OLEH:
NI PUTU SUARTINI
20.901.2405
2. Batasan Lansia
a. WHO (2013) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/ biologis
menjadi 4 kelompok yaitu :
1) Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59
2) Lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun
4) Usia sangat tua (Very old) di atas 90 tahun.
b. Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompokkan menjadi:
1) Usia dewasa muda (elderly adulthood), atau 29 – 25 tahun,
2) Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas, 25 – 60 tahun atau 65
tahun,
3) Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi
dengan:
a. 70 – 75 tahun (young old), 75 – 80 tahun (old),
b. lebih dari 80 (very old).
3. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa
dan masa tua (Nugroho, 2016). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun
psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran secara fisik
maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut
memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat,
kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang
gairah. Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi
tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat
dalam hal ini diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial
b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo,
2014).
b. Permasalahan khusus
1) Berlangsunya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik fisik,
mental maupun social
2) Berkurangnya integrasi social lanjut usia
3) Rendahnya produktifitas kerja lansia
4) Banyaknya lansia yang misikin, terlantar dan cacat
5) Berubahnya nilai social masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat
individualistic
6) Adanya dampak negative dari proses pembangunan yang dapat menganggu
kesehatan fisik lansia
2. Klasifikasi
Menurut Herlambang (2013) penyakit darah tinggi atau hipertensi dikenal
dengan 2 jenis klasifikasi, diantaranya hipertensi primary dan hipertensi secondary.
a. Hipertensi primary adalah suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi
sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan.
Seseorang yang pola makannya tidak terkontorl dan mengakbiatkan kelebihan
berat badan atau behkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena
penyakit tekana darah tinggi. Begitu pula seseorang yang berada dalam
lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit
tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahragapun
mengalami tekanan darah tinggi.
b. Hipertensi secondary adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan
tekanan darah tinggi akibat seseorang mengalami/menderita penyakit lainnya
seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan system hormone tubuh.
Sedangkan pada ibu hamil tekanan darahsecara umum meningkat saat
kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat bandannya
diatas normal atau gemuk (obesitas). Hipertensi sistolik terisolasi, tekanan
sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolic kurang dari 90
mmHg dan tekanan diastolic masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering
ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hamper setiap
orang mengalami kenaikan tekanan darah, tekanan sistolik terus meningkat
smpai usia 80 tahun dantekanan diastolic meningkat sampai 55-60 tahun,
kemudia berkurang secara perlahan atau bahlan menurun drastic. Tingkat
hipertensidan anjuran control (Joint National Commitle, U.S 1992)
Tingkat Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik Jadwal Kontrol
5. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor itu bermula
jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis di thoraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron masing-masing
ganglia melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pusat ganglia
ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktor.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak
diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan
dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang yang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin yang pada akhirnya
menyebabkan vasokonstriksi korteks adrenal serta mensekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah.
Vasokonstriksi tersebut juga mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal yang
kemudian menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan
angiotensin I, yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, yaitu suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus
ginjal, menyebabkan peningkatan volume Intravaskuler. Semua faktor tersebut
cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Tekanan darah tinggi selain dipengaruhi oleh keturunan juga disebabkan oleh
beberapa faktor seperti peningkatan aktifitas tonus simpatis, gangguan sirkulasi.
Peningkatan aktifitas tonus simpatis menyebabkan curah jantung menurun dan
tekanan primer yang meningkat, gangguan sirkulasi yang dipengaruhi oleh reflek
kardiovaskuler dan angiotensin menyebabkan vasokonstriksi. Sedangkan
mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas. Efek utama
dari penuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi perubahan aorta dan
pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh darah besar
meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur. Penurunan
elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer,
yang kemudian tahanan perifer meningkat. Faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap hipertensi yaitu kegemukan, yang akan mengakibatkan penimbunan
kolesterol sehingga menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras untuk
memompa darah. Rokok terdapat zat-zat seperti nikotin dan karbon monoksida
yang diisap melalui rokok, yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan
tekanan darah tinggi. Konsumsi alkohol berlebihan dapat meningkatkan kadar
kortisol dan meningkatkan sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam
menaikan tekanan darah.
Kelainan fungsi ginjal dimana ginjal tidak mampu membuang sejumlah
garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga
tekanan darah juga meningkat. Jika penyebabnya adalah feokromositoma, maka
didalam urine bisa ditemukan adanya bahan-bahan hasil penguraian hormon
epinefrin dan norepinefrin (Ruhyanudin, 2016).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula
jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan
jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Rohaendi, 2015).
6. Pathway
Hipertensi
Penyumbatan Pembuluh
Darah
Vasokontriksi
Gangguan Sirkulasi
Ginjal
Otak Pembuluh indera
Darah
Resistensi Pembuluh Blood flow
Retina
Darah Ke Otak menurun
Sistemik
Meningkat
Respon RAA Spasme
Vasokontriksi
Arteroik
Resiko
Retensi Na
Penurunan Intolerasi Jatuh
meningkat
Curah Jantung Aktivitas
Hipervolemia
7. Komplikasi Penyakit Hipertensi
Penderita hipertensi berisiko terserang penyakit lain yang timbul kemudian.
Dalam jangka panjang, Komplikasi hipertensi pada organ lain dapat menyebabkan
kerusakan pada ginjal, perdarahan selaput bening (retina mata), pecahnya
pembuluh darah di otak dan kelumpuhan. Komplikasi hipertensi dapat
menyebabkan :
1. Penyakit jantung (gagal jantung)
2. Penyakit ginjal (gagal ginjal)
3. Penyakit otak (stroke)
8. Penatalaksanaan
a. Terapi tanpa obat
1) Mengendalikan berat badan
Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badan dianjurkan untuk
menurunkan berat badannya sampai batas normal.
2) Pembatasan asupan garam (sodium/Na)
mengurangi pamakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6
gram natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan kalsium,
magnesium, dan kalium yang cukup).
3) Berhenti merokok
Penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok
diketahui menurunkan aliran darah keberbagai organ dan dapat
meningkatkan kerja jantung.
4) Mengurangi atau berhenti minum minuman beralkohol.
5) Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar
kolesterol darah tinggi.
6) Olahraga aerobic yang tidak terlalu berat.
Penderita hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama
tekanan darahnya terkendali.
7) Teknik-teknik mengurangi stress
Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan TPR dengan cara
menghambat respon stress saraf simpatis.
8) Manfaatkan pikiran
Kita memiliki kemampuan mengontrol tubuh, jauh lebih besar dari yang kita
duga. dengan berlatih organ-organ tubuh yang selama ini bekerja secara
otomatis seperti; suhu badan, detak jantung, dan tekanan darah, dapat kita
atur gerakannya.
b. Terapi dengan obat
1) Penghambat saraf simpatis
Golongan ini bekerja dengan menghambat akivitas saraf simpatis sehingga
mencegah naiknya tekanan darah, contohnya: Metildopa 250 mg (medopa,
dopamet), klonidin 0,075 & 0,15 mg (catapres) dan reserprin 0,1 &0,25 mg
(serpasil, Resapin).
2) Beta Bloker
Bekerja dengan menurunkan daya pompa jantung sehingga pada gilirannya
menurunkan tekanan darah. Contoh: propanolol 10 mg (inderal, farmadral),
atenolol 50, 100 mg (tenormin, farnormin), atau bisoprolol 2,5 & 5 mg
(concor).
3) Vasodilator
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan merelaksasi otot pembuluh
darah.
4) Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitor
Bekerja dengan menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh: Captopril 12,5, 25,
50 mg (capoten, captensin, tensikap), enalapril 5 &10 mg (tenase).
5) Calsium Antagonis
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara
menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Contohnya: nifedipin 5 & 10
mg (adalat, codalat, farmalat, nifedin), diltiazem 30,60,90 mg (herbesser,
farmabes)
6) Antagonis Reseptor Angiotensin II
Cara kerjanya dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada
reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Contoh :
valsartan (diovan).
7) Diuretic
Obat ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat urin)
sehingga volume cairan tubuh berkurang, sehingga mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan. Contoh: Hidroklorotiazid (HCT)
(Muttaqin, 2015).
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis untuk darah dan protein, elektrolit dan kreatinin darah
Dapat menunjukkan penyakit ginjal baik sebagai penyebab atau disebabkan
oleh hipertensi.
b. Glukosa darah
Untuk menyingkirkan diabetes atau intoleransi glukosa.
c. Kolesterol, HDL dan kolesterol total serum
Membantu memperkirakan risiko kardiovaskuler di masa depan.
d. EKG
Untuk menetapkan adanya hipertrofi ventrikel kiri.
e. Hemoglobin/Hematokrit
Bukan diagnostik tetapi mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(Viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor risiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.
f. BUN/kreatinin
Memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal.
g. Glukosa Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi) Dapat
diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi).
h. Kalium serum
Hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau
menjadi efek samping terapi diuretic.
i. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan hipertensi.
j. Kolesterol dan trigliserida serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk/adanya pembentukan
plak atero matosa (efek kardiovaskuler).
k. Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
l. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab).
m. Urinalisa
Darah, protein, glukosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal dan/atau adanya
diabetes.
n. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor risiko terjadinya
hipertensi.
o. Foto dada
Dapat menunjukkan abstraksi kalsifikasi pada area katup, deposit pada dan
atau takik aorta, pembesaran jantung.
p. CT Scan
Mengkaji tumor serebral, ensefalopati, atau feokromositama (Sodoyo,2006).
