Anda di halaman 1dari 26

Project Paper Metpen dan Statistik

POTENSI BETA ENDORPHINE TRANSPLANTATION SEBAGAI STRESS-


RELIEF TERHADAP PROGRESIVITAS ORAL SQUAMOUS CELL
CARCINOMA (OSCC) PADA USIA LANJUT

Oleh :

1. Fitrul Azmi Eka Farhana 021811133017


2. Zhafira Nur Aini Salsabilla 021811133018
3. Hana Ai Ardiana 021811133019
4. Rika Fitri Anjani 021811133020

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2020
DAFTAR ISI

COVER 1
DAFTAR ISI 2
ABSTRAK 3
ABSTRACT 4
BAB I PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Tujuan Umum 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Penuaan 8
2.2 Stres 9
2.2.1 Fisiologi Stres 9
2.2.2 Stres pada Usia Lanjut 10
2.3 Oral Squamous Cell Carcinoma 11
2.4 Beta Endorphine Transplantation 12
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 13
BAB IV METODE PENELITIAN 14
BAB V HASIL 15
BAB VI PEMBAHASAN 18
BAB VII PENUTUP 21
7.1 Kesimpulan 21
7.2 Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22

2
POTENSI BETA ENDORPHINE TRANSPLANTATION SEBAGAI STRESS-
RELIEF TERHADAP PROGRESIVITAS ORAL SQUAMOUS CELL
CARCINOMA (OSCC) PADA USIA LANJUT
Fitrul Azmi Eka F1., Zhafira Nur Aini S1., Hana Ai A1., Rika Fitri A1
1
Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga

ABSTRAK

Latar Belakang: Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) adalah kanker ganas
yang paling umum terjadi pada rongga mulut serta paling sering terjadi pada
orang dewasa dan usia lanjut. Progresivitas OSCC pada pasien lanjut usia sangat
berhubungan dengan tingkat stres yang dialami. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa pasien dengan kanker mulut seringkali memiliki tingkat stres
kronis yang tinggi yang menghasilkan ukuran tumor yang lebih besar dan
pertumbuhan OSCC yang lebih invasif. BEP transplan merupakan salah satu
terobosan yang digunakan untuk mengaktifkan sistem opioid endogen untuk
regulasi stres dan fungsi neuroimun dengan menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Tujuan: Menganalisis potensi beta endorphin transplantation sebagai stress-
relief terhadap progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) pada usia
lanjut. Metode: Melakukan analisis pada berbagai jurnal pada database Google
Scholar, NCBI, PubMed, dan ResearchGate. Kriteria jurnal yang dianalisis adalah
tipe literature review dan research yang merupakan jurnal terbitan tahun 2011 –
2020. Hasil: Transplantasi beta-endhorpin dapat mengaktifkan sistem opioid
endogen untuk regulasi stres dan fungsi neuroimun yang baik sehingga
progresivitas kanker dapat dihambat, hal ini dikarenakan sitotoksisitas dari sel
natural killer (NK) tidak akan terganggu oleh produk neurohormonal dari stres.
Kesimpulan: Berdasarkan analisis jurnal dan telaah yang telah dilakukan, beta-
endorphine (BEP) transplantation berpotensi sebagai stress-relief terhadap
progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) pada usia lanjut.

Kata Kunci : Stres, Lanjut Usia, Beta-Endorphine Transplantation, Oral


Squamous Cell Carcinoma (OSCC)

3
POTENTIAL OF BETA ENDORPHIN TRANSPLANTATION AS A
STRESS-RELIEF TO ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA (OSCC)
PROGRESSIVITY IN THE ELDERLY
Fitrul Azmi Eka F1., Zhafira Nur Aini S1., Hana Ai A1., Rika Fitri A1
1
Undergraduate student, Faculty of Dental Medicine Airlangga University

ABSTRACT

Introduction: Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) is a malignant cancer that


most commonly occurs in the oral cavity and occurs most frequently in adults and
the elderly. The progression of OSCC in elderly patients is closely related to the
level of stress experienced. Previous research has shown that patients with oral
cancer often have high levels of chronic stress which results in a larger tumor size
and a more invasive growth of OSCC. BEP transplant is one of the breakthroughs
used to activate the endogenous opioid system for stress regulation and
neuroimmune function with showing promising results. Purpose: To analyze the
potential of beta endorphin transplantation as a stress-relief against the
progression of Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) in the elderly. Methods:
Journal analysis from Google Scholar, NCBI, PubMed, and ResearchGate
databases. The criteria for the journals analyzed are the type of literature review
and research which published in 2011 - 2020. Result: Beta-endhorpin
transplantation can activate the endogenous opioid system for stress regulation
and good neuroimmune function so that cancer progression can be inhibited, this
is because the cytotoxicity of natural killer (NK) cells will not be disturbed by
neurohormonal products of stress. Conclusion: According to the analysis and
literature review, beta-endorphin (BEP) transplantation has the potential to be a
stress-relief for the progression of Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) in
elderly.

Keywords: Stress, Elderly, Beta-Endorphin Transplantation, Oral Squamous Cell


Carcinoma (OSCC)

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) adalah kanker ganas yang paling
umum terjadi yang meliputi 80-90% kasus dari malignant neoplasms pada rongga
mulut. Meskipun kejadian kanker sangat bervariasi di seluruh dunia, dapat
dipastikan bahwa rongga mulut merupakan lokasi paling umum ke-6 hingga ke-9
sebagai tempat terjadinya kanker, tergantung pada sebagian negara. Kendati
demikian dari kejadian rata-rata ini, dapat mewakili lokasi paling umum terutama
yang terjadi di Asia Tenggara. OSCC merupakan kanker yang paling sering
terjadi pada orang dewasa dan usia lanjut dengan persebaran <41 tahun (3%), 41 –
60 tahun (46%), 61 – 80 tahun (41%), dan >80 tahun (10%). OSCC terdistribusi
pada perbatasan lidah (37%), gingiva (20%) dan pada dasar mulut (19%). (Pires
et al., 2013)

Menurut data Riskesdas tahun 2018, sebanyak 6,5% penduduk usia 55 –


64 tahun mengalami depresi dan stres. Stres merupakan reaksi tubuh terhadap
suatu permintaan atau tantangan. Stres terjadi ketika individu menghadapi situasi
yang dianggap sebagai ancaman atau tuntutan yang melebihi kapasitas individu
untuk mengatasinya. Dibandingkan dengan kelompok usia lain, stres
menunjukkan efek kesehatan yang lebih parah dan intens untuk orang lanjut usia
(lansia). Lansia rentan terhadap stres karena berbagai faktor psikologis, seperti
kesepian, kehilangan, masalah kesehatan, pendapatan terbatas dan dukungan
sosial. (Zhang et al., 2014; Thunstrom et al., 2015)

Respon stres fisiologis dianggap sebagai salah satu kemungkinan mediator


dari efek faktor psikososial pada perkembangan kanker. Respon stres secara
keseluruhan melibatkan aktivasi beberapa sistem tubuh termasuk sistem saraf
otonom dan sumbu HPA. Sumbu HPA dan sistem saraf otonom memainkan peran
penting dalam semua tahapan kanker yang meliputi inisiasi, pertumbuhan, dan

5
perkembangan. Selama kondisi stres, sumbu HPA diaktifkan, diikuti dengan
pensinyalan, pembentukan, dan pelepasan hormon adrenokortikotropik yang
merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan CAT (adrenalin, noradrenalin).
Mediator stres lain seperti glukokortikoid (misalnya kortisol) berperan dalam
pertumbuhan dan metastasis kanker. (Kruk et al., 2019)

Perawatan kanker saat ini berfokus pada pengangkatan fisik tumor dan
penghancuran sel-sel pemisah dengan jalan pembedahan dan radioterapi. Terapi
radiasi dan kemoradiasi apabila perlu dapat dilakukan pasca operasi. Terapi ini
merupakan pengobatan alternatif dan bukanlah pengobatan utama, selain itu terapi
ini tidak diperkenankan dilakukan secara terus menerus karena selain
menghancurkan sel kanker juga akan menghancurkan sel-sel normal tubuh. Hal
ini menyebabkan banyak efek samping seperti rambut rontok dan mual, serta
dapat melemahkan pertahanan tubuh terhadap patogen serta tumor. Tubuh bisa
mengenali dan membunuh sel-sel kanker dengan sendirinya melalui pengawasan
kekebalan tubuh. Sel tumor akan mengekspresikan antigen yang tidak ada dalam
sel-sel normal. Sel-sel kekebalan tubuh dapat mengenali antigen asing ini dan
kemudian menghancurkannya. Prosedur transplantasi sel Beta-endorphin (BEP)
untuk mengobati kanker sangat berpotensi karena memanfaatkan dan
mengoptimalkan sistem pertahanan tubuh sendiri untuk mengontrol proliferasi
sel-sel abnormal. (Zhang et al., 2015)

BEP merupakan endogenous-opioid yang mengikat pada reseptor yang


sama dengan obat golongan opioid dan diproduksi serta disimpan pada kelenjar
pituitary anterior (Sprouse-Blum et al., 2010). BEP memiliki peran penting pada
pola perilaku dan terlibat pada respon stress pada sumbu HPA. Jika tubuh dalam
kondisi stres, hal ini tentunya dapat mengganggu sistem imun di tubuh kita, tidak
terkecuali terhadap peningkatan resiko kanker, progresivitas dari keganasan sel,
dan lain-lain. Penangan kanker dengan menggunakan substansi yang dapat
mencegah kanker untuk berkembang (chemoprevention) menjadi salah satu minat
di bidang onkologi (Zhang et al., 2015). Dalam sebuah penelitian disebutkan
bahwa metode transplantasi BEP dapat meningkatkan sistem imun innate

6
terutama sel NK dan makrofag serta menghambat pertumbuhan dari sel
karsinogen dan metastasis sel kanker (Sarkar et al., 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Potensi Beta Endorphine Transplantation sebagai Stress-relief


terhadap Progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada Usia Lanjut?

1.3 Tujuan Umum

Menganalisis potensi beta endorphin transplantation sebagai stress-relief


terhadap progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada usia lanjut.

1.4 Tujuan Khusus

1. Mengetahui peningkatan stres pada pasien usia lanjut.


2. Mengetahui pengaruh stres terhadap progresivitas OSCC.
3. Mengetahui manfaat beta endorphin transplant sebagai stress-relief.
4. Menganalisis potensi beta endorphin transplantation sebagai stress-
relief terhadap progresivitas OSCC pada usia lanjut.

1.5 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan ide


pengembangan pengetahuan pada bidang onkologi dan dapat dijadikan dasar
untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Manfaat Praktis

1. Bagi tenaga kesehatan : penelitian ini dapat digunakan sebagai pilihan


alternatif perawatan OSCC pada pasien lanjut usia dengan indikasi
stres.
2. Bagi masyarakat akademik : hasil penelitian ini dapat menjadi literatur
tambahan bagi penelitian selanjutnya.

7
3. Bagi masyarakat umum : hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan masyarakat umum mengenai kanker mulut dan
pengobatanya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Penuaan adalah suatu proses yang pasti akan dialami oleh semua manusia
yang diberi karunia umur yang panjang. Menurut WHO, seseorang dikatakan
lanjut usia apabila telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Pada tahap ini manusia
akan mengalami suatu proses yang disebut dengan aging process (proses
penuaan). Proses ini ditandai dengan terjadinya perubahan, baik perubahan fisik
maupun perubahan mental. (Nauli et al., 2014)

Penuaan merupakan proses penurunan fungsi organ secara menyeluruh dan


bersifat progresif seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan fungsi organ ini
akan bermanifestasi dalam bentuk gejala/tanda klinis dan penyakit yang akan
berlanjut dan menyebabkan kecacatan, ketergantungan bahkan kematian.
Penurunan kapasitas fisiologis tubuh dapat meningkatkan kerentanan pada usia
lanjut yang berdampak pada kondisi kesehatannya. (Uyainah et.al., 2015)

Proses penuaan melibatkan dua faktor utama, yakni faktor intrinsik yang
berasal dari dalam tubuh yang terjadi secara alamiah dan sejalan dengan waktu.
Proses biologis/ genetic clock yang berperan dalam menentukan jumlah
multiplikasi pada setiap sel sampai sel berhenti membelah diri dan kemudian mati
diyakini sebagai penyebab penuaan intrinsik. Serta faktor ekstrinsik yang berasal
dari luar tubuh yang dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti paparan sinar
matahari yang terus menerus, polusi, kebiasaan merokok, nutrisi yang buruk, serta

8
radikal bebas. Radikal bebas dapat memberikan dampak yang besar terhadap
penuaan karena dapat menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif dapat terjadi
ketika terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang dipicu
oleh dua kondisi umum yakni kurangnya antioksidan atau kelebihan produksi
radikal bebas. Pada saat produksi ROS (Reactive Oxygen Species) meningkat,
maka kontrol protektif tidak akan mencukupi sehingga terjadi kerusakan oksidatif.
Keadaan ini menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif mulai dari tingkat sel,
jaringan hingga ke organ tubuh dan mempercepat proses penuaan dan munculnya
berbagai macam penyakit diantaranya stroke, asma, diabetes melitus, radang usus,
dan lainnya. (Ardhie, 2011)

2.2 Stres

2.2.1 Fisiologi Stres


Secara biologis, stres adalah faktor fisik, mental, atau emosional yang
menyebabkan ketegangan tubuh atau mental. Stres dapat bersifat eksternal (dari
lingkungan, psikologis, atau situasi sosial) atau internal (penyakit, atau dari
prosedur medis). Respons stres menyebabkan perubahan fisiologis dan perilaku
yang mencakup sistem saraf, endokrin, dan kekebalan. Respons fisiologis
terhadap stres dilakukan melalui beberapa jalur seperti aktivasi sistem saraf
simpatis, sumbu HPA, dan respons “fight or flight”. Komponen penting dalam
fisiologi respons stres adalah kortisol. Kortisol adalah salah satu hormon
glukokortikoid, yaitu hormon steroid yang disintesis dari kolesterol. Kortison
yang merupakan bentuk tidak aktif dari kortisol dikatalisis menjadi bentuk
aktifnya oleh 11 beta-hydroxysteroid dehydrogenase 1. (Chu et al., 2020)
Sumbu HPA mengontrol pelepasan glukokortikoid ke dalam aliran darah.
Sumbu HPA diatur oleh pituitary adenylate cyclase-activating polypeptide
(PACAP). PACAP mungkin berperan dalam produksi CRH dan memiliki peran
modulatori dalam berbagai level sumbu HPA. Telah didapatkan bukti yang
menunjukkan keterlibatan PACAP dalam respons otonom terhadap stres melalui
peningkatan sekresi katekolamin. Reseptor PACAP yaitu G-protein coupled dan
PACAP-R1 yang paling melimpah di jaringan sentral dan perifer. PACAP juga

9
dapat memodulasi peran estrogen dalam potensiasi respons stres akut. (Chu et al.,
2020)
Aktivasi sumbu HPA menyebabkan pelepasan corticotropin-
releasing hormone  (CRH) dari neuron di inti paraventrikular (PVN) hipotalamus.
CRH bekerja pada kelenjar pituitari untuk melepaskan hormon
adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang korteks adrenal untuk
mengeluarkan hormon glukokortikoid, seperti kortisol, ke dalam sirkulasi.
Langkah pertama dalam meningkatkan aktivitas kortisol adalah interaksi CRH
dengan reseptornya CRH-R1 dan CRH-R2. CRH-R1 adalah reseptor kunci untuk
pelepasan ACTH sebagai respons terhadap stres dan diekspresikan secara luas di
otak pada mamalia. CRH-R2 diekspresikan terutama di jaringan perifer. Cortisol
releasing hormone binding protein (CRH-BP) mengikat CRH dengan afinitas
yang lebih tinggi daripada CRH ke reseptornya. CRH-BP diekspresikan di liver,
kelenjar pituitari, otak, dan plasenta. Peran CRH-BP sebagai pengontrol
bioavailabilitas CRH didukung oleh penelitian yang menemukan 40 hingga 60%
CRH di otak diikat oleh CRH-BP. Dalam paparan stres, ekspresi CRH-BP
meningkat dengan cara yang bergantung pada waktu, yang dianggap sebagai
mekanisme umpan balik negatif untuk mengurangi interaksi CRH dengan CRH-
R1. Kadar kortisol serum menggambarkan kadar kortisol total tubuh, yang mana
80% terikat pada cortisol binding globulin (CBG) dan 10% terikat pada albumin.
Kortisol tak terikat, aktif secara biologis. (Chu et al., 2020)

2.2.2 Stress pada Lansia


Penelitian yang dilakukan oleh Azizah dan Hartanti (2016) mendapatkan
bahwa sebagian besar lansia mengalami stres dalam kategori sedang. Hasil
penelitian ini sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa pada umumnya
lansia akan mengalami stres, kecemasan dan depresi yang dapat terjadi gangguan
baik fisik, mental, maupun sosial. Dilihat dari segi mental lansia dengan stres
akan menjadi pemarah, pemurung, sering merasa cemas dan lain sebagainya.
(Seangpraw et al., 2020)
Tingkat stres di antara populasi lansia ini dapat berdampak negatif pada
kesehatan dan kesejahteraan mereka. Penelitian lain di tempat lain telah

10
menunjukkan efek stres, yang menunjukkan bahwa stres secara langsung akan
mempengaruhi status mental dan fisik di antara lansia. Lebih lanjut, ketika
populasi lansia mengalami kesehatan fisik dan mental yang buruk, mereka akan
lebih cenderung memiliki kecemasan. Penyakit kronis dan masalah ekonomi
adalah penyebab utama stres di antara orang tua. Selain itu, stres dan kecemasan
jangka panjang juga dapat menyebabkan depresi dan kecenderungan bunuh diri di
kalangan lansia. Studi di Korea Selatan dan Denmark menemukan bahwa tingkat
stres yang lebih tinggi dikaitkan dengan kematian yang lebih tinggi. (Seangpraw
et al., 2020)

2.3 Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC)

Menurut J. P. Shah dan Z. Gil, kanker rongga mulut adalah kanker paling
umum keenam di dunia. Lebih dari 90% dari semua kanker mulut adalah
karsinoma sel skuamosa (SCC). Kanker jenis ini terjadi di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, prevalensi kasus OSCC menyumbang 3 – 20% dari seluruh kasus
kanker, dan kematian pasien antara 2,4% – 3,57% dan 76,3% berada pada kanker
stadium lanjut. Lebih dari 90% kasus kanker di daerah kepala dan leher adalah
OSCC. OSCC berkembang di rongga mulut dan orofaring dan dapat terjadi karena
banyak penyakit. Namun, merokok dan minuman beralkohol masih merupakan
faktor risiko yang paling umum. Di negara-negara Asia Selatan, smokeless
tobacco dan budaya inang adalah penyebab utama yang terkait dengan OSCC.
Mutasi gen juga dapat menyebabkan perkembangan kanker rongga mulut dan
orofaring. Namun, tidak ada gen spesifik yang diidentifikasi di OSCC. (Bugshan
and Farooq, 2020)
OSCC memiliki dampak yang lebih besar pada pria daripada wanita
dengan perbandingan P : W = 1.5 : 1, dengan kemungkinan penyebab karena lebih
banyak pria daripada wanita yang melakukan kebiasaan berisiko tinggi (seperti
merokok dan konsumsi alkohol). Probabilitas terjadinya OSCC meningkat dengan
lamanya paparan faktor risiko, dan peningkatan usia meningkatkan perkembangan
mutagenesis terkait usia dan perubahan epigenetik lebih lanjut. (Feller and
Lemmer, 2012)

11
OSCC dapat memiliki banyak bentuk klinis yang mirip dengan
leukoplakia, leukoplakia verrucous, eritro-leukoplakia, atau eritroplakia dan pada
akhirnya dapat berkembang menjadi ulkus nekrotik dengan batas yang tidak
teratur. Ketika trauma terjadi, OSCC lebih mudah berdarah dan seringkali menjadi
infeksi sekunder superfisial. OSCC biasanya tidak menimbulkan rasa sakit kecuali
jika terinfeksi secara sekunder. Lesi besar dapat mengganggu fungsi bicara,
mengunyah atau menelan. (Feller and Lemmer, 2012)
Diagnosis lesi yang mencurigakan biasanya dimulai dengan pemeriksaan
mulut rutin, termasuk evaluasi klinis dan palpasi mukosa mulut di bawah
pencahayaan dental chair. Kemampuan mendiagnosis OSCC secara dini sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita yang tinggi. Salah
satu metode yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis OSCC adalah
vital staining atau pewarnaan vital dengan toluidine blue (TB), yang merupakan
metode yang dikenal untuk mengidentifikasi lesi premaligna dan maligna juga
direkomendasikan sebagai bagian dari evaluasi klinis jaringan mukosa mulut,
terutama pada pasien yang berisiko tinggi. (Givony, 2020)
Perawatan yang paling umum untuk mengobati kanker rongga mulut bisa
bersifat non-invasif, seperti terapi radiasi. Dalam banyak kasus, dapat bersifat
invasif, seperti pembedahan, yang biasanya merupakan pengobatan pilihan yang
pertama. Radioterapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
kemoterapi untuk mengobati tumor primer (initial tumor). Terapi kombinasi ini
dapat digunakan sebagai terapi neoadjuvan, yang akan mengurangi ukuran tumor
sebelum operasi awal. Radioterapi juga dapat digunakan sebagai terapi adjuvan,
yang akan meningkatkan efisiensi pengobatan awal, sehingga memperpanjang
tingkat kelangsungan hidup, mengurangi perubahan kemungkinan kambuh, dan
bahkan memperbaiki gejala kanker mulut stadium lanjut. (Givony, 2020)
Radioterapi memiliki beberapa kelemahan utama seperti xerostomia,
osteoradionecrosis, mucositis dan pengobatan dalam durasi panjang pada pasien
usia muda tidak dianjurkan. Metode pengobatan kanker mulut seperti
pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi berdampak besar pada kualitas.
Kehidupan pasien, dan karena lokasinya dianggap berisiko tinggi dan menarik
(Givony, 2020)

12
2.4 Beta-Endorphin (BEP) Transplantation

Beta-endorphin (BEP) adalah neuron peptida opioid endogen yang


diproduksi pada hipotalamus dengan memegang kunci peranan dalam
menghambat produksi hormon stres, menjaga sistem pertahanan kekebalan tubuh,
menghasilkan analgesia, dan perasaan nyaman. Tingkat BEP pada sentral yang
rendah dihubungkan dengan proses gangguan psikiatri terkait stres, depresi, dan
gangguan stres pasca trauma. Abnormalitas pada fungsi saraf BEP berkorelasi
dengan terjadinya insiden kanker. (Sarkar et al., 2011; Sarkar et al; 2012; Zhang
et al., 2014)
Stres neurobehavioral kronis dapat meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan berbagai jenis kanker. Di lain sisi telah lama diketahui bahwa
menghilangkan stress akibat kanker memberikan efek pemulihan yang lebih cepat
dan pada pasien yang menjalani kemoterapi atau radioterapi secara umum. (Sarkar
et al., 2012)
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar et al., 2012) pada model
hewan tikus, dengan teknik yang digunakan dalam penelitiannya
mentransplantasikan sel BEP, dimana sel BEP asli dibedakan dengan neuronal
stem cells secara in vitro dan kemudian ditransplantasikan ke paraventricular
nucleus (PVN) di lokasi di mana neuron b-endorfin endogen melakukan kontak
sinaptik . Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Zhang et al., 2014) pada
model hewan coba tikus dimana b-endorphin neuron ditransplantasikan langsung
ke dalam hipothalamus dapat menekan kanker yang diinduksi oleh karsinogen dan
hormon pada berbagai jaringan dan dapat mencegah pertumbuhan dan metastasis
tumor melalui aktivasi sistem imun innate.
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar et al., 2012) yang dilakukan
pada model hewan menyatakan bahwa pengurangan stres tubuh melalui
transplantasi b-endorphin di otak mengurangi pertumbuhan dan perkembangan
kanker pada kanker payudara dan prostat. Diduga bahwa hal ini terjadi mungkin
dikarenakan dengan mengubah fungsi ANS (autonomic nervous system) yang
mengarah pada aktivasi imunitas bawaan dan menurunnya tingkat inflamasi dan
anti-inflamasi rasio sitokin. Sedangkan, menurut (Zhang et al., 2014) penggunaan

13
transplantasi neuron BEP berfungsi mengaktifkan sistem opioid endogen untuk
regulasi stres dan fungsi neuroimun yang menunjukkan hasil yang menjanjikan.

14
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Bagan Kerangka Konseptual

Usia Lanjut Stress

HPA Axis

β-endorphine
ACTH (BEP)

Adrenal Adrenaline
Noradrenaline

Glukokortikoid Kortisol +

+
Progresivitas OSCC

-
Sistem imun

BEP Transplant

15
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual

Pasien lanjut usia yang menderita OSCC dengan disertai peningkatan stres
akan menyebabkan pengaktifan sumbu HPA. Sumbu HPA yang aktif akan
menyebabkan terjadinya pelepasan hormon adenokortikotropik (ACTH) sehingga
merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan adrenalin dan noradrenalin. Selain
itu, ACTH juga merangsang mediator stres glukokortikoid yaitu kortisol sehingga
mengalami peningkatan. Sumbu HPA yang aktif juga mempengaruhi BEP
menjadi menurun. Terjadinya pelepasan ACTH dan penurunan BEP ini dapat
menyebabkan peningkatan progresivitas kanker OSCC. Melalui terapi BEP
transplant, sistem imun dapat mengalami peningkatan sehingga progresivitas
OSCC dapat ditekan.

16
BAB IV

METODE PENELITIAN

Penelusuran menyeluruh dari pencarian literature review dilakukan


dengan menggunakan database Google Scholar, NCBI, PubMed, dan
ResearchGate menggunakan kata kunci yang dipilih yakni : beta endorphin
transplant, stres, OSCC, dan kanker. Artikel atau jurnal yang sesuai selanjutnya
dianalisis. Literature Review ini menggunakan literature terbitan tahun 2011 –
2020 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Kriteria jurnal yang direview
adalah artikel jurnal penelitian berbahasa Indonesia dan Inggris. Jenis jurnal yang
digunakan yaitu literatur review, dan research. Kriteria jurnal yang terpilih untuk
review adalah jurnal yang didalamnya terdapat tema hubungan psikososial yang
berkaitan dengan stres pada pasien kanker dan mekanisme beta endorphine
sebagai stress relief.  Selanjutnya pemilihan data dilakukan untuk memilih
masalah penelitian yang sesuai dengan topik yang dipilih. Dengan topik tersebut
data jurnal yang diakses dalam literature ini diberi batasan sebagai berikut : 
a. Jurnal yang diterbitkan dalam rentan waktu tahun 2011 – 2020.
b. Menggunakan tipe literature review dan research. 

17
BAB V

HASIL

Jumlah
Kategori
Artikel/ Gambaran Singkat
Pencarian
Jurnal

Hubungan Stres 4 (Said, 2012; WHO telah menetapkan kanker


dan Progresivitas Prima et al., menjadi salah satu penyakit yang disebabkan
Kanker, Hubungan 2020 ; Daniel oleh pola hidup yang tidak baik, seperti stres.
Stres dan OSCC et al., 2011; Stres dipengaruhi oleh fungsi fisiologis tubuh,
Zhang et al., kepribadian, karakteristik perilaku, dan juga
2020) sifat dari stressor tersebut. Stres berkontribusi
sampai 80% pada perkembangan penyakit
termasuk kanker. Hal ini dikarenakan stres
dapat meningkatkan progresivitas sel kanker.
Pasien dengan kanker mulut seringkali
memiliki tingkat stres yang tinggi. Ditemukan
bahwa stres kronis menghasilkan ukuran
tumor yang lebih besar dan pertumbuhan
OSCC yang lebih invasif.

Beta-Endorphin 3 (Sarkar et al.,


(BEP) Transplant 2011; Sarkar et Beta-endorphin (BEP) adalah neuron
sebagai Stress al., 2012; peptida opioid endogen yang diproduksi pada
Relief Zhang et al., hipotalamus dengan memegang kunci peranan
2014) dalam  menghambat produksi hormon stres,
menjaga sistem pertahanan kekebalan tubuh,
menghasilkan analgesia, dan perasaan
nyaman. Di lain sisi telah lama diketahui
bahwa menghilangkan stress akibat kanker
memberikan efek pemulihan yang lebih cepat
dan pada pasien yang menjalani kemoterapi
atau radioterapi secara umum. 

Menurut J. P. Shah dan Z. Gil, kanker rongga mulut adalah kanker paling
umum keenam di dunia. Lebih dari 90% dari semua kanker mulut adalah
karsinoma sel skuamosa (SCC). Kanker jenis ini terjadi di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, prevalensi kasus OSCC menyumbang 3 – 20% dari seluruh kasus

18
kanker, dan kematian pasien antara 2,4% – 3,57% dan 76,3% berada pada kanker
stadium lanjut. Lebih dari 90% kasus kanker di daerah kepala dan leher adalah
OSCC. OSCC merupakan kanker yang paling sering terjadi pada orang dewasa
dan usia lanjut dengan persebaran <41 tahun (3%), 41 – 60 tahun (46%), 61 – 80
tahun (41%), dan >80 tahun (10%). OSCC terdistribusi pada perbatasan lidah
(37%), gingiva (20%) dan pada dasar mulut (19%). (Pires et al., 2013; Bugshan
and Farooq, 2020)
Perubahan hormonal dan sistem imun tubuh akibat stres kronis dan kondisi
perilaku lainnya dapat mempengaruhi perkembangan dan progresivitas kanker.
Pasien dengan kanker mulut seringkali memiliki tingkat stres kronis yang tinggi.
Juga ditemukan bahwa stres kronis menghasilkan ukuran tumor yang lebih besar
dan pertumbuhan OSCC yang lebih invasif. (Daniel et al., 2011; Zhang et al.,
2020)
Menurut (Zhang et al., 2014) penggunaan transplantasi neuron BEP
berfungsi mengaktifkan sistem opioid endogen untuk regulasi stres dan fungsi
neuroimun yang menunjukkan hasil yang menjanjikan. BEP tidak hanya
menghambat respon stres dari hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA)  melalui
interaksi dengan corticotrophin-releasing hormone (CRH) dalam  paraventricular
nucleus (PVN) tetapi juga menghambat sympathetic nervous system (SNS) dan
mengaktifkan sistem saraf parasimpatis melalui persarafan di PVN di mana
molekul BEP ini berikatan dengan reseptor δ- dan μ-opioid untuk memodulasi
neurotransmisi neuron di autonomic nervous system autonomic nervous system
(ANS). (Zhang et al., 2014; Sarkar et al., 2012)

19
BAB VI

PEMBAHASAN

WHO telah menetapkan kanker menjadi salah satu penyakit yang


disebabkan oleh pola hidup yang tidak baik, seperti stres, kurangnya berolahraga,
merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, serta pola diet yang buruk. Belum
ada riset yang membuktikan bahwa aspek psikososial dapat secara langsung
menimbulkan kanker, namun kenyataannya insiden kanker cenderung lebih tinggi
pada kalangan yang memiliki perilaku atau ciri emosional tertentu. Stres
dipengaruhi oleh fungsi fisiologis tubuh, kepribadian, karakteristik perilaku, dan
juga sifat dari stressor tersebut. (Said, 2012)

Kanker dan stres merupakan kompleksitas, heterogenitas, dan


pathogenesis multi faktor. Stres terjadi ketika seseorang merasa terbebani dengan
suatu hal yang melebihi dari kapasitasnya. Stres berkontribusi sampai 80% pada
perkembangan penyakit termasuk kanker. Hal ini dikarenakan stres dapat
meningkatkan progresivitas sel kanker. Kondisi stres yang dialami oleh penderita
kanker dapat terjadi akibat beberapa faktor seperti jenis kelamin, jenis kanker,
jenis terapi, lama sakit, serta usia. Dua faktor yang berhubungan dengan stress
yaitu karakteristik demografi dan kondisi kesehatan pasien. (Prima et al., 2020)

Semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perubahan


hormonal dan sistem imun tubuh akibat stres kronis dan kondisi perilaku lainnya
dapat mempengaruhi perkembangan dan progresivitas kanker. Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien dengan kanker mulut seringkali
memiliki tingkat stres kronis yang tinggi. Juga ditemukan bahwa stres kronis
menghasilkan ukuran tumor yang lebih besar dan pertumbuhan OSCC yang lebih
invasif. Produk neurohormonal yang berasal dari stres kronis dapat menurunkan
sitotoksisitas sel Natural Killer (NK) dengan cara menghambat respon sel
terhadap sitokin tertentu seperti interferon-gamma (IFN-c) dan interleukin-2 (IL-
2). Hormon stres juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi secara
langsung pada sel tumor dan deregulasi produksi sitokin, kemokin, dan faktor

20
pertumbuhan yang terkait dengan perkembangan dan progresivitas kanker.
(Daniel et al., 2011; Zhang et al., 2020)

Beta-endorphin (BEP) adalah neuron peptida opioid endogen yang


diproduksi di hipotalamus. BEP memainkan peran penting dalam menghambat
produksi hormon stres, menjaga sistem pertahanan kekebalan, menghasilkan
analgesia, dan perasaan nyaman. Tingkat BEP pada CNS yang lebih rendah
dikaitkan dengan proses kejiwaan yang berkaitan dengan stres, depresi, dan
gangguan stres pasca-trauma. Fungsi neurologis yang abnormal dari b-endorphin
berhubungan dengan terjadinya kanker. (Sarkar et al., 2011; Sarkar et al., 2012;
Zhang et al., 2014)

Neuron b-endorphin (BEP) di hipotalamus mengontrol pertumbuhan dan


perkembangan sel tumor dengan memodulasi neurotransmisi dalam sistem saraf
otonom dan mengaktifkan fungsi sel imun. Efeknya termasuk stimulasi sistem
saraf parasimpatis dan pelepasan asetilkolin (Ach) dan penekanan sistem saraf
simpatis dan pelepasan norepinefrin (NE) yang mengarah ke aktivasi sel imun
bawaan (termasuk makrofag dan sel NK) dari organ limfoid dan peningkatan sel
imun sitotoksik dan kadar sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi. Dalam
lingkungan mikro tumor, perubahan sel imun dan sitokin ini meningkatkan
apoptosis sel tumor dan mengurangi transisi epitelial-mesenkimal yang dimediasi
inflamasi (EMT), dan dengan demikian menekan pertumbuhan dan perkembangan
kanker. Secara kolektif, efek ini menciptakan lingkungan yang tidak
menguntungkan untuk inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan tumor. (Zhang
and Sarkar, 2012)

Penggunaan BEP transplan digunakan untuk mengaktifkan sistem opioid


endogen untuk regulasi stres dan fungsi neuroimun dengan menunjukkan hasil
yang menjanjikan BEP tidak hanya menghambat respon stress dari hipotalamus
pituitari-adrenal (HPA) melalui interaksi dengan corticotrophin-releasing
hormone (CRH) dalam paraventricular nucleus (PVN) tetapi juga menghambat
symphatetic nervous system (SNS) dan mengaktifkan sistem saraf parasimpatis
melalui persarafan di PVN di mana molekul BEP ini berikatan dengan reseptor δ-

21
dan μ-opioid untuk memodulasi neurotransmisi neuron di autonomic nervous
system autonomic nervous system (ANS). (Zhang et al., 2014)

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar et al., 2012) pada model
hewan tikus dengan teknik yang digunakan dalam penelitiannya
mentransplantasikan sel b-endorphin, dimana sel b- endorphin asli dibedakan
dengan neuronal stem cells secara in vitro dan kemudian ditransplantasikan ke
paraventricular nucleus (PVN) di lokasi dimana neuron b-endorfin endogen
melakukan kontak sinaptik. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Zhang et
al., 2014) pada model hewan coba tikus b-endorphin neuron yang
ditransplantasikan langsung ke dalam hipotalamus dapat menekan kanker yang
diinduksi oleh karsinogen dan hormon pada berbagai jaringan dan dapat
mencegah pertumbuhan dan metastasis tumor melalui aktivasi sistem imun tubuh
bawaan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar et al., 2012) yang dilakukan
pada model hewan menyatakan bahwa pengurangan stres tubuh melalui
transplantasi b-endorphin di otak mengurangi pertumbuhan dan perkembangan
kanker pada kanker payudara dan prostat. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan
dengan mengubah fungsi ANS (autonomic nervous system) yang mengarah pada
aktivasi imunitas bawaan dan menurunnya tingkat inflamasi dan anti-inflamasi
rasio sitokin. Sedangkan, menurut (Zhang et al., 2014) penggunaan transplantasi
neuron BEP berfungsi mengaktifkan sistem opioid endogen untuk regulasi stres
dan fungsi neuroimun yang menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Dengan regulasi stress dan fungsi neuroimun yang baik maka progresivitas
kanker dapat dihambat, hal ini dikarenakan sitotoksisitas dari sel natural killer
(NK) tidak akan terganggu oleh produk neurohormonal dari stres. Sehingga
penggunaan BEP transplan ini tidak hanya bisa diterapkan pada pasien dengan
kanker payudara saja, melainkan sangat mungkin dilakukan pada pasien dengan
jenis kanker lain seperti OSCC.

22
BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Beta-endorphine (BEP) Transplantation berpotensi sebagai stress-relief


terhadap progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) pada usia lanjut.
Hal ini dapat terjadi karena sel beta-endorphine berfungsi untuk mengontrol
pertumbuhan dan perkembangan sel tumor dengan memodulasi neurotransmisi
dalam sistem saraf otonom dan mengaktifkan fungsi sel imun serta BEP transplan
berfungsi untuk mengaktifkan sistem opioid endogen untuk regulasi stres dan
fungsi neuroimun.

7.2 Saran

Berdasarkan literature review yang telah dilakukan penulis, beberapa


saran untuk mengembangkan penelitian ini diantaranya:

1. Diharapkan adanya penelitian lebih mendalam mengenai potensi Beta-


endorphine (BEP) Transplantation sebagai stress-relief.
2. Diharapkan adanya studi lebih lanjut mengenai hubungan antara penyakit
OSCC dan stres pada lanjut usia serta upaya pencarian terapi terbaik.
3. Diharapkan adanya penelitian sebagai bentuk realisasi terhadap ide yang
dituangkan dalam tulisan ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ardhie, AM., 2011. Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah
Penuaan. Medicinus. 24 (1).

Azizah, R. dan Hartatnti, RD., 2016. Hubungan antara Tingkat Stres dengan
Kualitas Hidup Lansia Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas
Wonopringgo Pekalongan. The 4 th University Research Coloqium,
pp.261-278.

Bugshan, A. and Farooq, I., 2020. Oral squamous cell carcinoma: metastasis,
potentially associated malignant disorders, etiology and recent
advancements in diagnosis. F1000Research, 9, p.229.

Chu B, Marwaha K, Sanvictores T, Ayers D. [Updated 2020 Oct 10]. Physiology,


Stress Reaction. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541120/

Bernabé, D., Tamae, A., Biasoli, É. and Oliveira, S., 2011. Stress hormones
increase cell proliferation and regulates interleukin-6 secretion in human
oral squamous cell carcinoma cells. Brain, Behavior, and Immunity,
25(3), pp.574-583.

Feller, L. and Lemmer, J., 2012. Oral Squamous Cell Carcinoma: Epidemiology,
Clinical Presentation and Treatment. Journal of Cancer Therapy, 03(04),
pp.263-268.

Givony, S., 2020. Oral squamous cell carcinoma (OSCC) an overview. Journal of
Medical Sciences, 8(13), pp.67-74.

Shah, J. and Gil Z., 2009. “Current Concepts in Management of Oral Cancer-
Surgery,”. Oral Oncology, 45(4), pp. 394-401.

Kruk, J., Enein, B., Bernstein, J. and Gronostaj, M., 2019. Psychological Stress
and Cellular Aging in Cancer: A Meta-Analysis. Oxidative Medicine and
Cellular Longevity, pp.1-23.

Nauli, F., Yuliatri, E., Savita, R., 2014. Hubungan Tingkat Depresi dengan
Tingkat Kemandirian dalam Aktivitas Sehari Hari pada Lansia di
Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu. Jurnal Keperawatan
Soedirman, 09(2).

24
Pires, F., Ramos, A., Oliveira, J., Tavares, A., Luz, P. and Santos, T., 2013. Oral
squamous cell carcinoma: clinicopathological features from 346 cases
from a single Oral Pathology service during an 8-year period. J Appl
Oral Sci., 21(5), pp.460 - 467.

Prima, A., Pangastuti, H., Settiyarini, S., 2020. Karakteristik Demografi dan
Kondisi Kesehatan sebagai Prediktor Stress pada Pasien Kanker. Jurnal
Keperawatan, 4(01).

Said, M., 2012. Hubungan Ketidaknyamanan : Nyeri dan Malodour dengan


Tingkat Stress pada Pasien Kanker Payudara di RSKD Jakarta dan
RSAM Bandar Lampung. Tesis. Fakulas Ilmu Keperawatan. Universitas
Indonesia

Sarkar, D., Murugan, S., Zhang, C. and Boyadjieva, N., 2012. Regulation of
Cancer Progression by  -Endorphin Neuron. Cancer Research, 72(4),
pp.836-840.

Sarkar, D., Zhang, C., Murugan, S., Dokur, M., Boyadjieva, N., Ortiguela, M.,
Reuhl, K. and Mojtehedzadeh, S., 2011. Transplantation of  -Endorphin
Neurons into the Hypothalamus Promotes Immune Function and
Restricts the Growth and Metastasis of Mammary Carcinoma. Cancer
Research, 71(19), pp.6282-6291.

Seangpraw, K., Auttama, N., Kumar, R., Somrongthong, R., Tonchoy, P. and
Panta, P., 2020. Stress and associated risk factors among the elderly: a
cross-sectional study from rural area of Thailand. F1000Research, 8,
p.655.

Sprouse-Blum, A., Smith, G., Sugai, D., Parsa, F., 2010. Understanding
endorphins and their importance in pain management. Hawaii Med J.,
69(3), pp.70-71.

Thunström, A.O., Mossello, E., Åkerstedt, T., Fratiglioni, L. and Wang, H., 2015.
Do levels of perceived stress increase with increasing age after age 65? A
population-based study. Age and Ageing, 44(5), pp.828-834.

Uyainah, A., Bahar, A., Pramantara, D., Wahyudi, E., Harimurti, K., Legiawati,
L., Laksmi, P., Kuswardhani, R., Setiati, S., 2015. Management of Frailty
as a New Geriatric Giant: How to Deal with Dilemmatic Health Problems
in Elderly Patient. Perhimpunan Gorontologi Medik Indonesia : Jakarta.

Zhang, B., Wu, C., Chen, W., Qiu, L., Li, S., Wang, T., Xie, H., Li, Y., Li, C., Li,
L., 2020. The stress hormone norepinephrine promotes tumor progression

25
through β2-adrenoreceptors in oral cancer. Archives of Oral Biology,
113, p.104712.

Zhang, C., Murugan, S., Boyadjieva, N., Jabbar, S., Shrivastava, P. and Sarkar,
D., 2014. Beta-Endorphin Cell Therapy for Cancer Prevention. Cancer
Prevention Research, 8(1), pp.56-67.

Zhang, C., Murugan, S., Boyadjieva, N., Jabbar, S., Shrivastava, P. and Sarkar,
D., 2015. Beta-endorphin cell therapy for cancer prevention. Cancer
Prev Res (Phila), 8(1), pp.56-67.

Zhang, C., and Sarkar, D., 2012. β-endorphin neuron transplantation.


OncoImmunology, 1(4), pp.552–554.

Zhang, M., A. Simon, M. and Dong, X., 2014. The Prevalence of Perceived Stress
among U.S. Chinese Older Adults. AIMS Medical Science, 1(1), pp.40-
56.

26

Anda mungkin juga menyukai