PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Emfisema berasal dari bahasa Yunani, emphysaein yang berarti mengembang
dan didefinisikan menjadi pelebaran abnormal menetap ruang udara (alveoli distal
terhadap bronkiolus terminal) disertai kerusakan dindingnya tanpa fibrosis yang
nyata. Pelebaran menetap disertai kerusakan alveoli dapat mengurangi aliran udara
ekspirasi maksimal akibat daya rekoil elastik paru berkurang. Pelebaran ruang udara
tanpa disertai kerusakan disebut sebagai overinflation. (Steven, 2019)
Emfisema merupakan kontributor terbesar dalam kejadian PPOK. Pada
emfisema terjadi distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis dengan
disertai destruksi septum alveolaris. Terdapat beberapa faktor risiko penyebab
emfisema diantaranya polusi udara dan faktor genetik. Polusi udara didapatkan dari
merokok, paparan debu, sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan gas
beracun lainnya. Sedangkan faktor genetik yang dapat menyebabkan emfisema adalah
defisiensi alfa-1 antitripsin. Merokok merupakan temuan paling umum yang
diberhubungan dengan luasnya emfisema pascamati. Merokok dapat menganggu
pegerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan
hipersekresi kelenjar mukus, dan pajanan yang masif dapat menyebabkan perubahan
emfisematus. Paparan akut dari rokok ini sendiri dapat menyebabkan kerusakan paru
tetapi apabila bersamaan dengan faktor genetik maka akan menyebabkan kerusakan
yang lebih parah.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan
kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema disebabkan karena
hilangnya elastisitas alveolus. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin
adalah penyebab kehilangan elastisitas ini. Pada penderita emfisema, volume paru-
paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Akibatnya, tubuh
tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit
bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas. (Dwita, 2017)
Necrotizing pneumonia (NP) merupakan salah satu komplikasi berat dari
community acquired pneumonia (CAP), terjadi akibat destruksi parenkim paru normal
disertai nekrosis multipel, abses, kavitas atau pneumatokel yang berisi cairan atau
1
udara dan seringkali disertai dengan keterlibatan pleura, apabila mengenai seluruh
lobus paru maka akan terjadi gangrene. Walaupun patofisiologi NP belum jelas,
diperkirakan dengan proses yang dimulai dari invasi bakteri pada pasien yang rentan
dengan satu atau beberapa faktor risiko, seperti respons imun yang tidak adekuat,
inokulasi yang masif dan virulensi dari bakteri. Necrotizing pneumonia dengan
pembentukan pneumatokel pada pasien dewasa paling banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, tetapi laporan kasus pada anak paling banyak disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia. (Sari, 2017).
Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu.
Anak yang menderita penyakit keganasan biasanya akan mengalami anemia (lebih
dari 50%) yang terjadi karena penyakit keganasannya sendiri atau disebabkan oleh
terapinya. Jenis penyakit keganasan pada anak sangat berbeda bila dibandingkan
dengan pada orang dewasa. Mayoritas penyakit keganasan pada orang dewasa adalah
karsinoma sedangkan pada anak hampir dua pertiganya adalah leukemia, limfoma dan
tumor otak. Anemia yang berhubungan dengan penyakit keganasan disebabkan
banyak faktor dan salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke sumsum tulang,
dan bila tidak ditangani akan berdampak meningkatnya mortalitas dan efektifitas
terapi. Dengan banyaknya anak dengan penyakit keganasan yang bertahan hidup dan
dengan berkembangnya terapi baru, maka anemia menjadi tantangan dalam
pengobatan penyakit keganasan. (Sari, 2017)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Emfisema
2.1.1 Pengertian Emfisema
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan
kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema disebabkan karena
hilangnya elastisitas alveolus. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin
adalah penyebab kehilangan elastisitas ini. Pada penderita emfisema, volume paru-
paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Akibatnya, tubuh
tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit
bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas (Anonim, 2009).
