Anda di halaman 1dari 5

Egoisme psikologis

adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia di motivasi oleh
kepentingan pribadi.

Menurut teori ini, orang boleh saja yakin bahwa ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan
suka berkorban, namun semua tindakan yang berkesan luhur dan atau tindakan yang
berkorban tersebut hanyalah ilusi. Pada kenyataannya setiap orang hanya peduli kepada
dirinya sendiri.

Egoisme etis

egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri, contoh : saya
belajar hingga larut malam agar saya dapat lulus ujian, atau saya bekerja keras agar
memperoleh penghasilan lebih besar. Atau saya mandi agar badan saya bersih; maka semua
tindakan saya ini dikatakan dilandasi oleh kepentingan diri, namun tidak dianggap sebagai
tindakan mementingkan diri sendiri (egoism etis) yaitu ada akibatnya pada orang lain, yang
pengertiannya sering dikacaukan dengan paham egoism,

Tindakan mementingkan diri sendiri ditandai dengan ciri-ciri mengabaikan atau merugikan
kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu
merugikan kepentingan orang lain. Paham egoism psikologis dilandasi oleh ketamakan
sehingga tidak dapat dikatakan tindakan tersebut bersifat etis.

Pokok-pokok Pandangan Egoisme Etis (Rachels,2004)

1. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingan diri

2. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela


kepentingan diri

3. Meski Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela
kepentingan diri, tetapi egoism etis tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari
tindakan untuk menolong orang lain.
4. Menurut paham egoism etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan
menolong diri sendiri, karena mungkin saja kepentingan orang lain terebut bertautan
dengan kepentingan diri sendiri ehingga menolong orang lain sebenarnya juga dalam
rangka memenuhi kepentingan diri sendiri.
5. Inti dari paham egoism etis adalah bahwa kalau ada tindakan yang menguntungkan
orang lain bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Yang membuat
tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu menguntungkan diri sendiri.

Paham/teori egoisme etis ini menimbulkan banyak dukungan sekaligus kritikan. Alasan
orang-orang yang menentang teori egoism etis antara lain :
1. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan, kita
memerlukan aturan moral, karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai
kepentingan-kepentingan yang bertabrakan.
2. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang, misalnya dalam suatu keadaan dimana
kepentingan agama, suku atau Negara dikesampingkan karena menurut paham ini
yang diutamakan adalah kepentinganku, agamaku, sukuku atau negaraku. Bila hal ini
terjadi apakah dapat diterima ? Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas
timbulnya rasisme, seperti yang pernah dilakukan oleh Nazi Hitler dan politik
apartheid yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
Munculnya paham egoisme etis memberikan landasan yang sangat kuat bagi munculnya
paham ekonomi kapitalis dalam ilmu ekonomi. Paham ekonomi kapitalis ini dipelopori
oleh Adam Smith. Adam Smith berpandangan bahwa kekayaan suatu Negara akan
tumbuh maksimal bila setiap individu (warga/rakyatnya) diberi kebebasan untuk
mengejar kepentingan atau kekayaan masing-masing. Pada awalnya paham ini hanya
dianut oleh Negara barat, namun kini hampir semua Negara di dunia telah dipengaruhi
oleh system ekonomi kapitalis ini.

Alturisme

adalah suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan oang lain
dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Para penganut paham ini misalnya meragukan
tindakan ibu theressa apakah benar-benar bersifat alturisme. Bukankah tindakan ibu Theressa
sebenarnya dilandasi ingin masuk surga?.. Jadi keinginan masuk surga ini juga merupakan
tindakan mementingkan diri sendiri.
Ultilitarianisme sebagai teori etika dipelopori oleh David Hume,1711-1776, dan
dikembangkan lebih lanjut oleh Jeremy Betha. Ultilitariansme berasal dai kata latin,
kemudian menjadi kata utility yang berarti bermanfaat (Bertten, 2000). Menurut teori ini
suatu tindakan dapat dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin
anggota masyarakat. Jadi ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat
konsekuensi, atau tujuan dan tidakan itu apakah member manfaat atau tidak. Itulah
sebabnya paham ini disebut juga paham teologis. Perbedaan paha utilitarisme dengan
paham egoism etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis meliht dai
sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarisme melihat dari sudut
kepentingan orang banyak atau kepentingan bersama kepentingan masyarakat).
Paham utilitarisme dalam melakukan tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari
konsekuensi (akibat, tujuan, atau hasilnya); dalam mengukur akibat dari suatu tindakan,
satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah bahagian atau jumlah
ketidakbahagian; serta Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Teori ini mendapat
dukungan luas karena mengaitkan moralitas dengan kepentingan orang banyak dan
kelestarian alam. Teori ini juga memperoleh pijakannya dalam ilmu ekonomi dan
manajemen dengan dikenalkannya konsep cost and benefit dan stake holders.

Etika filosofis 

secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau
berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian
dari filsafat; etika lahir dari filsafat.

Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.
Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai
unsur-unsur filsafat.

Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:

a. Non-empiris

Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan
pada fakta atau yang konkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha
melampaui yang konkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala
konkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret
yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan
atau tidak boleh dilakukan.

b. Praktis

Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum
mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya
tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat
bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-
resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb,
sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya.
Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis.

Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat
memiliki etika teologisnya masing-masing.

Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-
unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari
presuposisi-presuposisi teologis.  Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika
filosofis dan etika teologis.  Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika
yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta
memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.
Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan
etika teosentris.  Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum,
yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda,
yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai
dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan
menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan
yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis.

1. Etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat
memiliki etika teologisnya masing-masing.
2. Etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-
unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti
setelah memahami etika secara umum

Anda mungkin juga menyukai