Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Strategi Koping Pada Penderita DM Tipe II

2.1.1.1 Pengertian Strategi Koping

Menurut Lazarus & Folkman (dalam Widodo, 2010) koping terdiri atas usaha

kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk mengatur hubungan eksternal dan internal

tertentu yang membatasi sumber seseorang. Koping individu merupakan proses yang

aktif dimana individu menggunakan sumber-sumber dalam individu dan

mengembangkan perilaku baru yang bertujuan untuk menumbuhkan kekuatan dalam

individu, mengurangi dampak stres dalam kehidupan. Menurut Taylor (2009) koping

didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan

internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Rogers (2008)

menyatakan bahwa koping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon

tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk mengontrol,

mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi. Menurut Carver

(2008 dalam Widodo, 2010) koping meliputi segala usaha yang disadari untuk

menghadapi tuntutan yang penuh dengan tekanan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi koping adalah segala usaha individu untuk

mengatur tuntutan lingkungan dan konflik yang muncul, mengurangi

ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan

kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut. Strategi koping yang

dimaksud terdiri dari pikiran-pikiran khusus dan perilaku yang digunakan individu

8
9

untuk mengatur tuntutan dan tekanan yang timbul dari hubungan individu dengan

lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan kesejahteraan (Brunner & Suddart,

2010).

Menurut Carver (2008, dalam Widodo, 2010) mendefinisikan strategi koping

sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan

orang untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak

kejadian yang menimbulkan stres. Folkman (2003 dalam Sarafino, 2008)

mendefinisikan strategi koping sebagai upaya yang dilakukan oleh individu untuk

mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dihasilkan dari sumber stres. Effendi

(2009) mengemukakan bahwa pada esensinya, strategi koping adalah strategi yang

digunakan individu untuk melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang

dimilikinya dengan tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya.

Secara spesifik, sumber-sumber yang memfasilitasi koping itu mencakup

sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-

esteem atau keterampilan sosial) dan sumber-sumber lingkungan seperti dukungan

sosial dan keluarga atau sumber finansial. Friedman (2008) mengatakan bahwa

strategi koping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi

tekanan atau ancaman.

2.1.1.2. Klasifikasi dan Bentuk Strategi Koping

Lazarus & Folkman (dalam dalam Widodo, 2010) mengklasifikasikan strategi

perilaku (coping) yang digunakan menjadi dua yaitu:

1. Problem Focused Coping (PFC)

Problem Focused coping merupakan bentuk koping yang lebih diarahkan

kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan,
10

artinya koping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan

mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu

cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari

situasi dapat diubah.. Bentuk-bentuk strategi coping ini adalah :

a) Confrontive Coping, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap

menekan dengan cara agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan

pengambilan resiko,

b) Seeking Sosial Support, yaitu usaha untuk membuat kenyamanan emosional

dan bantuan informasi dari orang lain

c) Planfull Problem Solving, individu berusaha menganalisa situasi untuk

memperoleh solusi, kemudian mengambil tindakan langsung untuk

menyelesaikan masalah.

Problem focused coping memungkinkan individu membuat rencana dan

tindakan lebih lanjut, berusaha menghadapi segala kemungkinan yang akan

terjadi untuk memperoleh apa yang telah direncanakan dan diinginkan

sebelumnya. Pada strategi coping berbentuk PFC dalam mengatasi masalahnya,

individu akan berpikir logis dan berusaha memecahkan permasalahan dengan

positif. Problem focused coping digunakan untuk mengontrol hal yang terjadi

antara individu dengan lingkungan melalui pemecahan masalah, pembuatan

keputusan dan tindakan langsung. Problem focused coping dapat diarahkan

pada lingkungan maupun pada diri sendiri. Folkman (2003 dalam dalam

Widodo, 2010) menyatakan bahwa PFC juga dapat berupa pembuatan rencana

tindakan, melaksanakan, mempertahankan untuk mendapatkan hasil yang

diinginkan.
11

Carver (dalam Hanoem, 2014) menyatakan bahwa problem focused

coping meliputi beberapa bentuk yaitu:

a) Perilaku aktif (active coping), perilaku individu untuk mengatasi masalah

dengan melakukan suatu kegiatan yang aktif, yang bertujuan

memindahkan atau menghilangkan sumber stres serta mengurangi

akibatnya.

b) Perencanaan (planning), individu melakukan strategi perencanaan guna

menelesaikan masalah.

c) Penekanan kegiatan lain, membatasi aktivitas diri yang tidak berhubungan

dengan masalah yang sedang dihadapi.

d) Penundaan perilaku (restraint coping), individu berlatih untuk

mengontrol atau mengendalikan tindakan yang bersifat langsung sampai

menemu kan saat yang tepat untuk mengatasi masalah.

e) Mencari dukungan sosial, berupa bantuan, usaha individu mencari

informasi dengan bertanya pada orang lain yang memiliki pengalaman

serupa dan mendiskusikan masalah dengan seorang ahli yang

berkompeten terhadap persoalan yang dihadapi.

2. Emotion Focused Coping (EFC)

Emotional Focused Coping merupakan bentuk koping yang diarahkan

untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu

dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan

kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol,

narkoba, mencari dukungan emosional dari teman–teman dan mengikuti

berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat


12

mengalihkan perhatian individu dari masalahnya.Sementara pendekatan kognitif

melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam

pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap situasi yang

menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami

situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik di luar dari masalah. Individu

cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat

melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan.

a) Self-Control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi

yang menekan

b) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam suatu permasalahan, seperti

menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau

menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap

masalah sebagai lelucon

c) Positif Reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan

fokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang

bersifat religious

d) Accepting Responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab dari diri

sendiri dalam permaalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya

untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila

masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri, namun strategi ini

menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas

masalah tersebut.
13

e) Escape/Avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari

situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain, seperti

makan, minum, merokok, atau menggunakan obatobatan.

Carver (dalam Hanoem, 2014) menjabarkan strategi coping bentuk

emotion focused coping antara lain:

(1) Mencari dukungan emosional, individu berbagi perasaan dengan seseorang

yang berarti baginya (keluarga, teman) melalui dukungan moral, simpati

atau pengertian.

(2) Mencari makna positif, Individu berusaha mencari hikmah atau makna

positif dari setiap kejadian yang dialaminya.

(3) Pengingkaran, individu menolak kenyataan sedang mengalami masalah

dan berpura-pura sedang tidak terjadi masalah apapun.

4) Penerimaan (acceptance), individu belajar menerima keadaan dan

pasrah atas apa yang menimpanya.

(5) Kembali ke agama (turning to region). Individu memilih untuk

menenangkan batin spiritualnya dengan kembali menekuni agamanya dan

memohon pertolongan dari Tuhan atau sikap individu menenangkan dan

menyelesaikan masalah secara agama.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi coping

terbagi menjadi dua bentuk yaitu: problem focused coping dan Emotional

Focused Coping, kedua bentuk tersebut yang nantinya akan membentuk delapan

strategi coping yang dikemukakan oleh Folkman (dalam Smet, 1994) problem

focused coping meliputi: convrontive coping, seeking sosial support, dan


14

planfull problem solving, Emotional Focused Coping meliputi: self-control,

distancing, positive reappraisal, accepting responsibility, dan escape/avoidance.

Emotion focused coping memungkinkan individu melihat sisi kebaikan

(hikmah) dari suatu kejadian, mengharap simpati dan pengertian orang lain, atau

mencoba melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang telah

menekan emosinya, namun hanya bersifat sementara (Folkman & Lazarus, 2003

dalam Widodo, 2010). Maksudnya individu belajar mencoba dan mengambil

hikmah atau nilai dari segala usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan

dijadikan latihan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah berikutnya, hal ini

merupakan bentuk EFC adaptif. Hal ini bertujuan agar beban dapat berkurang

walaupun hanya bersifat sementara karena individu menyelesaikan masalah

dengan cara represi yaitu berusaha menekan masalah yang dihadapinya. Namun

masalah yang sebenarnya belum terselesaikan atau dilupakan untuk sementara

waktu saja.

Lazarus & Folkman (dalam Widodo, 2010) EFC maladaptif berupa

penyangkalan yaitu dengan berpura-pura seakan masalah tidak ada atau tidak

terjadi. Contoh misalnya melamun merenungkan apa yang terjadi seumpama

penyakit tersebut tidak dialami dan merindukan saat-saat yang indah. Hal ini

merupakan bentuk pelarian secara imajiner, bukan bentuk tindakan untuk

mengatasi masalah.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi koping

mempunyai dua bentuk yaitu problem focused coping yang lebih mengarah pada

penyelesaian masalah secara langsung, PFC dapat diarahkan pada lingkungan

maupun pada diri sendiri. Sedangkan strategi coping yang lainnya adalah
15

emotion focused coping. Strategi coping ini lebih berorientasi pada emosi yang

merupakan usaha untuk meredakan atau mengelola stres emosional yang muncul

ketika individu berinteraksi dengan lingkungan.

