Anda di halaman 1dari 37

BAB IV

ANALISIS DATA

A. Implementasi Pendidikan Ekologi di Pondok Pesantren Annuqayah

Sejauh ini kita mengartikan pendidikan adalah sebagai usaha sadar dan

sistematis untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Hampir di semua tatanan

kehidupan manusia memiliki sebuah peradaban yang seiring perkembangan waktu

terus mengalami kemajuan yang signifikan. Munculnya ilmu pengetahuan dan

tekhnologi sejatinya merupakan arus peradaban baru dimana manusia hari ini

harus menjadikan pendidikan sebagai fondasi utama dalam mengarungi hidup,

tentu agar tidak dilibas oleh pesatnya kemajuan peradaban itu sendiri.

Karenanya, manusia hari ini eksistensinya tidaklah ditentukan oleh faktor

keturunan, latar belakang ekonomi atau bahkan integritas, akan tetapi ia

ditentukan oleh sejauhmana ia bisa beradaptasi dengan setiap dinamika kehidupan

sosial yang terjadi. Pada akhirnya manusia akan tenggelam dengan sendirinya jika

ia tidak mampu beradaptasi dengan setiap kondisi yang ada.

Maka pendidikan merupakan sebuah instrumen yang bisa digunakan oleh

manusia dalam menyesuaikan entitas kepribadiannya di setiap dinamika

kehidupan melalui berbagai macam disiplin keilmuan yang ada, Senada dengan

apa yang disampaikan oleh Hasan Langgunglung, bahwa pendidikan merupakan

sistem yang bersifat terbuka.

Pendidikan sebagai sebuah sistem memiliki dua dimensi, yaitu dimensi

entitas dan dimensi metode. Dalam makna entitas, pendidikan memiliki beberapa

komponen yang saling berkait satu sama lain, saling bergantung secara

101
2

komprehensif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Komponen-

komponen tersebut adalah filosofi dan tujuan, kurikulum dan sistem

pembelajaran, motode dan alat, peserta didik, pendidik, organisasi/lembaga, serta

lingkungan pendidikan. Di sisi lain, apabila pendidikan dilihat sebagai sistem

dalam makna metode dapat diartikan bahwa pendidikan merupakan cara yang

ditempuh dalam proses membimbing dan membantu anak secara manusiawi agar

anak berkembang secara normatif lebih baik, hingga menjadi mandiri dan

bertanggung jawab.

Dua dimensi tentang pendidikan ini setidaknya melahirkan fungsi pokok

yang oleh Hasan Langgulung100 diklasifikasikan dalam dua hal, yaitu: pertama,

dari pandangan masyarakat yang menjadi tempat bagi berlangsungnya pendidikan

sebagai satu upaya penting pewarisan kebudayaan yang dilakukan oleh generasi

tua kepada generasi muda agar kehidupan masyarakat tetap berlanjut. Kedua, dari

sisi kepentingan individu, pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan

potensi-potensi tersembunyi yang dimiliki manusia.

Namun pada faktanya, realitas pendidikan yang hari ini ada tentu sudah

sangat jauh dari substansinya. Bilamana pendidikan sejatinya harus diorientasikan

untuk menjadi solusi di setiap persoalan yang terjadi di muka bumi ini, akan tetapi

justru yang ada hari ini sangat tidak nyambung dengan problematika yang ada

disekitar.

Pendidikan sebagai lumbung pengasah integritas kemanusiaan dalam

perkembangannya semakin membuat para peserta didik abai dengan keadaan yang

terjadi di lingkungan sekitarnya. Setiap hari mereka (peserta didik) disibukkan


100
Dr. H. Mahmud, M. Si., Pemikiran Pendidikan Islam..., 20.
3

dengan sistem pembelajaran yang mungkin sangat pantas jika disebut ‘mencekik’.

Penerapan kurikulum sebagai instrumen dalam mencapai tujuan pendidikan

hanyalah sebagaai formalitas yang oleh berbagai kalangan pemerhati pendidikan

dijadikan standar dalam mengukur tingkat kemampuan peserta didiknya.

Saat ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seiring dengan

perkembangan zaman dan mengakarkuatnya ilmu pengetahuan dan teknologi,

mengakibatkan adanya perubahan orientasi pendidikan dari yang awalnya

memiliki tujuan untuk mengubah taraf kehidupan manusia ke arah yang lebih

baik, memiliki integritas yang kompetitif serta menjadi wadah di setiap potensi

yang dimiliki oleh manusia, akan tetapi secara perlahan, dampak dari

berkembangpesatnya dunia perindustrian, pendidikan semakin tercerabut dari

akarnya.

Maka dalam hal ini. Pondok Pesantren Annuqayah memiliki langkah-

langkah representatif dalam upaya pelestarian lingkungan melalui pendidikan,

diantara beberapa langkah-langkah dimaksud adalah:

1. Muatan Materi Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup

Era industrialisasi telah mengubah orientasi kehidupan manusia dalam

kehidupan sosial, dimana segala sesuatu yang semula diarahkan pada

pembentukan kepribadian agar memiliki kualitas dan integritas mumpuni,

sehingga mampu bersaing dan mampu beradaptasi—sebagaimana yang dimaksud

di atas—dengan setiap dinamika kehidupan yang terjadi, akan tetapi pendidikan

hari ini semakin melumpuhkan manusia.


4

Bagaimana tidak, faktanya manusia hari ini oleh pendidikan dibentuk

untuk menjadi pekerja/buruh untuk memenuhi kuota atau kebutuhan pekerja di

dunia perindustrian. Berbagai macam disiplin keilmuan dan berbagai macam juru

keilmuan dicetuskan sesuai dengan bidang yang dibutuhkan oleh perusahaan-

perusahaan ternama. Akibatnya output yang dikeluarkan, mereka hanya sebatas

manusia pekerja, dan mirisnya semakin jauh dari lingkungan sekitar, yang

kemudian mereka akan abai dengan apa yang sebenarnya persoalan yang terjadi di

lingkungannya.

Maka sangat wajar bila mana pendidikan hari ini, oleh K. M. Musthafa 101

dianggap sudah mulai jauh dari visi misi besarnya untuk memanusiakan manusia.

Menurut beliau tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tidak di semua sektor

problematika sosial pendidikan menjadi solusi. Lihat saja dari muatan-muatan

materinya, sangat jauh dan bahkan sangat tidak nyambung dengan problematika

yang dihadapi manusia hari ini.

Seperti problem ekologi, dimana persoalan ini bukanlah persoalan sepeleh

yang tidak memiliki dampak sama sekali. Menurut beliau justru persoalan ini

sangatlah penting untuk kemudian penyelesaiannya melalui pendidikan, meski

pada faktanya justru tidak demikian. Terdapat dua alasan menurut beliau mengapa

problematika ini menjadi sangat penting dan sangat berbahaya bagi kelangsungan

hidup manusia di muka bumi ini.

Pertama, berbicara tentang ekologi tentu erat kaitannya dengan manusia,

sebab 85% dari kebutuhan hidup manusia selama hidupnya diambil dari alam,
101
K. M. Musthafa (Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Wakil Rektor 1 Instika dan
pencetus materi lingkungan hidup di SMA 3 Annuqayah (Putri) Gulujk-Guluk Sumenep) pada
tanggal 17 Juni 2020, pukul 13:00 WIB di halaman Instika.
5

baik kebutuhan yang bersifat primer (pokok) maupun kebutuhan yang bersifat

sekunder (dukungan). Oleh sebab itu, bilamana alam sudah rusak yang

diakibatkan oleh ulang tangan manusianya sendiri maka keberadaan dan

kehidupan manusia di muka bumi cepat atau lambat akan terancam. Bahkan

sangat memungkinkan untuk berbahaya bagi dirinya sendiri, jika alam ini tingkat

kerusakannya sudah sangat akut dan krusial.

