Baru Wrap Up Skenario 2
Baru Wrap Up Skenario 2
SKENARIO 2
TRAUMA PADA KEPALA
KELOMPOK B-10
Ketua : Thirafi Prastito 1102012294
Sekertaris: : Siti Amanda Seanuria 1102012277
Anggota : Tiara Windasari Agustin 1102011279
Muhammad Ibnu Hajar 1102012176
Nimas Aritia Bayumurti 1102012193
Putri Prima Ramadhan 1102012218
Razky Noormansyah 1102012231
Sari Nur Rahmawati 1102012261
Tesha Islami Monika 1102012293
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574
2014
Skenario
Trauma Pada Kepala
Seorang laki-laki, berusia 40 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar setelah
terjatuh dari lantai 3 sebuah bangunan sejam yang lalu. Menurut saksi, kepala terjatuh
terlebih dahulu. Pasien langsung tidak sadarkan diri dan keluar darah dari hidung dan telinga.
Tanda vital
Airway: terdengar bunyi snoring
Breathing: frekuensi nafas 14x/menit
Circulation: tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 50x/menit
Regio wajah
Trauma didaerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.
Status neurologi
GCS E1 M2 V1, pupil: bulat, anisokor, diameter 5 mm/3mm, RCL -/+, RCTL +/-, kesan
hemiparesis dextra, refleks patologis Babinsky +/-
1
Kata Sulit
1. Cerebrospinal rhinorrhea: sekresi cairan cerebrospinal dari hidung
2. Maloklusi: kontak abnormal antara gigi rahang atas dan rahang bawah
3. Hemiparesis: kekuatan otot yang berkurang pada separuh tubuh
4. Anisokor: ukuran pupil yang tidak sama
2
Hipotesis
Trauma kepala dengan nilai GCS <8 dikatakan adalah trauma kepala berat. Pada trauma
kepala berat didapatkan trias cushing yaitu bradikardi, bradipneu, dan hipertensi. Pada trauma
kepala seringkali disertai fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii menimbulkan gejala antara
lain: rhinorrhea, otorrhea, maloklusi gigi, serta gangguan neurologis seperti gangguan nervus
II, III, serta gangguan saraf motorik. Untuk penatalaksanaan dari trauma kepala dan fraktur
basis cranii harus dilakukan ABC (Airway, Breathing, Circulation). Prognosis dari kasus ini
tergantung dari usia pasien. Semakin tua usia pasien, maka semakin lama juga proses
penyembuhannya.
3
Sasaran Belajar
4
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala
LO.1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Kepala
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rut land-Brown,
Thomas, 2006). Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
5
Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf
yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah
kecederaan.
B. Fraktur tulang kepala
Fraktur linier
Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya
langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan
tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk ke dalam rongga
intrakranial.
Fraktur diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan
pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada sutura
lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area
fraktur.
Fraktur impresi
Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai
tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada durameter dan
jaringan otak.
Fraktur basis cranii
6
LO.1.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis
metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung pada
besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala
sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka
dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran
tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh
darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup). Berdasarkan hal tersebut
cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat
dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat
bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan
bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi
sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma(penderita
yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid)
tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak,
Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), hidrosefalus dan infeksi.
7
Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan
intrakranial.
a. Hipertensi
b. Bradikardi
c. Depresi pernapasan
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera
kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum.
Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara
bermakna. Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik
meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan
pernapasan menjadi lambat. Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing,
membantu mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi, menurunnya pernapasan
mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan
tekananan intrakranial.
LO.1.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Trauma Kepala
8
1. Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang
dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang
diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keliarga pasien ditanyakan apa yang
terjadi.
Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata tertutup,
misalnya bila kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk menimbulkan
respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan sternum dengan kapitulum
metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak
akan berguna.
9
3. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap
saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala. Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan
cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Salah
satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan
respon cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf
okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi
akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi
pupil.Perubahan pupil pada hematom epidural dapat dilihat dari tabel
Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional
batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan
mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler
di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter
menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik
dan okulovestibuler.
4. Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti
biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan
pemeriksaan obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial
dan saraf perifer. Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan
semua hasilnya harus dicatat.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang
berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis
(ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau
dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan
sarah sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12,
yaitu :
a. nervus I (nervus olfaktoris)
b. nervus II (nervus optikus)
10
c. nervus III (nervus okulomotoris)
d. nervus IV (troklearis)
e. nervus V (trigeminus)
f. nervus VI (Abdusens)
g. nervus VII (fasialis)
h. nervus VIII (oktavus)
i. nervus IX (glosofaringeus)
j. nervus X (vagus)
k. nervus XI (spinalis)
l. nervus XII (hipoglosus)
nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat)
berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik
5. Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat
peningkatan tekanan intracranial.
11
dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera sub-akut,
termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam
menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat
karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam
pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan
CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan
alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam
menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan
subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.
d. Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
LO.1.7 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Trauma Kepala
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
a. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya
tekanan tinggi intrakranial
b. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
c. Minimalisasi kerusakan sekunder
d. Mengobati simptom akibat trauma otak
e. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
12
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan
keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
trauma kranioserebral, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan
mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR).
13
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau diperlukan gunakan ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90
mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara
dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
Terapi Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yangn cedera. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan
diobati secara agresig.
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. HV yang lama dan
cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun. PCO 2 < 25 mmHg ,
HV harus dicegah. Pertahankan level PCO2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis
tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat
hypovolemia.
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan
diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
E. Barbiturat
14
Bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi
dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah.
F. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut
hingga minggu ke I. Obat lain diazepam dan lorazepam.
Jangka panjang:
1. Kerusakan saraf kranial
15
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sesnsasi pembauan yang
jika total disebut anosmia, jika parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan
khusus bagi penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus optikus, timbul segera setelah terjadi trauma. Disertai
hematoma disekitar mata, proptosis akibat perdarahan, dan edema dalam orbita.
Gejala berupa penurunan visus,skotoma, dilatasi pupil dengan reflek cahaya
negative. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera mengakibatkan kebutaan,
terjadi atrofi pupil yang difus, kebutaan bersifat irreversible.
c. Oftalmoplegi
Kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, disertai proptosis dan pupil yang
midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini, tapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Gejala muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya
kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut mencong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran yang berat biasanya disertai dengan vertigo dan
nystagmus karena ada hubungan erat antara koklea, vestibula dan saraf.
2. Disfagia
Kesulitan untuk memahami / memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit SSP.
Penderita disfagia membutuhkan perwatan yang lebih lama, rehabilitasi juga lebih
sulit karena masalah komunikasi. Pengobatan untuk disfagia hanya speech therapy.
3. Hemiparesis
Manifestasi dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak.
Penyebab karena perdarahan otak, empyema subdural, dan herniasi transtentorial.
4. Syndrome pasca cedera kepala
Kumpulan gejala yang kompleks, sering dijumpai pada penderita cedera kepala.
Gejala berupa nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidura dan gangguan fungsi seksual.
5. Epilepsi
Epilepsi pasca trauma muncul dalam minggu pertama pasca trauma dan ada yang
muncul setelah 4 tahun pasca trauma.
16
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak
yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii
paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital
condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
17
dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media
maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura
mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.
Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis – garis frakturnya nya menyebar
secara radial.
Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan
menekan jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan
otak di bawahnya dan dapat menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar
dari robekan duramater dan celah fraktur) dan terjadi perdarahan.
18
celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ). Gejala-gejala klinis
sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang
terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang
terbendung (berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus
Cavernosus Syndrome,
Fraktur Fossa Posterior
Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os
mastoid, menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur
dan berada diatas mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan
dibelakang telinga, disebut Battle’s Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur
akan merusak Medula Oblongata, menyebabkan kematian seketika.
LO.2.4 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Fraktur Basis Cranii
Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging
19
1. Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria
panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur
basis cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
2. CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam
diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan
potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat
membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi
tidak diperlukan.
3. MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan
untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera
pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut
pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari
darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan
dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.
Diagnosis banding
1. Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang
membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan
fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
2. Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh:
a. Kongenital
b. Ablasi tumor atau hidrosefalus
c. Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
d. Tindakan bedah
20
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana
secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open
fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.
Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan
pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari.
Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe
III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-
luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular
(tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.
