1
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam bagian ketiga. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 202-
203
2
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: Lesfi, 2012), hlm.
239
3
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 203.
4
Ibid., hlm. 204
5
Ibid., hlm. 205-206.
Dalam bidang pendidikan, sebelum penaklukan Perancis, terdapat sejumlah sekolah dan
badan sosial yang cukup kaya untuk mendanai bangunan keagamaan. Namun, penaklukan
Perancis menyebabkan perampasan sejumlah penghasilan dan menghancurkan lembaga
pendidikan. Sekolah-sekolah tersebut dipaksa digantikan dengan sekolah Perancis untuk
mengasimilasi anak-anak Aljazair kedalam peradaban Eropa. Pada tahun 1890, sejumlah palajar
mencapai dua persen dari jumlah penduduk, memasuki sekolah-sekolah Perancis. Dan pada
tahun 1945, jumlah mereka kira-kira mancapai 15 persen. Pada tahun 1945 hanya tiga
pemukiman dari satu persen anak-anak Muslim yang mengenyam pendidikan di sekolah
lanjutan. Sistem pendidikan yang sangat minim ini ditentang oleh sejumlah koloni dan juga oleh
pihak Muslim.
Dalam sosial kemasyarakatan, masyarakat yang terbentuk di Perancis mulai berspekulasi
di Aljazair. Warga pemukim dipaksa melepaskan propert mereka. Pemerintah Perancis segera
mengambil keputusan untuk mengambil alih pertanahan Aljazair dalam skala besar-besaran.
Pihak perancis juga memaksa kelompok-kelompok kesukuan meninggalkan daerah mereka yang
lama atau meminta mereka untuk menduduki wilayah yang lebih sempit, sehingga kelebihan
tanah yang dirampas bisa menjadi tanah pertanian kolonial. Hasil akhir dari regulasi ini adalah
tersedianya wilayah tanah yang sangat luas bagi para pemukim Perancis. Pada tahun 1900 warga
Eropa menguasai 1.700.000 hektar tanah dan pada tahun 1940 jumlah tanah yang mereka kuasai
meningkat menjadi 2.700.000 hektar, yakni sekitar 35 sampai 40 persen dari tanah subur di
Aljazair.6
B. Gerakan Reformasi di Aljazair dibawah Ibn Badis
Setelah pemberontakan yang dipimpin oleh al-Muqrani dapat dikalahkan oleh penguasa
Perancis. Semangat penduduk Aljazair untuk menentang kolonialisme semakin jelas. Namun
demikian, para elite mereka terbagai ke dalam tiga komponen. Pertama, para alumni sekolah
Perancis-Arab yang berharap penuh adanya integrasi dengan masyarakat Perancis dengan
menjaga identitas merka sebagai seorang Muslim. Kedua, elite yang lebih radikal dan lebih
nasionalis orientasinya. Ketiga, para pemimpin geraan reformasi Islam. Pemimpin dari
kelompok ketiga ini adalah Abdul Hamid ibn Badis.7
Ibn Badis adalah alumni lembaga pendidikan Zaetuna di Tunis. Dia adalah salah satu
pemimpin gerakan reformasi Islam dan gerakan kebangkitan identitas budaya Arab yang cukup
penting. Pemikirannya banyak terinspirasi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Di mata
orang Barat dia dianggap sebagai Muslim radikalis-fundamentalis. Pada tahun 1931, ia
mendirikan Asosiasi Ulama Aljazair dengan tujuan untuk melakukan reformasidan
membangkitkan Islam di Aljazair.
Gerakan reformasi juga satu konsep politik tersendiri. Mereka menyatakan bahwa
meskipun Aljazair merupakan bagian dari jajahan Perancis, Aljazair adalah merupakan satu
bangsa Arab Muslim. Gerakan reformasi Islam, secara jelas tidak hanya bergerak dalam bidang
keagamaan, tapi juga bidang-bidang lain seperti bidang pendidikan dan politik.8
6
Ibid., hlm. 208-209
7
Siti Maryam, Sejarah Peradaban, hlm. 240
8
Ibid., hlm 240-241
C. Aljazair setelah kemerdekaan
Pada bulan Juli 1962 kongres Tripoli menghasilkan biro politis yang dipimpin oleh oleh
ibn Bella. Selanjutnya biro politis ini membentuk Majelis Konstintunte Nasional untuk membuat
satu konstitusi. Ibn Bella kemudian ditetapkan sebagai presiden dan meresmikan satu Konstitusi
Sosialis. Ibn Bella melakukan kontrol yang cukup ketat terhadap lawan politiknya, akan tetapi
kontrol tersebut tidak berhasil untuk meredam munculnya kudeta. Pada tahun 1965 Jenderal
Boumedienne memimpin kudeta tersebut, dan dia menjadi presiden Aljazair di tahun yang sama.
Setelah Boumedienne wafat, pada tahun 1978, Chadli ibn Jadid menggantikannya, dia banyak
mengubah kebijakan-kebijakan penguasa terdahulu.
Setelah mengalami tiga kepemimpinan nasional, orientasi ideologis Aljazair semakin
memberikan kejelasan. Kader ibn Bella mendukung modernisasi negara dan pembentukan satu
tatanan ekonomi sosialis. Mereka pun menjaga bahasa Perancissebagai bahasa pemerintahan,
bisnis, dan bahkan bahasa diskusi ideologis. Sementara Boumedienn, meninggalkan warisan
untuk identitas Muslim-Arab untuk mmpererat hubungan antara Aljazair, Tunisia, Maroko dan
Arab Timur. Arabisme dan Islam adalah satu-satunya basis dasar sosial dan identitas nasional.9
9
Siti Maryam, Sejarah dan Peradaban, hlm. 242