Kedua, jika alam dan manusia memiliki kaitan erat, dan kehidupan

manusia bergantung pada kondisi alamnya, maka tentu juga erat kaitannya dengan

agama, dimana agama menjadi penyangga dari kehidupan manusia di muka bumi.

Agama Islam sebagai agama wahyu memang sejak awah telah menegaskan tujuan

untuk apa manusia hidup di muka bumi ini, tiada lain sebagai khalifah fil ‘ardl.

Dengan ini maka manusia memiliki tanggungjawab yang sangat serius dalam

menjaga lingkungan sekitar dan alam secara lebih luas dari kerusakan-kerusakan

yang dimungkinkan terjadi karena ulah tangan manusianya.

Idealnya dunia pendidikan harus menjadikan unsur lingkungan sebagai

instrumen dalam proses pencapaian tujuan. Namuin pada realitasnya, tidak ada

lembaga pendidikan yang secara tegas dan lantang berada di garda depan dalam

menjawab persoalan lingkungan. Itulah sebabnya mengapa beliau pada tahun

2014 mulai menerapkan pendidikan lingkungan hidup di SMA 3 Annuqayah. Saat

itu belum ada sama sekali lembaga pendidikan—kalaupun ada mungkin sangat

jarang sekali—yang secara khusus dalam kurikulumnya ada muatan materi lokal

tentang lingkungan hidup.


6

Muatan materi lokal pendidikan lingkungan hidup ini adalah satu upaya

yang dilakukan untuk lebih mempertegas keterlibatan lembaga pendidikan,

khususnya SMA 3 Annuqayah terhadap persoalan-persoalan lingkungan hidup.

Meski sebelumnya sudah ada keterlibatan BPM-PPA dalam hal ini, tetapi

lingkupnya masih sangat luas, yaitu di pesantren dan masyarakat. Maka penerapan

materi lingkungan hidup ini lebih spesifik terhadap para siswa yang masih duduk

di bangku kelas X.

Dalam perampungan materi lingkungan hidup di SMA 3 Annuqayah ini

setidaknya dua unsur pokok yang menjadi dorongan kenapa harus dipelajari oleh

para siswa. Pertama, karena akarnya adalah berangkat dari isu kemanusiaan.

Kedua, karena kurikulum harus mampu menjawab tantangan sosial. Jika tidak

demikian maka keberadaan kurikulum hanyalah sebagai formalitas yang kering

akan nilai substansinya.

Kemudian daripada itu, keterlibatan Pondok Pesantren Annuqayah dalam

gerakan pelestarian lingkungan tidak hanya sebatas menerapkan muatan materi

lokal tentang lingkungan hidup, akan tetapi juga lebih jauh dan tidk terbatas pada

ruang kelas dan jam pelajaran. Akan tetapi jauh lebih dari itu. Dimana penerapan

pendidikan ekologi juga dilakukan melalui pembiasaan, tindakan dan perilaku

sehari-hari.

2. Pendidikan Sosio-Kultural

KH. Abdul Basith AS selaku sesepuh Masyaikh Annuqayah, salah satu

pendiri BPM-PPA, menyampaikan bahwa Islam adalah agama cinta lingkungan.

Islam adalah agama yang peduli lingkungan. Itulah Islam yang sebenarnya. Inti
7

dari syariat adalah mencegah kerusakan dan menarik kemanfaatan. Kalau

dikerucutkan semua syariat yang ada dalam Islam mengarah kepada inti tersebut.

Sederhananya dalam Islam manusia dilarang melakukan tindakan-tindakan yang

bisa menimbulkan kerusakan dan bahkan membahayakan.102

Karena itu bila dikaitkan dengan permasalahan pemanfaatan dan

eksploitasi alam yang membabi buta, jelas Islam melarang tindakan-tindakan itu

karena menyebabkan rusaknya alam. Sekali lagi Allah SWT dengan tegas

melarang manusia melakukan pengrusakan di muka bumi. Allah SWT

memerintahkan kita untuk memanfaatkan semuanya yang ada di muka bumi ini

dengan sebaik-baiknya dan dengan bijak.

Menurut Lawrence103, ada empat asumsi pokok dalam ekologi manusia.

Pertama, semua organisme memberikan dampak terhadap lingkungannya, baik

anorganik maupun organiki. Organnisme tersebut merupakan bagian dari suatu

sistem ekologis, keberadaanya juga memengaruhi organisme lainnya. Interaksi

antara organisme dan lingkungannya memengaruhi volume dan kualitas sumber

daya yang ada, kelautan atau limbah, dan penciptaan sumber daya baru.

Prinsip kedua, ekosistem manusia bersifat terbuka. Artinya ekosistem

dipengaruhi oleh faktor eksternal, baik yang sifatnya ekobiologis maupun sosial

budaya. Terkait dengan prinsip ini, sulit memahami anggapan ekosistem manusia

bersifat otonom dan transenden. Perubahan di dalam dan di luar ekosistem

102
Buah pemikiran KH. Abdul Basith AS ini disarikan dari hasil wawancara buletin Sidogiri
menyambut Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April 2010. Kemudian dipost oleh Fandrik HS
Putra PP Annuqayah Lubangsa pada Senin, 20 April 2010 di website Pondok Pesantren
Annuqayah. http://annuqayah.blogspot.com/2010/04/?m=1 diakses pada Kamis, 18 Juni 2020
pukul 12:56.
103
Prof. Oekan S. Abdoellah, Ph.D., Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan (Jakarta:
PT Gramedia, 2017), 17.
8

buknalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pemilihan antara ‘dalam’ dan ‘luar’ di sini

hanya dalam arti analisis, bukan ontologis. Pada dasarnya tidak ada yang terpisah

dari ekosistem manusia.

Prinsip ketiga, manusia dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidup

biologisnya menciptakan dan mengubah daya atau energi dari lingkungannya

menggunakan materi, energi dan sistem pengetahuan yang berada dalam konteks

kehidupannya sebagai makhluk sosial. Semua ini berada dalam konteks

keseimbangan dan keberlanjutan kedua sisi ekosistem. Ketimpangan proses

ekologis dalam proses sosial akan berujung pada ketidakseimbangan, baik dalam

hubungan antarmanusia maupun manusia dengan lingkungannya. Berbagai akibat

negatif timbul dari ketidakseimbangan antara proses sosial dan ekologis itu,

seperti perubahan iklim, penurunan lapisan ozon, pengurangan keanekaragaman

hayati, banjir, kekeringan dan berbagai persoalan lingkungan lainnya.

Prinsip keempat, manusia dibedakan dengan makhluk hidup lainnya

berdasarkan kemampuannya dalam mengatur, merekayasa dan mengendalikan

lingkungan alamnya. Manusia mempunyai mekanisme yang memungkinkan untuk

bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Berbeda dari organisme

lain, mekanisme adaptasi manusia tidak bersifat biologis melalui mutasi gen,

tetapi kultural melalui mutasi perilaku.

Berdasarkan empat prinsip relasi antara manusia dengan alam ini oleh

Pondok Pesantren dituanghkan dalam visi dan misinya dimana dalam setiap pola

yang diatur dalam pengembangan pendidikannya harus berlandaskan pada

wawasan lingkungan.104 Maka sangatlah wajar bilamana disimpulkan bahwa


104
www.annuqayah.id/visi-misi/ diakses pada Kamis, 18 Juni 2020 pukul 12:00 WIB.
9

Pondok Pesantren Annuqayah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam

yang menyadari betul pentingnya melestarikan lingkungan, lebih dari itu dalam

setiap proses pembelajaran yang dilakukan harus berpijak pada wawasan

lingkungan.

Yang menarik adalah bahwa saat ini sangat jarang ditemukan berbagai

lembaga pendidikan, baik itu swasta maupun neger yang memiliki perhatian

khusu terhadap pelestarian lingkungan. Akan tetapi Pondok Pesantren Annuqayah

yang secara letak geografis jauh dari perkotaan, berada di lereng Bukit Lancaran

inilah yang sejak awal berdirinya memiliki kiprah yang baik dalam pelestarian

lingkungan. Hal ini terbukti ketika pada tahun 1981 Pondok Pesantren Annuqayah

dianugerahi hadiah Kalpataru oleh Presiden Soeharto karena dinilai sangat berjasa

sebagai penyelamat lingkungan.105

Kemudian alasan kedua yang disampaikan oleh K. M. Musthafa mengapa

problematika ekologi sangat penting dan tidak boleh disepelehkan bahwa manusia

dan alam ini merupakan turunan dari khazanah keagamaan Islam, tentu dapat

dibenarkan. Keberadaan pondok pesantren sejak awal telah menjadi lumbung

keilmuan Islam, dimana segala aspek dan bidang keilmuan agama Islam telah

menjadi fondasi bagi pondok pesantren dalam mendidik santri.

Sebagaimana yang disampaikan oleh M.H. Ainun Najib106, pesantren

memiliki Tri Dharma yang dijunjung tinggi. Pertama, keimanan dan ketakwaan

kepada Allah Swt. Kedua, pengembangan keilmuan yang bermanfaat. Dalam hal

105
www.nu.or.id/post/read/40206/mengenal-pesantren-annuqayah diakses pada Kamis, 18 Juni
2020 pukul 12:15.
106
Prof. Dr. Abu Yasid, MA, LL.M., dkk. Paradigma Baru Pesantren Menuju Pendidikan Islam
Transformatif (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), 253
10

ini sebagaimana yang telah disadari seksama bahwa pesantren memiliki karakter

yang terbuka, sehingga peranannya akan selalu menempati posisi terpenting di

tengah-tengah kehidupan karena bekal ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada

para santrinya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, pengabdian

terhadap agama, masyarakat dan negara. Adalah satu keniscayaan bagi pesantren,

yang menjadikan pengabdian sebagai upaya yang dilakukan untuk bisa

bermanfaat bagi kehidupan semesta. Ilmu yang dikembangkan di pesantren ini

pangkalnya tetap bermuara pada satu tujuan, yakni diraihnya barokah, sehingga

kehidupan masyarakat akan terus bergerak ke arah yang lebih baik.

Dari Tri Dharma pesantren tersebut, kita dapat melihat bahwa pesantren

sesungguhnya bukanlah institusi yang hanya terfokus pada pendidikan agama,

akan tetapi lebih mengakomodir berbagai bidang keilmuan yang sesuai dengan

tantangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga ouputnya diharapkan mampu

berkomunikasi di dunia global yang sangat ketat. Maka tak ayal jika kemudian,

dari pesantren lahir banyak ulama yang sangat berpengaruh dan memegang

kendali kemajuan peradaban bangsa Indonesia. Sehingga pada gilirannya agama

Islam tetap seirama dengan kehidupan sosial dalam mengentaskan persoalan

sebagaimana yang dengan jelas dipaparkan di atas.

Jika ditilik dari Tri Dharma pesantren sebagaimana yang disampaikan oleh

MH. Ainun Najib, selaras dengan gerakan Pondok Pesantren Annuqayah dalam

mengembangkan keilmuan Islam yang tidak mengenyampingkan unsur kehidupan

sosial masyarakat dan lebih-lebih lingkungan.


11

Hal ini terlihat ketika Pondok Pesantren Annuqayah melalui BPM-PPA

mengaplikasikan sebuah ikhtiar kemanusiaan dalam rangka melestarikan

lingkungan. Bapak Abdul Ghaffar selaku Ketua Biro Pengabdian Masyarakat ini

menuturkan bahwa sejak didirikannya BPM-PPA—bahkan jauh sebelum berdiri—

Pondok Pesantren Annuqayah memang secara umum memiliki kesadaran

ekologis.107

Pada tahun 2008 sampai 2010, BPM-PPA melakukan penanaman massal di

sekitar Pondok Pesantren Annuqayah, tepatnya di Bukit Lancaran. Karena kondisi

tanah di bukit itu kering dan tandus. Berpotensi untuk kekurangan air bersih dan

timbulnya bencana alam. Maka sekitar kurang lebih 6000 bibit pohon produktif

ditanam oleh BPM-PPA untuk melakukan penyelamatan lingkungan ini.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Endang Soenarya108, instrumental

input mencakup: tujuan pendidikan, kurikulum, tenaga kependidikan, ideologi,

pengelolaan, penilaian, pengawasan dan peran serta masyarakat. Sedangkan

enviromental input meliputi: geografi, demografi lingkungan fisik, agama,

fasilitas dan biaya, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan

keamanan.

Keberadaan ekologi dalam pendidikan mencakup berbagai wilayah dan

merangkulnya sekaligus termasuk sosial, kultur, faktor lingkungan dan geografis

yang secara kolektif mempengaruhi bentuk dari individu dan identitasnya,

107
Wawancara dengan Ketua BPM-PPA Bapak Abdul Ghafar, di sekretariat BPM-PPA, pada
Selasa 16 Juni 2020, pukul 20:00 WIB.
108
Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem
(Yogyakarta: Adicita karya Nusa, 2000), 58
12

keluarga dan komunitas, kebijakan-kebijakan dan lingkungan sendiri. Kehadiran

ekologi dalam pendidikan merupakan perjuangan terhadap apa yang menjadi

kelemahan saat ini. Bingkai utama dari pendidikan ekologi adalah usaha untuk

mengenali dan mengakui bahwa manusia merupakan bagian kecil dari sebuah

puzzle besar. Untuk memahami pendidikan ekologi setidaknya ada empat konsep

mendasar penopang konstruksi pendidikan ekologi, yaitu pengalaman hidup (lived

experience), ruang belajar (place), pengalaman pedagogis, agen dan partisipasi

aktif.

Hal ini yang juga dilakukan oleh K. M. Faizi dalam memupuk kesadaran

para santri dalam hal pentingnya menjaga lingkungan. Melalui gerakan KTSP

(Kegiatan Tanpa Sampah Plastik) beliau di setiap saat mengisi acara-acara

seminar selalu mengkampanyakan kepada setiap audien yang hadir bahkan lebih

dari itu mengharuskan para audien untuk menerapkan konsep demikian. Setiap

beliau hadir sebagai narasumber acara di lingkup Annuqayah beliau meminta

kepada semua audien untuk tidak meninggalkan sampah sedikitpun di tempat

duduknya masing-masing.

Di satu sisi hal ini bisa tergolong sebagai upaya pengendalian lingkungan,

dimana sampah yang dihasilkan lebih teratur penempatannya. Namun di sisi lain

hal tersebut juga merupakan pendidikan behavioristik, dimana beliau bermaksud

unuk membiasakan para santri dan elemen lain agar terbiasa dengan perilaku

demikian, tidak sembarangan membuang sampah. Jika tidak bisa untuk tidak

menghasilkan sampah, minimal tidak membuang sampah dengan sembarangan.


13

Inisiasi yang beliau cetuskan ini nampaknya membuahkan hasil yang

memuaskan. Beliau pernah menghadiri acara di salah satu Unit Kegiatan

Mahasiswa (UKM) Teater Al-Fatihah Institut Ilmu Keislaman Annuqayah

(Instika) dengan jumlah audien sekitar kurang lebih 700 orang, sehabis acara

nampak tidak ada sisa sampah sedikitpun di tempat.

Upaya pembiasaan seperti yang beliau lakukan beliau ini agar santri dan

beberaoa elemen lainnya tidak hanya bisa tau, akan tetapi juga bisa paham yang

kemudian menjadi kebiasaan dalam perilaku. John Dewey berasumsi bahwa

manusia belajar melalui pengalaman, dan beberapa pengalaman itu memiliki sifat

mendidik walaupun beberapa tidak mendidik. Hampir senada dengan Dewey, Joplin

berpendapat bahwa meskipun semua pembelajaran adalah pengalaman yang dialami,

akan tetapi tidak semua pembelajaran benar-benar sengaja direncanakan. Yang sangat

penting adalah memahami pengalaman bahwa semua pengalaman harus dipahami

secara terus menerus, karena pengalaman masa lampau selalu memiliki koneksi

dengan pengalaman sekarang dan masa depan .109

3. Basis Organisasi

Tentu tidak selesai sampai di sini, ikhtiar Pondok Pesantren Annuqayah

dalam pelestarian lingkungan terus diupayakan, dan bahkan akan terus berlanjut.

Lahirnya Duta Lingkungan pada tahun 2006 yang diinisiasi oleh K. Muhammad

Affan dan Pemulung Sampah Gaul (PSG) pada tahun 2008 yang diinisiaisi oleh

K. M. Musthafa merupakan keberlanjutan dari gerakan pelestarian lingkungan

melalui pendidikan. Dua perkumpulan ini tiada lain untuk memberikan wadah

K. Warren, M. Sakofs, dan J. Hunt, The Theory of Experiental Education, (Dubuque: Kendall
109

Hunt, 1981), 15–22.


14

kepada—katakanlah—para aktivis-aktivis lingkungan agar memaksimalkan

peluang yang ada di sekitar.

Bahkan belakangan, gerakan dalam bentuk ini mulai diperluas

cakupannya. Dimana berbagai lembaga pendidikan di luar Annuqayah juga

dilibatkan dan bahkan diajak bekerjasama untuk bersama-sama melestarikan

lingkungan. Kegiatan ini bernama Kemah Santri. Setiap tahun kegiatan ini rutin

dilaksanakan dengan berbagai konsep tematik. Meski belakangan ini lebih

difokuskan pada mendaur ulang sampah.

Dengan harapan agar siswa memiliki softskill, berbagai instrumen dalam

mencapai harapan itu diterapkan. Sehingga para siswa tidak hanya sekadar

mengetahui terhadap teori-teori lingkungan hidup. Jika muatan materi lokal

pendidikan lingkungan hidup sebagai materi pelajaran diampuh di dalam kelas

melalui metode-metode pengajaran, maka PSG, Duta Lingkungan maupun Kemah

Santri merupakan laboratorium santri dan siswa untuk mengimplementasikan apa

yang mereka dapatkan selama belajar di kelas. Jika dipersentasekan, teori 30%

melalui pengajaran materi lingkungan hidup dan praktik 70% melalui komunitas-

komunitas yang sengaja dibentuk sebagai tindak lanjut dalam wujud nyata.

Sejak awal Kiai Abdul Basith AS, masyaikh Pondok Pesantren

Annuqayah, salah satu pendiri BPM-PPA mendorong para santri menanam pohon

membangun hutan rindang untuk menghasilkan sumber mata air menjadi sungai

jernih mengalir di pondok pesantren bagi kesempurnaan shalat ibadah. Beliau

menuturkan:

“Untuk kesempurnaan ajaran Islam-lah, saya didik santri


agar senantiasa bersih dalam melaksanakan shalat. Untuk ini
15

dibutuhkan air jernih yang lahir berkat terlestarikannya


lingkungan hidup. Berpegangan pada ayat Al-Qur’an bahwa
kebersihan adalah bagian dari iman.”

Atas dasar itulah Kiai Basith termotivasi untuk melestarikan lingkungan.

Kemudian secara garis besar, pada realitasnya perkembangan pesantren di masa

depan sangat ditentukan oleh kemampuannya mengantisipasi dan mengatasi

kesulitan, tantangan dan dilema yang selama ini meyelimutinya. pesantren yang

mampu merespons minimal tidak akan termarjinalkan oleh desakan-desakan

pengaruh global. Pesantren dengan demikian sepatutnya menempuh strategi

adaptif-selektif. Artinya pesantren perlu mengadakan pembaharuan yang bisa

mengimbangi kemajuan zaman tetapi materi pembaharuannya harus terlebih

dahulu diseleksi secara ketat berdasarkan parameter ajaran-ajaran Islam.

Pondok Pesantren Annuqayah dalam konteks penyelaamatan lingkungan

melalui pendidikan, mampu merumuskan konsep pengembangan ajaran Islam

sebagai tatanan sosial, bukan hanya lembaga logistik yang bersifat hitam putih.

Untuk mempermudah pesantren menjalankan perannya dibutuhkan kemampuan

antisipatif dan keterbukaan. Keterbukaan akan menumbuhkan sikap lentur

(fleksibel) yang akomodatif. Bentuk dari keterbukaan ini berupa pesantren dengan

tulus ikhlas bersedia menerima masukan-masukan positif, konstruktif dan inovatif

yang berasal dari mana pun termasuk sejumlah ahli dari luar pesantren. Kemudian

juga harus bersedia mengakui serta mengoreksi kelemahan-kelemahan yang

menimpanya, untuk dicarikan solusinya.

Di samping itu, Pondok Pesantren Annuqayah bersikap kreatif dalam

mengelola dirinya. Secara letak geografis, ia terletak di pedesaan dengan


16

dikelilingi alam terbuka di sekitarnya. Kemudian muncul kesadaran untuk

melestarikan alam tersebut supaya tetap asri dan jauh dari ancaman terjadi

kerusakaan alam dan pencemaran lingkungan.

Langkah semacam ini merupakan langkah transformatif, dimana ada upaya

untuk mengubah bentuk secara nilai-nilai ke arah yang jauh lebih positif. Jika hari

ini isu krisis ekologi sangat genting untuk dibahas dan perhatikan dengan serius,

maka Pondok Pesantren Annuqayah pun tanggap akan hal ini. Berbagai langkah-

langkah konkrit telah dilakukan dan akan terus dikembangkan dalam rangka

mengambil peran dalam penyelesaian problematika yang menyangkut

keselamatan alam ini. Bahkan dalam jangka panjang, Pondok Pesantren

Annuqayah ini mengharapkan agar output santri atau siswa (alumni) bisa

mengamaalkan ilmunya selama berada di pesantren—khususnya dalam

pengendalian dan penyelematan lingkungan—di berbagai daerah asal mereka.

Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, para Kiai selalu mendorong

dan mengajarkan murid-muridnya untuk bertindak secara seimbang baik pada sisi

konteks maupun teks. Sikap terhadap alam ataupun lingkungan seperti pohon juga

memiliki hak hidup sehingga harus dihargai layaknya hak azasi manusia serta

posisinya yang juga sebagai makhluk Allah SWT yang harus dijaga juga

mengemuka sebagai kerangka pikir Kiai. Manusia menurutnya harus bersikap

sama dengan ketika dia bersikap kepada sesama manusia. Pluralitas sikap

demikian penting karena memperlihatkan bagaimana kesejajaran antara makhluk

yang menjadi fundamen teologi dan menyadari bahwa kesemuanya merupakan

bukti kebesaran Allah SWT.


17

B. Dampak Implementasi Pendidikan Ekologi di Pondok Pesantren

Annuqayah

Memperingati Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, masyarakat Indonesia

maupun dunia perlu merenungkan berbagai tantangan yang dihadapi saat ini

maupun relevansinya ke depan. Menurut Emil Salim, dalam bukunya yang

berjudul Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, ia menyebutkan bahwa terdapat

lima tantangan lingkungan hidup yang sedang dihadapi saat ini.110

Pertama, penyelamatan air dari eksploitasi secara berlebihan dan

pencemaran yang kian meningkat, baik air, tanah, air sungai, danau, rawa maupun

air laut. Saat in dan ke depan, permintaan air tawar makin meningkat didorong

oleh pertambahan penduduk dan keperluan pembangunan, baik untuk air minum,

irigasi, perikanan, industri rekreasi atau pariwisata.

Permasalahan lingkungan seperti banjir, kerusakan hutan, pencemaran air,

penyebaran penyakit masih terus mewarnai kehidupan manusia hingga saat ini.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa pihak

berusaha untuk mencegah masalah-masalah lingkungan yang akan terjadi maupun

memperbaiki masalah lingkungan yang sedang berlangsung.

Kedua, merosotnya kualitas tanah serta hutan akibat tekanan penduduk

dan eksploitasi besar-besaran untuk keperluan pembangunan. Di banyak tempat

sudah berlangsung proses penggurunan atau desertifikasi, yakni berubahnya tanah

menjadi tanah tandus gurun pasir akibat eksploitasi tanah berlebihan.

110
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), 170.
18

Luas hutan menciut karena dialihfungsikan untuk pertambangan,

pemukiman, atau kegiatan perekonomian. Ini mengakibatkan erosi meningkat dan

kualitas tanah menurun. Kemampuan tanah untuk menopang produksi pangan

menunjukkan kejenuhan. Ikhtiar menaikkan produksi pertanian tidak lagi bisa

dipacu seperti halnya di tahun 70-an. Padahal jumlah penduduk yang “lapar akan

tanah” semakin banyak. Tidak heran bila tekanan atas tanah semakin meningkat

dengan dampak merosotnya kualitas tanah.

Ketiga menciutnya keanekaan hayati akibat rusaknya habitat lingkungan

hidup berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan. Atas nama efisiensi, pola produksi

pertanian dibuat seragam produknya dengan skala besar. Sehingga keanekaan

jenis tumbuh-tumbuhan atau hewan menciut. Beras Cianjur dan Rojolele terdesak

oleh padi yang dikembangkan oleh Internasional Rice Research Institute (IRRI)

yang lebih besar tingkat produktifitasnya.

Penciutan hutan mengakibatkan hilangnya habitat keanekaan jenis

tumbuh-tumbuhan dan hewan, yang membawa kemusnahannya. Padahal manusia

memerlukan berbagai ragam jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagai bahan

pangan, obat-obatan dan industri.

Keempat, perubahan iklim, yang menurut para ilmuan dari 120 negara

yang berkumpul beberapa waktu lalu, sudah mulai terjadi saat ini. Kadar

pencemaran udara semakin tebal akibat dilepaskannya zat karbon ke udara oleh

alat-alat angkutan, pusat-pusat listrik, dan cerobong-cerobong industri. Udara

cemar bagaikan selimut yang membungkus bumi. Panas bumi oleh cahaya

matahari yang semula bisa terbang bebas ke udara sehingga tidak mempengaruhi
19

iklim bumi, terhambat. Panas bumi ditahan selimut bahan cemar tadi, terpantul

kembali ke bumi dan mengubah iklim bumi.

Diperkirakan sampai pertengahan abad ke-21 nanti suhu akan naik tiga

derajat celcius. Hal itu akan memekarkan air laut. Permukaan laut naik dan

mampu menenggelamkan pulau-pulau kecil di Samudera Hindia, Pasifik, dan

Atlantik. Saat ini memang belum tampak berkurangnya kadar pencemaran karbon

oleh transportasi, energi dan industrialisasi ini. Bahkan beberapa negara yang

berpenduduk banyak seperti China, India, dan Indonesia, memerlukan lebih

banyak alat transportasi, energi, dan industri, dalam pembangunannya.

Kelima, meningkatnya jumlah kota-kota berpenduduk banyak. Dari 100

kota terbesar di dunia di tahun 2020, sebanyak 36 kota terdapat di Asia. Sebanyak

2,3 miliar manusia atau 25 persen dari jumlah penduduk dunia akan hidup di kota-

kota Asia. Meningkatnya kota berpenduduk banyak berkaitan dengan proses

industrialisasi yang mendorong proses urbanisasi. Kehidupan kota berpenduduk

jutaan ini tidak bisa ditangani secara konvensional seperti sekarang.

Demikian lima masalah krisis yang menonjol sebagai tantangan yang

dihadapi gerakan lingkungan hidup sekarang ini. Kebanyakan tantangan ini bukan

baru. Namun fakta mengatakan bahwa itu tidaklah baru, justru menunjukkan

kekurangsungguhan manusia dalam mengatasinya.

Menurut Wida Widaningsih111 berbagai cara dan upaya telah dilakukan

oleh pemerintah, lembaga-lembaga sosial maupun perorangan seperti penetapan

111
Wida Widaningsih, Pengaruh Pola Komunikasi Pengurus OPPM terhadap Perubahan Sikap
Santri dalam Menciptakan Pesantren Berbudaya Lingkungan (eco pontren) Studi Deskriptif pada
organisasi Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Kecamatan Baleendah Kabupaten. Bandung
Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia Tahun 2012.
20

kebijakan mengenai lingkungan serta gerakan-gerakan lingkungan sebagai wujud

kepedulian terhadap lingkungan dengan mengajak orang lain agar mau peduli

terhadap lingkungan.

Namun, upaya-upaya tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus

dikarenakan tidak adanya kesamaan makna dan tujuan antara pihak yang

mengupayakan solusi mengenai masalah lingkungan dengan pihak yang

diharapkan memiliki kontribusi paling besar terhadap pemulihan

ketidakseimbangan lingkungan (masyarakat).

Jika perilaku ekstraktif manusia terus dibiarkan dan tidak ditindaklanjuti,

maka SDA akan terus menerus rusak, berkurang bahkan habis. Lingkungan pun

menjadi tidak bersahabat dan menyebabkan banyak bencana. Jika hal tersebut

telah terjadi maka seluruh umat manusia akan mengalami kesulitan dalam

menjalani kehidupannya sehari-hari.

Padahal, dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa dengan asas

tanggung jawab, berkelanjutan dan manfaat, maka pengelolaan lingkungan hidup

ditujukan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup. Oleh karena itu, dalam pembangunan lingkungan hidup, yang dituju pada

dasarnya adalah terwujudnya perubahan perilaku dari tiap anggota masyarakat

mulai dari anak-anak hingga dewasa, agar memiliki pola tindak dan pola laku

yang seimbang dengan daya dukung lingkungan.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan berfungsi mencetak lulusan santri

yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki keimanan dan
21

ketakwaan sebagai komunitas pembangun masyarakat. Santri lulusan pesantren

ketika hidup bermasyarakat, dituntut untuk cepat tanggap dan mampu membantu

menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat, termasuk masalah

lingkungan.

Dengan demikian, pelestarian lingkungan melalui pendidikan ekologi di

pesantren diharapkan santri memiliki bekal ilmu yang seimbang antara ilmu

duniawi (berorientasi pada kehidupan di dunia) dengan ilmu ukhrowi (berorientasi

pada kehidupan di akhirat), sehingga dapat menyeimbangkan antara ibadah

mahdhah (hubungan dengan Tuhan) dengan ibadah ghairu mahdhah (hubungan

dengan makhluk: manusia dan alam) serta dapat menerapkan konsep Islam yang

utuh, yaitu rahmatan lil’alamin (kesejahteraan bagi seluruh alam). Untuk itu,

santri perlu dibekali dengan ilmu-ilmu kontekstual terkait lingkungan hidup dan

konservasi melalui penyelenggaraan pendidikan ekologi di pesantren.

Pelestarian lingkungan melalui pendidikan ekologi di pesantren

merupakan sarana membentuk sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan,

sikap, keterampilan, dan motivasi serta komitmen untuk ikut memecahkan

masalah konservasi dan lingkungan hidup dan mencegah timbulnya permasalahan

lingkungan. Di samping itu, menurut Wida Widanigsih 112 bahwa melalui kegiatan

ecopesantren ini diharapkan santri memiliki perilaku yang peduli terhadap

lingkungan dilakukan secara intensif yang diharapkan memberikan efek bola salju

(snow ball effect) terhadap lingkungan di sekitarnya dan dapat mengurangi

perilaku eksploitatif terhadap lingkungan.

