Anda di halaman 1dari 3

A.

Aljazair pada masa modernisasi


Pada tahun 1830, pemerintahan Charles X (Perancis), karena dorongan untuk meraih
kemenangan militer dan memulihkan wibawa politiknya setelah mengalami kemunduran dalam
perang kemerdekaan Yunani dan keperntingan komersil di Marseille, Perancis menyerbu
Aljazair. Diluar keguncangan ini, muncul sebuah negara Muslim di Aljazair barat. Abdul Qadir
seorang pemimpin dari suku Barbar, yang ayahnya seorang pemimpin tariqat Qadiriya, berusaha
mendirikan sebuah negara Muslim. Pada tahun 1832 ia memproklamirkan diri sebagai Amir al-
Mukminin sebagai sultan bangsa Arab dan mengklaim dirinya bertanggung jawab dalam
penerapan hukum Islam di wilayah kekuasaannya untuk berjuang melawan Perancis.1 Mayoritas
suku di wilayahnya menerima otoritasnya, dikarenakan penilaian penduduk setempat terhadap
keberanian, kecakapan diplomasi, dan kecakapan mengurus organisasinya.2
Dari tahun 1832 sampai 1841 Abdul Qadir secara silih berganti melancarkan perang dan
menciptakan perdamaian dengan pihak Perancis sebagai bagian dari perjuangan yang kompleks
untuk memperlihatkan loyalitas terhadap suku-suku Aljazair. Namun pada 1841, Bugeaud
seorang Jenderal Perancis meraih kemenangan absolut dalam mendominasi Aljazair dan
membuka upaya kolonisasi Perancis di Aljazair. Abdul Qadir sempat mendapat bantuan dari
Maroko akan tetapi pada 1844, mereka dikalahkan oleh Perancis dan pada 1847 Abdul Qadir
diasingkan ke Perancis dan kemudian ke Damaskus.3 Satu persatu wilayah  Aljazair pun jatuh ke
tangan Perancis.
Sebagai respon atas kolonisasi Perancis di Aljazair, terjadilah perlawanan bangsa Aljazair
dalam skala lokal. Dalam perlawanan ini keyakinan dan loyalitas umat Muslim memainkan
peranan yang sangat penting. Pada tahun 1849, Bu Zian seoran syaikh lokal yang sebelumnya
menyokong Abdul Qadir melancarkan pemberontakan terhadap pendudukan Perancis. Tahun
1858 Sidi Sadok ibn al-Hajj, bersekutu dengan Bu Zian melancarkan gerakan jihad, namun ia
ditangkap beserta 88 pengikutnya.4 Dan masih banyak perlawanan-perlawnan yang dilakukan
oleh penduduk Aljazair.
Beberapa pemberontakan seringkali dibangkitkan oleh masyarakat bawah tanah. Para sufi
dan juru dakwah eksatatik (zuhud) yang mengklaim perpanjangan dari al Mahdi menciptakan
situasi kehidupan ekstatik dan memainkan peran penting dalam memobilisir serangkaian
pemberontakan.
Pada tahun 1870-1871 perlawanan lokal sendiri-sendiri akhirnya dipusatkan menjadi
sebuah pemberontakan Aljazair dalam skala besar. Pemberontakan ini dipimpin oleh al-Muqrani,
didukung oleh tarekat Rahmaniyah, namun akhirnya dapat dikalahkan oleh Perancis.5

1
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam bagian ketiga. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 202-
203
2
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: Lesfi, 2012), hlm.
239
3
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 203.
4
Ibid., hlm. 204
5
 Ibid., hlm. 205-206.
Dalam bidang pendidikan, sebelum penaklukan Perancis, terdapat sejumlah sekolah dan
badan sosial yang cukup kaya untuk mendanai bangunan keagamaan. Namun, penaklukan
Perancis menyebabkan perampasan sejumlah penghasilan dan menghancurkan lembaga
pendidikan. Sekolah-sekolah tersebut dipaksa digantikan dengan sekolah Perancis untuk
mengasimilasi anak-anak Aljazair kedalam peradaban Eropa. Pada tahun 1890, sejumlah palajar
mencapai dua persen dari jumlah penduduk, memasuki sekolah-sekolah Perancis. Dan pada
tahun 1945, jumlah mereka kira-kira mancapai 15 persen. Pada tahun 1945 hanya tiga
pemukiman dari satu persen anak-anak Muslim yang mengenyam pendidikan di sekolah
lanjutan. Sistem pendidikan yang sangat minim ini ditentang oleh sejumlah koloni dan juga oleh
pihak Muslim.
Dalam sosial kemasyarakatan, masyarakat yang terbentuk di Perancis mulai berspekulasi
di Aljazair. Warga pemukim dipaksa melepaskan propert mereka. Pemerintah Perancis segera
mengambil keputusan untuk mengambil alih pertanahan Aljazair dalam skala besar-besaran.
Pihak perancis juga memaksa kelompok-kelompok kesukuan meninggalkan daerah mereka  yang
lama atau meminta mereka untuk menduduki wilayah yang lebih sempit, sehingga kelebihan
tanah yang dirampas bisa menjadi tanah pertanian kolonial. Hasil akhir dari regulasi ini adalah
tersedianya wilayah tanah yang sangat luas bagi para pemukim Perancis. Pada tahun 1900 warga
Eropa menguasai 1.700.000 hektar tanah dan pada tahun 1940 jumlah tanah yang mereka kuasai
meningkat menjadi 2.700.000 hektar, yakni sekitar 35 sampai 40 persen dari tanah subur di
Aljazair.6
B. Gerakan Reformasi di Aljazair dibawah Ibn Badis
Setelah pemberontakan yang dipimpin oleh al-Muqrani dapat dikalahkan oleh penguasa
Perancis. Semangat penduduk Aljazair untuk menentang kolonialisme semakin jelas. Namun
demikian, para elite mereka terbagai ke dalam tiga komponen. Pertama, para alumni sekolah
Perancis-Arab yang berharap penuh adanya integrasi dengan masyarakat Perancis dengan
menjaga identitas merka sebagai seorang Muslim. Kedua, elite yang lebih radikal dan lebih
nasionalis orientasinya. Ketiga,  para pemimpin geraan reformasi Islam. Pemimpin dari
kelompok ketiga ini adalah Abdul Hamid ibn Badis.7
Ibn Badis adalah alumni lembaga pendidikan Zaetuna di Tunis. Dia adalah salah satu
pemimpin gerakan reformasi Islam dan gerakan kebangkitan identitas budaya Arab yang cukup
penting. Pemikirannya banyak terinspirasi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Di mata
orang Barat dia dianggap sebagai Muslim radikalis-fundamentalis. Pada tahun 1931, ia
mendirikan Asosiasi Ulama Aljazair dengan tujuan untuk melakukan reformasidan
membangkitkan Islam di Aljazair.
Gerakan reformasi juga satu konsep politik tersendiri. Mereka menyatakan bahwa
meskipun Aljazair merupakan bagian dari jajahan Perancis, Aljazair adalah merupakan satu
bangsa Arab Muslim. Gerakan reformasi Islam, secara jelas tidak hanya bergerak dalam bidang
keagamaan, tapi juga bidang-bidang lain seperti bidang pendidikan dan politik.8
6
Ibid., hlm. 208-209
7
Siti Maryam, Sejarah Peradaban, hlm. 240
8
Ibid., hlm 240-241
C. Aljazair setelah kemerdekaan
Pada bulan Juli 1962 kongres Tripoli menghasilkan biro politis yang dipimpin oleh oleh
ibn Bella. Selanjutnya biro politis ini membentuk Majelis Konstintunte Nasional untuk membuat
satu konstitusi. Ibn Bella kemudian ditetapkan sebagai presiden dan meresmikan satu Konstitusi
Sosialis. Ibn Bella melakukan kontrol yang cukup ketat terhadap lawan politiknya, akan tetapi
kontrol tersebut tidak berhasil untuk meredam munculnya kudeta. Pada tahun 1965 Jenderal
Boumedienne memimpin kudeta tersebut, dan dia menjadi presiden Aljazair di tahun yang sama.
Setelah Boumedienne wafat, pada tahun 1978, Chadli ibn Jadid menggantikannya, dia banyak
mengubah kebijakan-kebijakan penguasa terdahulu.
Setelah mengalami tiga kepemimpinan nasional, orientasi ideologis Aljazair semakin
memberikan kejelasan. Kader ibn Bella mendukung modernisasi negara dan pembentukan satu
tatanan ekonomi sosialis. Mereka pun menjaga bahasa Perancissebagai bahasa pemerintahan,
bisnis, dan bahkan bahasa diskusi ideologis. Sementara Boumedienn, meninggalkan warisan
untuk identitas Muslim-Arab untuk mmpererat hubungan antara Aljazair, Tunisia, Maroko dan
Arab Timur. Arabisme dan Islam adalah satu-satunya basis dasar sosial dan identitas nasional.9

9
Siti Maryam, Sejarah dan Peradaban, hlm. 242

Anda mungkin juga menyukai