Anda di halaman 1dari 3

Raden Dewi Sartika adalah putri pasangan raden Somanegara dan Raden Ayu Permas.

Dewi lahir di Bandung, 4


Desember 1884, dia adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan.

Dewi Sartika amat gigih dalam memperjuangkan nasib dan harkat kaum perempuan. Pada 16 Januari 1904, dia
mendirikan sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di bandung. Pada tahun 1910, sekolah istri berganti nama
menjadi sakola kautamaan istri.  Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Seiring
perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi
Sekolah Keutamaan Istri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Kemudian pada 1913, berdiri pula organisasi kautamaan istri di tasikmalaya. Organisasi ini menaungi sekolah-
sekolah yang didirikan oleh dewi sartika. Pada tahun 1929, sakola kautamaan istri diubah namanya menjadi Sakolah
Raden Dewi dan oleh pemerintah Hindia Belanda dibangunkan sebuah gedung baru yang besar dan lengkap.

Dia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri
sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak
diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih
payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik
kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden
Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga
maupun pemikiran.

Pada tahun 1947, akibat agresi militer Belanda, Dewi Sartika ikut mengungsi bersama-sama para pejuang yang terus
malakukan perlawanan terhadap Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat mengungsi inilah, tepatnya
tanggal 11 september 1947, Dewi sartika yang sudah lanjut usia wafat di Cinean, Jawa Barat. Setelah keadaan
aman, makamnya dipindahkan ke Bandung..
Dewi Sartika dibesarkan oleh seorang priyayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu
Raden Somanagara. Ibunya juga merupakan perempuan Sunda yang
bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas. Kedua orangtua Dewi Sartika juga
merupakan pejuang Indonesia yang menentang pemerintah Hindia Belanda.

Akibatnya, mereka mendapat hukuman keras dari pemerintah Hindia


Belanda, diasingkan ke Ternate dan terpisah dari Dewi Sartika. Setelah kedua
orang tua Dewi Sartika meninggal, dia diasuh oleh pamannya yang
merupakan kakak kandung dari Ibundanya, yang bernama Aria. Dia
merupakan seorang patih di Cicalengka. Dari sang Paman, Dewi Sartika
mendapatkan ilmu pengetahuannya terkait adat budaya sunda.

Selain itu, seorang Asisten Residen berkebangsaan Belanda juga


mengajarkan Dewi Sartika tentang budaya dan adat bangsa Barat. Kedua
orang tua Dewi Sartika sebenarnya sudah mengenalkannya tentang
pendidikan sedari kecil, meskipun hal tersebut bertentangan bagi seorang
perempuan. Dewi Sartika juga mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di
Cicalengka.

Minat Dewi Sartika terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak masih
anak-anak. Dia seringkali bermain guru-guruan dengan anak seusianya.
Karena mahir membaca dan menulis, Dewi Sartika sering berperan sebagai
guru. Dia mengaplikasikan kemampuannya dengan mengajarkan anak-anak
di sekitarnya, khususnya anak perempuan pribumi.

Dewi Sartika juga memiliki kemampuan berbahasa Bahasa Belanda.


Menginjak usia remaja, Dewi Sartika mulai mengajarkan baca dan tulis
kepada warga sekitar. Hal inilah yang menjadi cikal bakal Dewi Sartika agar
anak-anak perempuan memperoleh pendidikan yang sama.

Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah. Hal ini juga
mendapatkan dukungan dari Kakeknya, Raden Agung A Martanegara dan
seorang Inspektur Kantor Pengajaran, Den Hamer. Dewi Sartika berhasil
mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan yang bernama Sekolah
Isteri.

Ketika pertama kali dibuka, Sekolah Isteri hanya memiliki 20 murid wanita. Di
sekolah itu, para wanita tidak hanya sekadar belajar membaca, menulis dan
berhitung. Mereka turut belajar menjahit, merenda dan belajar agama.

Dua tahun setelah mendirikan Sekolah Isteri, tepatnya pada 1906, Dewi
Sartika menikah dengan salah seorang guru di Sekolah Karang Pamulang,
yang menjadi Sekolah Latihan Guru. Kesamaan visi dan misi di antara
mereka berdua menambah semangat Dewi Sartika.

Sekolah Isteri hanya memiliki dua ruang kelas. Jumlah wanita yang ingin
bersekolah terus meningkat. Alhasil, ruang kelas ditambah dengan meminjam
sebagian ruang kepatihan Bandung. Namun, masyarakat yang mendaftar
terus bertambah setiap harinya. Karena ruang kepatihan Bandung yang telah
dipinjam sudah tidak cukup lagi, sekolah dipindahkan.

Sekolah keutamaan Isteri yang telah dibuka memiliki beberapa perbedaan


dari sebelumnya. Para wanita tidak hanya diajarkan keterampilan seperti
menjahit saja. Namun, dididik untuk menjadi istri. Gadis-gadis yang nantinya
akan menjadi istri mendapat pelajaran bagaimana menjadi ibu rumah tangga
yang baik, mandiri dan terampil.

Dua tahun setelah perpindahan Sekolah Keutamaan Isteri, perempuan-


perempuan di tanahSunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi
Sartika mulai berani mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan. Hingga
tahun 1912, jumlah sekolah isteri mencapai sembilan sekolah.

Tidak hanya itu, banyaknya sekolah perempuan di Sunda memunculkan


kembali ide untuk mendirikan organisasi. Tahun 1913, berdiri Organisasi
Keutamaan Isteri yang bertujuan untuk menaungi sekolah-sekolah yang telah
didirikan di Tasikmalaya. Organisasi ini sengaja dibentuk, guna menyatukan
sistem pembelajaran dari sekolah-sekolah yang telah dibangun Dewi Sartika.

Sekolah Keutamaan Isteri kembali berubah nama menjadi Sekolah


Keutamaan Perempuan. Pada masa itu, seperempat wilayah Jawa Barat
telah berdiri Sekolah Keutamaan Perempuan. Seorang wanita bernama Encik
Rama Saleh, terinspirasi oleh Dewi Sartika. Dia juga mendirikan sekolah di
wilayah Bukittinggi.

Tahun 1929, Sekolah Keutamaan Perempuan berubah nama menjadi


Sekolah Raden Dewi. Bahkan, Pemerintah Hindia Belanda memberikan
apresiasi dengan membangunkan sebuah gedung sekolah baru yang lebih
besar dari sebelumnya.

Dewi Sartika juga ikut banting tulang, untuk membayar pengeluaran


operasional sekolah. Dia tak pernah mengeluh dan merasa terobati saat
melihat kaumnya bisa memperoleh pendidikan.

Dewi Sartika hidup bersama warga dan pejuang di Sunda saat memasuki usia
senja. Pada 1947, Belanda kembali melakukan serangan agresi militer. Dewi
Sartika bersama seluruh rakyat pribumi dan pejuang lainnya ikut melawan
untuk membela tanah air. Seluruh penduduk kemudian mengungsi untuk
mempertahankan Indonesia.

Saat berada di pengungsian, pada 11 September tahun 1947, Dewi Sartika


mengembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya. Karena masih dalam
situasi perang, pemakaman dan upacara dilakukan secara sederhana.
Pemakaman Cigagadon yang ada di Desa Rahayu, Kecamatan Cineam
adalah makam dari Dewi Sartika.

Usai perang agresi militer, sekitar tahun 1950, makam Dewi Sartika
dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jl. Karang Anyar –
Bandung. Sesuai SK Presiden RI Nomor 152 Tahun 1966, Dewi Sartika
mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, tepatnya pada tanggal 1
Desember 1966. Saat itu juga, Sekolah Keutamaan Isteri berusia 35 tahun
dan mendapat gelar Orde van Oranje-Nassau.

Anda mungkin juga menyukai