Keterangan:
Mandiri berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan efektif dari orang
lain, seseorang yang menolak untuk melakukan suatu fungsi dianggap tidak
melakukan fungsi meskipun ia dianggap mampu
2) MODIFIKASI DARI BARTHEL INDEKS
Termasuk yang manakah klien?
N Item yang
Skor Nilai
O dinilai
1 Makan 0 = Tidak mampu
(Feeding) 1 = Butuh bantuan memotong, mengoles mentega,
dll
2 = Mandiri
2 Mandi 0 = Tergantung dengan orang lain
(Bathing) 1 = Mandiri
3 Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
(Grooming) 1 = Mandiri dalam perawatan muka, rambut, gigi,
dan bercukur
4 Berpakaian 0 = Tergantung dengan orang lain
(Dressing) 1 = Sebagian dibantu (missal mengancing baju)
2 = Mandiri
5 Buang air kecil 0= Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak
(Bladder) terkontrol
1 = Kadang inkotinensia (maks, 1x 24 jam)
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari)
6 Buang air 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu enema)
besar (Bowel) 1 = Kadang inkotinensia (sekali seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7 Penggunaan 0 = Tergantung bantuan orang lain
toilet 1= Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8 Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang)
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9 Mobilitas 0 = Imobilitas (tidak mampu)
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantan satu orang
3= Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu
seperti tongkat)
10 Naik turun 0 = Tidak mampu
tangga 1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)
2 = Mandiri
Interpretasi hasil:
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
1.4 : Ketergantungan Total
c. Pengkajian Kognitif
1) Identifikasi tingkat intelektual dengan Short Protable Mental Status
Questioner (SPMSQ)
Instruksi :
Ajukan pertanyaan 1-10 pada daftar ini dan catat semua jawaban
Catat jumlah kesalahan total berdasarkan total kesalahan berdasarkan 10 pertanyaan
Skore
No Pertanyaan Jawaban
+ -
Keterangan
Kesalahan 0-2 : Fungsi intelektual utuh
Kesalahan 3-4 : Kerusakan intelektual ringan
Kesalahan 5-7 : Kerusakan intelektual sedang
Kesalahan 8-10 : Kerusakan intelektual berat
Orientasi
Registrasi
Mengingat
Bahasa
Nilai total
Keterangan
Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan
kognitif yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut
d. Pengkajian Status Emosional
Identifikasi masalah emosional
Pertanyaan tahap 1
a. Apakah klien mengalami kesulitan tidur?
b. Apakah klien sering merasa gelisah?
c. Apakah klien sering murung dan menangis sendiri?
d. Apakah klien sering was-was atau khawatir?
Pertanyaan tahap 2
a. Keluhan lebih dari 3 bulan atau lebih dari satu kali dalam satu bulan?
b. Ada atau banyak pikiran?
c. Ada masalah atau gangguan dengan keluarga lain?
d. Menggunakan obat tidur/penenang atas anjuran dokter?
e. Cenderung mengurung diri?
Bila lebih dari satu atau sama 1 jawaban “ya”MASALAH EMOSIONAL
POSITIF (+)
e. Pengkajian Psikososial
Jelaskan kemampuan sosialisasi klien pada saat sekarang,sikap klien pada orang
lain, harapan-harapan klien dalam melakukan sosialisasi.
f. Pengkajian Spiritual
Kaji agama, kegiatan keagamaan, konsep/keyainan klien tentang kematian,
harapan-harapan klien, dan lain-lain.