112
Wida Widaningsih, Pengaruh Pola Komunikasi. 2012.
22

Upaya untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan melalui pendidikan

ekologi akan memberikan andil besar dalam mencegah perusakan lingkungan,

lebih jauh bahkan memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi. Pendidikan ekologi

hidup fokus pada upaya untuk menumbuhkembangkan dan meningkatkan

kesadaran komunitas sekolah untuk berperilaku ramah terhadap lingkungan

sehingga keberlanjutan ekosistem tetap terjaga. Salah satu yang dapat

dikembangkan adalah pendidikan melalui model pelestarian lingkungan yang

dapat mentransformasikan nilai-nilai moral keagamaan dalam berinteraksi dengan

lingkungan, dimana proses pendidikan berorentasi pada pembentukan manusia

secara utuh, baik lahiriah maupun batiniah dalam totalitasnya sebagai khalifah;

pengatur dan pemeliharaan alam dan lingkungan.

Sebagai sebuah ikhtiyar kemanusiaan, gerakan penyelamatan lingkungan

dari bahaya kerusakan yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Annuqayah melalui

pendidikan ekologi, di satu sisi memang memiliki dampak tersediri, meski pada

sisi yang lain tentu tidaklah sebanding dengan masalah yang terjadi. Beberapa di

antara dampak dari implementasi pendidikan ekologi ialah kesadaran yang mulai

terbangun di setiap masing-masing santri, bahwa dalam hal apapun harus

mempertimbangkan faktor kerusakan alam yang akan terjadi.

Kemudian sebagai turunannya, lahirlah kebijakan-kebijakan pro

lingkungan yang diterapkan di masing-masing satuan pendidikan yang ada.

Seperti contoh di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Putri yang

mewajibkan semua santri membawa piring dan gelas non plastik, sehingga dalam
23

memenuhi kebutuhan pokoknya—seperti makan—tidak sampai menuai banyak

sampah.113

Hal yang sama juga dilakukan oleh Pondok Pesantren Annuqayah daerah

Latee II yang mewajibkan kepada seluruh santri untuk membawa piring/kotak

nasi, botol air minum dan mangkok. Bahkan untuk para wali santri yang hendak

berkunjung ke pondok pesantren diwajibkan membawa makan dengan

menggunakan kotak nasi/bungkus nasi dari daun.114

Kebijakan-kebijakan semacam ini tentu tidaklah muncul secara tiba-tiba.

Akan tetapi memalui proses yang sangat panjang dan tidak instan. Berawal dari

diterapkannya pendidikan ekologi di pondok pesantren memalui berbagai

instrumen (komunitas-komunitas, muatan materi lokal, behavioristik dan lain

sebagainya) terbentuklah kesadaran para santri dan berbagai elemen yang ada

untuk melestarikan lingkungan.

Setidaknya dari temuan peneliti di lapangan, implementasi pendidikan

ekologi di Pondok Pesantren Annuqayah memiliki setidaknya dua sisi dampak

yang sangat signifikan. Pertama, bagi pesantren upaya pelestarian lingkungan ini

diupayakan untuk mengupayakan bagaimana pesantren dapat memanfaatkan

potensi yang ada di alam sekitar untuk kemandirian pesantren, sehingga segala

kebutuhannya bisa didapatkan tanpa bergantung pada instansi lain, apalagi

pemerintah. Namun tidak sampai berlebihan yang berakibat pada kerusakan

lingkungan. Justru kesuburan tanah dan lingkungan hidup sehat mengalami

peningkatan yang efektif.


113
Wawancara dengan Mahsunah Baihaqi salah satu santri aktif di Pondok Pesantren Annuqayah
daerah Lubangsa Putri, pada Jum’at, 18 Juni 2020 pukul 13:00 WIB.
114
https://www.facebook.com/506549882783984/posts/2743145849124365/?app-fbl.
24

Kedua, bagi santri, selain terbentuknya karakter yang mandiri, juga

pendidikan ekologi ini menambah keterampilan santri yang tidak hanya berkutat

pada intelektual belaka. Keterampilan yang dimiliki para santri dalam menjaga

kelestarian lingkungan ini berdampak pula pada kepeduliannya terhadap alam,

sehingga bagi para santri perilaku yang menyebabkan kerusakan alam merupakan

tindakan yang harus dijauhi. Maka kesadaran semacam ini mengakar kuat dalam

karakter kesantrian sehingga bilamana ia terjun di tengah-tengah masyarakat

sebagai basis pesantren, ia hadir untuk mengentaskan persoalan kerusakan

lingkungan.

Meski menurut pandangan K. M. Musthafa, dampak yang terjadi tidaklah

seberapa. Karena jika dibandingkan antara gerakan penanggulangan dengan

persoalan yang terjadi sangatlah tidak sebanding. Tetapi paling tidak, pendidikan

berwawasan lingkungan ini setidaknya dijadikan sebagai misi dalam kehidupan

sehari-hari para santri. Lebih dari itu masih belum bisa dilihat dampaknya seperti

apa.

C. Faktor Pendorong dam Faktor Penghambat Implementasi Pendidikan

Ekologi di Pesantren

Departemen Agama RI, tahun 2001 di seluruh Indonesia terdapat 11.312

pesantren dengan jumlah santri sebesar 2.737.805 jiwa. Dari jumlah tersebut, 78

persen atau 8.829 pesantren berada di pedesaan. Sedikitnya 2.429 pesantren


25

berlokasi di daerah pertanian dan 1.546 berada di daerah pegunungan. Dan 50

persen pesantren berlokasi di daerah permukiman.115

Di samping itu, kesadaran teologis yang dimiliki oleh komunitas pondok

pesantren tentang eksistensi alam dan lingkungan sebagai milik Allah SWT yang

harus dijaga dan dilestarikan untuk kepentingan bersama di masa kini dan

mendatang, kepedulian terhadap lingkungan akan jauh lebih bermakna bagi

kalangan pesantren. Pratisnya, pesantren menjadi corong dalam pelestarian

lingkungan di masyarakat.

Kepedulian demikian juga ditopang oleh adanya perintah hukum syariat

yang bersifat imperatif, sehingga kesadaran dan kepedulian terhadap masalah

lingkungan akan lebih kuat dan mendalam bagi komunitas pondok pesantren.

Dengan fakta seperti disajikan di atas, diharapkan pesantren merupakan salah satu

komponen strategis bangsa yang bisa berperan efektif dalam upaya pelestarian

dan pemeliharaan lingkungan.

Kemudian dari pada itu berdasarkan temuan di lapangan, hasil wawancara

peneliti dengan beberapa Masyaikh Pondok Pesantren Annuqayah dan beberapa

tokoh kunci yang merintis gerakan-gerakan pelestarian lingkungan, telah kami

temukan beberapa faktor pendorong dan faktor penghambat dalam

pengimplementasian pendidikan ekologi di Pondok Pesantren Annuqayah.

1. Faktor Pendorong

a) Kiai

Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Education


115

Management Information System (EMIS) http://emispendis.kemenag.go.id/, diakses pada


Jum’at, 19 Juni 2020 pukul 14:35 WIB.
26

Sebagaimana yang telah kami kemukakan di bab

sebelumnya, bahwa entitas kiai ini menjadi unsur paling penting

dalam mendorong kemajuan Pondok Pesantren, utamanya dalam

hal implementasi pendidikan ekologi dalam rangka menjawab

tantangan kehidupan sosial.

Kiai pada hakekatnya adalah gelar yang diberikan kepada

seseorang yag mempunyai ilmu di bidang agama, dalam hal ini

agama Islam. Terlepas dari anggapan kiai sebagai gelar yang

sakral, yang keberadaanya selalu dijadikan sebagai tumpuan hidup

masyarakat. Setiap ada persoalan yang dihadapi masyarakat, di

berbagai sektor, baik itu pendidikan, ekonomi, politik dan lain

sebagainya, seringkali terlibat mengambil peran yang solutif.

Dengan sendirinya entitas itu kemudian menggiring masyarakat

untuk mempersepsikan bahwa kiai memiliki wibawa yang sangat

tinggi.

Keberadaan kiai dalam pesantren sangatlah sentral. Jadi

kiai dalam dunia pesantren berperan sebagai penggerak,

pengemban dan mengembangkan pesantren sesuai dengan yang

dikehendaki. Hal ini dapat dimaklumi karena agama Islam sebagai

acuan nilai moral dan norma yang diyakini dan dianut oleh

masyarakat, maka kiapun dianggap sebagai pemimpin. 116

Karenanya bilamana seorang kiai yang memiliki kesadaran akan

pentingnya mengentaskan persoalan lingkungan, ketika menyusun


116
Bisri Effendi, An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura (t.t: P3M, 1990), 2.
27

sistem yang diterapkan di ranah pendidikan, sudah pasti akan

diikuti oleh segenap elemen yang ada di pesantren, utamanya para

santri, tanpa sedikitpun ada penolakan.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh K. M. Faizi.

Menurut beliau gerakan pelestarian lingkungan dapat terlaksana

dan hidup sampai saat ini tentu karena dipengaruhi oleh

keberadaan kiai sebagai tokoh/figur yang menjadi kiblat para santri

dalam berperilaku setiap hari. Karena kehidupan di pesantren itu

sejak awal memang terbiasa menggunakan figur oriented

(berorientasi pada penfiguran) dalam mengambil acuan. Figur

dalam hal ini tiada lain adalah kiai, guru dan beberapa elemen lain

sebagai pemangku kebijaka.

b) Pesantren sebagai Lembaga Sosial

Fungsi pondok pesantren sebagai lembaga sosial

menunjukkan keterlibatan pesantren dalam mengenai masalah-

masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Penerapan

pendidikan ekologi di pesantren tentu lebih maksimal mengingat

pesantren memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Sehingga

pemaduan antara teori dan praktik seimbang. Para santri bisa terjun

langsung dalam gerakan peduli lingkungan dengan menjadikan

masyarakat sebagai mitra.


28

Di Pondok Pesantren Annuqayah pada dasarnya pelestarian

lingkungan hidup dalam masyarakat telah dimulai sejak awal mula

berdirinya langgar sebagai basis Annuqayah sekalipun wujudnya

sangat sederhana, namun memiliki makna yang sangat dalam.

Perbedaan yang mencolok terutama terletak pada kapasitas dan

tekanan pengembangan lingkungan pada masa itu.

Pada masa awal kepemimpinan Kiai H. Muhammad

Syarqawi, inti dari pengembangan lingkungan difokuskan pada

masalah kemanusiaan dalam arti lingkungan. Dengan demikian ada

banyak kontribusi yang oleh Annuqayah diberikan dalam hal

pemberdayaan masyarakat, baik itu dalam bidang agama, budaya,

ekonomi, termasuk juga lingkungan.

Lahirlah kemudian BPM-PPA sebagai wadah bagi Pondok

Pesantren Annuqayah dalam memperkuat hubungan antara

pesantren dan masyarakat, utamanya yang berkaitan dengan

lingkungan.

Hal ini menjadi satu pendorong dan bisa menjadi

laboratorium para santri dan siswa untuk menindaklanjuti atau

mungkin memulai pendidikan ekologi di Pondok Pesantren

Annuqayah. Lahan yang terbentas luas semisal, menjadi peluang

bagi para santri dan siswa untuk bercocok tanam.

Bahkan Anisa Busthami, selaku mantan Ketua PSG periode

2012 mengakui bahwa dengan relasi kuat antara pesantren dengan


29

masyarakat memungkinkan untuk mereka bisa menjalankan

program-program pelestarian lingkungan dengan baik, selain

karena dapat dukungan dari masyarakat sekitar, juga beberapa hasil

dari bercocok tanamnya bisa disalurkan kepada yang

membutuhkan.

2. Faktor Penghambat

a) Standarisasi Pendidikan

Dengan lahirnya buku FW. Taylor, Principles of Scientific

Management, ia menyadari bahwa munculnya standarisasi

pendidikan pada abad ke-19 berdampak pada perubahan orientasi

dari pendidikan itu sendiri. Dimana peserta didik didesain

sedemikian rupa agar menghasilkan output ‘pekerja’ atau ‘buruh’

agar memenuhi kuota pekerja di dunia perindustrian. Menurutnya

sistem standarisasi pendidikan ini merupakan anak kandung dunia

modern dari kebudayaan Barat.117

Sehingga yang pada awalnya pendidikan itu diorientasikan

sebagai solusi problem kerakyatan berubah menjadi dapur produksi

manusia industri yang justru semakin menambah masalah,

utamanya dalam hal kerusakan lingkungan. Lebih dari itu semakin

sedikit manusia yang peka dan tergerak dengan persoalan ini

karena setiap harinya dipenuhi dengan standarisasi pendidikan

yang kapitalistik. Demikian pula halnya di pesantren, realita sistem

117
Dr. M. Arfan Mu’ammar, M. Pd. I, Nalar Kritis Pendidikan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), 74.
30

pendidikan semacam ini, utamanya di lembaga pendidikan

formalnya, masih ada.

Pondok Pesantren Annuqayah sebagai lembaga pendidikan

Islam, telah menyadari sejak awal problematika ini. Dimana seperti

yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam pandangan para

kiai dan pemerhati pendidikan di lingkungan Annuqayah hampir

berpendapat yang sama, bahwa kurikulum yang dirancang sebagai

instrumen dalam pencapaian proses pembelajaran, sama sekali

tidak berhubungan dan atau bahkan tidak nyambung dengan

problematika yang terjadi di kehidupan sosial.

Sehingga fakta yang seperti ini menjadi salah satu

penghambat dalam pengimplementasian pendidikan ekologi secara

lebih sistematis dan efisien di setiap satuan pendidikan yang ada di

bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Annuqayah. Kalaupun

ada, itu hanya beberapa saja yang diberlakukan, seperti di SMA 3

Annuqayah Putri, itupun hanya untuk kelas X sebagai dasar di

tingkat SLTA.

b) Kapitalisme Ekstraktif

Fakta yang tidak bisa kita pungkiri bahwa keterlibatan

Pondok Pesantren Annuqayah mengalami berbagai hambatan

dalam implementasi pendidikan ekologi. Di satu sisi beberapa

pihak mulai menggagas gerakan-gerakan penyelamatan lingkungan

yang disesuikan dengan kebutuhan, namun di sisi lain ada beberapa


31

pihak yang justru merusaknya akibat kebutuhan-kebutuhan akan

pembangunan terus digalakkan.

Gerakan pelestarian lingkungan melalui pendidikan ekologi

ini kemudian dapat dianggap tidak begitu massif dan sistematis

karena ada di beberapa pihak lain yang justru bertentangan dengan

etika-etika pengendalian lingkungan. Adanya perusahaan air

mineral di Pondok Pesantren Annuqayah bukan tidak mungkin

menuai kontroversi di berbagai kalangan. Seperti di masyarakat,

beberapa di antara mereka merasa resah dengan adanya perusahaan

itu karena khawatir ketersediaan air menipis untuk warga sekitar,

juga dengan banyak memproduksi air mineral dalam kemasan

setiap hari dengan jumlah yang banyak akan memungkinkan

semakin banyaknya sampah di lingkungan Pondok Pesantren

Annuqayah, utamanya sampah unorganik seperti plastik sekali

pakai.

Jika dilihat dari perspektif industri, mungkin ada sisi

positifnya. Karena Annuqayah bisa memproduksi kebutuhannya

sendiri tanpa harus bergantung pada perusahan-perusahaan lain

yang justru dampak lingkungannya jauh lebih berbahaya. Meski

dari perspektif lingkungan memang harus diakui berdampak

negatif.

Eco Green Campus yang sejak awal dijadikan selogan oleh

salah satu perguruan tinggi yang ada di bawah naungan Yayasan


32

Pondok Pesantren Annuqayah menjadi pijakan sekaligus acuan

dalam pelaksanaan kegiatan akademik di kampus. Namun pada

faktanya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan

pengembangan fisik atau infrastruktur kampus, maau tidak mau

harus mereklamasi lahan luas yang penuh dengan pepohonan

rindang—yang pada waktu lalu sekitar 10 tahun silam, oleh BPM-

PPA dilakukan penanaman pohon massal—namun gerakan ini

kemudian pupus karena dibenturkan dengan kepentingan

pembangunan.

Pohon-pohon produktif yang ada di sekeliling Bukit

Lancaran ini harus ditebang dan diganti dengan bangunan atau

gedung perkuliahan baru. Sedikit rasa kecewa dirasakan oleh

BPM-PPA karena upaya yang dilakukan dan diharapkan bertahun-

tahun untuk menanti besarnya pohon, harus dimusnahkan.

Bahkan dalam proses pembangunan gedung kampus baru

yang saat ini berdiri kokoh, K. M. Musthafa mengaku tidak

dilibatkan dalam musyawarah. Jika seandainya dilibatkan mungkin

beliau adalah salah satu yang tidak setuju. Alasan kuat beliau

karena sangat tidak sinkron dengan slogannya “Eco Green

Campus” bilamana pembangunan gedung itu dibiayai oleh salah

satu perusahaan migas yang telah banyak melakukan pengrusakan

alam.

c) Budaya Konsumtif
33

Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif.

Masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Namun konsumsi

yang dilakukan bukan lagi sekedar kegiatan pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Masyarakat

modern tidak cukup hanya mengkonsumsi sandang, pangan, dan

papan saja untuk dapat bertahan hidup. Meskipun secara biologis

kebutuhan makanan dan pakaian telah cukup terpenuhi, namun

untuk kebutuhan dalam tatanan pergaulan sosial dengan sesama

manusia lainnya, manusia modern harus mengkonsumsi lebih dari

itu. Dapat dikatakan bahwa masyarakat modern saat ini hidup

dalam budaya konsumen.

Sebagai suatu budaya, konsumsi sangat mempengaruhi

kehidupan sehari-hari dan mampu menstruktur kegiatan

keseharian di masyarakat. Nilai-nilai pemaknaan dan harga diri

menjadikan sesuatu yang dikonsumsi menjadi semakin penting

dalam pengalaman personal dan kehidupan sosial masyarakat.

Konsumsi telah masuk ke dalam rasionalitas berpikir masyarakat

dan teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut K. M. Musthafa, budaya konsumtif ini bisa

terjadi dan bahkan mengalami peningkatan tidaklah terjadi secara

tiba-tiba. Ia justru melului berbagai rantai persoalan yang saling

berkaitan: yakni, ekstraki (eksploitasi kekayaan sumber daya

alam), produksi, distribusi dan sampailah di tahap konsumsi.


34

Empat tahapan ini sama-sama memiliki potensi masalah besar

yang jika tidak dikontrol dengan baik akan sangat merugikan,

baik untuk kehidupan sosial atau bahkan lingkungan.

Pertama, ekstraksi, dalam hal ini tentu sudah banyak fakta

di lapangan, kasus-kasus seringkali terjadi, dimana ada banyak

perusahaan-perusahaan swasta atau bahkan milik negara yang

melakukan eksploitasi kekayaan sumber daya alam secara

berlebihan. Semakin banyak perusahaan-perusahaan ekspoitasi ini

beroperasi tentu membutuhkan lahan dalam skala luas. Banyak

tanah-tanah produktif yang dialihdungsikan dari yang semula

tempat dimana banyak pepohonan sejuk nan rindang berubah

menjadi kebisingan dimana ada banyak alat-alat berat beroperasi,

tandus dan berpolusi.

Bahkan miris sekali untuk kehidupan anak cucu bangsa ke

depan. Bilamana sudah banyak tanah-tanah mereka dikuasi oleh

segelintir orang saja. Pada akhirnya mereka hanya sebatas budak

yang dipekerjakan di daerah tempat dimana mereka dilahirkan.

Inilah wujud penjajahan model baru saat ini.

Kedua, produksi. Pada tahap ini juga sudah banyak fakta

dilapangan terjadi kasus. Beberapa perusahaan makanan besar

yang menggaji para buruh pekerjanya tidak sesuai dengan apa

yang mereka kerjakan. Pemerasan dan penindasan terjadi. Mereka

bekerja berat dan keras dengan upah yang tidak seberapa.


35

Itulah sebabnya mengapa K. M. Musthafa menaruh

kecurigaan pada perusahaan-perusahaan yang menjual barang

bagus dengan harga yang murah. Ternyata ketika ditelusuri gaji

yang dikucurkan kepada para pekerjanya tidaklah seberapa, dan

mirisnya lagi penanggulangan dampak lingkungannya tidak

diperhatikan. Sehingga barang-barangnya dijual dengan harga

yang sangat murah.

Ketiga, distribusi. Di tahap ini proses pendistribusian

beberapa penyedia kebutuhan pokok dan pendukung juga tidak

terlepas dari berbagai persoalan. Dalam proses pendistribusian

tentu membutuhkan infrastruktur jalan yang memadai, agar bisa

sampai dengan cepat kepada agen atau konsumen. Pada titik ini

juga pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur besar-

besaran di setiap daerah. Dalam rangka pembangunan juga butuh

lahan yang tidak sedikit. Adanya banyak lahan persawahan warga

dan lahan-lahan produktif lainnya yang dialihfungsikan dan oleh

negara dibebaskan. Akibatnya sumber mata pencaharian warga

sudah musnah. Mereka sebagai rakyat kecil tentu tidak bisa

berbuat banyak selain pasrah pada keadaan.

Keempat, Konsumsi. Di sinilah titik dimana persoalan dari

empat tahapan itu bertumpu. Di tahap ini menurut Bapak Abdul

Ghaffar, selaku Ketua BPM-PPA telah mampu mengubah


36

orientasi kehidupan masyarakat pada yang awalnya keselamatan

bersama berubah pada kepentingan pribadi yang materialistik.

Lebih jauh K. M. Faizi menambahkan bahwa saat ini

jarang sekali ada masyarakat yang membeli atau mengkonsumsi

sesuatu yang disesuaikan dengan kebutuhan. Kadang mereka

tidak membutuhkan, tetap karena ada banyak unsur yang

memprovokasi ia untuk membeli, meski sebenarnya tidaklah

butuh, maka ia beli.

Ini tentu saja juga menjadi salah satu penyebab lahirnya

persoalan lingkungan. Dimana budaya konsumtif ini bisa

meningkatkan jumlah sampah. Contoh kecil, di Pondok Pesantren

Annuqayah sudah tersedia banyak air untuk diminum dengan

mudah dan cepat mendapatkannya. Akan tetapi masih banyak di

antara mereka yang membeli air dalam kemasan plastik satu kali

pakai. Akibatnya kian hari sampah terus menumpuk. Padahal

mereka sangat bisa untuk tidak membeli.

Berbeda halnya dengan apa yang disampaikan K. M.

Musthafa terkait prilaku konsumtif, beliau mengamati bahwa

persoalan budaya konsumtif ini Annuqayah ini secara umum

belum bisa dianggap sebagai persoalan yang signifikan, Karena

bagaimanapun yang dinamakan pesantren pasti tidak lepas dari

karakter kesederhanaan.
37

Pola hidup santri di pondok pesantren masih sangat bisa

dikendalikan dengan baik. Minimal kalaupun menghasilkan

sampah, itu masih sangat memungkinkan untuk didaur ulang oleh

para aktivis-aktivis lingkungan yang ada di pondok pesantren.

Selebihnya prilaku konsumtif santri ini sangatlah minim, tidak

sama dengan prilaku konsumtif orang-orang kota yang justru

banyak menuai sampah dan krisis lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai