Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Bab II ini akan menguraikan konsep-konsep teori yang mendukung dalam penelitian,

meliputi : Chronic Kidney Desease (CKD), Hemodialisys, Spiritualitas, Perempuan,

dan Kerangka Teori.

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Chronic Kidney Desease (CKD)

a. Definisi

Gangguan pada ginjal dapat berupa Chronic Kidney Desease atau

penyakit ginjal kronis. Gangguan ginjal akut (Acut Kidney Injury) atau

sebelumnya disebut gagal ginjal akut (Riskesdas, 2017). Cronic Kidney

Desease terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak bisa berfungsi secara

baik dan bersifat irrevesibel (Baradero, Siswadi, & Dayrit, 2009).

Berdasar National Kidney Foundation (NKF) Kidney Desease Outcame

Quality Initiative (KDOQI) Ronic Kidney Desease adalah kerusan ginjal

lebih dari 3 bulan, disertai penurunan laju filtrasi glumerulus (LFG)

dimana <60 mL/ menit /1,73 m selama lebih dari 3 bulan disertai dengan

kerusakan ginjal dan di dapatkan hasil pemeriksaan laboratorium darah,

urin dan radiologi yang abnormal (Aziz, Witjaksono, & Rasjidi, 2008).

9
2

b. Klasifikasi CKD

Table 2.1 Derajat CKD dan risiko progresivitasnya diklasifikasikan

dengan melihat nilai GFR dan Albuminuria sebagai

berikut:

Derajat dan prognosis CKD berdasarkan Kategori Albuminuria Persisten


GFR dan Albuminuria Deskripsi dan Skala
KDIGO 2012 A1 A2 A3
Normal Penurunan Penuruna
sampai sedang n berat
penurunan
ringan
<30mg/g 30- >300mg/
<3mg/mm 300mg/g g
ol 3- >30mg/m
30mg/mm mol
ol
Kategori GFR (ml/min/1,73m2)

G1 Normal atau tinggi >90 Hijau Kuing Oranye


G2 Mengalami 60-89 Hijau Kuning Oranye
penurunan ringan
G3a Penurunan rigan 45-59 Kuning Oranye Merah
sampai sedang
G3b Penurunan sedang 30-44 Oranye Merah Merah
sampai berat
G4 Penurunan berat 15-29 Merah Merah Merah
tua
G5 Kidney failure <15 Merah tua Merah tua Merah
tua
Deskripsi dan Skala

Keterangan: GFR dan albuminuria menggambarkan risiko progresivitas

sesuai warna (hijau, kuning, oranye, merah, merah tua).


3

Sumber: KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation

and Management

Pada derajat awal, PGK belum menimbulkan gejala dan tanda,

bahkan hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% klien masih

asimtomatik namun sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Kelainan secara klinis dan laboratorium baru terlihat dengan

jelas pada derajat 3 dan 4. Saat laju filtrasi glomerulus sebesar 30%,

keluhan seperti badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan

penurunan berat badan mulai dirasakan klien. Klien mulai merasakan

gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi glomelurus kurang

dari 30% (Riskesdas, 2017).

c. Etiologi

Penyebab utama Chronic Kidney Desease adalah diabetes militus

(32%), hipertensi (28%), dan glumerulonefritis (45%) (Riskesdas,

2017). Dalam buku (N. afrian Nauri & Widayati, 2017) beberapa

penyebab CKD yaitu :

1) Diabetes militus

2) Glumerulonefritis kronis

3) Pielonefritis

4) Hipertensi

5) Obstruksi saluran kemih


4

6) Penyakit ginjal polikistik

7) Agen toksik

8) Gangguan vaskuler

d. Epidemilogi

Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis

gagal ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan

prevalensi CKD di negara-negara lain, dari hasil penelitian Perhimpunan

Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, mendapatkan prevalensi

CKD sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap

data orang yang terdiagnosis CKD sebelumnya, sedangkan sebagian

besar CKD di Indonesia yang baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan

akhir belum terdata (Riskesdas, 2017).

e. Manifestasi klinis

Adapun tanda gejala CKD di dalam buku (Hermawan, 2016) antara

lain : lemas, tidak ada tenanga, tidak nafsu makan, mual, muntah,

bengkak, kencing berkurang, gatal sesak napas, dan pucat. Dengan hasil

abnormalitas hasil laboratorium antara lain : peningkatan kreatinin

darah, menurunnya HB, proteinuria.

Klien akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala ; keparahan kondisi

tergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari,

dan usia klien (Hackley, 2000; N. afrian Nauri & Widayati, 2017).
5

1) Kardiovaskular : hipertensi, gagal ginjal kongesif, edema pulmonal,

dan pericarditis, nyeri dada, dan sesak napas akibat pericarditis,

efusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,

gangguan irama jantung.

2) Dermatologis : gatal-gatal (pruritus), serangan uremik tidak umum

karena pengobatan dini dan agresif.

3) Gastrointestinal : anoreksia, nausea, mual, muntah dan cegukan,

fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus

penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut,

kehilangan kemampuan menghidu dan pengecap, parotitis dan

stomatitis, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan

perdarahan mulut, nafas bau ammonia.

4) Gangguan pulmoner

Nafas dangkal, kassmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, dan

suara reklels.

5) Perubahan neuro muscular : perubahan tingkat kesadaran, kacau

mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang.

6) Perubahan hematplogis : kecenderungan pendarahan.

7) Keletihan dan latergik, sakit kepala, kelemahan umum.

8) Klien secara tahap akan lebih mengantuk, , terjadi koma, sering

konvulsi (mioklonik), atau kedutan otot.

9) Gangguan musculoskeletal
6

Resiles leg sindron (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),

burning feet syndrome (rasa kesemutan dan terbakar,

f. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya

proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal

mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih

tersisa (surviving nephron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai

oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini

mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan

tekanan kapiler dan aliran darah glumerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya di ikuti oleh proses maladaptasi berupa

sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan

penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya

sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas aksis renin-

angiotensin-aldesteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap

terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas

jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldesteron, sebagian di

perantarai oleh growth factor seperti transforming growth faktor beta

(TGF-Beta). Beberapa hal yang juga di anggap berperan terhadap

terjadinya progresifitas. Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,

hipertensi, hiperglikemia, dyslipidemia. Terdapat variabelitas


7

interindividual untuk terjadinya sclerosis dan fibroisis glumerulus

maupun tubulus interstistisial.

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan

daya cadang ginjal (renal reserver), pada keadaan mana basal LFG

masih normal atau malah meningkat, kemudian secara perlahan tapi

pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai

dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG

sebesar 60% klien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi

sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada

LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada klien seperti, nokturia,

badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penururnan berat badan.

Sampai pada LFG dibawah 30%, klien memperlihatkan tanda dan gejala

uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah,

gangguan metabolism fosfor dan kalsium, priuritus, mual, muntah dan

lain sebagainya. Klien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran

kemih, infeksi saluran nafas, mau pun saluran cerna. Juga akan terjadi

gangguan keseimbangan air seperti hipovolemia dan hypervolemia,

gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada

LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,

dan klien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement

therapy) antara lain dialysis atau tranplantasi ginjal. Pada keadaan ini

klien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.


8

g. Manajemen keperawatan kolaboratif

Uji diagnostic (Baradero et al., 2009).

Karena CRF mempunyai efek multisistemik, banyak kelainan berat

yang dapat diketahui dari hasil pemeriksaan laboratorium. Kadar

kreatinin serum penting dalam mengevaluasi fungsi ginjal. Kreatinin

serum meningkat apabila sudah banyak nefron yang rusak sehingga

kreatinin tidak dapat di ekresikan oleh ginjal. Pemeriksaan uji klirens

kreatinin urin 12 atau 24 jam dapat mengevaluasi fungsi ginjal dan

menentukan beratnya disfungsi ginjal. Uji ini adalah indicator yang

paling spesifik untuk mengetahui fungsi ginjal. Kecepatan klirens

kreatinin sama dengan Grit. Klirens kreatinin yang kurang dari 10 ml

per menit menunjukkan kerusakan ginjal yang berat. Kadar kreatinin

akan berubah sebagai respons hanya terhadap disfungsi hinjal,

sedangkan BUN akan berubah sebagai responsterhadap dehidrasi dan

pemecahan protein.

Pemeriksaan radiografik tidak banyak bermanfaat untuk klien

dengan ERDS. Sinar X KUB hanya memperlihatkan bentuk, besar, dan

posisi ginjal. Klien dengan ERDS mempunyai ginjal yang atrofik.

Ultrasonografi atau pemindaian CT hanya mengesampingkan adanya

obstruksi. Tidak dianjurkan pemindaian CT dengan zat kontras karena

nefrotoksik efek zat kontras.


9

h. Tindakan medikasi untuk Chronic Kidney Desease (Baradero et al.,

2009).

Fokus penanganan awal klien dengan CRF adalah mengendalikan

gejala, mencegah komplikasi, dan memperlambat progresif gagal ginjal.

Obat dipakai untuk menegendalikan hipertensi, mengatur elektrolit, dan

mengendalikan volume cairan intravascular. Hipertensi di kendalikan

dengan obat inhibitor enzim pengubah angiotensin (ACE). Obat

imunosupresif dapat diberikan pada klien dengan glumerolusnefritis.

Volume cairan intravascular dapat diatur dengan diuretic.

Ketidakseimbangan elektrolit dapat diperbaiki dengan natrium

bikarbonat apabila terjadi asidosis metabolik. Hyperkalemia dapat

ditangani dengan kombinasi insulin dan dektrosa atau natrium polistiren

sulfonat. Kadar kalsium dan fosfor dapat dipertahankan dengan

tambahan kalsium dan vitamin D.

i. Pengendalian Cairan

Perubahan kemampuan untuk mengatur dan megekresikan natrium

merupakan tanda awal gagal ginjal. Biasanya, pasien CRF mengalami

hipovolemia akibat gagal ginjal yang tidak mampu mengekresikan

natrium dan air. Namaun, ada juga beberapa klien dengan CRF yang

tidak mampu menahan natrium dan air sehingga mengalami

hipovolemia. Tujuan pengendalian cairan adalah mempertahankan status


10

normotensive (tekanan cairan dalam batas normal) (Baradero et al.,

2009).

Menurut Mary Baradero (2009) Pengendalian elektrolit antara lain :

1) Hyperkalemia

Kadar kalium plasma (K+) pada hyperkalemia adalah lebih dari 5,5

Meq/L. Pada klien dengan CRF, retensi kalium terjadi karena

nefron kurang mampu melakukan ekresi. Hyperkalemia dapat di

kendalaikan dengan mengurangi asupan makanan yang kaya dengan

kalium (pisang, jeruk, kentang, kismis, dan sayuran berdaun hijau)

atau hemodialisys dengan dialisat tanpa mengandung K+ yang dapat

segera mengambil kalium dalam tubulus klien (Baradero &

Siswadi, 2009).

2) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik terjadi karena nefron yang rusak tidak dapat

mengekresikan asam yang dihasilkan dari metabolism tubuh.

Apabila laju filtrasi glomerulus menurun sampai 30-40% asidosis

metabolik mulai berkembang karena kemampuan tubulus distal

untuk mereabsorsi bikarbonat menurun (Baradero et al., 2009).

3) Hipokalsemia/ hiperfosfatemia

Pada gagal ginjal, kemampuan ginjal untuk mengekresi fosfor

berkurang. Siklus hipokalsemia/hiperfofatemia mengakibatkan


11

demineralisasi tulang. Kalsium dan fosfor dikeluarkan dalam darah.

Berkurangnya laju filtrasi glumerolus mengakibatkan peningkatan

fosfat plasma, sekaligus penurunan kalsium serum. Penurunan

kadar kalsium serum akan menstimulasi sekresi hormone paratiroid

dengan akibat kalsium direabsorsi dari tulang. Ginjal tidak mampu

mengekresikan sintesis vitamin D kebentuk yang aktif, yaitu 1,25

dihidroksikolekalsiferol. Vitamin D yang aktif ini diperlukan untuk

mengabsorsi kalsium dantraktusgastrointestinal dan menyimpan

kalsium dalam tulang. Gangguan ini mengakibatkan lambatnya

pertumbuhan (pada anak-anak), nyeru tulang, dan osteodistrofi

ginjal pada orang dewasa.

Tujuan terapi adalah menurunkan fosfor serum ke batas normal.

Obat yang diberikan antara lain AlrenalGel, kalsum karbonat, dan

kalsium asetat. Klien dapat juga diberikan vitamin D aktif, seperti

kalsitriol 0,5 unit gram setiap hari (Baradero et al., 2009).

2. Hemodialisys

a. Definisi

Dialisa adalah suatu proses Diana solute dan air mengalami difusi

secara pasif mealalui suatu membran berpori dari kompartemen cair

menuju kompartemen lainnya. Hemodialisys dan dialisa peritoneal


12

merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip

dasar keduatehnik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma

ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau

tekanan tertentu.

Hemodialisys didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari

darah klien melewati membran semipermiabel (dialyzer) kedalam

dialisat. Dialyzer juga dapat di pergunakan untuk memindahkan

sebagian besar besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui

ultrafiltrasi dimana tekanan hidroistaltik menyebabkan aliran yang besar

dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.

Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulasi dan

produksi dialyzer yang dapat di percaya dan efisien, hemodialisys telah

menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan

kronik di Amerika Serikat mau pun di Indonesia. Hemodialisys

memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang

dinamakan dialyzer (suatu membran permiabel) yang digunakan untuk

membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan

beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisys memerlukan

jalan masuk kealiran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara

arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (N. afrian

Nauri & Widayati, 2017).


13

Hemodialisys adalah pengalihan darah klien dari tubuhnya melalui

dialyzer yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah

kembali lagi kedalam tubuh klien. Hemodialisys memerlukan akses ke

sirkulasi darah klien, suatu mekanisme untuk membawa darah klien ke

dialyzer dan dari dialyzer (tempat pertukaran cairan, elektrolit, dan zat

sisa tubuh) serta dialiser.

Ada lima cara memperoleh akses sirkulasi darah klien :

1) Fistula arteriovena

2) Graft arteriovena

3) Shunt (pirai) arteriovena ekternal

4) Kateterisasi vena femoralis

5) Kateterisasi vena subklavia

Segera setelah dialysis, berat badan klien ditimbang, tanda-tanda vital

diperiksa, specimen darah diambil untuk mengetahui kadar elektrolit

serum dan zat sisa tubuh.

Hemodialisys merupakan mesin cuci darah yang berfungsi seperti

ginjal buatan (artificial kidney) yaitu untuk membuang racun dan air

berlebihan dari tubuh. Biasanya hemodialisys dilakukan 2-3 kali

seminggu dengan waktu 4-5 jam sekali proses atau 12 jam dalam

seminggu (Tandra, 2015).

b. Prevalensi
14

IRR adalah kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan data

klien yang menjalani dialisis, transplantasi ginjal serta data epidemiologi

penyakit ginjal dan hipertensi di Indonesia. IRR merupakan program

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) yang dimulai sejak tahun

2007. Pada tahun 2015, di peroleh data dengan total 4.898 mesin

hemodialisys, proporsi terbanyak terdapat di wilayah DKI Jakarta (26%)

dan Jawa Barat (22%). Provinsi Jawa Tengah 12%, Jawa Timur 11%,

Sumatera Utara 7%, Bali 4%, Sumatera Barat 4%, Sumatera Selatan

4%, DI Yogyakarta 3%, Kalimantan 2%, dan provinsi lainnya sekitar

1%. Data IRR dari 249 renal unit yang melapor, tercatat 30.554 klien

aktif menjalani dialisis pada tahun 2015, sebagian besar adalah klien

dengan Chronic Kidney Desease (Riskesdas, 2017).

Diagram 2.2 Klien baru dan klien aktif di Indonesia dari tahun 2007 – 2015
15

Sumber : (Riskesdas, 2017)

Jumlah klien baru terus meningkat dari tahun ke tahun , klien baru adalah

klien yang pertama kali menjalani dialisis pada tahun 2015 sedangkan klien

aktif adalah seluruh klien baik klien baru tahun 2015 maupun klien lama dari

tahun sebelumnya yang masih menjalani hemodialisys rutin dan masih hidup

sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. Pada diagram di atas terlihat suatu

perbedaan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2015 klien aktif

lebih banyak dari jumlah klien baru , hal ini menunjukkan lebih banyak klien

yang dapat menjalani hemodialisis lebih lama. Jumlah klien ini belum

menunjukkan data seluruh Indonesia tetapi dapat dijadikan representasi dari

kondisi saat ini (Data diatas tahun diambil dari 249 Unit) (Indonesian et al.,

2016).

c. Indikasi

Tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah

untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli

ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus

diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan

biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja

purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala

klinis lainnya .
16

Secara ideal semua klien dengan LFG kurang dari 15mL/menit,

kurang dari 10mL/menit dengan gejala uremia dan malnurisi, dan LFG

kurang dari 5mL/menit walaupun tanpa tanda gejala dapat menjalani

dialisys. Selain indikasi tersebut juga disebutkan dengan adanya indikasi

khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperi adom paru,

hyperkalemia, asidosis metabolik berulang dan nefrobatik diabetic (N.

afrian Nauri & Widayati, 2017).

d. Tujuan

Tujuan dari terapi hemodialisys antara lain (N. A. Nauri & Widayati,

2017) :

1) Menggantikan fungsi gnjal dalam fungsi ekresi, yaitu membuang

sisa-sisa metabolism dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa

metabolisme yang lain.

2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang

seharusnya dkeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.

3) Meningkatkan kualitas hidup klien yang menderita penurunan

fungsi ginjal.

4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu pengobatan yang

lain.

e. Proses Hemodialisys
17

Suatu mesin hemodialisys yang digunakan untuk tindakan

hemodialisys berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat),

mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran

semipermiabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit

darah korporeal. Pemberian heparin sebagai melengkapi antikoagulasi

sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk

memperoleh efesiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi

dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisat, dan

kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan.

Dalam proses hemodialisys diperlukan suatu mesin hemodialisys dan

suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang di sebut dialyzer, yang

digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum,

kreatinin dan zat-zat sisa metabolism yang tidak di perlukan oleh tubuh.

Untuk melaksanakan hemodialisys diperlukan akses vaskuler sebagai

tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin.

Suatu mesin ginjal buatan atau homodializer terdiri dari membran

smipermiabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan

bagian lain untuk dializat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan

dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran

darah. Dialyzer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dialyzer

yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel.

Darah mengalir melalui bagian tengah-tengah tabung kecil ini, dan


18

cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dialyzer ini sangat kecil dan

kompak karena memiliki permukaan yang luasakibat adanya banyak

tabug kapiler. Selama hemodialisys darah dikeluarkan dari tubuh melalui

sebuah kateter masuk kedalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan

sbeuah membran semipermeable (dializat) yang terdiri dari dua ruangan.

Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat,

sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan

permbersihan oleh dialyzer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui

arterio venosa shunt (AV-shunt). Suatu system dialisat terdiri dari dua

sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah

mengalir dari klien melalui tabung plastic (jalur arteri/blood line),

melalui dialyzer hollow fiber dan kembali ke klien melalui jalur vena.

Cairan dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan

dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur

dengan konsentrat dengan perantaraan pompa penagtur, sehingga

terbentuk dialisat atu bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukkan

ke dalam dialyzer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga

sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan

dialisat terjadi sepanjang membran semipermiabel dari hemodializer

melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terutama di


19

capai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostaltik antara darah

dengan dialisat (N. A. Nauri & Widayati, 2017).

3. Spiritualitas

a. Definisi

Religius berbeda dengan spiritualitas. Religious merupakan sebuah

lembaga yang terdiri dari serangkaian ritus wajib mau pun pelengkap.

Sedangkan spiritualitas merupakan jantung dari religius, semua

keyakinan/ kepercayaan ke pada Allah, oleh sebab itu spiritualitas bukan

merupakan hal yang datang dari luar, spiritualitas bersifat inheren

(Taufiq Pasiak, 2012). Spiritual merupakan sesuatu yang dipercayai oleh

seseorang dalam hubungannya dengan kekuatannya yang lebih tinggi

(Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap

adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah

di perbuat (Hidayat, 2013).

Table 2.3 Karasteristik perbedaan agama(religi) dan spiritualitas.

Religius Spiritualitas
Berfokus pada komunitas Individualistik
Dapat diamat i, diukur, dan objektif Kurang bisa dilihat dan diukur, subjektif
Formal, autodidakks, terorganisasi Kurang formal, kurang autodidaks,kurang
sistematis
Orientasi perilaku, praktik-praktik Orientasi emosional, arah ke dalam
keluar
Otoriter dalam kaitan dengan Tidak otoriter, sedikit dapat dinilai
perilaku
Sumber : (Taufik Pasiak, 2012)
20

Jadi spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungan yang Maha Kuasa

dan maha pencipta. Sebagai contoh seseorang yang percaya ke pada

Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa (Yani, 2009).

b. Karasteristik Spiritual

Dalam upaya memudahkan pemberian asuhan keperawatan dengan

memperhatikan kebutuhan spiritual penerima pelayanan keperawatan,

perawat mutlak perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi atau

mengenal karakteristik spiritualitas yang disajikan sebagai berikut (Yani,

2009).

1) Hubungan dengan Ketuhanan. Agamis atau tidak agamis

a) Sembahyang/ berdoa/ meditasi.

b) Perlengkapan keagamaan.

c) Bersatu denagan alam.

2) Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self

reliance:

a) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya).

b) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/ masa

depan, ketenangan pikiran, harmoni/ keselarasan dengan diri

sendiri).

3) Hubungan dengan alam harmonis.


21

a) Mengerti dimana dia tinggal dan dapat meyesuaikan dengan

keadaan.

b) Berkomunikasi dengan alam dengan cara melindungi alam.

4) Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif

a) berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik.

b) mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit.

c) meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, malayat, dan

lain-lain)

Bila tidak harmonis akan terjadi :

a) konflik dengan orang lain.

b) resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.

Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan

spiritualnya jika mampu :

1) Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaan di

dunia/ kehidupan.

2) Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu

kejadian atau penderitaan.

3) Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa

percaya, dan cinta.

4) Membina integritas personal dan mempunyai harga diri.

5) Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.

6) Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif


22

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual

Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritualitas

(Hidayat, 2013; Yani, 2009) :

1) Perkembangan

Usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan

kebutuhan spiritual, karena setiap tahap perkembangan memiliki

cara meyakini kepercayaan terhadap Tuhan (Hamid, 2009).

2) Keluarga

Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam memenuhi

kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional

yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari

(Hamid, 2009).

3) Ras/ suku

Ras/ suku memiliki keyakinan/ kepercayaan yang berbeda, sehingga

proses pemenuhan kebutuhan spiritual pun berbeda sesuai dengan

keyakinan yang dimiliki.

4) Agama yang di anut

Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat

menentukan arti pentingnya arti pentingnya kebutuhan spiritual .

5) Pengalaman hidup sebelumnya


23

Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman negative

dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya, juga

dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual

kejadian atau pengalaman tersebut. Sebagai contoh, jika dua orang

wanita yang percaya bahwa tuhan mencintai umatnya, kehilangan

anak mereka karena kecelakaan. Salah satu dari mereka akan

bereaksi dengan mempertahankan keberadaan Tuhan dan tidak mau

sembahyang lagi. Sebaliknya, wanita yang sat uterus berdoa dan

meminta Tuhan membantunya untuk mengerti dan menerima

kehilangan anaknya.

Begitu pula pengalaman hidup yang menyenangkan sekalipun,

seperti pernikahan, pelantikan kelulusan, kenaikan pangkat atau

jabatan dapat menimbulkan perasaan bersyukur kepada Tuhan,

tetapi ada juga yang merasa tidak perlu mensyukurinya. Peristiwa

dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu cobaan yang

diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji kekuatan imannya.

Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan

kedalam spiritual dan kemampuan koping untuk memenuhinya

(Hamid, 2009).

6) Krisi dan perubahan


24

Krisis sering di alami ketika seseornag mengalami penyakit,

penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian,

khususnya pada klien dengan penyakit terminal atau dengan

prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang

dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual selain juga

pengalaman yang bersifat fisik dan emosional.

Krisis dapat berhubungan dengan perubahan patofisiologis,

terapi/pengobatan yang di perlukan, atau situasi yang

mempengaruhi seseorang. Diagnosis penyakit atau penyakit

terminal pada umunya akan menimbulkan pertanyaan tentang

system kepercayaan seseorang. Jika klien dihadapkan pada

kematian, keyakinan spiritual dan keinginan untuk

sembahyang/berdoa lebih tinggi dibandingkan klien yang

berpenyakit bukan terminal. Sebagai catatan, pada bagian akhirbab

ini dibahas aspek asuhan keperawatan pada kasus klien kanker pada

fase terminal (Hamid, 2009).

7) Terpisah dari ikatan spiritual

Menderita sakit terutama yang besifat akut, seringkali membuat

individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan

system dukungan sosial. Klien yang di rawat merasa terisolasi

dalam ruangan yang asing baginya dan merasa tidak aman.


25

Kebiasaan hidup sehariri-hari juga berubah, antara lain, tidak dapat

menghadiri secara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak

dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa

memberi dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya klien dari

ikatan spiritual dapat berisiko terjadinya perubahan fungsi

spiritualnya.

8) Isu moral terkait dengan terapi

Pada kebanyakan agama proses penyembuhan dianggap sebagai

cara Tuhan untuk menunjukkan kebesarannya walaupun ada juga

yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medic sering kali

dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama, misalnya sirkumsisi,

transplantasi organ, pencegahan kehamilan, dan strelisasi, konflik

antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh

klien dan tenaga kesehatan (Hamid, 2009).

9) Asuhan keperawatan yang kurang sesuai. Ketika memberikan

asuhan keperawatan kepada klien, tetapi dengan berbagai alasan ada

kemungkinan perawat justru menghindari untuk memberi asuhan

spiritual. Alas an tersebut, antara lain karena perawat merasa kurang

nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap

pentingnya kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan

tentang aspek spiritual dalam keperawatan, atau merasa bahwa


26

pemenuhan kebutuhan keperawatan, spiritual klien bukan menjadi

tugasnya, tetapi tanggung jawab pemuka agama (Hamid, 2009).

Lima isu nilai yang mungkin timbul antara perawat dan klien (Hamid,

2009) adalah sebagai berikut :

1) Pluralism

Perawat dan klien menganut kepercayaan dan iman dengan

sprektum yang luas.

2) Fear

Berhubungan dengan ketidakmampuan mengatasi situasi,

melanggar privasi klien, dan merasa tidak pasti dengan system

kepercayaan dan nilai diri sendiri

3) Kesadaran tentang pertanyaan spiritual

Apa yang memberi arti dalam kehidupan, tujuan, harapan, dan

merasakan cinta dalam kehidupan pribadi perawat.

4) Bingung

Bingung terjadi karena adanya perbedaan antara agama dan konsep

spiritual.

5) Kegiatan keagamaan

Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan keberadaan

dirinya dengan Tuhan, dan selalu mndekatkan diri kepada

Penciptanya.
27

d. Spiritualitas, Kesehatan Dan Sakit

Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat

mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku selfcare klien. Beberapa

pengaruh dari keyakinan spiritual yang perlu dipahami adalah sebagai

berikut (Hamid, 2009):

1) Menuntun kebiasaan hidup sehari-hari

Praktik tertentu pada umumnya yang berhubungan dengan

pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi

klien. Sebagai contoh, ada agama yang menetapkan makanan diet

yang boleh dan tidak boleh dimakan. Begitu pula metode keluarga

berencana ada agama yang melarang cara tertentu tertentu untuk

mencegah kehamilan, termasuk terapi medic atau pengobatan

(Hamid, 2009).

2) Sumber dukungan

Pada saat mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari

keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat

menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit

tesebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil

yang belom pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci,

dan praktik keagaamn lainnya sering membantu memenuhi


28

kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan

terhadap tubuh (Yani, 2009).

3) Sumber kekuatan dan penyembuhan

Nilai dari keyakinan agama tidak dapat dengan mudah dievaluasi.

Walaupun demikian, pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati

oleh tenaga kesehatan dengan mengetahui bahwa induvidu

cenderung dapat menahan distress fisik yang luar biasa karena

mempunyai keyakinan yang kuat. Keluarga klien akan mengikuti

semua proses penyembuhan yang memerlukan upaya luar biasa

karena keyakinan bahwa semua uoaya tersebut akan berhasil

(Hamid, 2009).

4) Sumber konflik

Pada situasi tertentu dapat terjadi konflik antara keyakinan agama

dengan praktik kesehatan. Misalnya, ada orang yang memandang

penyakit sebagai bentuk hukuman karena pernah berdosa. Ada

agama tertentu yang menganggap manusia sebagai mahkluk yang

tidak berdaya dalam mengendalikan lingkungannya sehingga

penyakit diterima sebagai takdir, bukan sebagai sesuatu yang harus

disembuhkan (Yani, 2009).

e. Mekanisme Hubungan Spritualis dan Kesehatan


29

Spiritualitas memengaruhi kesehatan melalului empat mekanisme

(Taufiq Pasiak, 2012) :

1) Behavioral mechanise

spiritualitas melindungi diri seorang terhadap gangguan atau

penyakit secara tidak langsung melalui gaya hidup sehat. Sebagai

contoh, beberapa agama melarang merokok dan menganjurkan diet,

atau hanya makan makanan tertentu. Hubungan antara seseorang

merokok, meminum alkohol dan obat-obatan dengan spiritualitas

telah diketahui bahwa, seseorang yang memiliki komitmen religius

yang lebih tinggi secara konsisten lebih rendah kemungkinan untuk

menyalahgunaan obat-obatan dan pemakaian alkohol dibandingkan

dengan tingkat seseorang yang relligiusnya yang kurang (Taufiq

Pasiak, 2012).

2) Social mechanisme

kelompok-kelompok spiritual dan religi memberikan dukungan dan

bantuan untuk setiap anggota komunitas. Keanggotan dalam suatu

komunitas merupakan bentuk ikatan sosial yang bermakna, selain

ikatan sosial karena hubungan kelurga, perkawinan, atau kelompok

sosial yang lain. Sejumlah studi epidemologis menemukan bahwa

keaktifan itu. Keaktifan dalam kelompok ini membuat seorang

memiliki partner untuk membagi hal-hal emosional (perasannya,


30

simpati, dan keterlibatan), juga instrumental (tugas-tugas dan

masalah keuangan). Social support meruapakan salah satu kiat

untuk membantu memberikan semangat bagi seseorang yang

sedang menderita sakit (Taufik Pasiak, 2012).

3) Psychological mechanisme

kelompok-kelompok religius selalu menawarkan pada anggota

sejumlah kepercayaan atau paham yang berkaitan dengan tuhan,

etika, hubungan antarmanusia, pandangan tentang kehidupan dan

kematian. Yang semuanya secara langsung berhubungan dengan

kesehatan. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan ritual seperti

berdoa, membaca kitab suci dan pelayanan, menunjukkan sikap

hidup yang lebih bahagia serta lebih merasa puas terhadap

keberadaan dirinya. Komitmen religius juga membuat seseorang

lebih cekatan menghadap krisis emosional. Religios coping,

dibandingkan dengan jenis koping ynag lain, lebih unggul dalam

mengatasi kesedihan atau adanya penyakit kronis (Taufiq Pasiak,

2012).

4) Physiological mechanisme

Komitmen religius dan spiritual menyediakan semacam “bantalan”

melawan stressor mayor maupun minor dengan menggunkan jalur

fisiologis langsung. Zat-zat kimia seperti katekolamin, serotonim,


31

dan kortisol, serta emosi negative menjadi kunci dari mekanisme

patologik untuk penyakit seperti iskemik miokard, aritmia dan

peningkatan agrerasi platelet. Praktik-praktik religius melawan

stress respons melalui mekanisme respon relaksasi. Pada respon

relaksasi ketegangan otot, pengurangan system saraf simpatis,

pengurangan aktifitas aksis hipofisis-korteks adrenal, tekanan darah

merendah, denyut jantung melambat, dan terjadi perbaikan

oksigenasi (Taufik Pasiak, 2012).

f. Hubungan neuro dan spiritualitas

Tabel 2.4 Operator neurospiritual : komponen, fungsi, dan kairan dengan

spiritualitas.

Operator Komponen otak Fungsi Kaitan


dengan spiritualitas/
pengalaman spiritual
``Area Lobus parietalis, Mengasosiasikan Berkaitan dengan
Asosiasi frontalis, fungsi kognitif, “penyatuan” atau
temporalis, emosi, otonomik, “kehilangan diri”,
occipitalis dan pencarian orientasi diri dalam
makna hidup. ruang, kedalaman emosi
dalam ritual-ritual,
eksperesi kesadaran
dalam bentuk verbal.
Cortex Cortex Future planning, Makna hidup merupakan
prefontali orbitofrontalis, decision making, inti dari spiritualitas,
s ventromedial value and moral terutama kaitan dengan
prefontal, lateral making. kesehatan.
prefontal
System Amygdala, Generasi dan Emosi yang dalam
limbic hipokampus, regulasi emosi. berkaitan dengan
hipotalamus meditasi dan doa.
Kegiatan spiritual
memiliki nuansa emosi
yag tajam dan dalam.
32

System Simpatis dan Ketenangan Kegiatan spiritual/


saraf parasimpatis (quiescent) dan pengalaman spiritual
otonom kewaspadaan dapat memicu
(arousal) ketenangan jiwa melalui
system saraf otonom.
Kaitan spiritualitas
dengan kesehatan terjadi
melalui system saraf
otonom
Sumber : (Taufiq Pasiak, 2012)

4. Perempuan

a. Definisi

Perempuan adalah makhluk lembut karena kehalusan jiwa,

keindahan budi, sopan santun, kasih sayang, sopan santun, dan

belaiannya. Perempuan adalah penguasa hati yang tidak seorang pun

dapat menentang keputusannya atau melanggar kesepakatannya. Jika

dalam hidup ini ada kenikmatan, maka hal itu adalah karenanya, begitu

juga jika terjadi kepahitan, berarti bersumber darinya (Athibi, 2001).

b. Karakteristik perempuan : Psikologis

Beberapa karasteristik perempuan di lihat dari segi psikologisnya

(Prakoso, 2006) :

1) Perempuan memiliki kelembutan dan kesabaran.

2) Dalam hal kejiwaan perempuan memiliki pertumbuhan perasaan

yang dominan, keadaan ini merupakan sifat feminisme yang dapat

di saksikan dalam kehiduapan seorang perempuan, mulai dari


33

perempun di lahirkan sampai usia senjanya. Sepanjang kehidupan

perempuan tak pernah kosong dari sifat kasih saying, emosi atau

perasaan yang dominan, dan kerelaan.

3) Perempuan memiliki sifat lembut, cenderung mengikuti

perasaannya dengan cepat, dan biasanya di ikuti oleh reaksi tubuh.

Sulit bagi perempuan untuk meggunakan rasio, lain halnya dengan

lelaki yang lebih menggunakan rasionya.

c. Perempuan dengan Hemodialisys

Dalam penelitian Reig-Farrer (2012) spiritualitas menjadi hal

penting dalam kesehatan psikologis dalam meningkatkan kualitas hidup

pada klien yang menjalani hemodialisys (Reig-Ferrer et al., 2012).

Beberapa penelitian kuantitatif maupun kualitatif di Amerika-Australia

tentang spiritualitas klien CKD yang menjalani hemodialisys terkait

dengan gender menyatakan bahwa spiritual perempuan lebih tinggi dari

pada laki-laki (Areewan Cheawchanwattan, Chunlertrith,

Saisunantararom, & Johns, 2014; Reig-Ferrer et al., 2012; Tanyi &

Werner, 2008). Karena perempuan dalam hal menafsirkan perasaan

stress dan penyesuaian dalam kehidupan yang baru akan berbeda

dibandingkan laki-laki (Taylor, E et al., 2000). Dalam penelitiannya

mengatakan bahwa respon stress pada perempuan lebih tinggi dari pada

laki-laki dilihat dari fisiologis dan perilaku, respon fisiologis menjadi


34

hal utama dalam melawan stress di karenakan bahwa hormone

oksitoksin dan hormone reproduksi berpengaruh dalam merespon stress

(Taylor, E et al., 2000).

B. Kerangka Teori

CKD

PEREMPUAN DENGAN
HEMODIALISA

Psikologis Perilaku

Faktor
Mempengaruhi

Karasteristik spiritu 1) Perkembangan


al 2) Keluarga
3) Ras
1) Hubungan 4) Agama yang di
dengan Tuhan anut
2) Hubungan SPIRITUALITAS 5) Pengalaman
dengan diri sebelumnya
sendiri 6) Krisis dan
3) Hubungan perubahan
dengan alam 7) Terpisah dari
4) Hubungan ikatan spiritual
8) Isu moral terkait
terapi
9) Asuhan kep
kurang sesuai
35

Keyakinan spiritual sebagai :

1) Menuntun kebiasaan hidup sehari-hari


2) Sumber dukungan
3) Sumber kekuatan dan penyembuhan
4) Sumber konflik

Sumber : (Aziz et al., 2008; Hidayat, 2013; Taufiq Pasiak, 2012; Taylor, E et al.,
2000; Yani, 2009)

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai