Fiks
Fiks
2
Ucapan
Terima Kasih
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan
segala nikmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas Bahasa Indonesia yang diberikan oleh Pak Arsyad
yaitu membuat novel.
i
Daftar Isi
ii
Prolog
K
onflik yang ia hadapi semakin membuat
batin gadis ini merasa dipenuhi sesak
yang tiada henti. Ia dilahirkan dari orang
tua yang sejak kecil memilih untuk menjalani
kehidupannya masing-masing. Ibunya memilih untuk
bersolo karir membuka cabang toko kue dimana-
mana, ayahnya sibuk menjalani profesinya sebagai
busines di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.
Namun, kasih sayang dari keduanya masih ia
rasakan. Sebut saja namanya Green.
1
Faren tumbuh sebagai cewek yang sangat feminim.
Cara bicara Faren lebih lembut dan penuh
pengertian, bacaan kesukaannya adalah majalah
kesehatan dan pengetahuan umum serta buku-buku
resep makanan. Faren senang bekerja di dapur
dengan Mama. Faren sangat senang main musik,
terutama piano. Green tidak terlalu feminim. Kalau
sudah ngomong Green suka ceplas-ceplos dan
senang berteriak. Hobi Green nongkrong di depan
TV dan channelnya juga channel anak nongkrong.
Green suka berenang dan setelah itu sibuk dengan
kertas gambar.
2
3
Satu
M
atahari mulai menampakkan dirinya di
ufuk timur. Sayup-sayup angin
berhembus, kicauan burung yang
bersiul semakin menambah keindahan suasana kota
Bogor saat itu. Hari ini adalah hari pertama Green
memasuki dunianya. Yup, hari pertama masuk
sekolah membuatnya merasa malas untuk bangkit
dari tempat tidurnya. Alarm yang ia setel semalam
pun juga tidak mempan untuk membuat tubuh gadis
ini beranjak dari mimpinya.
4
membuatnya malas datang ke sekolah di hari pertama
adalah masa orientasi dimana para senior yang sok
berkuasa pada juniornya. Dan hal itu yang sangat
tidak disukai oleh Green.
5
isi yang sepertinya sudah dibuat beberapa jam yang
lalu.
6
kanannya yang sibuk berlalu lalang tanpa
memperhatikan sosok gadis yang sedari tadi
kebingungan mencari ruangan kelasnya.
7
“Haha, pantas. Terus apa yang kamu lakukan disini ?
bukannya semua murid baru sudah ada di ruangan
masing-masing mengikuti pengarahan?” tanyanya
lagi dengan nada yang membuat Green semakin
tidak mampu menjawabnya.
8
“Tapi cewek disampingnya itu siapa?” tanya siswi
lain penasaran.
9
membicarakannya tanpa menoleh sedikit pun, begitu
pula dengan kak Yanda yang hanya terdiam di
samping Green. Menurut Yanda itu bukanlah
urusannya, toh orang yang menjadi bahan
pembicaraanya saja hanya diam.
10
Dua
G
reen berjalan sempoyongan. Sepanjang
koridor ia tak melihat seorang pun.
Suasana sekolah hari itu tidak seramai
biasanya.
11
kelas dan toilet ia melihat seorang siswi bersama
beberapa senior perempuan yang ditangannya ada
beberapa alat make-up yang digunakan untuk
mencoret-coret muka siswi itu. Tanpa berpikir
panjang Green mendekati dan berusaha membantu
siswi itu dari tangan-tangan senior yang tidak
bertanggung jawab.
12
hingga ia mendapatkan celah untuk kabur. Ia meraih
siswi tadi berlari menjauhi para senior-senior tadi.
Namun sialnya, lagi-lagi ia bertemu sosok yang
Green kagumi yaitu Kak Yanda.
13
Suara itu sangat familiar di telinga Green, yah
itu adalah suara yang dari tadi dicari oleh Green yang
membuatnya terlibat dengan masalah yang sedang
menimpanya saat ini.
“ Rin, kamu dari mana aja sih? Aku cariin dari tadi
juga,” tanya Green kepada sahabat barunya itu.
14
Ririn kepada Green yang langsung di angguki oleh
Green.
15
masih bingung dengan semua itu, belum lagi jika ia
bertemu dengan senior itu, mungkin ia akan
mendapat perhitungan karena telah ikut campur, tapi
bukan Green namanya jika ia hanya melihat
ketidakadilan itu tanpa turun tangan karena ia pernah
merasakan ketidakadilan itu. Di sepanjang jalan,
Green hanya melamun memikirkan hal itu dan itu
tidak lepas dari pengawasan Ririn. Ririn merasa
kasihan dengan sahabatnya ini.
16
“Oh iya Green lanjut dong cerita kamu tadi,” pinta
Ririn merengek seperti cacing penasaran.
17
terkejutnya ia, bayangan kejadian tadi pagi
membuatnya sontak kaget dan kebablasan. Tapi ia
heran mengapa senior-senior itu berlagak seperti
mereka tidak punya salah sama sekali.
18
“Itu Rin, senior yang aku ceritakan tadi ada di depan,
aduh bagaimana yah kalau dia sampai mengenaliku,”
jawabnya dengan raut wajah cemas.
19
“Green, buka pintunya nak,” pinta nenek green
mengetuk pintu kamarnya. Namun Green asyik
mendengarkan lantunan lagu penyanyi andalannya.
20
“Ih nenek, kok samain Green sama koala, yang lebih
imut kek kayak marmut gitu!” balasnya cengar-
cengir.
21
22
“Green pergi dulu yah, telat nih!” katanya
meninggalkan keduanya dan berlari masuk ke mobil
yang sedari tadi menunggunya.
23
Sesaat Green menatap anak kecil itu, matanya
yang masih jernih dengan pakaian urak-urakan yang
ia kenakan membuat hati Green iba. Namun anak
kecil itu masih saja bisa terlihat bahagia, tersenyum
dengan begitu tulus dengan keadaan seperti itu
sedangkan dirinya yang terbilang cukup berada
terkadang merasa hidup ini seperti tidak adil baginya.
Tanpa berpikir lagi Green meraih dompet yang ada
di dalam tasnya dan mengeluarkan uang 20 ribuan
dan memberikannya pada anak kecil tadi.
24
“Green, kamu sudah pulang nak,” kata neneknya
ketika melihat cucunya berlalu di hadapannya.
25
merasa tidak bahagia karena kehadiran ibunya lah
yang ia harapkan selama ini.
26
membicarakan itu. Sini deh kita masuk ke kelas,”
menarik tangan Green dan berlari menuju kelas.
27
Tiga
S
emua masalah yang menimpa Green
membuat dirinya sangat lelah. Namun ada
satu alasan yang membuat dirinya tetap
bertahan ditengah-tengah semua masalah itu. Yah,
ingin membahagiakan orang-orang tersayang seperti
kakek, nenek, serta ayah, ibu dan Faren.
28
seminggu. Mereka sepakat untuk mengunjungi pusat
pertokoan buku yang berada di tengah kota.
29
Green memandang di sekeliling, riuh ramai orang-
orang disana, tampaknya komunitas ini dihuni oleh
orang-orang elit dan eksis. Tiba-tiba pandangan
Green berhenti pada lelaki yang berdiri di dekat
panggung berpakaian sangat rapi dengan setelan
jasnya, begitu tinggi, tubuh yang tanpa lemak. Green
memandang sekilas ketika lelaki itu memasuki
ruangan. Hatinya melompat. Pandangannya menuju
ke arah setelan hitam elegan yang menutupi
lengannya. Berbagai macam pemikiran memenuhi
kepalanya tentang jas hitam yang tampak oke,
sedangkan setelan itu sepenuhnya salah. Bagaimana
kalau dia memakai jeans? Pengamatannya menjadi
tak penting lagi pada akhirnya. Dia terlihat begitu
fantastik dalam setelan itu, hingga membuat Green
tidak sadar kalau lelaki itu sudah berdiri di depannya.