21
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital
dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila
ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan
fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.
22
callosum. Tumor metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor
sel germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.
Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering
menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya
perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan obat tersebut pada usia yang sama.
Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan
ini masih belum diketahui.
Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type plasminogen
aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary, arteri dan venous
trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan klot dan relatif
menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga sangat ideal dalam
pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah perdarahan
intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan miokard infark yang diobati
dengan tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu
dalam pemberian infus, 25% terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi
perdarahan lobar, 30% perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme
terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui.
Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan infark
serebri, serta jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses radang umumnya
terjadi dalam lapisan media dan adventitia, serta pada pembuluh darah arteri dan vena
dengan ukuran kecil dan sedang. Biasanya berhubungan dengan pembentukan
mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala kronis, penurunan kesadaran atau kognitif
yang progresif, kejang-kejang, infark serebri yang recurrent. Diagnosanya berupa
limpositik CSF pleocytosis dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan umumnya
lobar.
23
Gambar CT scan perdarahan epidural
24
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh
benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh
gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh
darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara
lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi
oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan
burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh
darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
2. Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya
rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan
terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi:
Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut
proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer
(asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena
gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan.
Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio
cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral
lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya
renjatan hipovolemik.
Iskemia cerebri
25
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
Perdarahan subdural:
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecah dan mengalami memar atau laserasi, adalah
lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral
dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam
exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
Perdarahan subdural:
26
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan
kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera
neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas
dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual,
muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga
tumor otak.
Perdarahan intraserebral:
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu jenis stroke, yang disebabkan oleh adanya
perdarahan ke dalam jaringan otak. Perdarahan intraserebral terjadi secara tiba-tiba, dimulai
dengan sakit kepala, yang diikuti oleh tanda-tanda kelainan neurologis (misalnya kelemahan,
kelumpuhan, mati rasa, gangguan berbicara, gangguan penglihatan dan kebingungan). Sering
terjadi mual, muntah, kejang dan penurunan kesadaran, yang bisa timbul dalam waktu
beberapa menit. Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan
stroke iskemik dengan stroke perdarahan. Pemeriksaan tersebut juga bisa menunjukkan
luasnya kerusakan otak dan peningkatan tekanan di dalam otak.
Perdarahan subaraknoid:
Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan gejala. Kadang
aneurisma menekan saraf atau mengalami kebocoran kecil sebelum pecah, sehingga
menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri wajah, penglihatan ganda atau
gangguan penglihatan lainnya. Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai
beberapa minggu sebelum aneurisma pecah. Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera
dibawa ke dokter agar bisa diambil tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat.
Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan sakit kepala mendadak yang hebat, yang
seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat. Beberapa penderita mengalami koma,
tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan perasaan bingung dan mengantuk. Darah
dan cairan serebrospinal di sekitar otak akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan
menyebabkan sakit kepala, muntah dan pusing. Denyut jantung dan laju pernafasan sering
naik turun, kadang disertai dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam beberapa
menit, penderita kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan
neurologis, yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.
27
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya
terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit.
Pencitraan
a. Radiografi
Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
b. CT-scan
CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar
mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu
ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang
pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu
menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin
diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum
yang rendah.
Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi
diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan
sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi
dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada
beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk
mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom
intraserebral.
28
Gambar 1. Perdarahan epidural Gambar 2. Perdarahan subdural
c. MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.
Perdarahan subdural. tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi
hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural
kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya
sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(dibandingkan dengan burr-hole saja).
29
dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan
ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah. Pada anak-anak < 3
tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur bertumbuh.
Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur
untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista
leptomeningeal biasanya memperlihatkan massascalp pulsatil.
30
DAFTAR PUSTAKA
Adam Boies. 2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: Edisi Kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Haryo, Ariwibowo et all. 2008. Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-ciptowatig-5193-2-bab2.pdf
http://eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25734/3/Chapter%20II.pdf
http://www.primarytraumacare.org/wp-content/uploads/2011/09/PTC_INDO.pdf
Japardi, Iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.
Longo, Dan L, dkk. 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th Edition. USA: Mc
Graw Hill Companies, Inc.
Sjamsuhidayat, R dan De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta : EGC.
31