2.1.1.3. Aspek-Aspek Strategi Koping

Carver, dkk (2008 dalam Hanoem, 2014) menyebutkan aspek-aspek strategi

koping antara lain:

(1) Keaktifan diri, suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan atau mengelabui

penyebab stres atau memperbaiki akibatnya dengan cara langsung.

(2) Perencanaan, memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab stres antara

lain dengan membuat strategi untuk bertindak, memikirkan tentang langkah

upaya yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.

(3) Kontrol diri, individu membatasi keterlibatannya dalam aktifitas kompetisi atau

persaingan dan tidak bertindak terburu-buru.

(4) Mencari dukungan sosial yang bersifat instrumental, yaitu sebagai nasihat,

bantuan atau informasi.

(5) Mencari dukungan sosial yang bersifat emosional, yaitu melalui dukungan

moral, simpati atau pengertian.

(6) Penerimaan, sesuatu yang penuh dengan stres dan keadaan yang memaksanya

untuk mengatasi masalah tersebut.

(7) Religiusitas, sikap individu menenangkan dan menyelesaikan masalah secara

keagamaan.
16

2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Koping

Menurut Carver (dalam Hanoem, 2014) faktor-faktor yang mempengaruhi

strategi koping meliputi :

(1) Kepribadian

Carver, dkk (dalam Hanoem, 2014) mengkarakteristikkan kepribadian

berdasarkan tipenya. Tipe A dengan ciri-ciri ambisius, kritis terhadap diri sendiri,

tidak sabaran, melakukan pekerjaan yang berbeda dalam waktu yang sama,

mudah marah dan agresif, akan cenderung menggunakan strategi coping yang

berorientasi emosi (EFC). Sebaliknya seseorang dalam kepribadian Tipe B,

dengan ciri-ciri suka rileks, tidak terburu-buru, tidak mudah terpancing untuk

marah, berbicara dan bersikap dengan tenang, serta lebih suka untuk memperluas

pengalaman hidup, cenderung menggunakan strategi koping yang berorientasi

pada masalah (PFC).

(2) Jenis kelamin

Menurut penelitian yang dilakukan Folkman dan Lazarus (dalam Sarafino,

2009) ditemukan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan kedua

bentuk coping yaitu EFC dan PFC. Wanita lebih cenderung berorientasi pada

emosi sedangkan pria lebih berorientasi pada tugas dalam mengatasi masalah,

sehingga wanita diprediksi akan lebih sering menggunakan EFC.

(3) Tingkat pendidikan

Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2010) dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa subjek dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

cenderung menggunakan PFC dalam mengatasi masalah mereka. Menurut

Menaghan (dalam Mc. Crae, 1984) seseorang dengan tingkat pendidikan yang
17

semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula

sebaliknya. Hal ini memiliki efek besar terhadap sikap, konsepsi cara berpikir dan

tingkah laku individu yang selanjutnya berpengaruh terhadap strategi koping nya.

(4) Konteks lingkungan dan sumber individual

Folkman dan Lazarus (dalam dalam Widodo, 2010) sumber-sumber individu

seseorang : pengalaman, persepsi, kemampuan intelektual, kesehatan,

kepribadian, pendidikan dan situasi yang dihadapi sangat menentukan proses

penerimaan suatu stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atau

ancaman.

(5) Status sosial ekonomi

Menurut Friedman (2010) seseorang dengan status sosial ekonomi rendah

akan menampilkan koping yang kurang aktif, kurang realistis dan lebih fatal

atau menampilkan respon menolak, dibandingkan dengan seseorang yang status

ekonominya lebih tinggi.

(6) Dukungan sosial

Dukungan sosial merupakan salah satu pengubah stres. Menurut Pramadi

(2008) dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasihat verbal atau nonverbal,

bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat

karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku

bagi individu. Lebih lanjut Pramadi dan Lasmono mengatakan jenis dukungan

ini meliputi : dukungan emosional, dukungan penghargaan, dan dukungan

informatif. Sebagai makhluk sosial, individu tidak bisa lepas dari orang-orang

yang berada disekitarnya. Dukungan sosial yang tinggi akan menimbulkan


18

strategi koping sedangkan tidak ada atau rendahnya dukungan sosial yang

diterima tidak akan menimbulkan strategi koping.

(7) Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha

mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

Kesehatan mempengaruhi berbagai macam bentuk strategi coping pada

individu, apabila individu dalam keadaan rapuh, sakit, ataupun ataupun lelah

maka tidak mampu melakukan coping dengan baik, sehingga kesehatan fisik

menjadi factor penting dalam melakukan strategi coping pada individu.

(8) Keterampilan memecahkan masalah

Kemampuan pemecahan masalah pada individu meliputi kemampuan

mencari informasi, menganalisis situasi yang bertujuan mengidentifikasi

masalah untuk menghasilkan alternatif yang akan digunakan pada individu,

mempertimbangkan alternatif yang akan digunakan, mempertimbangkan

alternatif dengan baik agar dapat mengantisipasi kemungkinan yang terburuk,

memilih dan menerapkan sesuai dengan tujuan pada masing-masing individu,

hal ini merupakan factor yang mempengaruhi strategi coping.

(9) Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti

keyakinan akan nasib (eksternallocus of control) yang mengarahkan individu

pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan

kemampuan strategi coping tipe problem-solving focused coping.


19

(10) Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan faktor yang penting dalam strategi coping

karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, sehingga individu

membutuhkan untuk bersosialisasi.Keterampilan sosial merupakan cara untuk

menyelesaikan masalah dengan orang lain, juga dengan keterampilan sosial

yang baik memungkinkan individu tersebut menjalin hubungan yang baik dan

kerjasama dengan individu lainya, dan secara umum memberikan kontrol

perilaku kepada individu atas interaksi sosialnya dengan individu lain.

Ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku

dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku

dimasyarakat.

(11) Sumber Material

Sumber material salah satunya adalah keuangan, keadaan keuangan yang

baik dapat menjadi sumber strategi coping pada individu.Secara umum masalah

keuangan dapat memicu stres individu yang mengakibatkan meningkatnya

pilihan dalam strategi coping untuk bertindak.Salah satu manfaat material bagi

individu mempermudah individu dalam kepentingan hukum, medis, keuangan

dan lain-lain. Hal ini menyebabkan individu yang memiliki materi dapat

mengurangi resiko stress serta memungkinkan coping yang dilakukan lebih

adaptif.

Dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi strategi coping

menganut oleh pendapat Taylor (2006) yaitu faktor internal dalam hal ini tiepe

kepribadian dan juga gaya coping, factor ekstrenal yaitu materi, dukungan

sosial, serta stressor lainnya. Dalam hal ini peneliti menggunakan tipe
20

kepribadian yang digunakan sebagai variabel bebas karenak kepribadian akan

mempengaruhi reaksi seseorang terhadap stress dan strategi coping yang

digunakan, dan strategi coping yang digunakan.

2.1.3 Diabetes Mellitus Tipe II

2.1.3.1 Pengertian

Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan

klinis termasuk heterogen berupa hilangnya toleransi karbohirat. Jika telah

berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai oleh hiperglikemia,

aterosklerotik, mikroangiopati dan neuropati (Smeltzer & Bare, 2009). Menurut

Soegondo (2012 DM adalah sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan

insulin baik absolut maupun relatif. Sedangkan menurut Lemone & Burke (2008),

DM merupakan sekelompok penyakit yang dikarakteristikkan oleh hiperglikemia

akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Dari beberapa uraian tersebut disimpulkan bahwa DM adalah suatu penyakit

metabolik dengan kumpulan gejala klinis yang disebabkan oleh peningkatan kadar

gula darah atau hiperglikemik akibat penurunan sekresi insulin dan kerja insulin di

pankreas.

2.1.3.2 Etiologi

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan sebagai anak kunci

yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel. Dalam keadaan insulin

tidak normal glukosa tidak dapat masuk sel sehingga glukosa akan tetap berada

didalam pembuluh darah peningkatan kebutuhan terhadap insulin maka, kadar


21

glukosa dalam darah akan otomatis meningkat. Inilah yang terjadi pada DM tipe 1

atau IDDM (Insulin Dependet Diabetes Millitus).

Pada DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependet Diabetes Millitus ) jumlah

insulin normal, malah mungkin lebih banyak, jumlah reseptor insulin ini dapat

diibaratan sebagai lubang-lubang kunci pintu masuk kedalam sel (Soegondo, 2012).

2.1.3.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Secara garis besar DM) diklasifikasikan menjadi :

1. Diabetes Mellitus tipe 1 atau dikenal dengan istilah Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (IDDM).

DM tipe 1 adalah diabetes melitus yang tergantung pada insulin untuk

mengatur metabolisme glukosa dalam darah (Hadibroto, 2010). Pada Diabetes

Mellitus tipe 1 terjadi kerusakan pada sel beta dalam menghasilkan insulin karena

proses autoimun. Sebagai akibatnya pasien kekurangan insulin bahkan tidak ada

insulin, sehingga memerlukan terapi insulin agar gula darah dalam batas terkontrol.

Tipe ini terjadi sekitar 5-10% dari keseluruhan penderita diabetes (Smeltzer &

Bare, 2013).

2. Diabetes Mellitus tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM).

Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan jenis penyakit diabetes melitus dimana

individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin atau yang lebih dikenal

dengan resistensi insulin dan kegagalan fungsi sel beta yang mengakibatkan

penurunan produksi insulin. Diabetes Mellitus tipe 2 ini mengenai 90-95 % pasien

dengan Diabetes Mellitus. Insiden ini terjadi lebih umum pada usia > 30 tahun dan

obesitas (Smeltzer & Bare, 2009).


22

3. DM tipe lain, disebabkan karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja

insulin, penyakit eksokrin pangkreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia,

infeksi, sebab imunologik yang jarang dan sindrom genetik lain yang berkaitan

dengan DM (Smeltzer & Bare, 2009).

4. DM gestasional, dimana terjadinya intoleransi tingkat glukosa pada`masa

kehamilan. Hiperglikemi terjadi selama masa kehamilan karena sekresi dari

hormon plasenta sehingga menyebabkan resistensi insulin. DM gestasional terjadi

pada 14 % dari semua wanita hamil dan meningkat risikonya pada mereka yang

memiliki masalah hipertensi dalam kehamilan (Smeltzer & Bare, 2009).

2.1.3.4 Faktor Resiko DM

Meningkatnya prevalensi DM di beberapa negara berkembang, akibat dari

perkembangan dan peningkatan kemampuan sosial ekonomi negara yang

bersangkutan, dan akhir-akhir ini hal tersebut menjadi perhatian dunia. Peningkatan

pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama dikota-kota besar,

menyebabkan prevalensi penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner (PJK),

hipertensi, hiperlipidemia, DM dan lain-lain (Barnes, E dan Darryil, 2012).

Menurut Tandra (2014) faktor risiko DM antara lain :

1. Faktor Usia

Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang menurun dengan cepat

setelah usia 40 tahun. DM sering muncul setelah usia lanjut terutama setelah

berusia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya

tidak peka terhadap insulin.


23

2. Faktor Keturunan (Genetik)

DM dapat diturunkan dari keluarga sebelumnya yang juga menderita DM, karena

kelainan gen mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan

baik, tetapi resiko terkena DM juga tergantung pada faktor kelebihan berat

badan, kurang gerak dan stres.

3. Faktor Kegemukan /Obesitas

Obesitas bukan karena makanan yang manis dan kaya lemak saja, tetapi juga

disebabkan karena konsumsi yang terlalu banyak yang disimpan didalam tubuh

dan sangat berlebihan.

4. Hidup Santai Dan Kurang Aktivitas/Olah Raga

5. Faktor Demografi.

a) Jumlah penduduk meningkat.

b) Urbanisasi.

c) Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat.

d) Kurang gizi.

2.1.3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus

menurut Riyadi (2013) yaitu :

1. Poliuria (Peningkatan pengeluaran urin)

Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar

glukosa plasma puasa normal, atau toleransi glukosa setelah makan. Jika

hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul

glikosuria.
24

2. Polidipsia (Peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan

keluarnya air menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti

dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti

penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat peka).

3. Polifagia

Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan

kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar (polifagia) mungkin akan

timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.

4. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan

antibodi, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi

imun dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik.

5. Kelainan kulit : gatal-gatal, bisul

Kelaianan kulit berupa gatal -gatal, biasanya terjadi didaerah ginjal. Lipatan kulit

seperti di ketiak dan dibawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur.

6 Kelainan ginekologis

Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida.

7. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati.

Pada penderita diabetes melitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan

akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein, akibatnya

banyak sel persarafan terutama perfifer mengalami kerusakan.

8. Kelemahan tubuh

Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang

dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara

optimal.
25

9. Luka/ bisul yang tidak sembuh-sembuh

Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan

unsur makanan yang lain. Pada penderita diabetes mellitus bahan protein banyak

diformulasikan untuk kebutuhan energi sel sehingga bahan yang dipergunakan

untuk penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan.

10. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi

Penderita DM mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan

testosteron dan sistem yang berperan.

11. Mata kabur

Disebabkan oleh katarak/ gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa

oleh hiperglikemia, mungkin juga disebabkan kelainan pada korpus vitreum.

2.1.3.6 Manajemen Terapeutik

Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes melitus terdiri atas limapilar

utama mencakup: edukasi, pola makan, aktivitas fisik/olahraga/senam, monitor gula

darah dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2014). Sedangkan menurut Soegondo,

Yunir & Soebardi, (2012) pada dasarnya manajemen ini dilakukan dengan dua

pendekatan yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis, yaitu :

1. Terapi Farmakologis

Dalam pengaturan makanan maupun dalam olah raga secara teratur harus

dipertimbangkan mengenai penggunaan obat yang digunakan, sehingga dapat

sangat membantu keadaan penderita DM. Macam penggunaan obat digunakan

untuk keadaan penderita yang mengalami hipoglikemik dengan pemberian secara

oral atau dengan suntikan. Dan jenis obat yang diberikan adalah berupa obat
26

hipoglikemik oral (OHO), seperti sulfonilurea, biguanid, inhibitor aglukosidase

maupun insulin sensitizing agent (Mansjoer, dkk, 2012).

2. Terapi Non Farmakologis

Terapi non farmakologis meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan

pengaturan pola makan yang dikenal dengan terapi gizi, meningkatkan aktivitas

fisik dan olahraga/jasmani dan program edukasi yang diberikan secara terus

menerus.

2.2. Kerangka Pemikiran

Penyakit DM merupakan penyakit memerlukan pengoabatan jangka waktu

panjang, sehingga hal ini akan menimbulkan munculnya stresor. Untuk mengatasi

stresor diperlukan adanya strategi koping yang baik, dimana menurut Lazarus &

Folkman dalam Widodo (2010) strategi koping dibagi dua, yaitu Problem Focused

Coping (FPC) dan Emotion Focused Coping (EFC). Problem Focused Coping (PFC)

berorientasi kepada individu membuat rencana dan tindakan lebih lanjut meliputi :

perilaku aktif, perencanaan, penekanan kegiatan, penundaan perilaku, mencari

dukungan dan dukungan. Sedangkan Emotion Focused Coping (EFC) berorientasi

kepada pengendalian emosi, meliputi self control, distancing, positive reapraisal,

accepting responsibility dan escape/avoidance.

Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping menurut Carver dalam

Hanoem (2014) yaitu kepribadian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, konteks

lingkungan dan sumber, individual, status sosial ekonomi, dukungan sosial, kesehatan

fisik, keterampilan memecahkan masalah, keyakinan dan pandangan positif,

keterampilan sosial dan sumber material. Bila strategi koping buruk atau maladaptif,
27

maka kadar gula darah tidak terkendali dan sebaliknya bila strategi koping baik atau

adaptif, maka kadar gula darah dapat terkendali.

Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada

bagan berikut ini :

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran


Gambaran Strategi Koping Individu Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II
di Puskesmas Leles Kabupaten Garut Tahun 2019

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


1. Kepribadian
2. Jenis Kelamin
3. Tingkat Pendidikan
4. Konteks Lingkungan dan sumber
individual
5. Status Sosial Ekonomi
6. Dukungan Sosial
7. Kesehatan Fisik
8. Keterampilan Memecahkan
Masalah
9. Keyakinan dan Pandangan Positif
10. Ketrampilan Sosial
11. Sumber Material

Problem Focussed Coping Emotional Focussed Coping


1. Perilaku Aktif 1. Self Control
2. Perencanaan 2. Distancing
3. Penekanan Kegiatan Strtegi
3. Positive Reapraisal
4. Penundaan Perilaku Koping 4. Accepting Responsibility
5. Mencari Dukungan 5. Escape/Avoidance
6. Dukungan

Balita di imunisasi
campak akan terhindar
dari penyakit campak
Adaptif Maladaptif

Balita tidak di
Diteliti imunisasi campak,
Tidak Diteliti Sumber : Diadopsi dari Lazarus & Folkman,
akan dalam
terjangkit
Alur Penelitian (Tidak diteliti) Widodo (2010) dan Carver dalam Hanoem (2014)campak
penyakit

Anda mungkin juga menyukai