Dewi Sartika amat gigih dalam memperjuangkan nasib dan harkat kaum perempuan. Pada 16 Januari 1904, dia
mendirikan sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di bandung. Pada tahun 1910, sekolah istri berganti nama
menjadi sakola kautamaan istri. Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Seiring
perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi
Sekolah Keutamaan Istri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.
Kemudian pada 1913, berdiri pula organisasi kautamaan istri di tasikmalaya. Organisasi ini menaungi sekolah-
sekolah yang didirikan oleh dewi sartika. Pada tahun 1929, sakola kautamaan istri diubah namanya menjadi Sakolah
Raden Dewi dan oleh pemerintah Hindia Belanda dibangunkan sebuah gedung baru yang besar dan lengkap.
Dia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri
sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak
diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih
payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik
kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden
Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga
maupun pemikiran.
Pada tahun 1947, akibat agresi militer Belanda, Dewi Sartika ikut mengungsi bersama-sama para pejuang yang terus
malakukan perlawanan terhadap Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat mengungsi inilah, tepatnya
tanggal 11 september 1947, Dewi sartika yang sudah lanjut usia wafat di Cinean, Jawa Barat. Setelah keadaan
aman, makamnya dipindahkan ke Bandung..
Dewi Sartika dibesarkan oleh seorang priyayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu
Raden Somanagara. Ibunya juga merupakan perempuan Sunda yang
bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas. Kedua orangtua Dewi Sartika juga
merupakan pejuang Indonesia yang menentang pemerintah Hindia Belanda.
Minat Dewi Sartika terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak masih
anak-anak. Dia seringkali bermain guru-guruan dengan anak seusianya.
Karena mahir membaca dan menulis, Dewi Sartika sering berperan sebagai
guru. Dia mengaplikasikan kemampuannya dengan mengajarkan anak-anak
di sekitarnya, khususnya anak perempuan pribumi.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah. Hal ini juga
mendapatkan dukungan dari Kakeknya, Raden Agung A Martanegara dan
seorang Inspektur Kantor Pengajaran, Den Hamer. Dewi Sartika berhasil
mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan yang bernama Sekolah
Isteri.
Ketika pertama kali dibuka, Sekolah Isteri hanya memiliki 20 murid wanita. Di
sekolah itu, para wanita tidak hanya sekadar belajar membaca, menulis dan
berhitung. Mereka turut belajar menjahit, merenda dan belajar agama.
Dua tahun setelah mendirikan Sekolah Isteri, tepatnya pada 1906, Dewi
Sartika menikah dengan salah seorang guru di Sekolah Karang Pamulang,
yang menjadi Sekolah Latihan Guru. Kesamaan visi dan misi di antara
mereka berdua menambah semangat Dewi Sartika.
Sekolah Isteri hanya memiliki dua ruang kelas. Jumlah wanita yang ingin
bersekolah terus meningkat. Alhasil, ruang kelas ditambah dengan meminjam
sebagian ruang kepatihan Bandung. Namun, masyarakat yang mendaftar
terus bertambah setiap harinya. Karena ruang kepatihan Bandung yang telah
dipinjam sudah tidak cukup lagi, sekolah dipindahkan.
Dewi Sartika hidup bersama warga dan pejuang di Sunda saat memasuki usia
senja. Pada 1947, Belanda kembali melakukan serangan agresi militer. Dewi
Sartika bersama seluruh rakyat pribumi dan pejuang lainnya ikut melawan
untuk membela tanah air. Seluruh penduduk kemudian mengungsi untuk
mempertahankan Indonesia.
Usai perang agresi militer, sekitar tahun 1950, makam Dewi Sartika
dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jl. Karang Anyar –
Bandung. Sesuai SK Presiden RI Nomor 152 Tahun 1966, Dewi Sartika
mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, tepatnya pada tanggal 1
Desember 1966. Saat itu juga, Sekolah Keutamaan Isteri berusia 35 tahun
dan mendapat gelar Orde van Oranje-Nassau.