30
“Maaf kak, tapi aku kurang pede seperti kakak yang
tadi,” Ucap Green sedih karena mengecewakan lelaki
itu.
31
“Sudah, kamu nggak usah tegang begitu. Gambarnya
udah jadi kok” katanya sambil berdiri mendekati
Green.
32
Belum sempat green membalasnya Michael
langsung berlalu meninggalkan Green yang masih
belum paham arti pertemuannya dengan laki-laki itu.
33
“Bercanda tau!” kata Ririn menyusul sahabatnya itu.
34
pelukannya dan ikut menangis bersama Green. Ririn
sangat mengerti bagaimana perasaan Green yang
sudah sangat terpukul dengan semua masalah yang
menimpanya dan ditambah lagi dengan dirinya yang
akan pergi ke Medan dan mungkin tidak akan
kembali.
35
From : 0846xxxxx
36
“Green rindu sama mama nek,” katanya memeluk
erat neneknya.
Tuutt.tutt..tuttt
Tutt.tuuttt
“Iya halo?”
37
“Mama ? Mama ..”
“Mama... ”
38
“Aduh Green, biarin mama kamu masuk dulu gih,”
tambah neneknya melihat anak kesayangannya
dengan raut lelah seperti itu. Maklum perjalanan
mereka kali ini sempat tersendak dikarenakan cuaca
yang tidak menentu.
39
40
“Waah… pantasan… aku juga sering perhatiin kamu
akhir-akhir ini suka melamun sendiri, senyam-
senyum sendiri, dan kayak lebih bahagia saja. Jadi
kamu lagi suka sama seseorang, ya?”
41
orang-orang sih…” Green buru-buru meralat, “tapi
kalau bagiku, jatuh cinta bikin kita merasa memiliki,
posesif, walaupun dia belum jadi pacar kita. Pacaran
itu awalnya jatuh cinta, tapi tidak semua jatuh cinta
bisa jadi pacaran. Yang jelas cinta itu rumit, lebih
rumit dari pada teori jagat raya kesukaanmu itu,
mengerti?” jelas Green panjang lebar.
GUBRAAAAKKKK!!!!
42
“Revan datang! Sumpah! Aku grogi nih! Grogi!!
Temani aku dong…” desak Green seraya mendorong
Faren keluar kamar, “dia sudah di ruang tamu! Aku
grogi banget…”
“Kenapa?!”
43
“Karena aku lagi jatuh cinta.”
44
Faren tidak sanggup mengatakan apa-apa selain
menunjuk gelas minuman Green.
BRRRRRRZZZZZ…!!!
45
Tak lama kemudian Faren kembali dengan dua gelas
lemon tea asli dan dua potong black forrest cherry
hitam yang sangat menggoda.
“Hari ini aku kan ada les musik, Ren…” sahut Faren,
“kok kamu jadi pelupa begitu sih?” godanya.
46
“Kesal kenapa?” tanya Faren menahan ayunan
dengan kakinya.
47
“Jangan pesimis begitu dong… Belum pasti kayak
gitu, lagi…” Faren menyemangati, “Aku yakin sekali
Revan punya perasaan yang sama ke kamu, kamu
tunggu saja” hibur Faren.
48
“Hmmm… kata kak Yanda, Revan itu tertutup soal
cewek. Tapi dari sikap Revan ke aku, kak Yanda
juga yakin Revan punya feeling. Katanya sih
mungkin dia lagi nunggu waktu yang tepat saja untuk
nembak…” jelas Green.
49
“Kenapa tidak bilang saja ke Yuki kalau kamu sudah
janji duluan sama aku?! Masa kamu lebih mentingin
teman daripada sodara sendiri sih?” bantah Green
tidak mau kalah.
50
“Maaf…”
51
Akhir-akhir ini Faren sering tidak punya
waktu untuk menemani Green. Sepertinya Faren
sibuk terus dengan kegiatannya, seperti mungkin
juga dialami semua siswa Courdia International
School (CIS).
52
telepon dan merosot duduk di samping meja.
Dunianya berputar cepat. Tubuhnya sekonyong-
konyong terasa sangat ringan, tulang-tulangya seperti
lenyap. Rasanya seperti bermimpi, “Ini hanya
mimpi… hanya mimpi…” Green meyakinkan
dirinya di antara deru napasnya yang memburu.
53
mereka ke tempat ini, dengan kondisi yang tak
terkatakan dan penuh derai air mata.
Faren hanya bertahan sebentar. Dia pergi
begitu saja tanpa sempat membuka mata, tanpa
54
memberi syarat apa pun. Disusul dengan kakek yang
tidak bisa tertolong lagi.
55
Faren. Green belum ingin mengakui bahwa apa yang
dialaminya itu nyata. Dia ingin menganggap dirinya
sedang bermimpi. Dan Green ingin segera terbangun
dari mimpi itu. Selama di sekolah, seperti biasa
Revan dan kak Yanda selalu bersamanya.
56
“Aku juga merasa kehilangan, Ren,” bisik Revan
kemudian, “ tapi tidak ada yang bisa kita lakukan
selain menerimanya.”
57
Kalau saja Faren masih ada, mereka pasti
akan bersorak kegirangan karena apa yang di nanti-
nantikan Green jadi kenyataan. Tapi sekarang,
pantaskah Green bergembira?
58
dan menghindar dari Green yang selalu merecokinya
dengan guaruan tidak bermutu. Kamar itu bahkan
penuh pernak-pernik Faren, seakan-akan itu kamar
miliknya. Akhirnya Green memutuskan untuk tetap
menggunakan kamarnya saja dan merapikan buku-
buku Faren yang masih tergeletak di meja.
59
Jumat, 13 Mei 2011
60
Green berdebar seru, ia beranjak menuju tempat tidur
dan meneruskan membaca diary itu.
61
jangan salahkan aku. Salahkan hati yang tak dapat
kukendalikan ini… Tapi satu hal yang pasti, aku
takkan merebut Revan darimu untuk selamanya.
62
amat sangat aneh itu di dapur. Bayangkan coba,
lemon teanya dikasih garam dan sari lemon yang
kelewat banyak. Dan aku nekat mencicipinya pula!
Sinting! Tapi aku salut padanya. lagian memang
tidak sia-sia kok, Revan cakep banget. Lebih cakep
daripada Tora, cowok most wanted di sekolahku.
Green benar-benar serasi dengannya. Aku sendiri
terkesima pada cowok itu, tapi entah kenapa aku
merasakan ganjil yang sedikit aneh, tapi kenapa itu
sangat menyenangkan. Lucu ya? Tapi aku juga
senang banget liat Green makin senang begitu.
63
namanya. Revan Alexander adalah Revan. Dia
mengajakku main music bersama. Dia menunjukkan
permainan pianonya yang sangat lincah sehingga
aku bertanya-tanya untuk apa dia ikut les musik.
64
itu? Green tak dapat melihatnya dengan jelas. Air
mata telah mengaburkan pandangannya.
65
pelan di samping lemari. Seharusnya diary itu telah
dicampakkan sejak dulu, dan lebih baik lagi kalau
tidak pernah ada!
66
Green hampir tak ingat ucapan Revan tadi
siang. Kalau dia tidak salah dengar, cowok itu bilang
sayang dan ingin menjadi bagian hidupnya.
Kebohongan dengan semua itu.
67
konyong berbalik dan menghunjam Revan dengan
hardikannya.
“IYA! JELAS?!”
68
perasaan ke kamu, bukan ini penyelesaiannya.
Kamu…”
69
perasaannya? Untuk kesekian kali Revan berkata
dalam hati, tidak mungkin.
70
bisa Green kepingin chat lagi. Green kangen sama
Daddy…
71
Semua itu semakin membuat Green terkurung
dalam kesedihan. Dan Green ingin lepas dari semua
itu. Kali ini kata-kata itu meluncur begitu saja
mengikuti perasaan yang selama ini dipendam
Green. Terutama sejak… terungkapnya
pengkhianatan Faren…
72
Green terkesiap dengan tuturan lembut
mamanya. Tentu saja dia sangat tidak keberatan.
Green sudah tidak tahan, ingin pergi jauh-jauh
meninggalkan semua ini.
Empat
73
“Green, kok kamu masih disini, mama tungguin loh
dari tadi di luar. Kasian nenek kamu dari tadi berdiri
menunggumu di depan. Ayo nak kita berangkat!”
seru mamanya tidak sabar.
74
tempat tidur dan memandang berkeliling. Dia
menghampiri sisi lemari yang sudah kosong, ia
menarik buku kecil yang nyaris terlupakan itu, diary
bergambar Emo Bear berwarna biru kusam. Diary itu
pernah basah oleh air matanya. Green memasukkan
diary itu ke dalam tas dan mengunci pintu.
75
emosinya sedikit mereda. Ah, semakin jauh
meninggalkan semua ini, semakin baik, batinnya.
76
Zrrt… Zrrrt…
77
Green menarik ponsel dari saku celananya.
78
79
“Ah… Tidak! Masih pengin nonton, Ma!” ujar
Green.
80
bernama Yanda itu memberondongnya dengan nada
menuduh.
81
“What?! Jangan bercanda, Ren!” Yanda benar-benar
tidak percaya, “Kamu kok tidak cerita sih? aku kan
sohib kamu, dan selama ini kita saling percaya.
Akhir-akhir ini kamu benar-benar berubah. Drastis!
Kamu udah nggak terus terang lagi ke aku, kamu
tidak berikan aku kesempatan buat bantuin kamu
keluar dari masalah kamu lagi. Kamu gimana sih,
Ren? Aku kehilangan kamu, tau nggak sih? Dan
sekarang aku harus nerima kenyataan kamu sudah
pindah tanpa pamit. Apa kamu nggak nganggep aku
lagi, Ren? Jujur, sekarang aku jadi kecewa sama
kamu,” cerocos Yanda, “aku ngerti apa yang kamu
alami itu…”
82
yang bisa aku percaya…” ungkap Green meyakinkan
Yanda
83
“Sekalian kamu lari dari masalah kamu, kan?” tuding
Yanda.
“…”Yanda terdiam.
84
Jogja, kamu mau kan, ketemu sama aku?” ujar
Yanda.
Zrrrt… zrrrt…
85
dan… agak jail,” Yanda tersenyum hampa, “kalau
saja aku bisa selalu ada buat bantu kamu...”jujur
Yanda.
86
sama seperti malam-malam sebelumnya. Namun
Green berjanji, ini terakhir kali dia melakukannya.
87
Green memperhatikan tangan terampil
mamanya saat mengolah adonan. Green
memperhatikan mamanya yang sangat tenang tanpa
beban.
88
“Green jadi pengin belajar masak, jadi pintar kayak
Mama, biar nanti bisa buka toko kue kayak Cake
Resort, waaah!” tanpa sadar Green sudah berkhayal
jauh sekali.
Ting!
89
Sebuah suara melengking menandakan kue
sudah matang. Aroma lembut langsung menguar di
seantero dapur. Green membantu mamanya
mengoleskan krim dan menghias kue.
90
Lima
T
idak terasa sudah seminggu Green, Wulan
dan nenek tinggal di rumah baru. Green
sering mengajak Rina si anak tetangga
untuk bermain bersama di rumah. Sore itu Green
kegerahan. Green menghampiri kulkas. Nyaris
kosong.
91
Mamanya berpikir sejenak, “Oh, kalau nggak salah
tadi Manda bilang dia mau keluar ada urusan,
mungkin bisa barengan. Coba kamu tanya ke sebelah
gih, biar Mama bikin catatan belanjanya dulu!” pinta
Wulan.
92
“Malam,” jawab Green cuek. Green memandang
pintu kaca dan ternyata langit sudah hitam total.
93
Pencopet itu terus berlari hingga mencapai belokan,
sedetik pun pandangan Green tak pernah lepas dari
pencopet tersebut .
BRUKK!!
94
apes aja! aku benar-benar minta maaf, ya,” keluh
Green
95
“Nggak tahu,” ungkap Green pasrah.
Green menggeleng.
“Kenapa?”
96
“Gimana?” tanya cowok itu.
97
“Wah, happy birthday, ya!” kata Tama seraya
mengulurkan tangan. Green menyambut dengan
penuh rasa terima kasih.
98
Cowok itu memarkir motornya di depan pos polisi
kecil, dan menanyai petugas di sana.
99
Tak di duga gerimis turun. Green menurunkan
belanjaannya.
100
“Kemalaman…” bisik Tama di telinga Green.
“HAPPY BIRTHDAY!!!”
101
membalas tatapan Green dengan anggukan kecil
yang juga penuh arti. Green tersenyum tipis,
memejamkan mata, dan meniup lilin.
102
“Jaket,” sahut Green, “biar tidak kedinginan dan
kena hujan. Gerimis malah lebih sering bikin sakit
lho!”
103
Enam
G
reen berdiri di lapangan upacara dan
memutuskan berdiri di baris paling depan.
Dia risih diperhatikan terus. Sebenarnya
Green memang terlihat cukup mencolok. Pagi itu dia
tampil sangat manis, wajahnya yang sedikit blasteran
dengan mata biru yang indah. Belum lagi rambut
hitamnya yang tebal dan mengilap digerai begitu
saja.
BRUKK…
104
“Benar kamu tidak apa-apa, kan?” tanya cowok itu
sok perhatian.
Deg!
Deg…
deg… deg
105
Green menguatkan hati untuk menatap kenyataan di
depan matanya…
Deg… deg…
106
Cowok itu duduk di samping Green, lalu terdiam
tanpa melakukan apa-apa. Walaupun merasa agak
aneh dengan sikap cowok itu, Green diam saja dan
melanjutkan kesibukan mencoret-coret buku
catatannya yang masih kosong.
107
“Hmmm… tidak kok, aku merasa lucu saja kamu
ngomong seperti itu. Jujur saja, sebenarnya ini juga
hari pertamaku di sekolah ini,” jelas Green sambil
melontarkan senyum manis yang membuat siapa pun
terpesona.
108
Tujuh
T
iga hari pertama di awal tahun ajaran jelas
asyik. Meski harus gotong royong
membersihkan kelas dan lingkungan
sekolah.
109
Mata Green langsung terbuka, “Aku titip milkshake
sama Chitato, ya!” dengan semangat dia merogoh
kantongnya.
110
“Tapi aku senang banget lho, soalnya bisa dibilang
doaku terkabul,” ujar Tama sambil tersenyum, “oh
ya, tangan kamu yang luka kemarin gimana, masih
sakit?” tanya cowok itu sambil meraih tangan Green
dan mengamatinya. “
111
sangat manis, “kalung?” bisik Green, “this is so cute
…!”
112
beberapa hari yang lalu, “sakit, tau! Cantik-cantik
tapi sadis…” ujar Tama.
113
“Tuh cewek rese banget!” Green menumpahkan
kekesalannya pada Haikal.
114
sejak pertama sekolah. Beberapa kali Green sempat
memergoki cowok itu menatap Tiffany dari jauh.
Tatapannya pun gimana… gitu. Huh… kasihan, pikir
Green.
115
“Si Haikal kenapa tuh?” tanya Tiara.
Deg!
116
“Kenapa cowok yang aku taksir justru merhatiin
cewek lain? Dan kenapa harus si nenek sihir itu,
coba,” kata Tiara diselingi isakannya.
117
Delapan
118
Dalam lima menit Green sudah duduk di
boncengan Haikal. Tiba-tiba Haikal mengerem
motornya dan berbalik arah secepat dia bisa.
119
“Memangnya ada yang peduli sama aku?” tanya
Haikal.
120
Malam itu penampilan Green super santai,
dengan celana pendek dan kaus pink polos yang
ringan. Rambutnya yang panjang diikat rapi.
“Tama...”
121
Jantung Green berdebar-debar. Green
mendapati cowok super keren itu berdiri di samping
motor.
Green tersipu.
122
“Oh…” Green sedikit kecewa.
123
“besok-besok aku bikin janji dulu deh biar tidak
berantakan,” lanjutnya.
124
“Kamu kok kayak tidak penasaran gitu sih?” tanya
Tiara manyun.
125
“Wah, selamat deh!” kata Green, “makin dekat sama
target dong!” godanya.
126
Mendengar itu, kebahagiaan yang tadi sempat
mengisi dada Green sertamerta lenyap. Dalam
benaknya bertanya mengapa selalu Tiffany, Tiffany,
Tiffany!
127
“Siapa yang tidak sewot? Kamu tidak jelas gitu,”
kata Tama.
128
“Eh, tidak. Bukan pusing kayak begitu. Pusing saja
sama suasana ribut-ribut begini. Mana orangnya
banyak, lagi!” Green mencoba ngeles.
“Oke!”
129
Dalam sedetik mereka sudah melesat dengan
kecepatan tinggi. Dia tidak memerhatikan jalan yang
mereka lalui, melainkan menyandarkan kepalany di
punggung Tama. Lalu memejamkan mata.
“AKU TAKUUUUTT…!!!”
130
sumringah dan sangat senang. Melihat itu, Tama
tersenyum lega.
131
“Sama-sama. Lihat kamu seperti ini bikin aku
bahagia. Aku belum pernah merasakan kebahagiaan
seperti sekarang ini,” kata Tama.
132
Dengan was-was Green menatap jam tangannya.
133
Sembilan
M
eski malam telah larut dan tubuhnya
sangat letih, Green bahagia. Ketika
sudah berbaring di tempat tidur,
pikiran Green melayang entah ke mana. Diraihnya
ponsel.
134
seolah menutup diri rapat-rapat dan tak pernah lagi
berbagi cerita.
135
dia bilang tidak ada. Dia bahkan mengaku bingung.
Kalian aneh. Sebenarnya, ada apa sih? Ini tidak biasa
bagiku!”
136
Yanda terdiam cukup lama.
137
Sesaat dia melamun, memandang meja
belajarnya lama sekali. Green bangkit dan
mengambil diary yang nyaris tertinggal di rumahnya
dulu. Dia menatap diary itu. Green membalik sampul
tebal tersebut dan langsung mendapati foto Faren
yang tersenyum manis. Matanya kembali berkaca.
Apa kamu masih bisa tersenyum, Ren? Desisnya
pelan.
138
Tiffany setengah berlari. Dia baru saja
menumpahkan tangisnya di toilet. Tangis yang
membuatnya semakin percaya betapa tidak adilnya
dunia ini. Dia teramat membutuhkan seseorang yang
selalu menemaninya di saat-saat seperti ini, cuma
Tama yang bisa mengerti dan menenangkannya.
“Fan! Tiffany!!”
139
Green menyaksikan sendiri mereka
berpelukan. Tama bahkan tidak menoleh ke arah
Green lagi, seolah-olah Green tak pernah ada di sana
bersamanya.
Satu detik.
Tiga menit.
Lima menit.
140
bawa pulang tas kamu yang segede karung beras ini,
hah?!” ungkap Tiara.
141
“Ra, kamu kenapa sih?!” kata Green.
142
“Minta maaf? Soal apa?” Green kebingungan
dengan pertanyaan Faren
143
“Ya,” jawab Green, sambil berjalan menuju pintu
dan memutar anak kuncinya.
Di sekolah
144
“Ra, aku akan jelaskan kalau kamu mau dengerin dan
berhenti bersikap kayak gini!”
145
“Nak, tunggu sebentar!” sebuah suara
mengejutkannya. Green berbalik dan melihat Bu
Yasmin berdiri di pintu masuk ruang guru.
146
“Ini, Bu, dari Bu Yasmin,” kata Green seraya
menghampiri sang guru. Lalu sekilas dia
mengedarkan pandang.
147
“Hai juga,” balas Haikal dan kembali menekuni
bukunya.
148
“Aku bukan penguntit! Dan aku tidak suka kamu
nuduh aku seenak jidatmu!” tukas Haikal
tersinggung.
149
“Oke deh kita barter informasi. Tapi kamu duluan!”
kata Haikal menyerah.
150
“Eh, cuma kebetulan kok. Kebetulan saja aku liat
Tiffany kayaknya lagi ada masalah, lalu kebetulan
aku tahu mereka tidak masuk hari ini, terus kebetulan
aku liat kamu disini, dan aku jadi ingin ngasih tahu
hal ini ke kamu. Soalnya aku yakin, informasi ini
pasti penting sekali buatmu,” Green mencoba
mengelak, “yah, kebetulan kadang-kadang memang
sangat berharga,” lanjutnya risih.
151
pun boleh mengetahuinya… bahkan tidak orang yang
terdekat dengannya saat ini.
152
Green mengeluarkan kartu yang menurutnya
dapat mengubah nasibnya.
153
“Apaan sih?” tanya Green ketus.
154
Setelah mengeringkan wajah, Green kembali
ke ruang tamu. Mamanya sedang asyik bercerita
dengan cowok tak diundang itu. Green duduk di
samping mamanya.
155
Sepuluh
G
reen tidak banyak bicara. Dia penasaran
dengan mobil yang dikendarai Tama ini.
Sepertinya kok familiar ya. Honda Jazz
hijau metalik. Green yakin sekali pernah melihat
mobil ini. Tapi entah di mana…
“Eh, tidak jauh dari sini ada bakso super enak lho…”
Tama tidak meladeni kejengkelan Green, “katanya
bisa bikin hangat suasana yang dingin gitu deh!”
lanjutnya sok polos.
156
“Cerewet banget,” gumam Green sok jaim.
157
Tama terdiam. Dia tahu cewek itu memendam
perasaan terhadapnya.
158
Green tersentak, “Hmmmmh…” dia menggeliat dan
kembali tertidur.
159
Green kembali memandangi pantai. Dari sini
lautan terlihat jauh lebih indah dan menenangkan.
Tama mengenakan jaket pemberian Green, lalu
mengajaknya keluar mobil. Sekelebat Green teringat
sesuatu, sesuatu yang di lihatnya bersama Haikal.
“Mobil itu,” Green berkata agak ragu, “Tiffany,
kan?” Tanyanya lagi.
160
Dan untuk itulah kita di sini, Green berkata dalam
hati.
161
DENGERIN! BIAR KAMU PUAS! BIAR KAMU
Senang!” bentak Green seraya bangkit berdiri.
162
“Ya, untuk kedua kali. Aku juga tidak tahu pasti
kenapa mamanya bisa bertindak seperti itu. Padahal
hanya dia milik Tiffany saat ini. Aku tahu derita
batin yang dialami Tiffany jauh lebih berat daripada
yang bisa aku bayangkan. Walaupun dia selalu
berusaha meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja,
aku tidak terlalu yakin. Aku sampai tidak habis pikir
kenapa cewek seperti Tiffany bisa tegar menghadapi
semua ini,” jelas Tama.
163
Dan saat itu dia tidak ingat siapa dirinya lagi, apalagi
Tiffany, putri satu-satunya. Dan itulah yang dihadapi
Tiffany nyaris setiap hari.”
164
“Keadaan mama Tiffany bagaimana?” tanya Green.
Green tertegun.
165
dia juga sadar ada satu hal yang tidak bisa dia
halang-halangi . Dan itu adalah… perasaanku,” jelas
Tama.
166
dirasakan apalagi kalau kamu jauh dari aku. Kamu
tidak tahu bagaimana resahnya aku waktu ninggalin
kamu kemarin. Tapi di sisi lain aku merasa
bertanggung jawab terhadap Tiffany. Aku jadi serba
salah,” jelas Tama sambil menatap Green sendu.
167
dan akhirnya aku sadar, dia telah menemukan
cintanya.
Tiffany
168
“Maksud kamu, Ren?”
169
Huek… huek…
Zrrt… zrrt…
170
Dengan panik Tiffany keluar kamar mandi
dan menuju kelas. Mamanya kembali kritis. Dia
tidak menemukan Tama. Tiffany menghubungi
ponsel cowok itu, tapi tidak berhasil. Dengan gusar
dia merenggut tasnya, lalu berjalan secepat mungkin
menuju ruang piket dan meminta surat izin.
171
“In your dreams!” tukas Tiffany ketus, “aku tidak
butuh kamu atau siapa pun yang bersama kamu!
mengerti?” bentak Tiffany.
172
ini. Selesaikan semua soal halaman 111 dan tulis
kalimat perjanjian sebanyak 100 kali dan harus
disertai stempel perpustakaan!” kata Bu Hanna
sangat tegas, “silakan keluar karena saya akan
melanjutkan materi!” lanjutnya.
173
“Jadi kamu benar-benar ingin tahu lebih banyak
tentang Tiffany?” tanya Green.
174
“Kenapa harus begitu?” protes Haikal.
175
siswa pelanggan bolos supaya mudah dipanjat dan
dilompati. Belum lagi pohon jambu yang tumbuh
subur mempermudah aksi minggat mereka ini.
176
“WAAA!!! ULAR…!!! ULAAARRR…!!” teriaknya
histeris. Dia langsung menangis ketakutan.
177
“Haikal, kamu tidak kenap…” tanya Haikal terbata-
bata.
178
“Capek juga ya,” katanya.
179
Haikal diam sejenak, “Benar, aku memang sayang
sama Tiffany, tapi kalau boleh jujur… aku juga
sayang sama kamu.”
180
Sebelas
S
ejak Haikal izin keluar kelas hanya beberapa
menit setelah Green diusir Bu Hanna, Tiara
tidak dapat berkonsentrasi. Mereka pasti ada
apa-apa.
181
Sampai akhirnya Tiara mendengar kabar itu. Dua
siswa nyaris kedapatan sedang kabur dari sekolah,
namun tidak berhasil tertangkap karena guru yang
memergoki kalah cepat. Tiara menghela napas
dengan susah payah saat menyadari dua bangku di
belakangnya tetap kosong sampai pelajaran berakhir.
182
“Kamu jangan konyol, Kal!”
183
Benar-benar ucapan yang sangat gamblang
dan tidak ambigu. Sejak itu Haikal membiarkan rasa
itu semakin tumbuh memenuhi hatinya, dan dia
bahagia karenanya.
184
Green makin gelisah. Bagaimana dia harus
bersikap besok? Apa yang akan dikatakannya kepada
Haikal? Seharusnya Haikal tidak menyimpan
perasaan seperti itu terhadap Green atau siapa pun,
jika di hatinya masih ada cewek lain.
185
“Jangan membantah dan memotong pembicaraan!”
Pak Herman tampak murka.
Tok! Tok!
186
sampaikan kepada Pak Irwan agar pohon itu
didokumentasikan dulu sebelum ditebang, jelas?”
187
“Ini,” Pak Herman menyodorkan dua amplop
cokelat. “Tolong sampaikan kepada orangtua kalian.
Kalian diskors tiga hari, mulai hari ini!”
188
“Kamu bagaimana, Kal? bagaimana caranya beritahu
mama sama papa kamu?” Green mencerocos.
189
Mereka sampai di kolam belakang sekolah
dan duduk di tempat yang terlindung dari cahaya
matahari.
“Tidak juga. Tapi aku rasa apa yang aku tahu tentang
Tiffany sudah cukup kok!” jawab Green.
HAAHH…!!!
190
“Tiffany kakaku,” ulang Haikal, “kami bersaudara,”
jelas Haikal.
191
kalangan selebriti. Gaya hidupnya berubah total, dan
kami pun merasa asing dengan Mama yang sibuk
dengan kariernya, Mama yang cara hidupnya sangat
berbeda, shopping ke luar negeri, pesta-pesta, minum
alkohol, merokok. Dia bukan Mama yang kami
kenal,” Haikal memukul tanah dengan gusar, “sejak
itu pertengkaran mewarnai rumah kami, teriakan-
teriakan, umpatan, tangisan, pecahan kaca, semua
bercampur jadi nada sumbang yang harus aku dengar
setiap hari. Tiffany beberapa kali kabur dari rumah.
Sedangkan aku lebih memilih mengurung diri di
kamar,” ungkap Haikal, “sampai akhirnya kata-kata
cerai mengakhiri semua perseturuan di bawah atap
rumah kami. Aku sendiri tidak kaget dengan
keputusan itu, begitu pula Tiffany. Namun sedikit
keributan kembali terjadi saat Mama memaksa
Tiffany ikut dengannya. Aku tidak tahu lagi
bagaimana ceritanya sampai akhirnya Tiffany
mengalah dan ikut Mama. Aku sendiri hanya bisa
mengurung diri saat semua keributan itu terjadi.
Bahkan aku tidak keluar saat mereka akhirnya pergi
dari rumah. Aku memang pengecut! Ketika semua
192
berakhir, aku tidak berani menatap kehancuran itu,
duniaku seakan runtuh dan tidak pernah kembali
utuh lagi,” lanjutnya.
193
sampai akhirnya dia mengetahui di mana Tiffany
bersekolah dan aku dipindahin ke sini, ke sekolah ini.
Tapi memang tidak banyak yang bisa aku lakukan,
apalagi Tiffany selalu memusuhiku. Jadi Papa hanya
meminta aku ngawasin dia, selagi keadaan Tiffany
baik-baik saja, berarti begitu juga keadaan Mama,”
Haikal menarik napas panjang, “sampai akhirnya aku
lihat Tiffany menangis kemarin, dan dia kelihatan
sangat panik. Bahkan pada saat terdesak itu pun
Tiffany masih menolak cerita sama aku. Aku tidak
tahu harus berbuat apa. Makanya aku mencarimu,”
jelas Haikal.
194
Suasana hening menyelimuti atmosfer di
mobil Haikal. Papa Haikal, Dean, sesekali dia
memainkan jarinya pada roda kemudi. Haikal sendiri
sibuk pada ponselnya. Sementara itu, di jok
belakang, Tama dan Green juga duduk diam. Ketika
tahu-tahu Green memaksa Tama ke Surakarta tanpa
memberi penjelasan sedikit pun, cowok itu bingung,
apalagi setelah mendengar cerita Haikal.
195
“Yah, siapa yang bakal menduga ceritanya bisa
begini. Semua serba tidak terduga. Yang jelas kamu
bersedia kan, mengantar Haikal dan papanya ke
sana? Aku kan tidak tahu tempatnya,” cerocos Green.
196
Haikal mengerti, Green tidak pernah sedikit pun
menaruh hati kepadanya.
197
“Tapi… Mama sudah bosan di sini, Fan,” celetuk
Fio.
198
Tiffany berjalan tertunduk, “Ah, kenapa semua jadi
begini… begitu menyakitkan bagiku,” tiba-tiba
bayangan Tama berkelabat di benaknya, dan dia
semakin merana.
199
“Mmmm…” Green menegakkan tubuh. Green
memandang keluar jendela dan melihat Haikal sudah
berdiri di luar bersama papanya, “cepat sekali…”
200
“Kalo gitu aku masuk dulu yah, kasian mereka
nungguin aku,” kata Tama.
201
Tama tidak mengatakan apa-apa,
dibiarkannya Green mencurahkan perasaannya.
202
Dean membuka pintu pelan sekali, mendorongnya
hati-hati dengan jantung berdebar. Dia melihat Fio
terbaring di tempat tidur, menghadap jendela yang
terbuka.
203
Tak lama setelah itu pintu kembali terbuka.
Tiffany masuk dan membeku melihat kebersamaan
itu. Semua yang ada di ruangan menoleh ke arahnya
sambil tersenyum. Keluarganya lengkap. Tiffany
bimbang, matanya memanas dan air matanya
merebak. Lalu dia mendekat dan memeluk
keluarganya.
204
Duabelas
H
ari sabtu ini hari terakhir skorsing Green.
Kemarin Green dan mamanya sudah
memenuhi panggilan Kepala Sekolah
untuk menindaklanjuti kenakalan Green. Di sana,
Green dinasihati habis-habisan. Ditambah lagi bonus
omelan panjang mamanya setiba mereka di rumah.
205
“Bangun, sayang!” seru Wulan sambil menarik
selimut Green, “Mama mau pergi, kamu mau ikut?”
ajaknya lagi.
206
memutuskan untuk pergi ke Cake Resort dan
bersikap lebih baik terhadap mamanya.
207
“Aku pikir… antara kamu dan Haikal ada sesuatu
yang lebih dari sekadar teman,” jujur Tiara.
Deg...
208
“Keluar yuk!” ajak Green memecah keheningan
untuk kedua kali, “aku mau potong rambut, terus
mau ke Cake Resort,” ujar Green.
209
Tama menatap Green yang semakin lama
semakin tampak manis di matanya. Ekspresi
wajahnya, senyum yang membuatnya bersemangat,
sorot mata yang menenteramkan jiwanya. Bagaimana
jadinya jika dia kehilangan cewek ini? Dia bahkan
tidak sanggup membayangkannya.
210
211
Tigabelas
212
“Kamu nanya aku kenapa?” Yanda masih sinis.
“Kamu memang tidak punya hati, ya! Gara-gara
kamu, Green pindah dari sekolah ini. Kamu sudah
bikin sahabat terbaikku pergi!” kesal Yanda.
213
“Maaf, Ren… Aku melanggar janjiku, tapi aku sudah
tidak tahan ingin menghajar si brengsek ini. Aku
lakukan ini buat kamu,” kata Yanda dalam hati,
“Akan aku balaskan sakit hati kamu walaupun tidak
seberapa, walaupun tidak sebanding dengan yang
kamu rasakan selama ini.”
BUUUK!!!
BUKKK!!!
214
“Arrggh!” Revan mengerang. Dadanya sesak. Dia
nyaris tidak bisa bernapas. Pandangannya mulai
gelap, “kenapa…” dia mengerang dengan suara
lemah.
215
“Sudah,” ujar Tama.
Yanda
216
Green mengerutkan dahi, “Maaf? Kenapa? Memang
kamu salah apa?”
217
sebaliknya, karena toh sakit hatinya telah
terlampiaskan. Tapi mendengar keadaan Revan
seperti itu…entahlah, mungkin Green tidak ingin
kedua sahabatnya jadi bertengkar karena dirinya. Dia
tidak ingin salah satu atau keduanya terluka. Sudah
cukup kejadian dulu itu. Cukup dia saja yang
merasakan amarah itu, rasa sakit itu.
“Green …”
218
“Gimana dengan Revan?” sahut Green.
“Mmmm…?”
219
“Tidak, sama sekali Tidak. Dia pengkhianat. Dia
merusak persaudaraanku dengan Faren. Dia… jahat.
Aku cuma tidak ingin kamu berantem. Bagaimana
pun juga dulu kita bertiga bersahabat. Sekarang
kamu tinggal berdua sama dia, aku ingin kalian baik-
baik saja. Dari awal aku sudah janji, apa pun yang
aku ceritakan tidak akan memengaruhi persahabatan
kamu dan dia,” jelas Green.
220
“Revan… kamu sudah bangun, Van?” Yanda
mencoba memanggil.
221
“Maafkan aku, Van. Maaf,” bisik Yanda sambil
menyentuh bahu Revan, “aku menyesal. Maafkan
aku, ya.”
222
Empatbelas
H
ari ini Green tidak bersemangat. Sejak
pagi sampai jam isitirahat dia lebih
banyak diam dan hanya bicara
seperlunya. Dia bahkan menolak ajakan Tama untuk
makan di kantin dan minta di tinggal sendiri.
223
“Kalian kenapa sih?!” kata Green akhirnya. Dia sebal
melihat sikap was-was yang ditunjukkan kedua
sahabatnya itu. Mereka sekarang memang kompak
sekali, apalagi sejak jadian dua minggu lalu. Sejak
itu Green mengambil insiatif untuk bertukar tempat
duduk dengan Tiara. Soalnya kasihan juga pasangan
baru di pisah begitu.
224
Baru saja Green berniat mengomel panjang-
lebar lagi, getaran di sakunya membuatnya
mengurungkan niat. Telepon dari Yanda.
“Bagaimana, Nda?”
225
kembali untuk menyelesaikan masalah ini. Sekarang
tinggal kamu sama Revan yang bisa
menuntaskannya. Apa kamu pikir Faren sekarang
tenang dengan kebencian yang kamu pelihara sampai
saat ini?”
226
“TERSERAH KAMU BILANG APA! SAMPAI
KAPAN PUN TIDAK AKAN MENGERTI!”
227
228
menghembuskannya perlahan-lahan. Sangat tenang.
Dia memejamkan mata dan hanya melihat bayangan
hitam. Tak ada bayangan lain yang sempat melintas.
Ini jauh lebih baik, pikir Green.
229
“Masa lalu? Ya, masa lalu kadang memang suka
mengikuti walaupun kita ingin lepas darinya,” jawab
Green, “tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja
kok.”
230
tidak bisa menjelaskannya. Tiffany masih bersikap
seperti biasa, sama seperti Green belum hadir di
antara mereka. Tama sudah menunjukkan penolakan
agar mereka sedikit menjaga jarak. Kini dia tidak
bisa memberikan seluruh waktunya kepada Tiffany,
sebab sekarang dia dan segala yang ada pada dirinya
adalah untuk Green, satu-satunya cewek yang
disayanginya. Tapi Tiffany terlihat tidak setuju, dan
tidak peduli.
231
berusaha menjernihkan pikiran agar tidak bertanya
macam-macam lagi.
232
“Tapi bukan Green Revalin, ya kan?”
233
dunia pribadi untuk dirinya sendiri, walaupun hanya
untuk sesaat. Tempat yang sempurna, bukan?
234
Green asyik dengan gambar yang sedang
digarapnya. Itu gambaran dirinya, dirinya yang kini
gelap, sunyi, sepi. Dengan lihai dia mengisi
gambarnya dengam tone gelap terang remang
sehingga gambar itu hidup, mendekati nyata. Setiap
lima menit dia mengangkat kertas gambarnya,
menjauhkannya selengan, dan mematutnya beberapa
saat.
“Sempurna” ujarnya.
235
seakan berbicara, dan sangat menyentuh. Bahkan
orang yang tidak mengerti pun dapat merasakan
gambaran ini, lalu larut di dalamnya, masuk ke
jalanan sepi itu. Green mengamatinya cukup lama
sampai dia melihat sosok tak asing muncul dari balik
kertas gambarnya. Diturunkannya kertas gambarnya.
Tama dan Tiffany berjalan memasuki kafe yang
tenang. Mereka duduk di dekat jendela besar, tak
jauh dari pintu.
236
“Sudah, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Nanti
malam aku telepon, dan kamu akan dengar betapa
senangnya aku hari ini. Oke?” yakin Green.
“Tapi, Ren..”
237
“Ada apa, Ren?”
“Sama teman.”
“Siapa?”
“Tiffany.”
“Terserahlah.”
238
mencet ponselnya, sepertinya mencoba menghubungi
Green. Tapi tentu saja tidak berhasil. Setelah
beberapa saat mencoba, dan tahu usahanya sia-sia,
Tama menyimpan ponsel dan memperhatikan
Tiffany yang tampangnya cemberut. Green geli
karena berhasil merusak suasana hati Tiffany.
239
“Aku ikut senang dengarnya. Kamu ngapain saja
sampai merasa senang?”
240
Green masih ingat jelas bagian terakhir surat
Tiffany itu. Dari perkataannya jelas sekali cewek itu
tidak bakal melepas Tama seutuhnya, meskipun
Tama sudah menjadi pacarnya.
241
Dan setelah mengucapkan itu Green
mematikan ponsel dan melemparnya dengan gusar.
Green ada di sana. Tama tidak mempercayai
pendengarannya. Tapi semuanya masuk akal. Tama
ingat, begitu Tiffany menggenggam tangannya,
Green langsung menelepon dan menanyakan dia ada
di mana, bersama siapa. Itu karena Green tahu, dan
dia melihatnya sendiri.
242
Green memang tampak murung, seolah ada sesuatu
yang membebani pikirannya, namun dia tak ingin
seorang pun tahu. Dia memendamnya sendiri. Semua
itu terlihat sangat jelas. Green sendiri juga tidak
berbohong pada Tama dan sahabat-sahabtnya bahwa
dia memang sedang memikirkan sesuatu, dan dengan
tegas mengatakan tak ingin membahasnya. Dan
sekarang Tama sudah menambah beban pikiran
Green dengan masalah ini.
243
benaknya. Mengapa dia masih mengkhawatirkan
Revan? Semalam Green nyaris menelepon Yanda,
tapi dia mengurungkan niatnya. Yanda sudah
berpihak kepada Revan. Ini sangat mengganggu
Green.
244
Green menarik napas dalam-dalam, lalu
melemparkan diary tersebut ke tumpukan daun
kering yang nanti siang akan di bakar Mama.
245
Benar juga kata Tiara. Biasanya tidak pernah
selama ini. Green akhirnya menutup bukunya dan
memutuskan untuk mencari tahu. Dia keluar kelas
dan mengarahkan langkah ke bangunan kelas tiga.
Dia membujuk perasaannya agar tetap tenang. Dia
sedang tidak ingin menduga-duga yang tidak-tidak
dulu. Dia lelah dengan semua yang di pikirkannya
akhir-akhir ini.
246
“Karena memang begitulah seharusnya,” Tama
membela diri.
247
dulu lagi, aku benar-benar tidak bisa jauh darimu,”
Tiffany melonggarkan pelukannya dan menatap
Tama.
248
ceramah pendek tentang pentingnya mengulang
pelajaran dari awal sebaiknya dilakukan dan mereka
seharusnya sadar sebelum diingatkan begitu.
Terdengar keluhan spontan dari mulut siswa-siswi
yang sangat mencintai kebebasan itu.
249
“Tidak usah.”
250
“Apa yang harus aku lakukan” Tama mengacak-acak
rambutnya frustasi.
251
Limabelas
S
etiba di kamar, Green langsung
menghambur ke tempat tidur dan menangis
sesegukan hingga terlelap kecapekan.
252
lagi nyaris kosong. Dan yang tragis, camilannya
tidak ada yang bersisa.
253
gelap. Dia mengeluarkan kunci, memasukkannya ke
lubang, dan memutarnya ke kanan. Tidak bisa. Dia
mengerutkan dahi, mencoba memutarnya ke kiri.
Klik! Pintu terkunci. Berarti mamanya meninggalkan
rumah tanpa terkunci.
254
memainkan piano? Mamanya? Tidak mungkin. Terus
siapa lagi? Tiba-tiba Green merinding.
255
Langkah Green kembali tertahan. Hatinya
diamuk badai. Apakah penglihatannya salah? Green
nyaris tidak percaya. Apakah ini mimpi?
256
Entahlah… Saat ini dia hanya ingin mendengarkan
lagu yang dimainkan cowok itu sampai selesai.
257
“Aku kangen. Aku ingin bertemu denganmu,” lirih
Revan.
258
“Tidak tahu harus mulai dari mana,” Revan
menunduk, “dan ini bukan soal apa yang menurutku
benar. Tapi memang kebenaran sesungguhnya,”
ujarnya.
259
Green berlari ke kamar, membongkar
tumpukan bukunya, “Di mana sih diary itu?”
katanya.
260
“Kalau begitu, kamu bisa menunjukkan diary itu
sekarang?”
261
Green terergun. Dia memang belum pernah
membaca diary Faren seutuhnya. Dia tidak sanggup
membaca lebih jauh yang justru akan menyakitkan
baginya. Green seperti melihat kesedihan menaungi
wajah Revan. Ah, benarkah Green sesungguhnya
salah paham? Akhirnya dia menggeleng lemah,
menyesali kebodohannya tadi pagi.
Speachless.
262
Green resah. Dia ingin tahu yang sebenarnya.
Mungkinkah diary itu masih di luar? Dia ingin keluar
mencari diary itu. Ketika Green beranjak, Revan
mencegatnya.
263
Revan membuka diary itu dan menjepit
bagian tengahnya. “Bisa saja, asal kamu membuka
staples yang menyatukan bagian ini, trus
membacanya.”
264
“Tepat. Gagasan itu muncul begitu saja waktu
pertama kali aku ke rumahmu, tepatnya waktu Faren
bilang akan berangkat les musik. Kejadian singkat itu
langsung menelurkan inspirasi cerdas yang bakal
mewujudkan impianku. Gagasan itu memicu ide-ide
kreatifku untuk mempersembahkan sesuatu yang
berbeda, sesuatu yang istimewa untuk ulang
tahunmu, karena saat itu… aku akan
mengungkapkan perasaanku dengan cara berbeda,
cara yang akan membuat kamu terkesan dan tidak
bakal pernah melupakannya.”
265
berlatih. Dan kami sangat menikmatinya. Tapi
sayang, belum lagi separuh jalan, Faren…”
266
Cowok ini, dia bukan hanya memiliki wajah
menawan, namun juga memiliki hati yang lembut.
267
“Benarkah hanya itu? Terus foto-foto ini?” desak
Green.
268
kami berulang tahun, dan kejutan ini berhasil, kamu
adalah milik Green sepenuhnya, dan aku tidak akan
pernah mengganggumu lagi,” Faren terus menunduk.
Faren tersenyum.
269
“Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa merasa seperti
itu. Aku berlebihan, ya?” tanya Faren.
“Entahlah…”
270
“Benar. Asal kamu janji, Green tidak akan pernah
mengetahui ini, sampai kapan pun.”
“Begitukah? “
271
Green mengangkat wajah, menatap Revan sesaat.
“Bagaimana dengan…?” Green mengangkat tangan
menyentuh jantungnya sendiri.
272
Tenanglah, tidak ada apa-apa kok,” Green berkata
sambil mengusap-usap bahu Revan.
273
“Mau antar aku sampai ke depan rumah nih?” gurau
Revan. Suaranya terdengar tak bertenaga. Semua ini
pasti sangat melelahkan dan menguras emosinya.
274
Revan ke tempat tidur Green, kamar terdekat yang
bisa mereka capai.
275
Green duduk di samping tempat tidur dan
memandangi Revan, hatinya hancur dan mengharu
biru. Ditatapnya wajah yang pulas itu dengan penuh
kerinduan. Green tersadar selama ini perasaan itu
selalu ada, hanya saja tertutup kabut kebencian yang
seolah membekukan hatinya. Sekarang kabut itu
telah pergi, dan perasaan itu kembali menyinari
hatinya. Cinta pertama itu bersemi kembali.
276
“Tak ada yang perlu disesali, yang penting kita sudah
tahu kebenarannya, kita hanya perlu memetik
hikmahnya saja,” ujar Wulan bijaksana.
277
lama. Pembicaraan itu sepertinya sangat pribadi,
seolah-olah ada rantai emosi diantara keduanya.
278
sanggup kehilanganmu… siapa pun cowok itu,
jangan sampai merusak hubungan kita…” lirih
Tama.
279
Enambelas
G
reen tersentak oleh getaran ponselnya.
Dia mengamati layarnya dan terdiam.
Hatinya langsung resah, tersadar masih
ada masalah yang harus diselesaikannya dengan
cowok ini. Dia sama sekali telah lupa. Revan
membuatnya lupa segalanya, menyedot segenap
pikiran dan perhatian Green, sehingga dia tak sempat
memikirkan hal lain selain dirinya dan Revan.
280
menjawab, dia ingin menenangkan pikirannya yang
baru saja terbebas dari beban masa lalu. Akhirnya
ditekannya tombol OFF. Setidaknya malam ini
HPnya tidak akan mengganggunya.
281
Sabtu, 16 April 2011
282
bersamanya. Aku terkesan saat pertama kali
berkenalan dengannya, dan kembali terkesan saat
mendengar permainan musiknya. Dia sungguh
memesona!
283
usik yang dimainkannya. Permainannya benar-benar
sempurna. Rasa penasaranku kembali muncul.
Untuk apa dia di sini?
284
Sekali lagi Green menyesali dirinya yang
telah gegabah. Dia telah melewatkan hal-hal penting
yang justru berlawanan dengan kesimpulan awal
yang telah ditariknya. Dia merasa malu, bodoh, dan
kekanak-kanakan. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Ada
satu hal yang belum disampaikan Revan padanya,
seperti hal yang cukup pribadi. Green pun membalik-
balik halaman diary itu sampai menemukan apa yang
dicarinya.
285
Waktuku untuk bisa bersamanya terasa semakin
singkat. Sebulan lagi ulangan kenaikan kelas, dan
Revan telah memutuskan untuk sementara kami
berhenti latihan dulu. Lagi pula, permainan kami
sudah sangat bagus dan tinggal disempurnakan
sedikit lagi. Sementara itu, dia akan menyiapkan
kejutan lain sendiri. Ah, lemas aku
membayangkannya. Dua mingu setelah kenaikan
kelas kami akan berulang tahun, dan setelah itu aku
harus melepaskannya.
286
Akhir-akhir ini perasaanku aneh. Entahlah, aku
merasa seakan… seakan takkan pernah bertemu lagi
dengan orang-orang yang kusayangi. Aku tidak tahu
apakah itu hanya perasaan atau terbawa mimpi
buruk. Aku merindukan Mama, Daddy, Green, dan
Revan, meskipun mereka ada di dekatku. Perasaan
macam apakah itu?
287
kutahu, pokoknya Revan harus mau dan akhirnya
aku pun berhasil meyakinkannya, bahwa itu hanya
untuk sementara. Setelah kami berulang tahun, dia
akan bersama Green dan aku tidak akan
mengganggunya lagi…
288
“Aku di mana?” kata Revan mengerjap dan menatap
sekelilingnya, “sekarang jam berapa? Kamu…
kenapa nangis?”
289
“Ya sudah, tidur yang nyenyak ya,” ujar Green sera
menyelimuti Revan. Lalu dia bangkit berdiri dan
berjalan ke pintu.
“Ren…”
“Ren?”
“Love you.”
290
Green berbaring di samping mamanya
dengan mata nyalang. Pikirannya tak henti
menyuarakan kegalauan hatinya. Apakah dia masih
bisa memilih? Revan masih menyayanginya dan dia
telah mengalami banyak kesulitan serta berkorban
begitu banyak. Dan sekarang dia datang membawa
cinta yang sejak dulu sangat di nanti-nantikan Green.
291
292
Tujuhbelas
P
agi itu Green terlambat tiba di sekolah.
Setengah berlari Green menuju kelasnya
dan heran sendiri melihat siswa-siswa
masih berkeliaran di koridor dan taman. Dia
mendapati Haikal dan Tiara yang berdiri di depan
pintu kelas.
293
“Bilang saja mau berduaan…” kata Green seraya
ngeloyor masuk kelas.
294
kelewat bahagia! Tidak biasa dan aneh!” tukas
Green.
295
“Eh, eh, kok begitu sih? Kamu kok marah, jangan
begitu sayang,” Tama malah menanggapi dengan
manis.
“Tama!!!”
296
Menyadari cokelatnya tidak mendapat
sambutan, akhirnya Tama membuka sendiri cokelat
itu lalu menawarkan sepotong kepada Green.
297
seribu Tiffany menggodaku setiap hari, perasaanku
ke kamu tetap tidak akan berubah, perhatianku buat
kamu tidak akan berkurang, yang aku butuhkan
hanya kepercayaan dari kamu, ingat tidak?” jelas
Tama dengan raut wajah yang amat sedih.
“Mungkin.”
298
Green terkesiap mendengar kalimat terakhir
cowok itu. Dia tidak sanggup berjanji.
299
“Pak Efendy marah besar karena kita tidak ada di
kelas ngerjain tugas!”
“Terus?”
“Terus?”
300
Pukul 18.10
“Ren!”
301
“Apa ini?” Green membuka bungkusan itu.
302
“Konyol, tidak perlu nangis, tahu” kata Tama sambil
menghapus air mata Green.
303
Perasaan Green semakin luluh. Tama bahkan
memperhatikannya sampai ke hal-hal kecil seperti
itu.
304
Delapanbelas
305
dengan cappuccino cream. Untuk sesaat semua terasa
seperti dulu, saat mereka masih bersama dan bahagia.
306
Green menatap Revan sesaat, lalu membuka
kotak itu. Dia tidak sanggup berkata-kata. Di dalam
kotak itu tampak gelang dengan liontin bertuliskan
nama mereka, Green Revalin. Ia mengangkat tangan
dan menyentuh lehernya, meremas liontin kupu-kupu
pemberian Tama dengan lemah. Ah, rasanya seolah-
olah dia kembali dihadapkan pada dua pilihan yang
sama beratnya.
307
Green mengangguk. Untuk pertama kali dia
melepaskan gelang pemberian Tama, lalu
membiarkan Revan memasangkan gelang hadiahnya
di lengan Green.
308
“Tentu saja, di mana pun Green Revalin berada, saat
dia memanggil. Aku akan berlari mengejarnya,”
Revan berkata pedih. Dia tahu dia harus segera pergi.
309
“Please, jangan sedih gitu dong!!” pinta Revan
sambil tersenyum.
310
“Apakah Revan juga akan melupakannya? Aku tahu
begitu sulit dan sakitnya melupakan. Tapi bagaimana
dengan dilupakan?”batin Green.
311
“Memangnya tindakanmu ini tidak bodoh? Datang
ke sini sendirian, dari siang sampai malam, tanpa
memberitahu siapa pun dan mematikan HP pula.
Bukannya itu bodoh dan ceroboh? Bikin cemas
saja!”
312
Tama hanya bisa tersenyum, lalu merangkul bahu
Green, “Lain kali jangan begini lagi, ya?” bisiknya.
“Ren?”
“Hmmm?”
313
kedip. Tama ikut merebahkan tubuh. Kelelahan
seakan melebur ke bumi dan meninggalkan jiwa
mereka yang lemah.
314
Tentang Penulis
315