2.1.2 Klasifikasi Emfisema
Klasifikasi anatomi emfisema berdasarkan strukturnya, yakni (Wright, 2008):
a. Emfisema Sentrilobular
Emfisema sentrilobular biasanya mengenai bagian atas paru pada segmen
apikal dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah yang
ditandai dengan kerusakan bronkiolus respirasi dan alveoli distal yang masih
utuh. Emfisema sentrilobular berhubungan erat dengan kebiasaan merokok.
b. Emfisema Paraseptal
Emfisema paraseptal terjadi di sekitar pleura atau septa pada struktur
asinar distal di bagian anterior atau posterior lobus atas (apeks) yang
berhubungan dengan bekas TB atau di bagian posterior lobus bawah.
Emfisema tidak beraturan memiliki bagian parut parasikatriks yang jumlahnya
menentukan luas dan derajat emfisema. Emfisema tidak beraturan
dihubungkan dengan parut fibrosis setelah proses inflamasi. Kerusakan akibat
inflamasi dan penarikan jaringan oleh parut fibrosis berperan utama dalam
terbentuknya emfisema tipe paraseptal.
Emfisema paraseptal terjadi di sekitar pleura atau septa pada struktur
asinar distal di bagian anterior atau posterior lobus atas (apeks) yang
berhubungan dengan bekas TB atau di bagian posterior lobus bawah.
3
Emfisema paraseptal sering ditemukan pada pasien usia muda dengan
pneumotoraks spontan.
c. Emfisema Panlobular
Bentuk panlobular biasanya mengenai lobus bawah dengan kerusakan
merata seluruh bagian asinus sehingga duktus alveolar sulit dibedakan dengan
alveoli. Bentuk panlobular berhubungan dengan defisiensi α1antitripsin dan
sering ditemukan pada kerusakan permanen saluran napas misalnya pada
bronkiolitis obliterans dan bronkiektasis terinfeksi. Pada kondisi kerusakan
permanen tersebut, parenkim paru dapat mengalami ekspansi (tidak kolaps)
bahkan menjadi emfisema karena ventilasi kolateral melalui pori Kohn.
Emfisema panlobular destruktif dapat muncul sendiri atau sering bersamaan
dengan tipe sentrilobular terutama pada kasus cor pulmonale.
d. Emfisema Iregular/Tidak Beraturan
Emfisema tidak beraturan memiliki bagian parut parasikatriks yang
jumlahnya menentukan luas dan derajat emfisema. Emfisema tidak beraturan
dihubungkan dengan parut fibrosis setelah proses inflamasi. Kerusakan akibat
inflamasi dan penarikan jaringan oleh parut fibrosis berperan utama dalam
terbentuknya emfisema tipe paraseptal.
2.1.3 Patogenesis Emfisema
Patogenesis emfisema melibatkan beberapa mekanisme dan hipotesis
mengenai protease dan antiprotease serta menjadi perhatian utama karena karena
sesuai skenario pelepasan protease oleh pajanan asap rokok yang menghambat
respons antiprotease mengakibatkan terjadi degradasi matriks dan emfisema. Elastin
merupakan bagian penting dari matriks ekstraselular yang melindungi paru dari proses
stress fisiologis berulang sedangkan serabut kolagen adalah bagian lain dari matriks
ekstraselular yang menjaga struktur normal paru. Kerusakan elastin saja tidak dapat
menjelaskan perubahan bentuk yang terjadi pada emfisema akibat asap rokok.
Peningkatan sel inflamasi di paru pasien emfisema terjadi setelah mendapat
pajanan asap rokok. Sel inflamasi yang dimaksud adalah netrofil, makrofag dan
limfosit Tsitotoksik. Neutrofil memproduksi neutrofil elastase yang menghancurkan
matriks elastin di alveoli. Makrofag memproduksi mediator inflamasi dan protease
seperti matriks metaloproteinase (MMP 1, MMP 9, MMP 12). Jumlah limfosit
Tsitotoksik/ CD8+ berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan. Protease paru
4
sehat dapat diimbangi dengan antiprotease namun keseimbangan ini akan berubah ke
arah aktivitas proteolisis ketika inflamasi akibat pajanan asap rokok mengikutsertakan
selsel inflamasi penghasil protease yang menghancurkan elastin dan kolagen.
2.1.4 Patofisiologi Emfisema
Satuan pertukaran udara di paru disebut dengan alveoli akan mengalami
kerusakan progresif seiring waktu pada emfisema. Pasien harus inspirasi dan ekspirasi
dengan volume udara lebih besar demi memenuhi kebutuhan metabolik distribusi
oksigen (O2), pengeluaran karbon dioksida (CO2) dan menjaga keseimbangan
asambasa. Pelebaran alveoli menyebabkan pembesaran volume paru pada rongga
toraks sehingga mengurangi kapasitas dinding dada untuk mengembang pada saat
inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi sehingga ventilasi menjadi terbatas
(Morris, 2006).
2.2 Nectrotizing Pneumonia
2.2.1 Pengertian Nectrotizing Pneumonia
Necrotizing pneumonia (NP) merupakan salah satu komplikasi berat dari
community acquired pneumonia (CAP), terjadi akibat destruksi parenkim paru normal
disertai nekrosis multipel, abses, kavitas atau pneumatokel yang berisi cairan atau
udara dan seringkali disertai dengan keterlibatan pleura, apabila mengenai seluruh
lobus paru maka akan terjadi gangrene. Walaupun patofisiologi NP belum jelas,
diperkirakan dengan proses yang dimulai dari invasi bakteri pada pasien yang rentan
dengan satu atau beberapa faktor risiko, seperti respons imun yang tidak adekuat,
inokulasi yang masif dan virulensi dari bakteri. Necrotizing pneumonia dengan
pembentukan pneumatokel pada pasien dewasa paling banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, tetapi laporan kasus pada anak paling banyak disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia. (Sari, 2017)
2.2.2 Etiologi Nectrotizing Pneumonia
Penyebab tersering dari NP adalah infeksi bakteri, terutama Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus. Sejak adanya vaksinasi 7 polyvalent
pneumococcal conjugate vaccine (PCV-7), maka serotipe dari Streptococcus
pneumonia yang banyak menyebabkan NP adalah serotipe non PCV-7 termasuk
serotipe 3 dan diikuti dengan 19A.
Bakteri kedua tersering penyebab NP adalah Staphylococcus aureus, terutama
community acquired methicillin resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) yang
5
menghasilkan eksotoksin Panton-Valentine leukocidin (PVL). Penyebab tersering
non-infeksi adalah aspirasi makanan yang disertai dengan komplikasi sekunder
dengan bakteri. Penyebab lain adalah obat kemoterapi seperti bleomisin,
siklofosfamid, penyakit Crohn’s, graft versus host disease, inhalasi bahan kimia
(hidrokarbon, kerosin, terpentin), inhalasi benda asing, sindrom aspirasi mekonium,
psoriasis, penyakit sickle cell, inhalasi asap rokok, toxic shock syndrome, lupus
eritematosus sistemik, Wegener’s granulomatosis dan vaskulitis nekrotikans lainnya.
(Sari, 2017).
2.2.3 Patofisiologi Nectrotizing Pneumonia
Temuan histopatologi pada otopsi dan paru bedah spesimen dari orang dewasa
dan anak-anak dengan NP yang ditandai dengan nekrosis parenkim paru yang sedang
dianggap terutama sebagai proses vaskular yang dipicu oleh infeksi yang
menyebabkan vaskulitis, aktivasi koagulasi sistem dan oklusi trombotik pembuluh
darah intrapulmoner disertai dengan pembentukan rongga. Namun, dalam semua
kelompok usia bernanah intens juga terlihat; itu mendalilkan bahwa efek sitotoksik
langsung dari racun bakteri dan kedua menginduksi respon inflamasi yang dimediasi
sitokin intens, (termasuk perekrutan neutrofil yang dimediasi interleukin-8, aktivasi
dan pelepasan proteolitik enzim) juga berkontribusi pada kerusakan dan kerusakan
jaringan. Campuran koagulasi dan pencairan nekrosis paru menyebabkan satu atau
lebih rongga berdinding tipis yang dapat membentuk pneumatoceles dari bagian satu
arah gas atau berkembang menjadi abses paru. APD dan empiema juga sering terjadi
dan jika daerah nekrotik meluas ke pleura, BPF bisa terbentuk, menghasilkan gas
yang persisten kebocoran dari komunikasi antara paru-paru dan pleura ruang,
terutama setelah intervensi bedah. Iskemia sekunder akibat trombosis simultan dari
beberapa pembuluh darah intrapulmonal dapat terjadi gangren paru dari seluruh lobus
pada tahap lanjut penyakit. (Masters, 2017).
3.3 Anemia
3.3.1 Pengertian Anemia
Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu.
Anak yang menderita penyakit keganasan biasanya akan mengalami anemia (lebih
dari 50%) yang terjadi karena penyakit keganasannya sendiri atau disebabkan oleh
terapinya. Jenis penyakit keganasan pada anak sangat berbeda bila dibandingkan
6
dengan pada orang dewasa. Mayoritas penyakit keganasan pada orang dewasa adalah
karsinoma sedangkan pada anak hampir dua pertiganya adalah leukemia, limfoma dan
tumor otak. Anemia yang berhubungan dengan penyakit keganasan disebabkan
banyak faktor dan salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke sumsum tulang,
dan bila tidak ditangani akan berdampak meningkatnya mortalitas dan efektifitas
terapi. Dengan banyaknya anak dengan penyakit keganasan yang bertahan hidup dan
dengan berkembangnya terapi baru, maka anemia menjadi tantangan dalam
pengobatan penyakit keganasan. (Sari, 2017)
3.3.3. Patofisiologi Anemia
Anemia penyakit kronis didorong oleh kekebalan; Sitokin dan sel
sistem retikuloendotelial menginduksi perubahan homeostasis besi, proliferasi sel
progenitor eritroid, produksi eritropoietin dan masa hidup sel darah merah yang
semuanya berkontribusi pada patogenesis anemia. Erythropoiesis dapat dipengaruhi
oleh penyakit yang mendasari anemia penyakit kronis melalui infiltrasi sel tumor ke
sumsum tulang atau mikroorganisme, seperti yang terlihat pada infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), hepatitis C, dan malaria. Selain itu, sel tumor dapat
menghasilkan sitokin proinflamasi dan radikal bebas yang merusak sel progenitor
eritroid. Episode perdarahan, defisiensi vitamin (misalnya, dari kobalamin dan asam
folat), hipersplenisme, hemolisis autoimun, disfungsi ginjal, dan intervensi radio- dan
kemoterapi itu sendiri juga dapat memperburuk anemia. Anemia dengan penyakit
ginjal kronis memiliki beberapa karakteristik anemia penyakit kronis, meskipun
penurunan produksi eritropoietin yang dimediasi oleh insufisiensi ginjal dan efek
antiproliferatif dari akumulasi toksin uremik, berkontribusi penting. Selain itu, dalam
Pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, aktivasi imun kronis dapat timbul dari
aktivasi kontak imu. Ditimbulkan oleh membran dialisis dari episode infeksi yang
sering atau dari kedua faktor tersebut, dan pasien tersebut datang dengan perubahan
homeostasis zat besi tubuh yang khas dari anemia penyakit kronis. (Guenter, 2014)
7
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
No. MR : 01059XXX
Nama Pasien : An. RF
Tanggal lahir : 07/02/2019
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 9,7 kg
Tinggi Badan : 88 cm
Umur : 2 tahun 1 bulan
Ruangan : Rawat Inap Infeksi 501
Diagnosa Awal : Emfisema
Diagnosa Akhir : Emfisema post WSD (+),
Necrotizing pneumonia (+),
Anemia ec infeksi kronis(+)
Tgl. MRS : 25/03/2021
Tgl. KRS :-
DPJP : dr. Citra Cesilia, Sp. A
8
1. Data Pemeriksaan Fisik
Nilai Tanggal
Pemeriksaan 28/3 29/3 30/3 31/3
normal 25/3 26/3 27/3
Nadi 70-190 x/m 118 98 112 97 97
Suhu 36-37,5 oC 36,2 36,7 36,7 36,3 36
RR 40-60 x/m 32 26 30 45 32
SPO2 95 97 97 97 95
BB 9,7 10 10 10 10
2. Data Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 24/03/2021 dan 28/03/2021
Tanggal
Pemeriksaan Nilai normal
24/3 28/3
Darah lengkap
Hemoglobin 10,2 - 15,2 g/dL 10,4 L 11,3
Leukosit 5,00 - 17,00 103/µl 12,18 16,65
Eritrosit 4,00 - 4,5 juta/µl L 3,61 H 5,39
Trombosit 150 – 400 103/µl 318 407
Hematokrit 37,0 - 43,0 % L 34,0 38,0
MCV 82,0 - 92,0 fl H 94,2 93,4
MCH 27,0 - 31,0 pg 28,8 27,8
MCHC 32,0 - 36,0 g/Dl L 30,6 L 29,7
Hitung jenis
Basofil 0 - 1,0 % 0,2 0,3
Eusinofil 1,0 - 3,0 % 0,7 0,8
Netrofil S 50,0 - 70,0 % 61,0 51,3
Limfosit 20,0 - 40,0 % 31,3 39,3
Monosit 2,0 - 8,0 % 6,8 8,3
Neutrofil L <3,13 1,95 -
Screening COVID 19
Neutrofil LR <3,13 Non reaktif 1,31
Absolut limfosit >1,5 6,55
Kimia klinik
CRP
CRP kuantitatif 0,0 - 5,0mg/L - H 9,7
TIBC 250 - 450µg/dL - 260
IRON 50 - 170µg/dL - 119
9
Albumin 3,8 - 5,4g/dL - L 3,2
Hemostatis
PT INR
PT 11,6 - 14,5 detik - 11,8
INR <1,2 - 0,82
PTT 28,6 - 42,2 - L 25,6
D-dimer 0-0,50µ/mL - H 2,70
3.4 Follow Up
25/03/2021
S0AP
PNEUMONIA
S. O. A.P
EMP…
S.O.A.P
ANEMIA…
26/3/2021
10
Sesak (-), WSD terpasang lancar didada sebelah
kanan, cairan (+) pus, infus D5 ¼ NS 4 mL/jam
N: 118
S: 36,2°C
R: 32
Kesadaran : CM
GCS: 15
Akral hangat, CRT < 2, ma/mi (+)
Infus D5 ½ NS 4 cc/jam
Object
Terpasang WSD didada sebalah kanan, aliran
lancar, pus (+), batuk (+), sesak < malam (+)
N: 112 kali
R: 30 kali
S: 36,7°C
Assement Gangguan pola nafas, tidak efektif
11
28/03/2021 Subject Anak batuk dan sesak
Kesadaran : CM
GCS: 15
N: 97
Object R: 45
S: 36,3°C
Infus D5 ½ NS 4 cc/jam
Batuk (+), sesak <
Terpasang WSD disebelah kanan
Assement Gangguan bersihan jalan nafas
Kesadaran: CM
GCS: 15
Akral hangat
Object Infus D5 ¼ NS 4 cc/jam
N:97
RR: 32
S: 36°C
WSD (+) O2 (+), K/P CRT < 24
Gangguan bersihan jalan nafas
Assement
-Resiko infeksi
30/03/2021 Subject
Object
Assement
Planning
12
3.5 Terapi Farmakologi
Tanggal
Obat Dosis Frek Rute
25/03 26/03 27/03 28/03
√ √ √ √
Infus D5 ¼ NS - 4mL/jam i.v
Injeksi √ √ √ √
1x800Ml 24 jam i.v
Ceftriaxon (12) (12) (12) (12)
√ √ √ √
Azitromicin 1x100mg 24 jam p.o
(12) (12) (12) (12)
√ √ √ √
Paracetamol 4x150mL 6 jam i.v (06,12,18 (06,12,18 (06,12,18 (06,12,18
,24) ,24) ,24) ,24)
√ √ √ √
Apyalist Drop 1x0,6mL 24 jam p.o
(18) (18) (18) (18)
√ √ √ √
Nebu Fluimucil - 6 jam p.o (06,18,24 (06,18,24 (06,18,24 (06,18,24
) ) ) )
√ √ √ √
Prednison 2x1 12 jam p.o
(06,18) (06,18) (06,18) (06,18)
Obat Tanggal
29/03 30/3 31/3
Infus D5 ¼ NS √ √
Injeksi √ √
Ceftriaxon (12) (12)
Azitromicin √ √
(12) (12)
√ √
Paracetamol
(06,12,18,24) (06,12,18,24)
Apyalist Drop √ √
(18) (18)
Nebu Fluimucil √ √
(06,18,24) (06,18,24)
Prednison √ √
(06,18) (06,18)
13
Infeksi saluran nafas bawah
Dosis (DIH, halaman 352)
IV: 50-100mg/kgBB
(dosis maksimal 4g/hari)
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap sefalosporin dan penilisin,
riwayat anafilaksis, aminoglikosida atau diuretic.
Efek samping
Reaksi hipersensitifitas
Interaksi obat
Meningkatkan risiko perdarahan, jika
digunakan bersamaan dengan warfarin.
Menurunkan efek ceftriaxone, jika digunakan
bersamaan dengan kloramfenikol.
Menurunkan efek ceftriaxone, jika digunakan
bersamaan dengan tetrasiklin.
Perhatian
Gangguan fungsi hati dan ginjal, wanita hamil,
neonates
Azitromisin Indikasi
Infeksi saluran nafas atas dan bawah
Dosis
Anak-anak: 30 mg/kg/BB (DIH, halaman 197)
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap azitromicin.
Efek samping
Sakit kepala, diare, nyeri/keram, mual, muntah,
kembung
Interaksi Obat
Meningkatkan efek digoxin, jika digunakan
bersamaan dengan azitromisin.
Meningkatkan efek warfarin, jika digunakan
bersamaan dengan azitromisin.
Meningkatkan efek atorvastatin, jika
digunakan bersamaan dengan azitromisin.
Perhatian
14
Hentikan terapi jika terjadi reaksi alergi
Indikasi
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, gangguan hati.
Efek samping
15
Mengencerkan dahak pada saluran nafas akibat
penyakit paru kronis maupun akut serta emfisema
paru.
Dosis
1 ampul 1-2 kali sehari.
Kontraindikasi
Fluimucyl
Hipersensitifitas terhadap acetylcysteine.
(Acetylcysteine)
Efek samping
Indikasi
Rheumatoid arthritis, bursitis, keadaan alergi berat
dan inflamasi akut
Dosis
Anak-anak: 1-2 mg/kg/BB dalam 3-4 dosis terbagi
Kontraindikasi
Interaksi obat
16
bersamaan dengan prednison.
Perhatian
17
P6.4 Keluhan terapi (alasan tidak diketahui)
2. Azitromisin
Rekomendasi dosis: anak 30 mg/kgBB
Dosis = 30 mg/KgBB x 9,7 Kg = 291 mg per oral
Pemberian dosis : 1 x 30 mg = 291 mg per hari
Pasien mendapatkan terapi Azitromisin 100 mg. Dari perhitungan dosis dalam
1 hari diperoleh 291 mg, maka terapi sudah sesuai.
4. Prednison
Anak 2 tahun : 1-2 mg/KgBB
18
1 mg/KgBB x 9,7 Kg = 9,7 mg
2 mg/KgBB x 9,7 Kg = 19,4 mg
9,7 mg – 19,4 mg
Pemberian dosis :9,7 mg-19,4 mg dalam 1 hari
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada tanggal 25 Maret 2021, seorang pasien bernama An. RF berumur 2 tahun
1 bulan masuk IGD dengan keluhan Demam 3 minggu naik turun, batuk (+) riwayat
jatuh 3 minggu lalu, luka-luka dikaki (+) bernanah, sesak dirawat di Taluk Kuantan 3
hari yang lalu, pasang WSD keluar nanah, penurunan BB 3kg dalam 3 minggu. Pasien
memiliki BB 9,7 kg, TB 88 cm, suhu 36,2 oC, nafas 32x/menit, nadi 118 x/menit, dan
saturasi 95%.
Pasien mendapatkan terapi injeksi Ceftriaxone 1x800 mL. Ceftriaxone
digunakan sebagai pengobatan infeksi saluran pernafasan bawah. Dosis menurut
literatuur adalah 20-80 mg/kgBB. Dari perhitungan dosis dalam 1 hari diperoleh
194mg– 776 mg per hari dan dosis yang diberikan adalah 800 mL. dosis yang
diberikan kurang sesuai dengan literature dengan berat badan pasien 9,7 kg.
Pasien mendapatkan terapi injeksi Azitromisin 1x100 mg. Azitromisin
digunakan sebagai pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan bawah. Dosis
menurut literatur adalah 10 mg/kgBB.. Pasien mendapatkan terapi Azitromisin sirup
2,425 mL. sediaan yang diberikan 200 mg/5 ml. Berdasarkan berat badan pasien
seharusnya mendapatkan 97 mg (2,425 mL).
Pasien mendapatkan terapi injeksi Paracetamol 4x150mL. Sediaan yang
diberikan 4x150mL. Berdasarkan berat badan pasien seharusnya mendapatkan 582mg
dalam 1 hari.
Digunakan terapi tambahan Apialys drop dari tanggal 24 Maret dengan dosis
(1x0,6 ml) indikasi penggunaan Apialys drop yaitu untuk memenuhi kebutuhan
19
vitamin dan mineral tubuh. Komposisi dari Apyalis drop per 0,6 mL yaitu Vit. A
2000IU, Vit.C 30mg, Vit. D 400IU, Vit.B1 1 mg, Vit.B2 1,2 mg, Vit.B6 1 mg,
Vit.B12 2 mcg, Nicotinamide 10 mg, Pantpthenol 5 mg dan Lysine HCl 25 mg. Dosis
yang digunakan sudah tepat yaitu 0,6 mL perhari untuk anak 1-3 tahun.
Pasien mendapatkan terapi nebu Fluimucil.
Pasien mendapatkan terapi Prednison. Dosis menurut literature adalah 1-2
mg/kgBB. Paseien mendapatkan terapi Prednison 9,7 mg-19,4 mg dalam 1 hari
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Pemantauan efek samping obat dilakukan secara rutin dan dilakukan
penyesuaian dosis sesuai dengan dosis lazim dan kondisi fisik pasien.
20
DAFTAR PUSTAKA
Dwita, O., Maharani, S, N., 2017, Pengaruh Merokok dan Defisiensi Alfa-1
Antitripsin terhadap Progresivitas Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
dan Emfisema, 2(6): 42
Masters, I, B., Isles, F, A., Grimwood, K., 2017, Necrotizing pneumonia: an
emerging
problem in children, 9(11):1-19
Morris DG, Sheppard D, 2006. Pulmonary emphysema: when more is less.
Physiology.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Obstruksi Saluran Napas Akut.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hlm.
2216-2229.
Sari, P., 2005, Anemia pada Penyakit Keganasan Anak, 4(6): 176-181
Sari, P., 2017, Nectrotizing Pneumonia pada Anak, 19(2): 114-118
Wright JL, Churg A. 2008, Pathologic features of chronic obstructive pulmonary
disease: diagnostic criteria and differential diagnosis. In: Fishman AP, Elias
JA, et al, editors. Fishman’s pulmonary diseases and disorders. 4th ed. New
York: McGrawHill.
21