Total skor
Keterangan
Risiko Rendah 0-7
Risiko Tinggi 8-13
Risiko Sangat Tinggi ≥ 14
Nama/ paraf
Catatan:
1. Pengkajian awal risiko jatuh dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit,
dituliskan pada kolom IA (Initial Assessment)
2. Pengkajian ulang untuk pasien risiko jatuh ditulis pada kolom keterangan
dengan kode:
a. Setelah pasien jatuh (Post Falls) dengan kode: PF
b. Perubahan kondisi (Change of Condition) dengan kode: CC
c. Menerima pasien pindahan dari ruangan lain (On Ward Transfer) dengan
kode: WT
d. Setiap minggu (Weekly) dengan kode: WK
e. Saat pasien pulang (Discharge) dengan kode: DC
Kode ini dituliskan pada kolom keterangan
Keterangan Skor :
>12 detik : risiko jatuh tinggi
≤ 12 detik : risiko jatuh rendah
i. APGAR keluarga
N ITEMS PENILAIAN SELALU KADAN TIDAK
O (2) G PERNAH
-KADAN (0)
G (1)
1 A: Adaptasi
Saya puas bisa kembali pada keluarga (teman-
teman) saya untuk membantu apabila saya
mengalami kesulitan (adaptasi)
2 P: Partnership
Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)
saya membicarakan sesuatu dan mengungapkan
masalah dengan saya (hubungan)
3 G: Growth
Saya puas bahwa keluarga(teman-teman) saya
menerima dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan aktivitas (pertumbuhan)
4 A: Afek
Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)
saya mengekspresikan afek dan berespons terhadap
emosi saya, seperti marah, sedih atau mencintai
5 R: Resolve
Saya puas dengan cara teman atau keluarga saya
dan saya menyediakan waktu bersama-sama
mengekspresikan afek dan berespon
JUMLAH
Penilaian:
Total nilai <3 : disfungsi keluarga yang sangat tinggi
Total nilai 4-6 : disfungsi keluarga sedang
Total nilai 7-10: tidak ada disfungsi keluarga
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri kronis berhubungan dengan retensi pembuluh darah ke otak meningkat,
tekanan pembuluh darah ke otak meningkat, nyeri kepala.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan berhubungan dengan kegelisahan dan
sering bangun malam.
c. Hipervolemia berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah ginjal, aliran
darah menurun, respon RAA, rangsangan aldosteron meningkat, retensi Na.
d. Penuruna curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokontraksi, hipertrofi/rigiditas ventricular.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen.
f. Resiko jatuh berhubungan dengan pengelihatan ganda dan suplai oksigen ke
otak menurun.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Perencanaan
No Diagnosa (SDKI)
(Kriteria Hasi) SLKI (Intervensi) SIKI
1 Nyeri kronis berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan sebanyak Manajemen nyeri
dengan retensi pembuluh darah 3x kunjungan diharapkan nyeri klien terkontrol
ke otak meningkat, tekanan dengan kriteria hasil : 1. Observasi
pembuluh darah ke otak Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
meningkat, nyeri kepala. Keluhan nyeri menurun. frekuensi, kualitas, dan itensitas nyeri.
Meringis menurun. Identifikasi skala nyeri (PQRST).
Gelisah menurun. Identifikasi respon nyeri non verbal.
Frekuensi nadi membaik. Identifikasi faktor yang memperberat dan
Pola napas membaik. memperingan nyeri.
Tekanan darah membaik. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
Pola tidur membaik. tentang nyeri.
Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri.
Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan.
Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
2. Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri misalnya terapi
music, terapi pijat, aromaterapi, kompres
hangat atau dingin.
Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri misalnya suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
Fasilitasi istirahat dan tidur.
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri.
3. Edukasi
Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri.
Jelaskan strategi meredakan nyeri.
Anjurkan memonitoring nyeri secara
mandiri.
Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat.
Anjurkan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri.
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu.
2 Gangguan pola tidur Setelah dilakukan tindakan keperawatan sebanyak Dukungan tidur
berhubungan dengan 3x kunjungan diharapkan pola tidur klien membaik
berhubungan dengan dengan kriteria hasil : 1. Observasi
kegelisahan dan sering bangun Identifikasi pola aktivitas dan tidur.
malam. Keluhan sulit tidur menurun. Identifikasi faktor pengganggu tidur.
Keluhan sering terjaga menurun. Identifikasi makanan dan minuman yang
Keluhan tidak puas tidur menurun. mengganggu tidur misalnya kopi, tea,
Keluhan pola tidur berubah menurun. alcohol, makan mendekati waktu tidur,
Keluhan istirahat tidak cukup menurun. dan minum banyak air sebelum tidur.
Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi.
2. Terapeutik
Modifikasi lingkungan misalnya
pencahayaan, kebisingan, sihu, dan
tempat tidur.
Batasi waktu tidur siang, jika perlu.
Fasilitasi menghilangkan stress sebelum
tidur.
Tetapkan jadwal tidur rutin.
Lakukan prosedur untuk meningkatkan
kenyamanan misalnya pijat, pengaturan
posisi.
Sesuaikan jadwal pemberian obat atau
tindakan untuk menunjang siklus tidur
terjaga.
3. Edukasi
Jelaskan pentingnya tidur cukup selama
sakit.
Anjurkan menepati kebiasaan waktu
tidur.
Anjurkan menghindari makanan atau
minuman yang mengganggu tidur.
Anjurkan penggunaan obat tidur yang
tidak mengandung supresor terhadap
tidur.
Anjurkan relaksasi otot autogenic atau
cara nonfarmakologi lainnya.
4 Penuruna curah jantung Setelah dilakukan tindakan keperawatan sebanyak Perawatan jantung
berhubungan dengan 3x kunjungan diharapkan penurunan curah jantung
peningkatan afterload, klien dapat teratasi dengan kriteria hasil : 1. Observasi
vasokontraksi, Identifikasi tanda gejala primer
hipertrofi/rigiditas ventricular Lelaah menurun. penurunan curah jantung (dyspnea,
Dispnea menurun. kelelahan, edema, ortopnea).
Pucat/sianosis menurun. Identifikasi tanda gejala sekunder
Ortopnea menurun. penurunan curah jantung (peningkatan
BB, hepatomegaly, distensi vena
Tekanan darah membaik. jugularis, batuk, kulit pucat).
Monitor tekanan darah.
Monitor intake dan output cairan.
Monitor BB setiap hari pada waktu yang
sama.
Monitor saturasi oksigen.
Monitor keluhan nyeri dada.
2. Terapeutik
Posisikan klien semi fowler atau fowler
dengan kaki ke bawah atau posisi
nyaman.
Berikan diet jantung yang sesuai
misalnya batasi asupan kafein, natrium,
kolesterol, dan makanan tinggi lemak.
Fasilitasi klien dan keluarga untuk
modifikasi gaya hidup sehat.
Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stress, jika perlu.
Berikan dukungan emosional dan
spiritual.
Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%.
3. Edukasi
Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi.
Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap.
Anjurkan klien dan keluarga mengukur
BB harian.
Anjurkan klien dan keluarga mengukur
intake dan output cairan harian.
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika
perlu.
Rurjuk ke program rehabilitasi jantung.
6 Resiko jatuh berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan sebanyak Manajemen keselamatan lingkungan
dengan pengelihatan ganda dan 3x kunjungan diharapkan resiko jatuh klien dapat
suplai oksigen ke otak menurun. teratasi dengan kriteria hasil : 1. Observasi
Identifikasi kebutuhan keselamatan
Jatuh dari tempat tidur menurun. misalnya kondisi fisik, fungsi kognitif
Jatuh saat berdiri menurun. dan riwayat perilaku.
Jatuh saat duduk menurun. Monitor perubahan status keselamatan
Jatuh saat berjalan menurun. lingkungan.
Jatuh saat dipindahkan menurun. 2. Terapeutik
Jatuh saat naik tangga menurun. Hilangkan bahaya keselamatan
Jatuh saat dikamar mandi menurun. lingkungan misalnya fisik, biologis, dan
Jatuh saat membungkuk menurun. kimia, jika memungkinkan.
Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bahaya dan resiko.
Sediakan alat bantu keamanan
lingkungan.
Gunakan perangkat pelindung misalnya
rel samping, pintu terkunci, dan pagar.
Hubungi pihak berwenang sesuai
masalah komunitas misalnya puskesmas,
polisi, damkar.
Fasilitasi program skrining bahaya
lingkungan.
3. Edukasi
Ajarkan individu, keluarga dan
kelompok resiko tinggi bahaya
lingkungan.
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari perencanaan keperawatan
yang telah dibuat oleh untuk mencapai hasil yang efektif dalam pelaksanaan
implementasi keperawatan, penguasaan dan keterampilan dan pengetahuan harus
dimiliki oleh setiap perawat sehingga pelayanan yang diberikan baik mutunya.
Dengan demikian rencana yang telah ditentukan tercapai.
5. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi terhadap masalah hipertensi dilakukan dengan menilai masalah
keperawatan yang muncul. Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat
dan hasilnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan keperawatan
dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap keperawatan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. (2009). Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung dan Stroke.
Edisi I. Yogyakarta: CV. Dianloka.
Depkes RI. (2015). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia lanjut bagi Petugas Kesehatan:
Materi Pembinaan. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Usia Lanjut
Gleadle, J. (2005). Anamesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga.
Muttaqin, A. (2009). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, Wahyudi. (2016). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi ke 3. Jakarta: EGC
Nugroho, Wahyudi. (2015). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC