Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDISITIS AKUT
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Oleh:
NAULA AFFA
I4B019081

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2020
A. Latar Belakang
Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di
dunia. Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia. Sebanyak
40% bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut. Angka
kejadian apendisitis secara umum lebih tinggi di negara-negara industri dibandingkan
negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya asupan serat serta tingginya
asupan gula dan lemak yang dikonsumsi oleh penduduk di negara industri tersebut.
Berbeda dengan negara berkembang yang konsumsi seratnya masih cukup tinggi
sehingga angka kejadian apendisitis tidak setinggi di negara industri (Shrestha et al.,
2012).
Insiden apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20-30 tahun sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada perempuan
dengan rasio 1,4 : 1. Insiden tertinggi terjadi pada umur ini. Apendisitis yang tidak segera
ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling
membahayakan adalah perforasi. Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi. Pasien yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya
1,5%, tetapi ketika telah mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35%
(Vasser, 2012).
B. Pengertian Appendisitis
Peradangan yang terjadi pada apendiks disebut appendisitis dan merupakan
penyebab inflamasi abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa
(Kumar, Abbas & Aster 2018). Karena struktur yang terpuntir, appendiks menjadi tempat
ideal bagi bakteri berkolonisasi dan bermultiplikasi. Appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terinfeksi bila pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil.
Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi. Perforasi
merupakan salah satu komplikasi yang berbahaya dari appendisitis yang bisa
menyebabkan abses, peritonitis, obstruksi bowel, masalah fertilitas hingga sepsis.
Sebanyak 17-32% appendisitis berkembang menjadi perforasi (Synder, Guthrie & Cagle
2018).
Gambar 1. Perbedaan tampilan appendiks normal dan appendiks yang meradang

C. Etiologi Appendisitis
Menurut Brunner & Suddarth (2015) belum ada penyebab pasti dari appendisitis, namun
ada faktor predisposisi yaitu:
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
 Hiperplasia dari folikel limfoid dan merupakan penyabab paling umum
 Adanya fecalith dalam lumen appendiks
 Adanya benda asing seperti biji-bijian
 Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumya
2. Infeksi kuman dari colon, paling umum oleh E. Coli dan Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja
dewasa). Hal ini disebabkan oleh peningkatan jaringan limpoid pada rentang usia
tersebut
4. Bentuk apendiks
 apendiks yan terlalu panjang
 massa apendiks yang pendek
 Penonjolan jaringan limpoid dan lumen appendiks
 Kelainan katup di pangkal appendiks
D. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer, 2007).
E. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala awal dari appendisitis yakni nyeri yang terasa pada
bagian abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan, nyeri tekan lokal pada titik McBurney, terdapat
konstipasi atau diare, nyeri lumbal, nyeri defekasi, nyeri berkemih, tanda Rosving dengan
melakukan palpasi pada kuadaran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri
kuadran kanan, dan apabila appendiks sudah ruptur nyeri menjadi menyebar terjadi akibat
ileus paralitik (Synder, Guthrie & Cagle 2018).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai
tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-
100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu, dan pankreas.
G. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Adapun jenis
komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5˚C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
H. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik
dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai
pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin
untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi
umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang
merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi
Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak
jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi
bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2013).
I. Pathway

J. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan:
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa
waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul
nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh
rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan
klien sekarang.
c. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
b. Sirkulasi: Takikardia.
c. Respirasi: Takipnoe, pernapasan dangkal.
d. Aktivitas/istirahat: Malaise.
e. Eliminasi: Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
f. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
g. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena
posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
h. Demam lebih dari 380C
i. Data psikologis klien nampak gelisah.
j. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
K. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal
oleh inflamasi)
b. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
d. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
L. Fokus Intervensi
1. Nyeri Akut
NIC: Pain management
 Mengkaji nyeri yang dialami secara komprehensif (PQRSTV)
 Memberikan posisi nyaman
 Tingkatkan istirahat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis seperti napas dalam
 Kolaborasi pemberian analgesik sesui indikasi
2. Kecemasan
NIC: Anxiety reducement
 Pahami situasi krisis yang terjadi dari perspektif klien, dengarkan klien secara
aktif
 Berikan informasi kepada klien dan keluarga terkait diagnosis dan perawatan
appendisitis
 Ajarkan teknik distraksi
3. Risiko Infeksi
NIC : Infection Control
 Instruksikan pada keluarga untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien
 Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
 Gunakan APD yang benar dan tepat sesuai kondisi
 Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
 Ganti letak IV perifer setiap 3 hari
 Tingkatkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotik sesuai indikasi

Daftar Pustaka

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S., 2014, NANDA international nursing diagnoses: definition
& clasification. 2015-2017, Oxford: Wiley Blackwell.
Kumar, V., Abbas, A.K. & Aster, J.C. 2018, Robbins basic pathology, tenth edn, Elseiver,
Philadelphia, Pennsylvania.
Mansjoer, A. 2007, Kapita selekta kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Shrestha, R., Ranabhat, S. R., & Tiwari, M., 2012, ‘Histopathologic analysis of
appendectomy specimens’, Journal of Pathology of Nepal, 2, 215-219.
Smeltzer, Bare., 2013. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Brunner & suddart. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta, EGC.
Snyder, M. J., Guthrie, M., & Cagle, S. 2018, 'Acute appendicitis: efficient diagnosis and
management', American family physician, vol.98, no.1, pp. 25-33 98(1).
Vasser, H. M., & Anaya, D. A., 2012, Acute appendicitis, Philadelphia: Saunders Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai