Anda di halaman 1dari 4

E.

Hukum Acara

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai bentuk hukum yang mengatur
prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam
menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, Mahkamah
Konstitusi menggunakan prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dengan sederhana
dan cepat. Hukum acara yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah dengan berdasar
pada Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut sebagai UU
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara yang diatur dalam UU
Mahkamah Konstitusi terbagi menjadi dua bagian, yakni hukum acara yang memuat aturan
umum dan aturan khusus yang sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, dalam peradilan Mahkamah Konstitusi


terdapat asas-asas baik yang bersifat umum bagi semua peradilan maupun yang khusus sesuai
dengan karakteristik peradilan Mahkamah Konstitusi. Maruarar Siahaaan sebagai salah satu
hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 7 asas dalam peradilan Mahkamah
Konstitusi1:

1. Ius curia novit


Asas yang mengatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum itu kurang
jelas. Hakim tetap harus memeriksa dan mengadilinya. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 16 UU
Kekuasaan Kehakiman.
2. Persidangan terbuka untuk umum
Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti
oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan bersifat objektif yang berdasar pada
alat bukti serta argumentassi yang dikemukakan dalam persidangan. Selain itu, publik juga dapat
1
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”. (Jakarta: Sekretariat Jenderal
Kepaniteraan MKRI. 2010). Hlm. 15
menilai dan dapat menerima putusan hakim. Ketentuan persidangan yang terbuka untuk umum
ini ditegaskan dalam Pasal 40 UU MK.
3. Independen dan imparsial
Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan adil secara objektif, hakim
dan lembaga peradilan harus independen yang mana tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan
apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal
tersebut dirumuskan dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan untuk menegakan hukum dan
keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Untuk mendukung independen dan imparsial
hakim konstitusi dan MK, ditetapkan PMK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan
Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi 2. Terkait dengan independensi hakim
konstitusi, pada bagian pertama deklarasi ditegaskan:
“Independensi Hakim merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum,
dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam
dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara,
dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa,
bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian
dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh,
yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara
langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan
balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik
yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan
jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.”
Sedangkan prinsip imparsial diuraikan pada bagian kedua Deklarasi:
“Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai
pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan
pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat
dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap
pengambilan keputusanm sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai

2
Ibid. Hlm. 19
solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada
umumnya.”
4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan
Asas peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar
proses peradilan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Asas ini berkaitan dengan upaya
mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equalitu before the law. Asas ini juga
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 4 UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam perkembangan UU MK,
ketentuan tentang biaya perkara dihilangkan sehingga dapat dimaknai bahwa maksud dari
pembentukan undang-undang ini adalah menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan
MK. Dengan tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara sepenuhnya
dibebankan kepada anggaran negara. Hal ini disebabkan karena perkara-perkara di MK
menyangkut masalah konstitusional yang di dalamnya merupakan lebih dominan kepentingan
umum dibanding dengan kepentingan individual3.
5. Hak untuk didengar secara seimbang
Hak untuk didengar secara seimbang dalam peradilan MK, berlaku tidak hanya untuk
pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya tidak berlaku hanya bagi partai politik, peserta
pemilu, dan KPU dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan berlaku juga untuk semua
pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan yang
nantinya akan diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangannya.
6. Hakim aktif dalam persidangan
Sesuai dengan perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut kepentingan
umum dibanding dengan kepentingan individual, maka hakim konstitusi yang dalam persidangan
harus aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak yang
terkait dengan perkara tersebut.
7. Asas praduga keabsahan
Asas praduga keabsahan adalah tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum
sampai dinyatakan sebaliknya. Semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum ataupun
tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Dalam wewenang MK, dapat
dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno

3
Ibid. Hlm. 22
pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan
penguasa yang dimohonkan dapat tetap berlaku dan dapat dilaksanakan.

Ketentuan Hukum Acara Umum


(lanjutin aja ya)

Ketentuan Hukum Acara Khusus


(lanjutin juga ajaa)

Anda mungkin juga menyukai