat kamu
nyaman bersamaku,” kata Tama dengan wajah
serius.

Green memejamkan matanya yang basah, “Faren,


kenapa kamu buat aku seperti ini?” bisik Green
dalam hati. “Perih. Sampai hati banget kamu
padaku… “keluhnya.



202
Dean membuka pintu pelan sekali, mendorongnya
hati-hati dengan jantung berdebar. Dia melihat Fio
terbaring di tempat tidur, menghadap jendela yang
terbuka.

“Fio…” Dean mencoba bersuara dan mendekat.

Fio tersentak tak percaya. Dia membalikkan


tubuh dan menatap dua sosok yang telah lama
ditinggalkannya. Dia tak mampu berkata-kata, dia
membekap mulutnya dengan tangan, air matanya
membanjir penuh kerinduan. Tidak ada amarah, tidak
ada lagi kebencian. Darahnya berdesir cepat dan
menghangatkan tubuhnya. Fio hanya saggup terisak
penuh haru saat Dean memeluk dan menciumnya.

“Maaf,” Fio masih berusaha berbicara di antara


isakannya.

“Sudahlah…” Dean membelai Saza.

“Mama!!” Haikal mendekat dan memeluk mamanya.

Akhirnya mereka berkumpul lagi. Semua


akan kembali seperti dulu, berkumpul bersama di
bawah satu atap, kembali bahagia seperti dulu.

203
Tak lama setelah itu pintu kembali terbuka.
Tiffany masuk dan membeku melihat kebersamaan
itu. Semua yang ada di ruangan menoleh ke arahnya
sambil tersenyum. Keluarganya lengkap. Tiffany
bimbang, matanya memanas dan air matanya
merebak. Lalu dia mendekat dan memeluk
keluarganya.



204
Duabelas

H
ari sabtu ini hari terakhir skorsing Green.
Kemarin Green dan mamanya sudah
memenuhi panggilan Kepala Sekolah
untuk menindaklanjuti kenakalan Green. Di sana,
Green dinasihati habis-habisan. Ditambah lagi bonus
omelan panjang mamanya setiba mereka di rumah.

Green menarik selimut menutupi kepala.


Sudah pukul delapan, namun dia masih enggan
beranjak sampai mamanya memasuki kamar dan
menyibak gorden serta membuka jendelanya lebar-
lebar.

205
“Bangun, sayang!” seru Wulan sambil menarik
selimut Green, “Mama mau pergi, kamu mau ikut?”
ajaknya lagi.

Green menggeleng tanpa membuka mata, lalu


kembali menarik selimut.

Wulan hanya menghela napas, “Tidak mau ke Cake


Resort?”

Green menggeleng. Wulan mengangkat bahu


lalu meninggalkan kamar putrinya. Begitu pintu
kamarnya tertutup, Green langsung duduk tegak
sambil memandang daun pintu. Tiba-tiba ia
menyesali sikapnya barusan. Sejak kemarin Green
memang ngambek setelah kenyang diomeli
mamanya. Tapi ya, setelah di pikir-pikir dia memang
pantas diomeli.

Green turun dari tempat tidur, mengambil


handuk, lalu menuju kamar mandi. Setelah itu ia
menghabiskan sarapan sambil nonton TV di sofa.
Tak terasa hari sudah beranjak siang. Green

206
memutuskan untuk pergi ke Cake Resort dan
bersikap lebih baik terhadap mamanya.

Begitu membuka pintu untuk keluar rumah,


langkahnya terhenti karena terkejut melihat siapa
yang berada di balik pintunya.

“Tiara?” seru Green heran, “sudah lama?” tanyanya


lagi.

“Umm, belum,” jawab Tiara enggan. Ia belum berani


menatap mata Green, “aku mau minta maaf,” lirih
Tiara.

“Maaf?” ulang Green heran, “masuk dulu yuk. Masa


ngomong di depan pintu,” lanjut Green sambil
beranjak ke dalam. Tiara mengikuti tanpa
mengatakan apa-apa.

“Aku yang salah kok,” ujar Green memecah


keheningan. “Aku sendiri pasti juga bakal kesal
kalau lagi ngomong terus teleponku diputus begitu
saja.”

Tiara mengangkat kepala dan memandang Green


dengan tatapan iba, “Bukan. Bukan itu masalahnya.”

“Lantas?” tanya Green keheranan.

207
“Aku pikir… antara kamu dan Haikal ada sesuatu
yang lebih dari sekadar teman,” jujur Tiara.

Deg...

Tubuh Green menegang sesaat. Yah, menurut


siapa pun, kabur berdua di jam sekolah pasti berarti
sesuatu. Apa lagi bagi Tiara.

“Ternyata aku salah,” lanjut Tiara, “kemarin aku ke


rumah Haikal. Tahu-tahu yang buka pintu Tiffany.
Aku kaget. Di sanalah aku akhirnya tahu cerita yang
sebenarnya dari Haikal. Aku mendadak merasa
bersalah sekali sama kamu,” jelas Tiara.

Green menghembuskan napas lega. Jangan


sampai Tiara tahu Haikal sempat menyatakan
perasaan terhadapnya.

“Tapi aku tetap harus minta maaf,” ujar Green.

Sesaat suasana terasa canggung. Memang


rasanya aneh juga setelah lama tidak saling menyapa,
tahu-tahu mereka berada di sini untuk berterus
terang.

208
“Keluar yuk!” ajak Green memecah keheningan
untuk kedua kali, “aku mau potong rambut, terus
mau ke Cake Resort,” ujar Green.

“Kamu suka Cake Resort juga? Yang baru buka itu,


kan? Sama! Mamaku pelanggan di sana lho!” ujar
Tiara.

Mendengar itu Green tersenyum geli sambil


menahan tawa, “Iya, nanti aku kenalin deh sama
yang punya,” ujar Green.



“Kamu… cantik!” itulah kata pertama yang


dilontarkan Tama begitu melihat Green dengan
penampilan barunya. Tama nyaris terpana lama
dibuatnya. Sedikit sentuhan kecil telah membuat
Green terlihat sangat berbeda.

“Ada apa gerangan sampai kamu melakukan ini?”


tanya Tama keheranan dengan tampilan baru Green.

“Cuma ingin ganti suasana terus bikin aku merasa


baru saja. Lebih ringan dan bebas,” jawab Green.

209
Tama menatap Green yang semakin lama
semakin tampak manis di matanya. Ekspresi
wajahnya, senyum yang membuatnya bersemangat,
sorot mata yang menenteramkan jiwanya. Bagaimana
jadinya jika dia kehilangan cewek ini? Dia bahkan
tidak sanggup membayangkannya.

“Hei, jangan liatin aku terus gitu ah!” pipi Green


merona kerena malu, “habiskan makannya…”
lanjutnya.

“Green cantik banget,” bisik Tama, belum juga


melepaskan tatapannya.

Green menoleh ke arah Tama dengan tatapan


aneh selama beberapa saat. Tatapan yang mungkin
berarti sesuatu.



210
211
Tigabelas

“Yanda, tunggu!” Revan mengejar Yanda yang


sudah siap meluncur dengan mobilnya.

Sejak Green menceritakan kejadian antara


Revan dan Faren, Yanda langsung tidak simpati lagi
kepada Revan dan mulai menjauhi cowok itu. Terang
saja Revan semakin bingung dan tidak tahu harus
berbuat apa.

Revan membuka pintu mobil dan duduk di sebelah


jok pengemudi.

“Kamu mau apa sih?” tanya Yanda dingin.

“Seharusnya aku yang nanya, kamu kenapa?!” tukas


Revan frustrasi.

212
“Kamu nanya aku kenapa?” Yanda masih sinis.
“Kamu memang tidak punya hati, ya! Gara-gara
kamu, Green pindah dari sekolah ini. Kamu sudah
bikin sahabat terbaikku pergi!” kesal Yanda.

“Aku tidak suka kamu asal nuduh begitu!” Revan


mulai emosi, “kamu kayak begini karena kamu suka
sama Green, kan? Kamu sedih sejak dia pindah dan
sekarang kamu nuduh aku sebagai penyebab semua
ini. Kamu benar-benar picik! Pengecut!”

“Kurang ajar! Aku tidak sebodoh itu bersikap seperti


ini! Aku memang suka sama dia, dan waktu aku tahu
dia suka sama kamu, aku cukup tahu diri. Aku rela
kamu jadi cowoknya Green, tapi aku tidak terima
kamu menyia-nyiakan dia dan nyakitin dia seperti
ini!” kesal Yanda.

“Eh, jangan asal menuduh kamu! Aku tidak mengerti


kamu ngomong apaan!” tukas Revan sambil meninju
dasbor.

“Kamu mau berantem?!” hardik Yanda tersinggung.

Yanda turun dari mobil. Revan langsung mengikuti


dan mereka pun berdiri berhadap-hadapan.

213
“Maaf, Ren… Aku melanggar janjiku, tapi aku sudah
tidak tahan ingin menghajar si brengsek ini. Aku
lakukan ini buat kamu,” kata Yanda dalam hati,
“Akan aku balaskan sakit hati kamu walaupun tidak
seberapa, walaupun tidak sebanding dengan yang
kamu rasakan selama ini.”

BUUUK!!!

Yanda menghantam perut Revan dengan tinjunya.

“ARRRGGGHHH!” Revan terjatuh dan mengerang


kesakitan. Belum sempat menenangkan diri, pukulan
demi pukulan kembali mendarat di wajahnya tanpa
dia mampu membalas.

“KAMU KENAPA?” teriak Revan histeris penuh


amarah.

“KENAPA?! KENAPA??” Yanda mencengkeram


kerah seragam Revan. “INI JAWABANNYA!”

BUKKK!!!

Yanda menghantam dada Revan dengan


tendangannya, lalu berbalik menuju mobil dan
membiarkan Revan tergelatak begitu saja.

214
“Arrggh!” Revan mengerang. Dadanya sesak. Dia
nyaris tidak bisa bernapas. Pandangannya mulai
gelap, “kenapa…” dia mengerang dengan suara
lemah.

Sekelebat Revan melihat Yanda berlari


menghampirinya, “Van!Revan! Revannn!” teriak
Yanda terasa sangat jauh dan akhirnya hilang sama
sekali. Revan tak sadarkan diri.



“Arrrgggh…!” erang Green.

“Ren, kamu kenapa? Tidak apa-apa, kan?” tanya


Tama cemas.

“Awww…” Green meringis, “tidak apa-apa kok,”


katanya. Ia sedang meruncingkan pensil dengan
cutter, ketika tanpa sengaja melukai telunjuknya.

“Sini, biar aku bantu,” Tama meraih tangan Green


yang terluka. Diisapnya telunjuk Green yang
berdarah. Darah Green berdesir cepat dan jantungnya
berdetak tak teratur.

215
“Sudah,” ujar Tama.

Green tersenyum, “Kenapa, Ren?” tanya Tama


heran.

“Nggg… Tidak kok. Tidak kenapa-kenapa,” jawab


Green.

Tama tersenyum geli. Dia mengusap kepala Green


dengan sayang, “Kamu sama aku kok masih grogi-
grogian segala sih?” katanya tenang.

Sejak Tama menjadi someone specialnya,


hari-hari Green benar-benar ceria dan penuh kejutan.
Cowok itu sangat menyayanginya. Tapi saat itu
perasaan Green agak berbeda. Seolah-olah ada firasat
yang membisikkan telah terjadi sesuatu. Ponsel
Green berbunyi.

Yanda

“Halo” sapa Green.

“Ren, maaf,” suara Yanda terdengar resah.

216
Green mengerutkan dahi, “Maaf? Kenapa? Memang
kamu salah apa?”

“Maaf…” Yanda terus meminta maaf kepada Green.

“Iya, tapi kenapa?” tanya Green keheranan.

“Aku… Aku habis menghajar Revan,” lirih Yanda.

Darah Green berdesir lemah.

“Bukannya aku sudah bilang!” tukas Green,


emosinya tidak menentu.

“Aku tidak tahu, Ren. Aku lepas kendali


dan…”Yanda merasa sangat bersalah.

“Bagaimana keadaannya?” Green terdengar sangat


cemas, “BAGAIMANA KEADAANNYA?!!!”
sekarang dia nyaris histeris.

“Sekarang… dia masih di IGD. Aku lupa jantungnya


lemah, aku…” ucap Yanda.

Green menekan tombol merah di HPnya, lalu terisak.

“Kenapa, Ren? Tadi itu siapa?” tanya Tama panik.

Green hanya bisa menggeleng dan terus terisak. Dia


sendiri tidak mengerti kenapa dia jadi khawatir dan
sedih seperti ini. Seharusnya dia merasakan

217
sebaliknya, karena toh sakit hatinya telah
terlampiaskan. Tapi mendengar keadaan Revan
seperti itu…entahlah, mungkin Green tidak ingin
kedua sahabatnya jadi bertengkar karena dirinya. Dia
tidak ingin salah satu atau keduanya terluka. Sudah
cukup kejadian dulu itu. Cukup dia saja yang
merasakan amarah itu, rasa sakit itu.



Setelah beberapa lama tak sadarkan diri,


Revan mulai menggeliat lemah namun matanya
masih terpejam. Kepala dam lengannya sudah
diperban. Yanda sangat menyesal melihat hasil
perbuatannya, akibat dari amarahnya yang tak
terkendali. Yanda lantas menghubungi orangtua
Revan serta mengakui kesalahannya. Selama itu
Yanda merasa resah dan berharap Revan segera
pulih.

Tiba-tiba Yanda dikejutkan bunyi ponselnya. Green.

“Green …”

218
“Gimana dengan Revan?” sahut Green.

“Belum sadar. Tapi aku akan bertanggung jawab


kok. Aku jamin dia akan baik-baik saja,” Yanda
berusaha meyakinkan.

“Jaga dia, ya,” ucap Green.

Yanda terdiam sesaat mendengar ucapan


Green. Kata-kata yang singkat itu menyimpan
perasaan yang sangat dalam. Sarat kesedihan dan
kerinduan. Mungkinkah…

“Ren, Aku boleh nanya sesuatu?”

“Mmmm…?”

“Kamu… masih menyimpan perasaan ya sama dia?”


tanya Yanda.

Kini giliran Green yang terdiam. Dia tidak


tahu harus bilang apa. Dia memandangi telunjuknya
yang kini diplester. Luka yang seakan memberi
pertanda kejadian buruk yang menimpa Revan.
Seakan dia dan Revan terhubung oleh sesuatu yang
tak diketahuinya.

“Ren, kok diam? Apakah itu berarti…” tebak Yanda.

219
“Tidak, sama sekali Tidak. Dia pengkhianat. Dia
merusak persaudaraanku dengan Faren. Dia… jahat.
Aku cuma tidak ingin kamu berantem. Bagaimana
pun juga dulu kita bertiga bersahabat. Sekarang
kamu tinggal berdua sama dia, aku ingin kalian baik-
baik saja. Dari awal aku sudah janji, apa pun yang
aku ceritakan tidak akan memengaruhi persahabatan
kamu dan dia,” jelas Green.

Keheningan kembai merebak sementara


Yanda mencerna ucapan Green. Tapi baginya tidak
semudah itu menepati janji. Dia tidak rela cewek
yang di cintainya di sia-siakan sahabatnya sendiri.

“Jaga dia baik-baik. Kabari aku bagaimana


keadaannya,” bisik Green, sebelum mematikan
ponsel dan berbaring di sofa sambil memandangi TV
dengan tatapan kosong.

Sementara Yanda kembali menatap


sahabatnya yang kini terbaring tenang. Revan
menggeliat lemah, lalu mendesah. Itulah suara
pertama yang keluar dari mulut Revan sejak dia tak
sadarkan diri.

220
“Revan… kamu sudah bangun, Van?” Yanda
mencoba memanggil.

“Hmmm…” Revan mendesah lemah. Perlahan


matanya mulai terbuka, mengerjap beberapa kali. Dia
menyentuh kepalanya.

“Van, bagaimana keadaan kamu?” tanya Yanda.

Revan tidak langsung menjawab. Dia


memandang ruangan tempatnya berbaring. Dia tidak
ingat di mana dia terakhir berada, sampai di lihatnya
Yanda sangat cemas.

“Aku di mana?” gumam Revan tidak jelas. Dia


melepaskan selang oksigen dari hidungnya, “untuk
apa ini?” tanyanya lagi.

“Hei, jangan di lepas. Itu untuk membantu


pernapasanmu!” ujar Yanda seraya memasang selang
itu lagi, “kamu di rumah sakit.”

Revan meraba dadanya yang tadi di hantam Yanda,


“Sakit,” katanya sambil meringis. Suaranya masih
serak dan berat.

221
“Maafkan aku, Van. Maaf,” bisik Yanda sambil
menyentuh bahu Revan, “aku menyesal. Maafkan
aku, ya.”

Yanda benar-benar sedih melihat kondisi


Revan, meskipun menurut dokter kondisi Revan
tidak parah.

“Aku tidak habis pikir sama sikap kamu. Apa alasan


kamu mukulin aku begini?” lirih Revan.

Yanda hanya terdiam dan memilih untuk


tidak menjawab apa-apa. Ia sangat merasa bersalah
kepada kedua sahabatnya.



222
Empatbelas

H
ari ini Green tidak bersemangat. Sejak
pagi sampai jam isitirahat dia lebih
banyak diam dan hanya bicara
seperlunya. Dia bahkan menolak ajakan Tama untuk
makan di kantin dan minta di tinggal sendiri.

Melihat Green seperti itu, Haikal dan Tiara


jadi ketularan diam dan terkadang melirik Green
dengan was-was. Sesekali Green menangkap basah
Tiara dan Haikal sedang melontarkan isyarat yang
pasti menyangkut cdirinya.

223
“Kalian kenapa sih?!” kata Green akhirnya. Dia sebal
melihat sikap was-was yang ditunjukkan kedua
sahabatnya itu. Mereka sekarang memang kompak
sekali, apalagi sejak jadian dua minggu lalu. Sejak
itu Green mengambil insiatif untuk bertukar tempat
duduk dengan Tiara. Soalnya kasihan juga pasangan
baru di pisah begitu.

“Tidak, tapi hari ini kamu beda banget.” Ujar Tiara


jujur.

“Kamu lagi berantem sama Tama, ya?” tambah


Haikal.

“Iya nih, masa barusan Tama kamu usir begitu saja.


Kalian ada masalah apa?”

“Ih, rese banget sih. Aku tidak ada masalah. Apalagi


sama Tama. Kami baik-baik saja kok! Kalau tidak
percaya tanya saja sama Tama. Oke?”

“Terus kenapa hari ini kamu beda banget? Kamu


tidak bisa bohong, Ren. Dari muka kamu saja jelas
sekali kamu lagi memikirkan sesuatu.”

224
Baru saja Green berniat mengomel panjang-
lebar lagi, getaran di sakunya membuatnya
mengurungkan niat. Telepon dari Yanda.

“Permisi,” Green meninggalkan Tiara dan Haikal


yang terbengong-bengong dengan sikapnya yang
makin aneh.

“Bagaimana, Nda?”

“Sudah jauh lebih baik. Siang ini sudah bisa pulang.”

“Syukurlah. Apa kata orang tuanya?”

“Aku kena marah habis-habisan sama papanya. Tapi


untung waktu mereka datang Revan sudah sadar dan
bisa menenangkan orangtuanya.”

“Syukur deh, untung kamu tidak sampai di laporin


terus masuk penjara gara-gara menghajar orang
sampai kayak gitu!” kata Green sambil tersenyum
kecil. Senyum lega.

“Umm, Kamu masih membenci dia?”

“Mereka. Tepatnya,” hati Green seketika membeku.

“Aku sangat menyesal mukulin Revan, Ren,” Yanda


terdiam, “Ren, menurut aku sih sebaiknya kamu
maafkan dia. Semua sudah berlalu. Faren tidak bakal

225
kembali untuk menyelesaikan masalah ini. Sekarang
tinggal kamu sama Revan yang bisa
menuntaskannya. Apa kamu pikir Faren sekarang
tenang dengan kebencian yang kamu pelihara sampai
saat ini?”

“Kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan, Nda,”


nada suara Green dingin dan tajam.

“Kamu selalu bilang begitu. Kamu menganggap


tidak satu orang pun orang di dunia mengerti
perasaanmu. Padahal kamu sediri yang tidak kasih
kesempatan orang lain buat mengerti kamu!”

“Kok kamu sekarang jadi belain dia sih?”

“Bukan membela dia. Aku cuma merasa sebaiknya


ini diakhiri. Kamu sendiri kan yang bilang tidak
ingin ada keretakan dalam persahabatn aku dan
Revan? Bukannya kamu juga bagian dari kami?
Terus kenapa sampai saat ini kamu tidak mau
berdamai? Faren sudah tidak ada, Ren… Sampai
kapan pun kamu tidak bakal bisa menghakimi
mereka dan melampiaskan kemarahanmu!”

226
“TERSERAH KAMU BILANG APA! SAMPAI
KAPAN PUN TIDAK AKAN MENGERTI!”

Green mematikan ponselnya dengan gusar.


Kebenciannya semakin meluap. Apalagi Yanda kini
berpihak kepada Revan. Green merasa semakin
tersingkir dan menjadi pihak di salahkan atas semua
ini. Padahal justru dialah korbannya. Kenapa semua
jadi terbalik begini? Dia pun kembali ke kelas
dengan wajah sangat jutek, sarat kebencian.

“Ada apa sih dengan Green?” batin Tiara, “Ren…”

Green tidak menanggapi. Dia malah melipat tangan


di meja lalu merebahkan kepala dan memejamkan
mata.

Tiara mengedikkan bahu sambil mengangkat


alis ke arah Haikal. Haikal menggeleng-geleng
sekenanya, kemudian memberi Tiara isyarat untuk
keluar kelas, mumpung waktu istirahat masih
ada.Tahu sudah di tinggal sendiri, perasaan Green
jadi sedikit lapang. Dia ingin menghadapi semua ini
sendiri, merasakannya sendiri.

227


“Apa pun masalah yang kamu hadapi sekarang ini,


aku harap masalah itu cepat selesai. Walaupun aku
tidak mengerti kenapa kamu tidak mau share ke aku.
Yang jelas aku akan selalu ada di sisimu dan
memastikan kamu baik-baik saja,” jelas Tama.

Green tertunduk diam. Setidaknya di tempat


ini dia merasa sedikit bebas. Di sini dia bisa menatap
bentang lautan biru yang menyegarkan, merasakan
hembusan angin yang meniup helaian rambutnya
yang indah.

“Ren…” tegur Tama sambil menepuk bahu Green.

“Hmmm?” balas Green.

“Kamu nyaman kayak gini?” tanya Tama sekali lagi.

Green mengangguk dan kembali menatap


laut. Tak ada yang bisa membuatnya nyaman selain
keheningan ini. Green merasa tenang dan tidak
terusik. Cukup ada seseorang di sampingnya yang
bersedia menemani, meskipun dia sedang tidak ingin
bicara banyak. Green menghirup udara segar dan

228
menghembuskannya perlahan-lahan. Sangat tenang.
Dia memejamkan mata dan hanya melihat bayangan
hitam. Tak ada bayangan lain yang sempat melintas.
Ini jauh lebih baik, pikir Green.

“Ren, kamu yakin baik-baik saja? Sejujurnya aku


khawatir.”

“Belum pernah sebaik ini,” gumam Green sambil


mengangkat wajah dan tersenyum. Tama hanya
membalas dengan senyum samar.

Tama belum yakin. Hari itu Green lebih


pendiam dan sangat tertutup. Dia meminta Tama
mengajaknya ke pantai. Sekadar untuk menenangkan
pikiran, katanya. Alasan itu sangat ringan, namun
Green tidak memberi Tama kesempatan untuk
bertanya. Cukup dengan sorot matanya yang tajam,
Tama mengerti cewek itu memintanya
membiarkannya seperti yang dia mau. Yah, seperti
yang dia mau.

“Apakah semua ini ada hubungannya dengan… masa


lalu?” tanya Tama ragu. Akhirnya dia tidak tahan dan
memutuskan untuk bertanya. Mungkin tidak ada
salahnya mencoba.

229
“Masa lalu? Ya, masa lalu kadang memang suka
mengikuti walaupun kita ingin lepas darinya,” jawab
Green, “tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja
kok.”

Keheningan kembali mengisi kebersamaan mereka,


“Oh ya, kabar Tiffany bagaimana?” Green
mngalihkan pembicaraan.

“Masih kayak dulu. Cuma sedikit lebih tenang dan


tidak lagi menjengkelkan.”

“Baguslah. Sikapnya ke kamu bagaimana?”

Tama diam sejenak, seakan menjawab pertanyaan


Green adalah pilihan yang sulit.

“Seperti biasa?” tanya Green.

“Tidak,” sahut Tama singkat.

Green jadi penasaran. Dia memutar arah duduknya


sehingga menghadap cowok itu, “Terus seperti apa?”

“Seperti teman biasa.

“Teman biasa seperti apa?”

Tama sama sekali tidak menyangka Green


tiba-tiba akan membahas hal semacam ini. Dan dia

230
tidak bisa menjelaskannya. Tiffany masih bersikap
seperti biasa, sama seperti Green belum hadir di
antara mereka. Tama sudah menunjukkan penolakan
agar mereka sedikit menjaga jarak. Kini dia tidak
bisa memberikan seluruh waktunya kepada Tiffany,
sebab sekarang dia dan segala yang ada pada dirinya
adalah untuk Green, satu-satunya cewek yang
disayanginya. Tapi Tiffany terlihat tidak setuju, dan
tidak peduli.

“Berteman seperti layaknya berteman.”

“Tidak sesederhana itu,” bisik Green datar, “sedikit


banyak yah aku kenal Tiffany. Tidak akan
sesederhana itu, ya kan?”

“Sekalipun ada seribu Tiffany mengganguku setiap


hari, tetap tidak akan mengubah perasaanku ke kamu,
tidak akan mengurangi perhatianku untukmu. Yang
aku butuhkan hanya kepercayaan darimu,” Tama
menjawab tenang.

Baiklah, Green juga tidak berniat menambah


daftar masalahnya dengan kecemburuan tak
menentu. Dia menarik napas dalam-dalam dan

231
berusaha menjernihkan pikiran agar tidak bertanya
macam-macam lagi.

“Ya, aku percaya.”

Keheningan kembali mengisi kekosongan di


antara mereka. Tiba-tiba Tama teringat sesuatu yang
telah lama mengganjal pikirannya.

“Ren,” katanya, “Green Revalin?”

Green langsung menoleh dan menatap Tama


heran. Ketika tersadar cowok itu juga sedang
menatapnya penuh selidik, Green cepat-cepat
mengenyahkan keterkejutan itu dari wajahnya.

“Ada apa?” tanyanya.

Tama tersenyum sekilas. Akhirnya ia


mengerti, Green selalu menunjukkan ekspresi yang
sama setiap kali dia menyebutkan nama itu.

“Bukan nama kamu, kan?” tebaknya.

Green tertunduk. Dari mana Tama tahu? Dia


sendiri tidak mengerti, setiap kali nama itu terdengar,
jantungnya selalu berdebar cepat.

“Maksud kamu? Memangnya ada yang salah? Nama


aku memang Green kok!”

232
“Tapi bukan Green Revalin, ya kan?”

Green tidak menyahut. Dia tertunduk diam,


kembali teringat pada Revan. Lagi-lagi dia tidak
mengerti, mengapa beberapa hari terakhir ini dia tak
henti-henti memikirkan Revan, Revan dan Revan.

“Tidak usah dijawab,” kata Tama akhirnya.



Sore itu Green menghabiskan waktu di


sebuah kafe tidak jauh dari Cake Resort. Sebenarnya
Cake Resort jauh lebih nyaman daripada tempat ini,
tapi Green tidak mau Mama mengawasinya terus.
Green sedang tidak ingin terlihat, dia ingin
menghilang untuk sesaat. Itu sebabnya dia memilih
duduk di kursi paling pojok supaya tidak kelihatan.

Bagi Green, tempat itu adalah lokasi VIPnya,


tempat dia mendapatkan sedikit privasi dan
kebebasan. Green bisa melihat ke seluruh bagian
kafe meskipun posisinya sendiri sangat tidak menarik
perhatian. Dengan begini dia bagaikan memiliki

233
dunia pribadi untuk dirinya sendiri, walaupun hanya
untuk sesaat. Tempat yang sempurna, bukan?

Green merenungkan semua masalahnya. Dia


harus bersikap lebih bijaksana. Mungkinkah di alam
sana Faren ikut sedih dan tidak tenang karena Green
terus membencinya dan memutuskan untuk tidak
memaafkannya? Tapi bukankah itu adil, impas?
Green merasa jauh lebih sakit hati dan sedih karena
dia masih hidup. Apa yang dirasakannya jauh lebih
nyata. Sedangkan kesedihan orang yang telah pergi
bisa saja cuma khayalan orang-orang yang
ditinggalkan.

“Sudahlah, lupakan saja” gumam Green dalam hati.

Dia memesan secangkir kopi krim panas dan


nachos. Dia menghibur dirinya sendiri dengan kertas
dan pensil, sahabatnya yang sangat menyenangkan.
Green menggambar pemandangan jalanan sepi di
tengah malam, di kiri kanannya terdapat deretan
pertokoan yang tertidur. Dia sudah memulai gambar
ini dua hari yang lalu dan ingin menyelesaikannya
sekarang.

234
Green asyik dengan gambar yang sedang
digarapnya. Itu gambaran dirinya, dirinya yang kini
gelap, sunyi, sepi. Dengan lihai dia mengisi
gambarnya dengam tone gelap terang remang
sehingga gambar itu hidup, mendekati nyata. Setiap
lima menit dia mengangkat kertas gambarnya,
menjauhkannya selengan, dan mematutnya beberapa
saat.

“Rasanya, bila ditambahkan sesuatu gambar ini akan


semakin menyentuh,” gumamnya, “Apa yang
kurang…” lanjutnya.

“Ah, ya!” Green berdecak pelan.

Dia menambahkan siluet seorang gadis yang


berjalan seorang diri di trotoar toko. Gadis yang lelah
dengan kehidupannya namun tak ingin berhenti di
tempat. Dia terus melangkah. Walaupun sendiri,
walaupun sunyi, walaupun sedih. Yah, gadis ini
adalah dirinya.

“Sempurna” ujarnya.

Green kembali mengangkat gambarnya dan


mengamatinya dengan perasaan puas. Garis-garis itu

235
seakan berbicara, dan sangat menyentuh. Bahkan
orang yang tidak mengerti pun dapat merasakan
gambaran ini, lalu larut di dalamnya, masuk ke
jalanan sepi itu. Green mengamatinya cukup lama
sampai dia melihat sosok tak asing muncul dari balik
kertas gambarnya. Diturunkannya kertas gambarnya.
Tama dan Tiffany berjalan memasuki kafe yang
tenang. Mereka duduk di dekat jendela besar, tak
jauh dari pintu.

“Aku ingin ajak kamu keluar. Ada waktu, kan?”


tanya Tama.

“Ada. Tapi aku lagi tidak ingin berbagi waktu. Aku


ingin sendiri,” ujar Green datar. Dia membayangkan
dirinya duduk sendiri di tempat sepi sambil
menenangkan hati, “ah, betapa menyenangkan,”
pikirnya.

“Kamu yakin, Ren?” Tama agak ragu, “aku hanya


ingin ada di dekatmu. Biar aku tahu kamu baik-baik
saja,” yakin Tama.

Green tahu Tama sangat


mengkhawatirkannya. Baginya itu sudah lebih dari
cukup, dan dia terhibur karenanya.

236
“Sudah, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Nanti
malam aku telepon, dan kamu akan dengar betapa
senangnya aku hari ini. Oke?” yakin Green.

“Tapi, Ren..”

Green memutuskan telepon dan berangkat.


Dia tahu ada kafe tak jauh dari Café Resort.
Sepertinya kafe itu memenuhi kriteria yang di
butuhkannya saat ini. Dan di situlah Green sekarang.

Kalau ingin keluar dengan Tiffany, mengapa


Tama mengajak Green keluar? Apakah dia sudah
menduga Green akan menolak ajakannya? Green
melihat Tiffany bicara dengan ekspresi… Ekspresi
apakah itu? Entahlah. Namun sesaat kemudian
Tiffany tampak meraih tangan Tama, dan cowok itu
kelihatan berusaha menariknya, tapi Tiffany
menahannya sambil terus berbicara.

Perasaan Green langsung tidak keruan. Dia


meraih ponsel dan menghubungi Tama. Dalam
hitungan detik Green melihat Tama menarik
ponselnya dari saku. Dia mengatakan sesuatu kepada
Tiffany sehingga cewek itu terpaksa melepas
tangannya.

237
“Ada apa, Ren?”

“Kamu dimana?” tanya Green. Dalam hati dia


membatin, jangan bohong, please, jangan bohong…

“Aku lagi di kafe, di Dido’s.”

Green menarik napas lega. Tama tidak berbohong.


“Sendiri?”

“Sama teman.”

“Siapa?”

“Tiffany.”

“Ohhh…” Green mendesah kecewa, “tidak bisa pergi


sama aku, kamu langsung nyari Tiffany rupanya.
Apa kamu harus di temani cewek, begitu ya?” kata
Green dengan nada menuduh yang tidak bersahabat.

Green melihat Tama bergerak-gerak resah,


dan mengacak rambutnya sekilas, “Bukan begitu.
Kamu jangan salah paham dulu. Nanti aku jelasin.
Oke? Please?”

“Terserahlah.”

Green mematikan ponsel. Setidaknya Tama


tidak berbohong. Cowok itu tampak memencet-

238
mencet ponselnya, sepertinya mencoba menghubungi
Green. Tapi tentu saja tidak berhasil. Setelah
beberapa saat mencoba, dan tahu usahanya sia-sia,
Tama menyimpan ponsel dan memperhatikan
Tiffany yang tampangnya cemberut. Green geli
karena berhasil merusak suasana hati Tiffany.

Green terus memperhatikan. Rasanya


menyenangkan menyaksikan Tiffany cemberut
seperti itu, dan obrolan mereka sepertinya berakhir
tak lama kemudian Tiffany berdiri lalu di ikuti Tama.

Baguslah, batin Green. Tanpa sadar dia tersenyum


sendiri.



“Hai, aku nepatin janji, kan?” cerocos Green sebelum


orang yang sedang di hubunginya sempat menyahut.

“Ya, tentu saja kamu nepatin janji,” Tama tersenyum


di ujung sana.

“Yap, tentu saja,” ulang Green, “aku cuma mau


bilang hari ini aku senang.”

239
“Aku ikut senang dengarnya. Kamu ngapain saja
sampai merasa senang?”

“Banyak. Dan aku tidak mungkin sebutin satu-satu.”

“Termasuk merusak suasana hati Tiffany sampai


pertemuan kalian hanya berlangsung singkat,” batin
Green.

“Jadi, ngapain kamu sampai keluar dengan Tiffany?”


nada suara Green datar dan dingin.

“Aku bisa jelasin,” ujar Tama sabar, “begini, tidak


lama setelah aku ajak kamu keluar, Tiffany datang
dan memintaku temenin dia ke kafe.”

“Terus kamu langsung mau saja, gitu?”

“Ren, bagaimana pun Tiffany sahabatku, kamu


sendiri tahu dia kayak apa. Bagiku, tidak ada
salahnya aku nemenin dia sesekali.”

Green mendengus kesal. Dia sudah tahu


bakal begini. Tiffany tidak bakalan melepaskan
Tama semudah itu. Walaupun aku belum sepenuhnya
yakin dengan keputusanku ini, kali ini aku akan
membiarkan dia menemui cintanya.

240
Green masih ingat jelas bagian terakhir surat
Tiffany itu. Dari perkataannya jelas sekali cewek itu
tidak bakal melepas Tama seutuhnya, meskipun
Tama sudah menjadi pacarnya.

“Baiklah, jadi ngomongin apa?”

“Tidak ada yang terlalu penting.”

“Oh ya, seperti itu tidak ada yang terlalu penting?”


nada suara Green mulai meninggi. Dia jadi teringat
waktu Tiffany menggenggam tangan Tama, dan jujur
dia cemburu.

“Seperti itu? Seperti apa maksudmu?”

“Ups, bodoh… Jangan sampai keceplosan Green…”


batin Green, “yah, maksud aku tiba-tiba ngajakin
kamu gitu,” Green berkilah.

“Tidak ada, cuma nemenin dia minum di kafe saja.”

“Jujur saja kenapa sih?!” Green benar-benar tidak


sabar lagi, “aku tahu ada yang lebih daripada sekadar
duduk-duduk di kafe,” tuduh Green.

“Kok kamu ngomong begitu sih?” tanya Tama heran.

“Karena aku ada di sana menyaksikan kalian berdua


dengan mata kepala sendiri!”

241
Dan setelah mengucapkan itu Green
mematikan ponsel dan melemparnya dengan gusar.
Green ada di sana. Tama tidak mempercayai
pendengarannya. Tapi semuanya masuk akal. Tama
ingat, begitu Tiffany menggenggam tangannya,
Green langsung menelepon dan menanyakan dia ada
di mana, bersama siapa. Itu karena Green tahu, dan
dia melihatnya sendiri.

Tama tidak tahu harus bilang apa. Waktu itu


Tiffany bilang dia tidak bisa kehilangan Tama, dan
ingin mereka kembali seperti dulu. Tama langsung
menolak dengan halus, meminta Tiffany memahami
posisinya. tapi Tiffany keras kepala dan berkata tidak
mudah baginya untuk menerima perubahan yang
begitu menyesakkan.

Tama memandang layar ponselnya sejenak


dan menghubungi Green kembali, mungkin dia bisa
menjelaskan sedikit. Berkali-kali dia mencoba,
meskipun tahu Green pasti telah mematikan
ponselnya dan tidak ingin bicara dengannya.

Tama merebahkan tubuh. Bagaimana caranya


mengatasi situasi ini? Beberapa hari belakangan

242
Green memang tampak murung, seolah ada sesuatu
yang membebani pikirannya, namun dia tak ingin
seorang pun tahu. Dia memendamnya sendiri. Semua
itu terlihat sangat jelas. Green sendiri juga tidak
berbohong pada Tama dan sahabat-sahabtnya bahwa
dia memang sedang memikirkan sesuatu, dan dengan
tegas mengatakan tak ingin membahasnya. Dan
sekarang Tama sudah menambah beban pikiran
Green dengan masalah ini.



“Ma, Green berangkat ya,” kata Green sambil


mencium pipi Wulan.

“Beberapa hari ini Tama kok tidak datang jemput,


ya?” tanya Wulan penasaran. “Kalian bertengkar?”

“Tidak. Kami baik-baik saja kok, Ma. Green cuma


lagi ingin sendiri saja,” jawab Green, “dah, Ma…”

Sejak kasus Revan dan Yanda, Green tak


henti memikirkan ulang semuanya. Semua yang telah
terkubur perlahan kini muncul dengan jelas dalam

243
benaknya. Mengapa dia masih mengkhawatirkan
Revan? Semalam Green nyaris menelepon Yanda,
tapi dia mengurungkan niatnya. Yanda sudah
berpihak kepada Revan. Ini sangat mengganggu
Green.

Green keluar dari rumah dan memandangi


penginapan di depan rumahnya. Di tatapnya sebuah
jendela di lantai dua. Entah kenapa, sejak kemarin
Green merasa ada yang mengawasinya dari sana. Dia
terus memandangi jendela yang tertutup gorden tipis
itu. Aneh.

Sesampai di luar pagar Green mengeluarkan


diary Faren dari tasnya. Di tatapnya sejenak benda
itu.

“Semua berawal dari sini, dari diary ini. Ah,


seharusnya diary ini tidak pernah ada. Kalaupun ada,
seharusnya sudah di buang sejak dulu. Tapi tak ada
kata terlambat,” pikir Green.

Dia bisa membuang diary itu sekarang.


Meskipun tidak banyak membantu, setidaknya lebih
baik begitu.

244
Green menarik napas dalam-dalam, lalu
melemparkan diary tersebut ke tumpukan daun
kering yang nanti siang akan di bakar Mama.

“Selamat tinggal, kenangan,” bisik Green sambil


tersenyum getir. Senyum yang takkan mungkin dapat
dimaknai siapa pun.



“Green, ke kantin yuk,” ajak Tiara yang sedang


mencoret-coret buku matematika.

“Tidak usah, kamu duluan saja. Aku nunggu Tama.”

“Tapi biasanya dia tidak selama ini. Mungkin ada


yang harus dia kerjakan, kali, jadi tidak bisa ngajak
kamu ke kantin.”

“Tidak mungkin. Kalaupun benar begitu, dia pasti


menyempatkan diri kasi tau aku. Biasanya kan
begitu,” sahut Green malas-malasan.

“Ya sudah, kami duluan, ya,” kata Tiara dan Haikal


serentak.

245
Benar juga kata Tiara. Biasanya tidak pernah
selama ini. Green akhirnya menutup bukunya dan
memutuskan untuk mencari tahu. Dia keluar kelas
dan mengarahkan langkah ke bangunan kelas tiga.
Dia membujuk perasaannya agar tetap tenang. Dia
sedang tidak ingin menduga-duga yang tidak-tidak
dulu. Dia lelah dengan semua yang di pikirkannya
akhir-akhir ini.

Langkah Green terhenti ketika melihat kedua


sosok itu berbicara di bawah pohon mahoni besar di
samping aula. Tempat itu sepi. Green menahan
emosinya, lalu menghampiri pohon terdekat dan
memastikan gerakannya tidak memancing perhatian.
Dia bersembunyi di balik pohon. Dari situ mereka
terlihat jelas dan dia bisa mendengar sayup-sayup
percakapan mereka.

“Fan, aku sekarang harus menemui Green!” kata


Tama tegas.

Green mendengar bunyi daun berkeresak,


tanda Tama mulai melangkah meninggalkan Tiffany.
Namun cewek itu segera menahannya.

“Kamu banyak berubah,” ujar Tiffany kecewa.

246
“Karena memang begitulah seharusnya,” Tama
membela diri.

“Tapi tidak sampai begini,” lirih Tiffany, “aku


kehilangan kamu, aku kesepian. Dan mungkinkah
dugaanku benar? Bahwa kamu dekat sama aku hanya
karena kasihan? Karena aku berasal dari keluarga
broken home, dan harus tinggal sendiri karena
mamaku nyaris OD?! Begitu, kan?” lanjutnya.

“Fan…” Tama melunak dan mendadak merasa


bersalah. Dia menyentuh bahu Tiffany dengan
lembut untuk menenangkannya.

“Jadi benar, kan? Setelah keluargaku rujuk lagi,kamu


merasa tugasmu selesai, tanggung jawabmu lepas,
bebanmu lenyap. Begitu?”

“Bukan, bukan seperti itu,” Tama berusaha


meyakinkan Tiffany, “hanya saja sekarang aku… aku
punya seseorang yang lebih membutuhkan
kehadiranku,” lanjutnya.

“Tidak!” Tiffany memeluk cowok itu. Tama terdiam


dan tidak melawan, “untuk saat ini, aku mohon,
kamu jangan tinggalkan aku. Aku ingin kita kayak

247
dulu lagi, aku benar-benar tidak bisa jauh darimu,”
Tiffany melonggarkan pelukannya dan menatap
Tama.

“Entahlah…” bisik Tama bimbang. Dia balas


menatap Tiffany sambil menimbang-nimbang
jawaban, “aku tidak tahu. Tapi… baiklah…”

Green nyaris tersedak mendengarnya.


Rasanya ini seperti kejadian berulang. Dulu Revan
dan Faren. Sekarang Tama dan Tiffany. Tama
memilih bersama Tiffany, bukan dirinya. Hati Green
hancur. Dia memejamkan mata. Betapa perih
rasanya. Dia berbalik dan berlari menuju kelasnya.
Tidak, tidak. Kali ini dia tidak boleh menangis. Dia
tidak akan menangis. Dia tidak akan pernah
menangis lagi. Tidak. Tidak.



Bu Hanna mengakhiri kelas sambil


mengingatkan ulangan semester tinggal beberapa
minggu lagi. Dan seperti ritual wajib, seuntai

248
ceramah pendek tentang pentingnya mengulang
pelajaran dari awal sebaiknya dilakukan dan mereka
seharusnya sadar sebelum diingatkan begitu.
Terdengar keluhan spontan dari mulut siswa-siswi
yang sangat mencintai kebebasan itu.

Green tidak begitu tanggap dengan ingar-


bingar yang mewarnai kelas sore itu. Sejak tadi
matanya tidak lepas-lepas dari jendela. Tama telah
menunggunya.

Bu Hanna keluar kelas diikuti para siswa.


Green ikut melangkah keluar, berpura-pura tidak
menyadari Tama telah menunggunya. Dia terus
berjalan menunduk sampai Tama mencegat
langkahnya.

“Ada apa?” tanya Green dingin.

“Maaf, tadi siang..”

“Aku lagi tidak ingin bahas itu. Aku ingin pulang,”


cetus Green datar. Dia menepi untuk menghindar
dari cowok itu.

“Ren,” Tama menahan lengannya, namun Green


menepisnya, “aku antar pulang.”

249
“Tidak usah.”

“Ren, kamu makin aneh saja. Beberapa hari ini kamu


melarang aku buat jemput kamu. Yah, katanya kamu
ingin sendiri. Aku terima karena kamu masih
bersedia aku antar pulang. Tapi kenapa hari ini kamu
tidak izinin aku antar pulang? Kamu sebenarnya
kenapa sih, Ren?”

“Ya, aku memang makin aneh. Dan aku sarankan


sebaiknya mulai sekarang kamu jauh-jauh dari orang
aneh seperti aku!” tukas Green sambil berlalu
meninggalkan Tama yang berdiri mematung.

“REN!” teriak Tama putus asa.

Green berbalik dan membalas teriakan Tama.


“Ngapain juga kamu masih di sini! Tiffany sudah
nunggu kamu dari tadi!”

Tama membeku mendengar ucapan Green.


Apakah cewek itu menyaksikan kejadian tadi? Ya
Tuhan, kenapa tiba-tiba jadi kacau begini sih? Belum
sempat Tama menjelaskan kejadian di kafe kemarin,
sekarang sudah ditambah lagi dengan kejadian tadi
siang.

250
“Apa yang harus aku lakukan” Tama mengacak-acak
rambutnya frustasi.



251
Limabelas

S
etiba di kamar, Green langsung
menghambur ke tempat tidur dan menangis
sesegukan hingga terlelap kecapekan.

“Ren…” Wulan mengguncang lembut tubuh Green.

“Ngg…?” Green menggeliat malas. Rupanya dia


sempat ketiduran.

“Mama mau keluar, ada urusan sama Manda. Kamu


jaga rumah, ya?”

“Ya, Ma,” jawab Green seraya keluar kamar untuk


mencuci muka. Setelah itu dia menuju lemari es
untuk mengambil jus jeruk. Tapi lemari esnya lagi-

252
lagi nyaris kosong. Dan yang tragis, camilannya
tidak ada yang bersisa.

“MAAAAA… KULKAS KOSONG!!!” seru Green


tanpa ampun.

Wulan yang sudah berpakaian rapi bergegas


memeriksa kulkas, “Benar juga,” gumamnya pelan.

“Kamu saja yang ke supermarket, ya?” ujar Wulan


seraya memandang Green dengan sedikit ragu,
“Mama harus menghadiri acara dengan Manda dan
mungkin akan sampai malam. Bagaimana?”

“Baiklah,” Green mengedikkan bahu.

Lagi pula kalau di pikir-pikir ada baiknya dia


menghirup udara segar. Berbelanja sepertinya akan
membantunya meringankan perasaan. Kemudian dia
berganti baju dan buru-buru berangkat ke
supermarket bahkan sebelum Wulan pergi.



Green yang baru pulang dari berbelanja


memasuki pagar dan melihat ruang tamu yang masih

253
gelap. Dia mengeluarkan kunci, memasukkannya ke
lubang, dan memutarnya ke kanan. Tidak bisa. Dia
mengerutkan dahi, mencoba memutarnya ke kiri.
Klik! Pintu terkunci. Berarti mamanya meninggalkan
rumah tanpa terkunci.

“Bagaimana bisa Mama seceroboh ini?” pikir Green.

Dia kembali memutar kuncinya ke kanan


sampai terdengar bunyi klik. Lalu membuka pintu.
Tercium aroma bunga yang lembut dan menenagkan.

“Duh, sempat-sempatnya Mama menyemprot rumah


sebelum berangkat tadi! Ada-ada saja,” celetuk
Green.

Diterangi sinar dari layar ponsel, Green


menyusuri dinding dan menekan stop kontak untuk
menghidupkan lampu. Dia tertegun melihat ruang
tamunya yang…

“Apa-apaan ini? “pikir Green, “apakah ada yang


berulang tahun? “ tanyanya lagi.

Ruang tamunya di penuhi mawar segar. Dan


pada saat bersamaan, Green mendengar denting
piano dari ruang tengah. Dia terkesiap. Siapa yang

254
memainkan piano? Mamanya? Tidak mungkin. Terus
siapa lagi? Tiba-tiba Green merinding.

Piano itu terus saja mengalunkan musik.


Green mengenal lagu itu. I Believe My Heartnya
Duncan James dan Keedie. Green tertegun.
Dibiarkannya nada-nada yang mengalun indah itu
merasuki hatinya. Lagi-lagi dia terusik pertanyaan
yang mendesak segera di jawab.

“Siapa yang memainkan piano? Hantu Faren? Tidak


mungkin. Permainan piano Faren tidak seindah ini,”
ujarnya, “siapa yang mengatur semua ini? Ini mirip
kejutan ulang tahunku lalu,” tambahnya.

Dia mendapati kulkas kosong, kemudian


berteriak dan Mama memintanya berbelanja di
supermarket. Aneh, kan? “ gumamnya.

Baiklah, hantu Faren atau bukan, Green harus


tahu. Dengan jantung berdebar-debar dia melewati
ruang tamu lalu memasuki ruang tengah dan
melihatnya.

255
Langkah Green kembali tertahan. Hatinya
diamuk badai. Apakah penglihatannya salah? Green
nyaris tidak percaya. Apakah ini mimpi?

Cowok itu tidak berhenti memainkan


jemarinya tanpa menoleh, meskipun Green tahu
cowok itu pasti menyadari kehadirannya.

“Revan…” bisik Green tertahan.

Green melangkah mendekat. Tidak salah


lagi. Ini benar-benar Revan. Green melihat
pelipisnya yang masih memerah, lukanya belum
terlalu kering. Bagaimana Yanda bisa melakukan itu?
Green tiba di sisi Revan. Merasakan perasaannya
larut dalam alunan nada indah itu. Dia duduk di
samping Revan, memperhatikan jemarinya.
Sementara itu perasaannya terus berkecamuk. Apa
yang dirasakannya saat ini?

Green memejamkan mata sesaat. Apakah dia


merasakan rindu yang sangat mendalam saat ini?
Benar. Apakah dia menyadari sepotong kebahagiaan
menyelinap pasti di relung hatinya? Benar. Apakah
dia sungguh-sungguh membenci cowok ini?

256
Entahlah… Saat ini dia hanya ingin mendengarkan
lagu yang dimainkan cowok itu sampai selesai.

Revan mengakhiri permainannya, dan ketika


dia akan memulai lagu lain, Green menyentuh
tangannya yang lecet, mengisyaratkan agar cowok itu
berhenti. Darah Green berdesir pelan. Ah, dia tidak
bisa membohongi hati kecilnya, bagaimana pun dia
mencoba menepisnya. Dia tersadar aku masih
mencintai Revan,cinta pertamaku. Ke mana
perginya perasaan itu selama ini?

Revan akhirnya menoleh dan menatap


Green. Green membalas tatapan itu dengan perasaan
rindu. Cowok itu belum berubah, masih sama seperti
terakhir kali dia melihatnya. Dia masih sangat
tampan. Ah, Revan yang sangat di sayanginya.

Di dalam benak Revan, pikiran-pikiran yang sama


pun berkelebat. Green belum berubah. Ditatapnya
wajah itu, mata birunya masih mata yang dulu
membuatnya jatuh cinta.

“Kamu cantik,” puji Revan.

“Ada apa kemari?” tanya Green.

257
“Aku kangen. Aku ingin bertemu denganmu,” lirih
Revan.

“Cuma itu?” Green yakin banget Yanda sudah


menceritakan semuanya kepada Revan.

“Tidak juga. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman


yang kamu sangka selama ini. Aku bahkan tidak tahu
semua kejadian selama ini di sebabkan hal itu,
sampai Yanda akhirnya menjelaskan waktu aku
keluar dari rumah sakit,” tuturnya Revan.

Semua sudah jelas bagi Green.

“Baiklah,” kata Green memberi syarat agar mereka


pindah ke ruang tamu.

Revan meraih buket mawar indah yang tergelatak di


atas piano, “Buatmu.”

Green menyambutnya dengan perasaan… tak


menentu, “Thanks ya…”

Mereka duduk di ruang tamu, berhadap-hadapan


dalam diam.

“Kenapa jadi diam begini? Bukannya kamu ingin


menjelaskan apa yang menurut kamu benar?” Green
menyentakkan kesadaran Revan.

258
“Tidak tahu harus mulai dari mana,” Revan
menunduk, “dan ini bukan soal apa yang menurutku
benar. Tapi memang kebenaran sesungguhnya,”
ujarnya.

“Ya, tentu saja, siapa pun lebih senang menganggap


dirinya paling benar, sekalipun dia salah. Setidaknya
untuk melindungi diri,” ujar Green datar.

“Inilah yang buat aku tidak bisa memulainya. Kamu


memandang aku seolah-olah aku tertuduh yang
mencoba membela diri!” ujar Revan dengan nada
sedikit ditinggikan.

“Tapi pada dasarnya kamu memang ingin membela


diri, kan? Kalau tidak, untuk apa lagi?” elak Green.

“Terserah apa katamu. Yang jelas, dugaanmu selama


ini salah besar, dan aku menyesal mendengarnya,”
pasrah Revan.

“Tunggu, jadi kamu pikir selama ini aku asal


menuduh saja, gitu?” Green tersinggung, “kalau
begitu, tunggu sebentar,” katanya sambil berlalu
meninggalkan Revan sendirian.

259
Green berlari ke kamar, membongkar
tumpukan bukunya, “Di mana sih diary itu?”
katanya.

Green baru ingat telah membuang diary itu


ke tumpukan rumput kering yang akan di bakar tadi
pagi. Tapi, sebentar. Dia teringat album foto yang
ditemukannya bersama diary itu. Foto-foto ini bisa
menjadi alasan yang kuat, pikir Green.

“Bagaimana kamu menjelaskan semua ini?” Green


menyodorkan album foto itu dengan perasaan puas.

Revan meraih album foto tersebut, mengamati isinya


satu per satu.

“Nah, kamu mau bilang apa? Semua sudah jelas,


kan?” desak Green, suaranya gemetar.

“Tapi ini tidak seperti yang kamu kira. Kamu yakin


bisa menarik kesimpulan yang benar hanya dari foto-
foto ini?”

“Memangnya ada kesimpulan apa lagi?” Green coba


tidak histeris. “Aku bukan anak kecil bodoh! Aku
baca diay Faren. Dia sendiri menulis bahwa dia suka
sama kamu!”

260
“Kalau begitu, kamu bisa menunjukkan diary itu
sekarang?”

“Sayang sudah aku buang. Buat apa juga aku


menyimpan sesuatu yang cuma bikin hati terluka?
Sesuatu yang membuat aku terjebak di masa lalu,
sesuatu yang tidak aku harapkan?” Green
menenangkan diri, “tidak ada gunanya juga aku
bohong dan menuduh kamu yang tidak-tidak, dan
tidak ada gunanya juga kamu berkilah karena aku
sudah tahu jauh sebelum kamu menyadarinya!”tuduh
Green.

“Dan lebih sia-sia saja aku datang jauh-jauh ke sini


kalau yang aku bawa cuma kebohongan, sesuatu
yang kamu anggap pembelaan diri untuk
memperbaiki imejku di matamu,”lirih Revan.

“Revan, aku baca sendiri, Faren jatuh cinta sama


kamu! Betapa senangnya dia nonton bareng kamu,
dan aku tahu kamu yang deketin Faren. Iya, kan?”

Revan menatap Green dalam-dalam, “Ternyata kamu


memang tidak mengerti sama sekali, ya? Kamu yakin
sudah membaca diary Faren seutuhnya?”

261
Green terergun. Dia memang belum pernah
membaca diary Faren seutuhnya. Dia tidak sanggup
membaca lebih jauh yang justru akan menyakitkan
baginya. Green seperti melihat kesedihan menaungi
wajah Revan. Ah, benarkah Green sesungguhnya
salah paham? Akhirnya dia menggeleng lemah,
menyesali kebodohannya tadi pagi.

“Apakah diary itu bisa membantu menjelaskan


semuanya?” tanya Green.

“Tentu saja. Semua orang pasti menulis diary itu


dengan jujur, tanpa menyembunyikan apa pun,” kata
Revan, “dan Faren memang tidak bohong tentang
perasaannya. Dia menulis apa adanya bahwa dia
menyukaiku. Itu benar. Tapi pernahkah Faren
menulis bahwa aku juga balas menyukainya? Bahwa
aku memiliki perasaan yang sama terhadapnya?
Berani taruhan, kamu tidak akan bisa
membuktikannya!”

Speachless.

Revan benar. Green tidak bisa


membuktikannya. Mungkinkah cowok itu
mengatakan yang sebenarnya?

262
Green resah. Dia ingin tahu yang sebenarnya.
Mungkinkah diary itu masih di luar? Dia ingin keluar
mencari diary itu. Ketika Green beranjak, Revan
mencegatnya.

“Mau ke mana?”, Green berbalik dan memandang


cowok itu.

“Aku mau nyari…”

“Ini?” kata Revan sambil memperlihatkan diary


yang sangat dikenal Green.

“Kamu…?” Green sungguh tak percaya.

“Tadi pagi aku lihat kamu membuang ini. Dari


kamar aku di penginapan di depan rumahmu ini tentu
saja. Setelah kamu pergi, aku memungutnya dan
akhirnya mengerti.”

Green tidak tahu harus bilang apa. Dia duduk


di samping Revan. Berarti perasaannya tadi pagi
tidak salah, rupanya Revan lah yang mengamatinya
dari lantai dua penginapan.

“Jadi…” Green mencoba menemukan kata yang


tepat. “Bagaimana ini bisa menjelaskan semuanya?”

263
Revan membuka diary itu dan menjepit
bagian tengahnya. “Bisa saja, asal kamu membuka
staples yang menyatukan bagian ini, trus
membacanya.”

Green melihat hasil karyanya itu. Green


menimbang-nimbang diary di dalam genggamannya,
“Aku memilih memercayai perkataan mu. Soal diary
ini, akan aku baca dalam suasana tenang. Lagi pula,
ini cukup tebal. Kamu bisa jelasin sekarang.”

Revan tersenyum lega.

“Sederhana saja,” Revan memulai, “aku ikut les


musik bukan karena ingin belajar musik. Dan juga
bukan karena aku jatuh cinta pada Faren dan ingin
mendekatinya. Tapi aku mendatangi tempat itu
hanya untuk satu tujuan, aku ingin mempersiapkan
kejutan di hari ulang tahunmu,” jelas Revan.

Diri Green bagai luluh lalu mengecil dan


semakin mengecil dan hilang ditelan kebodohannya
sendiri.

“Kejutan…” Green mengulangi kata itu perlahan.

264
“Tepat. Gagasan itu muncul begitu saja waktu
pertama kali aku ke rumahmu, tepatnya waktu Faren
bilang akan berangkat les musik. Kejadian singkat itu
langsung menelurkan inspirasi cerdas yang bakal
mewujudkan impianku. Gagasan itu memicu ide-ide
kreatifku untuk mempersembahkan sesuatu yang
berbeda, sesuatu yang istimewa untuk ulang
tahunmu, karena saat itu… aku akan
mengungkapkan perasaanku dengan cara berbeda,
cara yang akan membuat kamu terkesan dan tidak
bakal pernah melupakannya.”

Air mata Green kembali merebak membasahi


pipi, air mata penyesalan. Betapa dia sangat bodoh
selama ini. Faren ikut terlibat memeprsiapkan
kejutan itu, kejutan di hari ulang tahun mereka…

“Aku ingin mempersembahkan pertunjukan musik


yang indah, meskipun tidak megah, tapi pasti sangat
istimewa. Akhirnya aku memutuskan ikut les musik
di tempat Faren berlatih, dan dengan bantuan Faren,
aku membentuk orkestra kecil untuk mewujudkan
rencanaku, impian kecilku. Sejak itu kami giat

265
berlatih. Dan kami sangat menikmatinya. Tapi
sayang, belum lagi separuh jalan, Faren…”

“Sudah! Cukup!” Green kini terisak.

Faren bahkan tidak sempat merayakan ulang


tahunnya yang ketujuh belas. Betapa bodohnya
dirinya selama ini. Dugaannya sangat jauh dari
kenyataan. Dia telah melakukan kesalahan besar.

Lalu bagaimana dengan Revan? Ketulusan


hatinya justru berbalik menjadi bumerang yang
menyerangnya tanpa ampun.

“Revan, maaf…”bisik Green tertunduk.

“Sudahlah,” dengan lembut Revan menyeka air mata


yang sudah membasahi pipi Green, “tidak ada yang
perlu dimaafkan. Tidak ada yang perlu disesali.
Tidak ada yang salah,” lanjutnya.

“Kamu… tidak marah?”

Revan menggeleng, “Sama sekali tidak. Aku


mengerti perasaanmu. Kesalahan bisa terjadi pada
siapa pun, dan memaafkan justru akan melapangkan
dan membuat segalanya jadi lebih baik.”

266
Cowok ini, dia bukan hanya memiliki wajah
menawan, namun juga memiliki hati yang lembut.

Green malu kepada dirinya sendiri.

“Faren memiliki semua yang diimpikan cowok mana


pun, sementara aku tidak punya apa-apa. Aku pikir
tidak aneh kalau kamu lebih tertarik sama dia…”

“Siapa bilang?” sambung Revan, “buktinya sampai


sekarang, tidak ada satu cewek pun di dunia ini yang
berhasil menyingkirkankamu dari hatiku. Semua
yang terjadi ini… tak sedikit pun mengubah
persepsiku terhadapmu. Because, I believe my heart,
and I trust my heart to you…!”

Kata-kata itu terdengar sangat indah.


Alangkah bodohnya Green selama ini.

“Terus… bagaimana dengan Faren? Bukankah dia


menyukaimu, apakah dia menyatakannya?”

Revan terdiam. Inilah rahasia sebenarnya.

Revan menimbang sejenak sebelum akhirnya


berkata, “Ya, dia bilang padaku. Tapi dia sudah tahu
jawabanku. Dia cuma ingin aku mengetahui
perasaannya, begitu katanya.”

267
“Benarkah hanya itu? Terus foto-foto ini?” desak
Green.

Revan terdiam, “Baiklah.”

Dia tampak kesulitan menemukan kata-kata


yang tepat. Bayangan itu kembali berkelabat, seolah-
olah diputar ulang dalam bayangan samar-samar.



Sore itu Faren mengajak Revan ketemuan.


Katanya ada yang ingin dibicarakannya. Revan
langsung yakin ini ada hubungannya dengan latihan
mereka. Tapi tak sedikit pun Faren mengungkit soal
latihan, melainkan malah membicarakan hal lain.

“Van, aku tahu aku tidak akan pernah memiliki


kamu, aku sadar kamu tidak akan pernah sayang
sama aku. Dan aku juga tidak pernah berharap sejauh
itu…” wajah Faren memerah.

“Lalu?” tanya Revan tertahan.

“Aku cuma ingin tahu apa… apakah kamu mau


jadi… pacarku. Sampai semua ini selesai. Begitu

268
kami berulang tahun, dan kejutan ini berhasil, kamu
adalah milik Green sepenuhnya, dan aku tidak akan
pernah mengganggumu lagi,” Faren terus menunduk.

Revan tidak tahu harus bilang apa.

“Maaf. Aku tidak bisa. Aku takut perasaanmu jadi


semakin dalam, dan ketika itu terjadi… kamu akan
terluka. Aku tidak bisa. Maaf.”

Faren merasa sangat kecewa, “Cuma untuk sesaat,


sesaat kebahagiaan untukku. Itu saja kok. Ini pertama
kalinya aku merasakan cinta, dan mungkin…
mungkin aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi,”
Faren mengangkat wajahnya, “hanya beberapa
minggu, setelah itu kamu adalah milik Green.”

Jantung Revan berdebar melihat tatapan


Faren. Perasaannya sangat aneh. Kenapa Faren
berkata seakan dia…

“Kita tidak akan pernah tahu kapan kita bakal jatuh


cinta,” Revan berusaha mengusir perasaan itu, “jadi,
tidak bijaksana kalau kamu ngomong kayak begitu.
Suatu hari nanti, cinta sejati itu akan datang.”

Faren tersenyum.

269
“Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa merasa seperti
itu. Aku berlebihan, ya?” tanya Faren.

“Entahlah…”

“Jadi kamu bersedia, kan? Sebentaaar saja. Sesaat


kebahagiaan yang ingin kucicipi. Rasanya aku pasti
menyesal kalau tidak pernah pacaran dengan orang
yang aku suka.”

“Astaga, kok dia ngomong begitu sih?” kata Green.

“Kamu jangan pernah ngomong begitu, hidup kamu


masih panjang. Kamu akan menemukan berbagai
macam cinta yang berbeda.”

“Memangnya hidup bisa sepanjang apa? Bagiku satu


cinta saja sudah cukup. Tidak perlu dua, tiga, apalagi
lebih. Satu cukup.”

“Far, jangan ngomong yang aneh-aneh ah!”

“Jadi bagaimana keputusan kamu?” desak Faren.


“Aku bisa mati penasaran…”

“Ya sudah! Oke deh, mulai saat ini aku jadi…


pacarmu.”

“Benarkah?” mata Faren berbinar bahagia.

270
“Benar. Asal kamu janji, Green tidak akan pernah
mengetahui ini, sampai kapan pun.”

“Baiklah, sampai kapan pun. Janji.”

Dan betapa terkejutnya Revan ketika seminggu


kemudian Faren mengalami kecelakaan dan pergi
untuk selamanya, bahkan sebelum dia sempat
membuka mata, melihat dunia untuk terakhir
kalinya..

“Hei, kok lama banget mikirnya?”

“Eh, maaf. Aku lagi berusaha mengingat. Entahlah,


mungkin semuanya tertulis di diary itu.”

“Begitukah? “

“Aku rasa sebaiknya kamu mengetahuinya dari sudut


pandang Faren, bukan aku.”

Mereka kembali terdiam. Green menunduk


dan mengamati jarinya. Apa yang dirasakannya saat
ini? Kini dia mengetahui yang sebenarnya, dan dia
menyadari kesalahannya. Apa yang bisa
dilakukannya? Bisakah dia memperbaiki semua ini?
Kalau saja waktu bisa diputar kembali…

271
Green mengangkat wajah, menatap Revan sesaat.
“Bagaimana dengan…?” Green mengangkat tangan
menyentuh jantungnya sendiri.

Revan tersenyum sekilas, mengerti apa yang


dimaksud cewek itu. Diraihnya tangan Green dan
ditempelkannya telapak tangan cewek itu di dadanya.
“Tidak apa-apa. Dia masih ingin terus berdetak demi
orang yang dicintainya…”

Darah Green berdesir pelan dari ujung kaki


sampai kepala. Benarkah yang dikatakan Revan?
Green menatap wajahnya yang tulus. Ah, tatapan
itu… tatapan yang teramat dirindukannya… senyum
itu, senyum yang menghangatkannya. Revan masih
menyimpan cinta untuknya.

Green bisa merasakan degup jantung Revan


yang berirama, jantungnya sendiri ikut berdetak
senada, seakan mengikuti detak yang bagaikan
resonasi yang beriringan dengan indahnya.
Sekonyong-konyong terdengar deru mesin sepeda
motor. Revan tersentak, dilepaskan tangan Green.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Green saat melihat


wajah Revan yang pucat, “belum boleh kaget, ya?

272
Tenanglah, tidak ada apa-apa kok,” Green berkata
sambil mengusap-usap bahu Revan.

Tak lama kemudian Green mendengar derum


halus mobil yang sangat dikenalnya. Mama dan
Manda sudah pulang.

“Semua berjalan lancar?” tanya Wulan santai begitu


memasuki ruang tamu. Dia tersenyum penuh arti,
lalu melenggang ke dapur. Green dan Revan jadi
salah tingkah dibuatnya.

“Kayaknya aku harus kembali,” ujar Revan seraya


melihat jam tangannya.

Green sedikit kecewa, namun mengangguk


pelan dan memanggil Mama. Wulan menyusul ke
ruang tamu dan menyambut uluran tangan Revan.

“Makasih ya, Tante.”

“Tidak masalah,” kata Wulan. Dia tersenyum hangat.

Revan keluar diikuti Green yang tidak ingin


beranjak dari sisinya, seakan belum rela untuk
berpisah dengannya.

273
“Mau antar aku sampai ke depan rumah nih?” gurau
Revan. Suaranya terdengar tak bertenaga. Semua ini
pasti sangat melelahkan dan menguras emosinya.

“Boleh, kalau bisa,” sahut Green.

Ia menikmati sensasi yang sudah lama tak


dirasakannya jika berada di dekat Revan, merasa
hangat dan nyaman.

Tiba-tiba Revan mencengkeram lengan Green


erat-erat. Tubuhnya terhuyung kehilangan
keseimbangan. Refleks Green segera menopang
tubuh Revan yang semakin lemas.

“Van! Revan! Kamu kenapa?!” Green panik.

Wulan yang mendengar teriakan Green segera


menyusul keluar.

“Ada apa?!” Wulan tidak kalah panik, dirabanya


leher Revan, “dia demam, bawa ke dalam saja.”

Dengan dipapah Green dan mamanya, Revan


mencoba menggerakkan kakinya dengan susah
payah.

“Hufft…” Wulan dan Green menghela napas sambil


menyeka keringat di dahi. Mereka berhasil membawa

274
Revan ke tempat tidur Green, kamar terdekat yang
bisa mereka capai.

“Berat banget…” kata Green.

Wulan memeriksa kotak obat, mengambil


penurun demam dan segelas air.

“Bantu dia meminum obat ini, Mama akan


menyiapkan kompres.”

Green menurut dan mengulurkan obat penurun panas


itu ke bibir Revan.

“Van, minum ini dulu ya,” bisiknya.

Revan hanya mengerang pelan dan tidak bereaksi.


“Revan…” Green menopang kepala Revan dan
memasukkan tablet itu ke mulutnya, “minum ya,”
katanya sambil mendekatkan gelas ke bibir Revan
yang pucat.

Setengah sadar cowok itu menyesap air dan


menelan obatnya dengan mata nyaris terpejam.
Setelah itu dengan hati-hati Green meletakkan kepala
Revan. Diselimutinya tubuh cowok yang tidak
berdaya itu.

275
Green duduk di samping tempat tidur dan
memandangi Revan, hatinya hancur dan mengharu
biru. Ditatapnya wajah yang pulas itu dengan penuh
kerinduan. Green tersadar selama ini perasaan itu
selalu ada, hanya saja tertutup kabut kebencian yang
seolah membekukan hatinya. Sekarang kabut itu
telah pergi, dan perasaan itu kembali menyinari
hatinya. Cinta pertama itu bersemi kembali.

“Kalau tidak ada perubahan, besok kita harus


membawanya ke dokter,” Wulan mulai mengompres
kening Revan, “kasihan. Kondisinya lemah begini,
tapi dia nekat jauh-jauh kemari dan melakukan hal-
hal yang menguras tenaganya.”

Green terdiam cukup lama mendengar ucapan


mamanya barusan, “Mama pasti sudah tahu
ceritanya, ya…” tebaknya.

Wulan menatap Green dan mengangguk pelan, “Dia


menceritakan semua yang terjadi, dan semua
kegelisahannya.”

“Green merasa bersalah…”

276
“Tak ada yang perlu disesali, yang penting kita sudah
tahu kebenarannya, kita hanya perlu memetik
hikmahnya saja,” ujar Wulan bijaksana.

“Ma, bolehkan Green tetap di sini menjaga Revan?


Bagiamanapun Green merasa bersalah, dan merasa
bertanggung jawab atas semua ini.”

Wulan terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata,


“Baiklah, kamu rawat dia baik-baik, ya.”

“Makasih, Ma,” sahut Green lega.



“Siapa dia… sepertinya mereka sudah lama saling


mengenal. Caranya memandang… lalu dia
menggenggam tangan itu, meletakkannya di
dadanya… Siapa dia…?” gumam Tama.

Tama berbaring resah. Dia bahkan belum


sempat berganti pakaian. Dia masih belum ingin
memercayai yang dilihatnya tadi. Dia menyaksikan
kejadian itu dengan jelas dari balik pagar, lewat pintu
yang tebuka lebar. Tama mengawasi mereka cukup

277
lama. Pembicaraan itu sepertinya sangat pribadi,
seolah-olah ada rantai emosi diantara keduanya.

“Ah, apa sih yamg kupikir?” Tama mencoba menepis


pikiran buruk itu dengan mengacak-acak rambutnya
sendiri.

Malam itu dia bermaksud menemui Green


untuk membicarakan masalah yang belakangan
mengusik hubungan mereka. Tapi yang
disaksikannya tadi, apa artinya? Dengan perasaan tak
menentu Tama memacu motornya diikuti derum
yang menggelegar memekakkan telinga.

“Cowok itukah yang mengusik pikiran Green akhir-


akhir ini?” Tama semakin resah dan merasa tidak
nyaman, “diakah yang membuat Green berubah?
Jangan… jangan sampai Green berpaling darinya,
siapa cowok itu…?”pikir Tama.

Tama mencoba menghubungi ponsel Green.


Tak ada jawaban. Berulang kali dia mencoba, tapi
ponsel cewek itu tidak aktif.

“Aku tidak bisa tanpa kamu, Ren…aku belum pernah


sesayang ini sama cewek… aku tidak mungkin

278
sanggup kehilanganmu… siapa pun cowok itu,
jangan sampai merusak hubungan kita…” lirih
Tama.

Tama benar-benar cemas, walaupun belum


sepenuhnya yakin dengan apa yang dilihatnya. Dia
terus mengulang-ulang ucapannya sampai akhirnya
benar-benar terlelap.



279
Enambelas

G
reen tersentak oleh getaran ponselnya.
Dia mengamati layarnya dan terdiam.
Hatinya langsung resah, tersadar masih
ada masalah yang harus diselesaikannya dengan
cowok ini. Dia sama sekali telah lupa. Revan
membuatnya lupa segalanya, menyedot segenap
pikiran dan perhatian Green, sehingga dia tak sempat
memikirkan hal lain selain dirinya dan Revan.

Green memperhatikan ponselnya yang masih


berkedip-kedip. Tama terus mencoba
menghubunginya. Tapi Green masih enggan

280
menjawab, dia ingin menenangkan pikirannya yang
baru saja terbebas dari beban masa lalu. Akhirnya
ditekannya tombol OFF. Setidaknya malam ini
HPnya tidak akan mengganggunya.

“Maaf,” bisik Green pelan.

Ia meraba leher Revan. Demamnya mulai


turun. Dia terus menatap cowok itu. Sesekali Revan
mengerang tidak jelas kemudian kembali tenang.

“Semua ini… ah, kenapa begini jadinya?” pikir


Green.

Perhatiannya teralih pada diary di meja


belajarnya. Green bangkit berdiri, mengambilnya,
lalu kembali duduk di samping Revan. Hati-hati dia
melepaskan staples hingga halaman-halam itu
terbuka. Dengan lebih tenang dia mencoba membaca
beberapa di antaranya.

281
Sabtu, 16 April 2011

Hari ini di sekolah sangat menyenangkan. Walaupun


setelah ku ingat-ingat lagi, tak ada hal istimewa.
Tapi bukankah besok hari Minggu? Ah ya, aku ingat
besok hari Minggu, dan aku senang. Tapi tepatnya
bukan hari Minggu yang membuatku gembira.
Melainkan karena hari itu berarti aku les musik!
Jari-jariku sudah gatal ingin memainkan musik dan
sebaiknya besok aku berlatih dulu sebelum
berangkat les. Aku ingin menunjukkan padanya
permainan musikku, meskipun mungkin belum
terlalu bagus.

Oh tidak! Apa sih yang aku pikirkan? Entahlah…


Sejak tiga hari yang lalu aku selalu memikirkannya.
Aku bahkan sangat suka mendengar segala sesuatu
tentangnya dari Green. Aku jadi mengetahui
kebiasaannya, kesenangannya, dan jantungku
berdebar setiap kali mendengar semua hal tentang
dia!

Belum pernah perasaanku begini melambung. Aku


hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu

282
bersamanya. Aku terkesan saat pertama kali
berkenalan dengannya, dan kembali terkesan saat
mendengar permainan musiknya. Dia sungguh
memesona!

Green menarik napas dalam-dalam. Love at


first sight. Itulah yang dialami Faren. Green
merenung. Tentu saja dia tidak pernah menduga hal
ini dapat terjadi. Salahkah Faren? Entahlah, tapi
siapakah yang bisa mengendalikan perasaan cinta?
Green melanjutkan membaca. Sesekali dia
mengganti kompres Revan dan meraba suhunya.
Sepertinya sudah mulai membaik.

Minggu, 17 April 2011

Tadi aku memainkan lagu bersamanya. Aku yakin


tidak salah lihat, dia sangat memesona saat
bermain. Wajahnya tenang dan dia menjiwai m

283
usik yang dimainkannya. Permainannya benar-benar
sempurna. Rasa penasaranku kembali muncul.
Untuk apa dia di sini?

Akhirnya aku menyela permainannya dengan


pertanyaan itu. Dia berhenti bermain, berpikir
sejenak, lalu mengatakannya.

Dia ingin membuat pertunjukkan musik sederhana.


Aku mengerutkan dahi tidak mengerti. Lalu dengan
wajah sedikit malu dia mengatakan sebenarnya dia
menyukai Green. Dia ingin membuat kejutan itu
untuk merayakan ulang tahun Green sekaligus
mengungkapkan perasaannya. Semangatku lenyap
seketika. Green pasti akan bahagia hari itu,
bukankah ini yang di tunggu-tunggunya selama ini?

Dia belum tahu apa persisnya yang akan


dilakukannya. Tapi katanya dia akan sangat
membutuhkan bantuanku untuk membujuk teman-
temanku agar terlibat dalam rencana ini.

284
Sekali lagi Green menyesali dirinya yang
telah gegabah. Dia telah melewatkan hal-hal penting
yang justru berlawanan dengan kesimpulan awal
yang telah ditariknya. Dia merasa malu, bodoh, dan
kekanak-kanakan. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Ada
satu hal yang belum disampaikan Revan padanya,
seperti hal yang cukup pribadi. Green pun membalik-
balik halaman diary itu sampai menemukan apa yang
dicarinya.

Rabu, 4 Mei 2011

Tak terasa tiga minggu telah berlalu sejak Revan di


les musikku. Kami telah membentuk kelompok yang
terdiri atas lima belas orang untuk memainkan
aransemen yang diinginkan Revan. Aku menikmati
kebersamaan dengannya, walaupun tahu dia berada
di sana semata untuk Green. Tapi, entah mengapa
hal itu tidak membuat perasaanku surut. Green
benar, cinta itu rumit. Aku bahkan tidak bisa
memahaminya, bahkan di saat aku sendiri
merasakannya.

285
Waktuku untuk bisa bersamanya terasa semakin
singkat. Sebulan lagi ulangan kenaikan kelas, dan
Revan telah memutuskan untuk sementara kami
berhenti latihan dulu. Lagi pula, permainan kami
sudah sangat bagus dan tinggal disempurnakan
sedikit lagi. Sementara itu, dia akan menyiapkan
kejutan lain sendiri. Ah, lemas aku
membayangkannya. Dua mingu setelah kenaikan
kelas kami akan berulang tahun, dan setelah itu aku
harus melepaskannya.

Entah apa yang kupikirkan saat aku memberanikan


diri memintanya menemaniku ke kafe. Mungkin ini
sangat konyol, tapi aku akhirnya menyatakan
perasaanku padanya. Yah, hanya sekadar supaya
dia tahu saja.

Kamis, 5 Mei 2011

286
Akhir-akhir ini perasaanku aneh. Entahlah, aku
merasa seakan… seakan takkan pernah bertemu lagi
dengan orang-orang yang kusayangi. Aku tidak tahu
apakah itu hanya perasaan atau terbawa mimpi
buruk. Aku merindukan Mama, Daddy, Green, dan
Revan, meskipun mereka ada di dekatku. Perasaan
macam apakah itu?

Aku pun jadi ingin bangun lebih awal dan


memandangi langit pagi serta alam sekitarku. Aku
ingin tidur lebih larut dan kembali memandangi
langit berbintang, berayun seakan langit semakin
dekat denganku.

Hari ini aku meminta Revan menemuiku. Rasanya


pikiranku aneh dan aku memintanya jadi pacarku.
Aneh, aku sendiri tidak bisa memercayai bahwa aku
mengatakannya. Yang kutahu, perasaan itulah yang
mendorongku melakukannya. Detak-detak jantungku
seakan selalu berkata: sebelum terlambat… sebelum
terlambat… sebelum terlambat.

Sebelum terlambat apa? Entahlah… yang jelas aku


akhirnya menyatakan perasaanku. Revan menolak
dengan berbagai alasan dan argumen. Tapi yang

287
kutahu, pokoknya Revan harus mau dan akhirnya
aku pun berhasil meyakinkannya, bahwa itu hanya
untuk sementara. Setelah kami berulang tahun, dia
akan bersama Green dan aku tidak akan
mengganggunya lagi…

Green menutup diary. Sekujur tubuhnya


merinding. Jadi, mereka memang sempat menjalin
hubungan, tapi tidak seperti dugaan Green. Itu adalah
permintaan Faren sebelum dia pergi.

Air mata kembali membasahi wajah Green.


Air mata penyesalan. Dia sudah salah paham. Ini
bukan seperti yang dibayangkannya… Faren bahkan
tidak sempat berumur tujuh belas.

Tiba-tiba tangannya digenggam seseorang.


Green tersentak dan menoleh tanpa sempat
menghapus air matanya. Revan sudah bangun.

“Hei, kok bangun? Ayo tidur lagi…” bisik Green


seraya memaksakan senyuman.

288
“Aku di mana?” kata Revan mengerjap dan menatap
sekelilingnya, “sekarang jam berapa? Kamu…
kenapa nangis?”

“Tidak apa-apa,” Green mengusap air matanya,


“kamu sekarang ada di kamarku. Dan sekarang sudah
jam satu.”

“Hah?! Jam satu?” Revan mencoba bangkit, namun


langsung ditahan Green dengan kedua tangannya.

“Eh, kamu istirahat dulu saja. Ini jam satu pagi,


Van.”

“Tapi kamu kok tidak tidur…”

“Sudah… tidak apa-apa, tenang saja, aku jagain


kamu di sini.”

“Aku sudah tidak apa-apa, Ren. Sudah lumayan.


Mendingan kamu tidur, besok masuk pagi, kan?”

Green berpikir sejenak. Sebenarnya kalau boleh


memilih, dia ingin menemani Revan sampai pagi.

“Ren… aku jadi tidak bisa tidur tenang kalau kamu


sendiri tidak istirahat. Please…”

289
“Ya sudah, tidur yang nyenyak ya,” ujar Green sera
menyelimuti Revan. Lalu dia bangkit berdiri dan
berjalan ke pintu.

“Ren…”

Green menghentikan langkah dan berbalik, “Hm?”


gumamnya.

“Tidur nyenyak, ya.”

“Kamu juga, ya,” sahut Green seraya mematikan


lampu.

“Ren?”

“Apa lagi?” Green kembali berbalik.

“Love you.”

“Me too…” balas Green tanpa berpikir panjang.


“Aku matiin lampu, ya?”

“Oke,” sahut Revan, “makasih, ya…”



290
Green berbaring di samping mamanya
dengan mata nyalang. Pikirannya tak henti
menyuarakan kegalauan hatinya. Apakah dia masih
bisa memilih? Revan masih menyayanginya dan dia
telah mengalami banyak kesulitan serta berkorban
begitu banyak. Dan sekarang dia datang membawa
cinta yang sejak dulu sangat di nanti-nantikan Green.

Tama tidak tahu-menahu tentang Revan dan


Revan bahkan juga tidak tahu dia sudah jadian
dengan Tama. Perasaan Green tidak menentu. Apa
yang harus dilakukannya? Haruskah dia
memanfaatkan pertengkaran mereka untuk menjauhi
Tama dan kembali kepada Revan? Bodoh.

Tentu saja dia tidak sekeji itu, tidak, itu bukan


dirinya. Tapi apa yang harus dilakukannya sekarang?
Green sangat bingung.



291
292
Tujuhbelas

P
agi itu Green terlambat tiba di sekolah.
Setengah berlari Green menuju kelasnya
dan heran sendiri melihat siswa-siswa
masih berkeliaran di koridor dan taman. Dia
mendapati Haikal dan Tiara yang berdiri di depan
pintu kelas.

“Hai, tidak ada pelajaran, ya?” tanya Green terengah-


engah.

“Lagi ada rapat,” sahut Tiara, “biasa, membahas


ulangan kenaikan kelas.”

“Oh, begitu ya,” kata Green sambil ikut bergabung,


“baguslah.”

“Hei, taruh tas dulu gih,” celetuk Haikal.

293
“Bilang saja mau berduaan…” kata Green seraya
ngeloyor masuk kelas.

Sesampai di kelas, langkah Green melambat ketika


menyadari seseorang telah menduduki bangkunya.

“Hai,” sapa Green dingin.

Cowok itu mendongak dan wajahnya seketika


menjadi cerah melihat kedatangan Green. Dia
tersenyum lebar, “Hai juga, Honey!”

“Kenapa kamu cengar-cengir tidak jelas begitu?”


katanya dengan tampang malas.

“Cengar-cengir tidak jelas bagaimana? Ke taman


yuk!” ajak Tama seraya menarik tangan Green.

Dalam hati Green bertanya-tanya apa yang


membuat cowok itu tiba-tiba jadi aneh.

“Kamu kenapa sih?!” Green tidak tahan menyimpan


rasa penasarannya.

“Kenapa apanya? Aku baik-baik saja kok!” ujar


Tama

“Oh, ya? Kayaknya tidak biasa banget deh pagi-pagi


kamu sudah nongol kelasku. Dan tampang kamu itu

294
kelewat bahagia! Tidak biasa dan aneh!” tukas
Green.

“Memangnya salah ya aku merasa bahagia karena


bisa sama cewek yang paling aku sayang di seluruh
dunia?” ujar Tama, “mana paginya juga cerah
begini…”

“Aku bilang aneh ya aneh!” Green tetap ngotot.

“Terserah kamu mau bilang apa deh, Honey!” kata


Tama lagi. Ditariknya Green ke bangku taman yang
mengelilingi pohon.

“Kejutan!” kata Tama sambil memamerkan sebatang


cokelat besar di hadapan Green.

Green sangat heran dengan sikap Tama yang


berubah drastis. Bukankah kemarin mereka baru saja
bertengkar. Sekarang tiba-tiba sikap Tama kelewat
ceria.

“Hei, Darling, kok bengong?” tegur Tama.

“Kamu kenapa sih?!” kata Green, raut wajahnya


sebal.

295
“Eh, eh, kok begitu sih? Kamu kok marah, jangan
begitu sayang,” Tama malah menanggapi dengan
manis.

“Tama!!!”

“Oke-oke” Uujar Tama sambil mengangkat kedua


tangannya, “pissss,” katanya lagi dengan senyum
lebarnya, “aku lebih senang liat kamu sebal begini
daripada kamu diam kayak musuhin aku. Apa pun
akan aku lakukan asal aku tidak kehilangan kamu,”
lanjutnya.

Green diam saja dengan tampang cemberut.

“Memang aku salah apa sih?” tanya Tama, “salah ya


aku kasih cokelat? Tapi kayaknya tidak deh! Malah
pas banget aku kasih cokelat di saat-saat begini.
Soalnya aku sering baca, cokelat mengandung
phenethylamine yang bisa memperbaiki suasana hati.
Nah, bagus sekali, kan?” cerocosnya cepat kayak
kereta api.

Green masih bertahan dalam diam. Lebih


baik dia nunggu sampai cowok ini capek sendiri
dengan kekonyolannya.

296
Menyadari cokelatnya tidak mendapat
sambutan, akhirnya Tama membuka sendiri cokelat
itu lalu menawarkan sepotong kepada Green.

“Ren, ayo senyum dong…” bujuknya seraya


menatap Green lembut. Tama tersenyum.

Benteng Green pun roboh, dan ia pun


tersenyum manis yang sudah sangat dirindukan
Tama. Green tidak habis pikir, cowok ini selalu
punya cara tidak terduga untuk menghibur dan
meluluhkan hatinya.

“Kemarin kamu tidak ajakin aku ke kantin, tapi


malah milih sama Tiffany. Aku lihat kalian dan aku
jengkel,” kata Green tanpa memperlihatkan raut
marah ataupun sakit hati.

Tama mennghembuskan napasnya kasar, “Ren…


semua itu bukan kemauanku. Aku sudah berusaha
menolak, tapi Tiffany ngotot.”

“Bagaimanapun yang harus kamu cari itu aku!”

“Aku tahu, tahu banget. Tapi kamu sendiri tahu


Tiffany seperti apa!” Tama berusaha meyakinkan.
“Kamu masih ingat aku pernah bilang sekalipun ada

297
seribu Tiffany menggodaku setiap hari, perasaanku
ke kamu tetap tidak akan berubah, perhatianku buat
kamu tidak akan berkurang, yang aku butuhkan
hanya kepercayaan dari kamu, ingat tidak?” jelas
Tama dengan raut wajah yang amat sedih.

“Kayaknya iya,” ujar Green, “terus kenapa?”

“Kamu percaya sama aku?” tanya Tama dengan raut


muka serius.

“Mungkin.”

“Kenapa mungkin?” Tama protes, “Ren, sekarang


kamu lihat aku. Lihat, aku bohong apa tidak.”

Green terus menunduk, “Yang jelas aku tidak suka


kamu kayak begitu.”

“Ren… aku sayang banget sama kamu. Kalau itu


mengganggu pikiranmu, baiklah. Mulai saat ini aku
akan menjauhi Tiffany, dan aku tidak akan dekat
sama cewek mana pun. Janji?” kata Tama sambil
mengacungkan kedua jarinya, “tapi, asal kamu juga
janji tidak bakal ninggaalin aku dengan alasan apa
pun, sampai kapan pun. Janji? kamu bisa janji, kan?”
desak Tama.

298
Green terkesiap mendengar kalimat terakhir
cowok itu. Dia tidak sanggup berjanji.

“Aku bukan Tiffany yang senang menopoli atau


mengekang pergaulanmu dengan teman-teman kamu
itu,” kata Green, “kamu tidak perlu berjanji kayak
begitu. Aku cuma tidak suka kamu lebih memilih
bersama orang lain, siapa pun itu, dan ninggalin aku
sendiri.”

“Apa pun mau kamu, Ren, aku tidak keberatan. Tapi


kamu harus janji tidak akan pernah ninggalin aku
dengan alasan apa pun sampai kapan pun.” Ujar
Tama serius.

Astaga, pertanyaan itu lagi.

“Ren! Green!!!” sebuah suara mengalihkan perhatian


mereka.

Mereka menoleh dan melihat Tiara berlari-lari


menuju mereka.

“Ada apa, Ra?” Green bergegas bertanya.

“Gawat… gawat… gawaaatttt!”

“Apa yang gawat?”

299
“Pak Efendy marah besar karena kita tidak ada di
kelas ngerjain tugas!”

“Terus?”

“Dia ngasih tambahan 75 soal esai dan harus selesai


hari ini juga! Pokoknya paling telat jam 00.00 harus
sudah terkumpul semua!”

“Terus?”

“Ya ampun, Ren… ayo, kita mulai sekarang! Total


soalnya ada seratus lima dan susahnya minta
ampun!” Tiara menarik tangan Green, “hai, Kak!
Greennya di pinjam dulu ya…!” lanjut Tiara.

“Eh, tuggu!” kata Tama seraya menahan tangan


Green yang bebas, “kamu janji, Ren?”

“Ya Tuhan… masih sempat-sempatnya si Tama


ngotot begitu?” Green membatin, “Astaga, aku lupa
kamu tadi nanya apa… aku balik dulu, ya!” kata
Green seraya melepas tangannya dan menyusul
Tiara.

“Jelas sekali Green tidak mau berjanji…” lirih Tama


kecewa dengan sikap Green.



300
Pukul 18.10

Serentak semua siswa 2 IPA 4 menggeliat


sambil mengerang kecapekan. Soal matematika yang
nyaris bikin sinting itu selesai sudah.

“Ya ampun, ini sih penyiksaan!” teriak Tiara


histeris.

Green mengikuti siswa-siswa lain ke luar kelas.


Langit sudah mulai biru gelap.

“Ren!”

Green sangat mengenali suara itu. Tama


sudah menarik Green keluar dari rombongan teman
sekelasnya.

“Belum pulang?” tanya Green tidak percaya.

“Aku nungguin kamu dari tadi.” wajah Tama tampak


lelah, namun dia tetap tersenyum cerah, “nih, aku
beliin buat kamu,” katanya sambil menyodorkan
bungkusan kertas kepada Green.

301
“Apa ini?” Green membuka bungkusan itu.

“Roti bakar. Masih hangat, kan? Makan gih, kamu


pasti lapar banget,” Tama merangkul pundak Green.

Tanpa banyak bicara Green segera saja


menyikat habis roti bakar itu. Rasanya dia ingin
menangis. Cowok ini baik sekali, dan begitu
menyayanginya. Bagaimana mungkin dia tega
melukai hati yang tulus mencintainya ini? Mereka
berdiri di samping motor Tama.

“Oh ya, nih minumnya,” kata Tama sambil


menyodorkan sebotol susu cokelat kepada Green,
“biar tambah kuat, dan tidak lemas lagi,” lanjut
Tama.

Green hanya bisa menatap Tama. Cowok itu


tersenyum, tapi matanya jelas tidak bisa berbohong.
Green menemukan sebersit kesedihan di sana.

“Apa yang kulakukan?” batin Green.

Tangis Green pun pecah saat itu juga.

“Maafkan aku!” bisik Green. Dia terisak.

“Hei, kok sampai terharu biru begitu sih?” kata Tama


seraya membelai rambut Green.

302
“Konyol, tidak perlu nangis, tahu” kata Tama sambil
menghapus air mata Green.

“Ma… af…” isak Green.

“Tidak apa-apa, cepat minum susunya, kasihan


badan kamu, pasti capek banget,” kata Tama.

Green hanya menunduk dan menghabiskan susunya.

“Nah, pintar. Pulang yuk!” ajak Tama. Dia


menghidupkan motornya, siap mengantar Green
pulang.

Green masih terpana memandang Tama.


Kenapa cowok itu membohongi dirinya sendiri?
Green sangat yakin bahwa dia melihat mata itu
sempat berkaca-kaca.

“Halooo…” Tama membuyarkan lamunan Green.

“Eh, iya,” sahut Green sambil naik ke boncengan.

“Ren?” panggil Tama.

“Ya?” sahut Green.

“Kalau kamu ngantuk tidur saja, aku tidak bakal


balap-balap kok.”

303
Perasaan Green semakin luluh. Tama bahkan
memperhatikannya sampai ke hal-hal kecil seperti
itu.

“Makasih ya,” kata Green.

Mungkin begitu lebih baik, jadi dia tidak


perlu bicara apa-apa dan masalah hari ini tidak perlu
diungkit lagi.



304
Delapanbelas

“Bagaimana? Kamu suka? Bagus, kan?” tanya Green


tidak sabar. Dia mengajak Revan ke Cake Resort
untuk menghabiskan sisa waktu yang sangat singkat
itu sebelum Revan pulang ke Bogor. Green tahu
hatinya sedih, dan dia juga tahu hati Revan sedih.
Tapi dia tidak tahu perpisahan ini sebaiknya diwarnai
kesedihan ataukah kebahagiaan.

“Bagus? Bagaimana kalau luar biasa? Atau adakah


kata-kata lebih bagus daripada itu?” Revan
tersenyum tulus. Green senang melihatnya.

Mereka mengobrol seputar dunia sekolah dan


ulangan sambil menikmati beberapa cake dan puding

305
dengan cappuccino cream. Untuk sesaat semua terasa
seperti dulu, saat mereka masih bersama dan bahagia.

Pelan Revan melirik jam tangannya dan wajahnya


berubah murung. Green tahu apa artinya itu. Mereka
sama-sama terdiam. Jantung mereka berdetak dengan
irama yang sama. Mereka tidak menginginkan
perpisahan ini.

“Kalau saja waktu bisa berhenti, aku tidak akan


pernah beranjak dan akan selalu berada di sisimu,”
bisik Revan. Hati Green langsung mencelos, tulang-
tulangnya melemah,“tapi lihat, jarumnya terus
berputar,” lanjut Revan, suaranya gemetar.

Green kembali ingin menangis. Sejak Revan


kembali ke dalam hari-harinya, Green jadi sering
menangis. Menangis masa lalu yang membuatnya
bagai terjebak dan tak tahu harus melangkah ke
mana.

“Oh ya. Aku ada sesuatu buatmu,” Revan


mengeluarkan kotak kecil dari bahan beledu biru
gelap dan menyerahkannya kepada Green, “hadiah
ulang tahunmu.”

306
Green menatap Revan sesaat, lalu membuka
kotak itu. Dia tidak sanggup berkata-kata. Di dalam
kotak itu tampak gelang dengan liontin bertuliskan
nama mereka, Green Revalin. Ia mengangkat tangan
dan menyentuh lehernya, meremas liontin kupu-kupu
pemberian Tama dengan lemah. Ah, rasanya seolah-
olah dia kembali dihadapkan pada dua pilihan yang
sama beratnya.

“Walaupun keadaannya sudah berbeda, tetap saja


gelang itu harus aku berikan, karena sejak awal,
kalung itu sudah jadi milik kamu,” bisik Revan lirih,
“Ren, aku boleh minta sesuatu?” tanyanya lagi.

Green mengangguk sambil terus menunduk menahan


air mata.

“Bolehkah… untuk saat ini saja, kamu pake gelang


ini buatku?” pinta Revan hati-hati.

Green menatap cowok di depannya. Sorot


kesedihan itu, Green tidak sanggup melihatnya
terluka begini. Sebab ini membuat dirinya semakin
terluka.

307
Green mengangguk. Untuk pertama kali dia
melepaskan gelang pemberian Tama, lalu
membiarkan Revan memasangkan gelang hadiahnya
di lengan Green.

“Kamu selalu cantik,” Revan tersenyum. Di tatapnya


Green lama sekali, “Aku harus pergi,” ujarnya sangat
sedih. Pasti sulit sekali baginya untuk mengatakan
hal menyakitkan semacam itu.

Akhirnya tangis Green pecah. Dia mencoba


menyeka air matanya, tapi air mata itu terus mengalir
seolah takkan pernah berhenti.

“Sudahlah…” bisik Revan seraya membelai rambut


Green, “sudahlah, kalaupun kamu tidak akan pernah
mengenakan gelang ini, tolong jaga baik-baik ya?”
ujar Revan, “Green Revalin,” sungguh nama yang
indah, bukan? Dan jika itu bukan nama, pasti dia
adalah kenangan indah. Jika dia bukan kenangan,
pastilah untaian nada, berarti sesuatu yang sangat
indah, merdu, luar biasa. Ya, mungkin saja begitu.”

“Suatu hari nanti… mungkin kita akan bertemu lagi,”


Akhirnya Green berhasil menemukan suaranya.

308
“Tentu saja, di mana pun Green Revalin berada, saat
dia memanggil. Aku akan berlari mengejarnya,”
Revan berkata pedih. Dia tahu dia harus segera pergi.

“Semoga begitu,” bisik Green.

Sebaiknya dia tidak menangis lagi.


Seharusnya bukan begini Revan mengingatnya,
bukan Green yang sedang menangis, melainkan
Green yang tersenyum manis untuknya. Akhirnya
Green berhasil menghentikan tangisnya. Revan
menatap Green, pipinya memerah, matanya yang
biru redup.

“Bisakah aku mengatakannya? Sanggupkah aku


menyampaikannya? Jika tidak, sampai kapan aku
harus menunggu?” Revan menarik napas dalam-
dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan.

“Ren, aku harus pergi,” katanya, “jangan menangis


lagi ya. Tersenyumlah, Green …”pinta Revan
menguatkan Green. Namun sebenarnya Revan juga
merasakan hal yang sama.

“Bagaimana caranya tersenyum? Rasanya aku sudah


tidak ingat lagi,” Green membatin.

309
“Please, jangan sedih gitu dong!!” pinta Revan
sambil tersenyum.

Dengan susah payah Green mencoba tersenyum.

“Nah, begitu dong,” kata Revan seraya menyeka


sisa-sisa air mata gadis itu.



Revan telah pergi. Pergi membawa luka dan


meninggalkan sesal. Dia tidak mendapatkan apa yang
dicarinya.

Green mengambil segenggam pasir lalu


meremasnya. Dalam sekejap, butiran-butiran pasir
berjatuhan dari antara jemarinya. Green menatap
jauh ke depan. Titik terakhir matahari sebentar lagi
menghilang, meninggalkan sedikit rona jingga yang
akan mengantarkan malam.

Cintanya telah tenggelam, cinta pertama yang


entah sampai kapan akan terus membayanginya.
Cinta itu telah pergi dan dia harus me2upakannya,
melupakannya untuk selamanya.

310
“Apakah Revan juga akan melupakannya? Aku tahu
begitu sulit dan sakitnya melupakan. Tapi bagaimana
dengan dilupakan?”batin Green.

Green tak tahu mana yang lebih buruk,


melupakan ataukah dilupakan, karena keduanya
sama-sama buruk.

Green memeluk lututnya dan


menyembunyikan wajahnya di sana. Tangannya
menggenggam gelang pemberian Revan. Langit
semakin pekat, dan Green tidak tahu mengapa dia
masih di sana. Angin dengan lembut membelai
rambutnya dan membawa kesedihannya terbang
menjauh selapis demi selapis. Empasan ombak
terdengar begitu indah dan menenangkan. Green
semakin larut dalam kesendiriannya dan merasa
sangat damai.

“Jangan pernah berbuat bodoh seperti ini lagi.”

Green tersentak, mengangkat kepala lalu tersenyum.

“Tidak, aku tidak pernah berbuat bodoh,” tukas


Green.

311
“Memangnya tindakanmu ini tidak bodoh? Datang
ke sini sendirian, dari siang sampai malam, tanpa
memberitahu siapa pun dan mematikan HP pula.
Bukannya itu bodoh dan ceroboh? Bikin cemas
saja!”

Green tersenyum dan menatap Tama penuh


kerinduan. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun
mereka tidak berjumpa.

“Ada apa?” tanya Tama.

Green menggeleng, lalu menunduk menatap pasir.

“Bagaimana cara kamu ke sini sendiri? Kamu benar-


benar nekat,honey.”

“Entahlah. Yang aku tahu aku melangkah dan sampai


di sini.”

“Begitu saja? Terus kamu tidak berpikir bagaimana


pulangnya? Apa kamu pikir kamu pasti aman sampai
di rumah, hmm?”

“Aku memang tidak mikirin itu. Karena aku tahu ada


seseorang yang akan menjemputku di sini. Itu
sebabnya aku merasa aman dan tenang. Dan ternyata
aku tidak salah, kan?”

312
Tama hanya bisa tersenyum, lalu merangkul bahu
Green, “Lain kali jangan begini lagi, ya?” bisiknya.

Sejenak mereka sama-sama terdiam. Lalu Tama


teringat sesuatu.

“Ren?”

“Hmmm?”

“Kamu mau janji, kan?” katanya hati-hati, “bahwa


kamu tidak akan pernah ninggalin aku dengan alasan
apa pun, sampai kapan pun?”

“Terus Tiffany bagaimana?” Green ganti bertanya.

“Aku sudah tegasin ke dia sekali lagi. Akhirnya dia


sudah bisa nerima. Jadi gimana? Kamu mau janji?”

Green menoleh, lalu tersenyum tulus, “Janji.”

Tama menikmati udara yang dihirupnya


setelah itu. Inilah yang ditunggunya. Inilah yang
dibutuhkannya. Kesediaan dan ketulusan Green
untuk sesuatu yang akan membuat mereka bertahan.

Green merebahkan tubuhnya di pasir yang


halus dan mendapati langit melingkupinya dengan
indah. Lagi-lagi langit itu, yang seakan tersenyum
kepada mereka dengan titik-titik kecil yang berkedip-

313
kedip. Tama ikut merebahkan tubuh. Kelelahan
seakan melebur ke bumi dan meninggalkan jiwa
mereka yang lemah.

“Aku lega,” ujar Green kemudian.

“Aku sangat bahagia,” sambung Tama.

Green menoleh dan tersenyum. Jemari


mereka saling menjalin. Seberkas perasaan sedih
masih tersisa di hatinya. Tapi inilah skenario
hidupnya dan semoga Revan juga bisa menemukan
kebahagiaannya sendiri. Masa lalu yang sederhana
itu kadang terasa rumit. Tapi di sanalah Revan
berada.

Cintanya saat ini, akan menjadi masa lalu di


hari esok. Namun akan mengiringnya sampai nanti.
Di sanalah ia dan Tama akan berjalan. Dan semoga,
mereka dapat bertahan.



314
Tentang Penulis

NURWAHYUNI, kelahiran Pangkaje’ne, Sulawesi


Selatan, 02 Februari 2000. Anak kelima dari lima
bersaudara. Sekarang bersekolah di SMAN 11
Pangkep.

315

Anda mungkin juga menyukai