Anda di halaman 1dari 26

ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA WANITA HAMIL DI BEBERAPA PRAKTEK

BIDAN SWASTA DALAM KOTA MADYA MEDAN

MUHAMMAD RISWAN

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

BABI
PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin,


hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan
zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan gambaran sel
darah merah hipokrom- mikrositer, kadar besi serum (Serum iron = SI) danjenuh
transferin menurun, Kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity = TIBC)
meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat
kurang atau tidak ada sama sekali. 1,2
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi,
antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan
absorbsi diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat
besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari
penyakit.3,4
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan
yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan
kesehatan dunia (World Health Organization=WHO) melaporkan bahwa prevalensi
ibu- ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35 - 75 % serta semakin
meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. 5
Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang terhadap ibu hamil merupakan
predisposisi anemia defisiensi besi pada ibu hamil di Indonesia. Kebanyakan anemia
pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi zat besi dan perdarahan akut bahkan
tidak jarang keduanya saling berinteraksi. 6
Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar
63,5%. Lautan J dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester
II didapati 23 (74 %) menderita anemia, dan 13 (42 %) menderita kekurangan
besi. 7
Penelitian Thanglela dkk (1994) di India dari 1040 wanita hamil didapatkan
70,4% menderita anemia, dengan distribusi 23% anemia ringan, 38,2% anemia
sedang dan 9,2% anemia berat 8 , Desai (1995) mendapatkan prevalensi anemia
pada kehamilan 62% 9 , sedangkan Abel dkk (1998) mendapatkan anemia defisiensi
besi pada kehamilan 70,3%. 5
Di Malaysia Rosline dkk (2001) melaporkan dari 52 orang wanita hamil yang
menderita anemia defisiensi besi adalah 7 orang (13,5 %) dan 11 orang (21,1 %)
mengalami defesiensi besi.10
Anemia defisiensi besi pada kehamilan mempunyai gejala klinis yang
bervariasi, sehingga untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan darah dan
sumsum tulang merupakan hal yang sangat penting. Pada pemeriksaan fisik sering
belum menunjukan adanya gejala kecuali sesudah nilai hemoglobinnya sangat
rendah dan telah berlangsung lama.11

©2003 Digitized by USU digital library 1


Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai dampak yang jelek,
baik pada ibunya maupun terhadap janinnya. Ibu hamil dengan anemia berat lebih
memungkinkan terjadinya partus prematur dan memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah serta dapat meningkatkan kematian perinatal. Menurut WHO 40%
kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan
kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan
akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Merchan and Agarwal (1991)
melaporkan bahwa hasil persalinan pada wanita hamil yang menderita anemia
defisiensi besi adalah, 12 -28 % angka kematian janin, 30 % kematian perinatal, dan
7 -10 % angka kematian neonatal. 8
Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada
wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap
masalah ini, Dengan diagnosa yang cepat serta penatalaksanaan yang tepat
komplikasi dapat diatasi serta akan mendapatkan prognosa yang lebih baik.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

I. SEJARAH.
Pada abad kedua sebelum masehi, Galenus mengemukakan bahwa besi
merupakan anugerah dari Mars dan pada waktu itu dipakai sebagai obat kuat,
sehingga para tabib masa purba banyak menggunakan zat besi sebagai obat
terutama pada penderita anemia yang ditandai dengan badan lemas.2,12
Pada pertengahan abad ke XVI kekurangan besi digambarkan sebagai
penyakit yang dikenal dengan nama Klorosis. Orang yang pertama sekali memakai
istilah Klorosis adalah Verandeus untuk mengantikan nama " de morbo vergineo "
yang dikemukakan oleh Lange pada tahun 1554 untuk suatu penyakit dengan gejala -
gejala muka pucat kehijauan, palpitasi, edem, sakit disendi, dan gangguan
gastrointestinal berupa obstipasi, serta nyeri tekan pada epigastrium.2,12
Klorosis merupakan suatu anemia kekurangan zat besi yang dijumpai pada
gadis- gadis berumur 14- 17 tahun dan ibu- ibu muda. Gambaran klinis dari penyakit
tersebut ialah muka pucat berwarna kuning kehijauan sebagai akibat dari kadar zat
besi dalam darah yang tidak adekuat, disamping adanya kebutuhan zat besi yang
meningkat untuk pertumbuhan dan karena haid. 2,12
Pada tahun 1830 Hoefer, Popp, Foedrich berturut- turut membuktikan bahwa
anemia hipokromik disebabkan oleh kekurangan besi. 2,12
Anemia merupakan manifestasi lebih lanjut dari adanya defisiensi besi, tetapi
gejala anemia ini sebenarnya dapat dimisalkan seperti puncak gunung es dalam laut,
dimana sesungguhnya masalah- masalah yang berkaitan dengan adanya kekurangan
zat besi jauh le bih besar. 2,12
Zat besi sangat diperlukan oleh tubuh antara lain untuk pertumbuhan,
bekerjanya berbagai macam enzim dalam tubuh, menanggulangi adanya infeksi-
infeksi, membantu kemampuan usus untuk menetralisir zat-zat toksit dan yang
paling penting ialah diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Selain itu
kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan susunan syaraf pusat dan dapat
mengurangi prestasi kerja. Dengan demikian walaupun terkadang belum jelas
didapatkan tanda- tanda anemia, kekurangan zat besi sudah bisa menyebabkan
akibat- akibat yang buruk pada tubuh, maka seyogianya perlu mendeteksi
kekurangan zat besi sedini mungkin. 2,3,12

©2003 Digitized by USU digital library 2


Pengetahuan tentang metabolisme besi dalam tubuh merupakan salah satu
kunci penanggulangan masalah kekurangan zat besi.

II. BEBERAPA ASPEK METABOLISME BESI.


Besi merupakan unsur vital untuk pembentukan hemoglobin, juga merupakan
komponen penting pada sistem enzim pemafasan seperti sitokrom- oksidase, katalase
dan peroksidase. Fungsi utama zat besi adalah untuk mengantarkan oksigen
kedalam jaringan- jaringan tubuh (Fungsi hemoglobin) dan berperan pada
mekanisme oksidase seluler (Fungsi sistem sitokro).12-14

II.1.Bentuk zat besi dalam tubuh. 12,15,16


Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu:
a. Zat besi dalam hemoglobin.
b. Zat besi dalam depot (cadangan) terutama sebagai feritin dan hemosiderin.
c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
d. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin dan beberapa
enzim antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase.

Kompartemen zat besi dalam tubuh.12

KOPARTEMEN Jumlah Zat Besi (mg) % zat besi

Hemoglobin (± 800 gr) 2000 - 2500 67

Cadangan (Feritin, Hemosiderin


± 3 gr) 1000 – 1500 27

Mioglobin (± 40 gr) 130 3,5

Pool labil 80 2,2

Heme enzim yang mengandung


zat besi (sitikrom/katalase ±
5,8 gr) 8 0,2

Transpor besi (Transferin ± 7,5


gr) 2,5 - 3 0,08
Jumlah besi ± 4000 100

Dari tabel ini kelihatan bahwa sebagian besar zat besi terikat dalam
hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan
metabolisme dalam jaringan- jaringan. Sebagian lain dari zat besi terikat dalam
sistem retikuloendotelial (Reticulo Endothelial System = RES) hepar dan sumsum
tulang sebagai depot besi untuk cadangan. Sebagian kecil dari zat besi dijumpai
dalam transporting iron binding protein (transferin ), sedangkan sebagian kecil sekali
didapati dalam enzim- enzim yang berfungsi sebagai katalisator pada proses
metabolisme dalam tubuh. Fungsi- fungsi tersebut diatas akan terganggu pada
penderita anemia defisiensi besi. 12,15,16
Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa hemoglobin, dimana
zat besi digunakan secara terus- menerus. Sebagian besar zat besi yang bebas dalam
tubuh akan dimanfaatkan kembali (reutilization), dan hanya sebagian kecil sekali
yang diekresikan melalui air kemih, feses dan keringat.2,15

©2003 Digitized by USU digital library 3


Hemoglobin.
Hemoglobin dalam eritrosit (SDM) berfungsi sebagai pengangkut oksigen,
yang merupakan konyugasi dari 2 pasang rantai globin dengan berat melekul 64500.
Sekitar 96 % dari molekul hemoglobin ini adalah globulin dan sisanya berupa heme,
yang merupakan suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung Fe
ditengahnya. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana ke 4 cincin pirol ini diikat
oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin.

II.2 Absorbsi zat besi.


Zat besi diabsorbsi dalarn bentuk ion Fe++ terutama diduodenum dan
jejenum, absorbsi akan lebih baik dalam suasana asam .
Ada 3 faktor penting yang mempengaruhi absorbsi zat besi :
a. Faktor endogen.
- Bila jumlah zat besi yang disimpan dalam depot berkurang, maka absorbsi zat
besi akan bertambah dan demikian pula sebaliknya.
- Bila aktivitas eritropoisis naik, maka absorbsi zat besi akan bertambah dan
demikian pula sebaliknya.
- Bila kadar Hemoglob in berkurang, maka absorbsi zat besi akan bertambah
dan demikian pula sebaliknya.
b. Faktor eksogen.
- Komposisi zat besi dalam bentuk Fe ++ atau Fe+++ yang didapati dalam sumber
makanan.
- Sifat kimiawi makanan yang dapat menghambat atau mempermudah absorbsi
zat besi.
Vitamin C mempennudah absorbsi zat besi karena dapat mereduksi dari bentuk
feri ke bentuk fero, Vitamin E menaikkan absorbsi zat besi karena dapat
merangsang eritropoisis, sedangkan Ca, Fosfor dan asam fitat menghambat
absorbsi zat besi, karena zat zat tersebut dengan zat besi membentuk satu
persenyawaan yang tidak dapat larut dalam air.
c. Faktor usus sendiri .
- Sekresi pankreas menghambat absorbsi zat besi.
- Asam lambung mempermudah absorbsi zat besi karena dapat merobah
bentuk Fe+++ menjadi bentuk Fe++, disamping itu asam lambung mencegah
terjadinya persenyawaan zat besi dengan fosfat yang dapat larut dalam air,
maka pada penderita Akhlorhidria dan post gastrektomi selalu dijumpai
adanya defisiensi besi.
- Gastroferin, yaitu suatu protein yang berasal dari sekresi lambung dapat
mengikat besi. Pada anemia defisiensi besi dan hemokhromatosis kadar
gastroferinnya berkurang.
- Sel mukosa usus mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi zat besi
dengan teori yang dikenal sebagai " mucosal barrier ", dimana sel mukosa
usus dapat mempertahankan kadar ion ferro dalam sel dengan cara menjaga
keseimbangan antara oksidasi- reduksi. Absorbsi zat besi dalam mukosa usus
dilakukan oleh suatu protein yang terdapat didalam dinding usus yang disebut
apoferitin. Zat besi setelah terikat oleh apoferitin akan menjadi feritin, jika sel
mukosa usus telah jenuh feritin maka zat besi tidak dapat diserap lagi oleh
mukosa usus, sebaliknya pada keadaan anemia defisiensi besi dimana sel
mukosa usus belum jenuh dengan feritin maka akan terjadi peningkatan
absorbsi zat besi.

©2003 Digitized by USU digital library 4


II.3. Transpor zat besi. 12,15,18
Lebih kurang 4 gram zat besi ada dalam tubuh, hanya 2,5 - 3 mg yang berada
dalam transferin menuju ketempat penyimpanan Fe (depot iron), atau ketempat
sintesis hemoglobin (Fe hemoglobin) dan untuk sebagian kecil sekali Fe dipakai
dalam proses enzimatous dimana diperlukan ion rerum.
Ada 2 jalan yang ditempuh untuk mengangkut zat besi uli:
1. Dengan transferin yang terdapat dalam plasma.
Transferin merupakan zat putih telur betaglobulin dengan berat molekul
80.000 -90.000. Transferin yang jenuh dengan zat besi melekat pada dinding
retikulosit. Setelah transferin melekat pada membran retikulosit tersebut, zat
besi akan ditinggalkan pada permukaan, sedangkan transferin akan bebas
kembali. Proses pelepasan Fe ini berlangsung dengan bantuan ATP dan asam
askorbik sebagai katalisator. Selanjutnya zat besi yang ada pada membran
tersebut akan menuju ke mitrokondria dan seterusnya bereaksi dengan
protoforfirin untuk membentuk heme.
Bila kejenuhan besi dalam transferin kurang dari 20 % maka Fe akan sukar
dilepaskan. Fisiologis kejenuhan Fe antara 30 - 35 %. Bilamana kejenuhan zat
besi melebihi dari 35 % maka Fe akan dilepaskan dalam tempat-tempat
penyimpanan besi (hati, limpa, dan sumsum tulang) serta dijaringan- jaringan
tubuh yang lainnya.
2. Dengan proses pinositosis oleh sel RES.
Menurut Bessis dijumpai suatu " nurse cell " yaitu sel raksasa RES yang
berfungsi sebagai perawat eritroblas. Eritroblas eritroblas ini ditangkap oleh "
nurse c ell " tersebut yang dalam protoplasmanya sudah dijenuhkan dengan
feritin, selanjutnya terjadi proses pinositosis.
Dowdle mengemukakan bahwa besi masuk kedalam mukosa usus dalam
bentuk ion atau terikat bukan dengan protein yang mempunyai berat molekul
kecil dan diabsorbsi oleh usus. Proses absorbsi ini tidak memerlukan energi.
Selanjutnya didalam sel mukosa usus persenyawaan besi itu akan berdifusi
melalui membran sel pembuluh darah, masuk kedalam plasma. Untuk proses ini
dibutuhkan energi yang diperoleh dari , oksidasi. Zat besi yang tidak cepat
melintas kedalam plasma akan tertimbun di sel mukosa usus dan bersenyawa
dengan apoferitin menjadi feritin. Zat besi diangkut dalam plasma secara terikat
dengan protein yang disebut transferin atau siderofilin, protein tersebut dibentuk
dihati dan dalam plasma kadarnya kurang lebih 2.5 gr/L, yang mengandung 2,5 -
3 mg Fe. Kemampuan daya ikat besi (Total Iron Binding Capacity = TIBC)
meningkat pada anemia defisiensi besi, kehamilan dan hipoksia. TIBC akan
menurun bila ada infeksi dan pada keadaan kekurangan protein yang berat.
Untuk memobilisasi zat besi bentuk feritin yang ada ditempat penyimpanannya
seperti di hati, persenyawaan ferri (Fe +++) direduksi menjadi persenyawaan ferro
(Fe ++). Persenyawaan ferro dalam sel tempat cadangan besi ini dapat melintasi
dinding pembuluh kapiler masuk kedalam plasma.

II.4. Ekskresi zat besi. 12,15,18


Berbeda dengan keadaannya pada mineral- mineral lainnya maka tubuh
manusia tidak sanggup untuk mengatur keseimbangan zat besi melalui ekskresi.
Jumlah zat besi yang dikeluarkan tubuh setiap hari hanya sangat kecil saja berkisar
antara 0,5 - 1 mg / hari. Ekskresi ini relatif konstan dan tidak dipengaruhi oleh
jumlah besi didalam tubuh atau absorbsinya. Besi keluar melalui rambut, kuku,
keringat, empedu, air kemih, dan yang paling besar melalui deskuamasi sel epitel
saluran pencernaan.

©2003 Digitized by USU digital library 5


Pada wanita selama mensturasi dapat kehilangan besi antara 0,5 -1 mg /hari.
Wanita habis melahirkan dengan perdarahan normal dapat kehilangan besi 500 - 550
mg / hari.

11.5. Kebutuhan zat besi. 19-21


Kebutuhan zat besi dalam makanan setiap harinya sangat berbeda, hal ini
tergantung pada umur, sex, berat badan dan keadaan individu masing- masing.
Kebutuhan zat besi yang terbesar ialah dalam 2 tahun kehidupan pertama.
selanjutnya selama periode pertumbuhan cepat dan kenaikan berat badan pada usia
remaja dan sepanjang masa produksi wanita.
Laki-laki normal dewasa memerlukan zat besi 1 -2 mg / hari, Pada masa
pertumbuhan diperlukan tambahan sekitar 0,5 - 1 mg / hari, sedangkan wanita pada
masa mensturasi memerlukan tambahan zat besi antara 0,5 - 1 mg / hari.
Pada wanita hamil kebutuhan zat besi sekitar 3 - 5 mg / hari dan tergantung
pada tuanya kehamilan. Pada seorang laki laki normal dewasa kebutuhan besi telah
cukup bila dala makanannya terdapat 10- 20 mg zat besi setiap harinya.

II.6. Cadangan zat besi.15,18,22


Sekitar 25 % dari jumlah total zat besi dalam tubuh berada dalam bentuk
cadangan zat besi (depot iron), berupa feritin dan hemosiderin yang merupakan zat
putih telur yang dapat mengikat besi. Feritin dan hemosiderin tersebut sebagian
besar terdapat dalam limpa, hati, dan sumsum tulang. Dalam keadaan normal
cadangan zat besi terdiri dari 65 % feritin dan 35 % hemosiderin.

a. Feritin.
Dapat larut dalam air dan merupaka n suatu persenyawaan zat besi dan
protein dengan berat molekul 900.000 yang terdiri dari apoferitin dan suatu koloid
ferriphosphat hidroksida. Zat besi yang dikandungnya bervariasi jumlahnya, pada
umumnya 20- 30 % dari berat molekulnya, atau 5000 atom Fe permolekul. Dengan
pemeriksaan elektroforesis maka dapat diketahui bahwa feritin yang berasal dari
limpa, hati, dan retikulosit ternyata mempunyai mobilitas yang berbeda- beda.
Perbedaan ini tidak berdasarkan atas banyaknya zat besi yang dikandungnya, akan
t etapi didasari atas muatan listrik pada permukaannya, yang dapat mengadakan
reaksi dengan anti feritin antibodi.
Dalam sumsum tulang dijumpai 2 jenis feritin:
1. Feritin anabolik
Feritin sumsum tulang dengan mobilitas yang sama seperti feritin yang terdapat
dalam gel retikulosit (SDM yang sedang tubuh).
2. Feritin katabolik
Feritin sumsum tulang dengan mobilitas yang sama seperti feritin didalam limpa
dan jaringan RES lainnya.

b.Hemosiderin.18,22
Mempunyai sifat tidak larut dalam air, merupakan persenyawaan zat besi
dengan protein yang berpartikel besar, dan merupakan kompleks koloidal Fe(OH)2
dengan fosfat, sebagai suatu derivat dari feritin.
Ada 3 cora mengevaluasi kadar zat besi cadangan (depot iron):
a. Dengan flebotomi.
Cara ini ketepatannya untuk me nghitung kadar feritin baik sekali, akan tetapi
sulit dilaksanakan secara praktis, karena darah yang diambil dari penderita harus
cukup banyaknya.
b. Dengan pewarnaan Prussian Blue ( iron staining) sediaan sumsum tulang.

©2003 Digitized by USU digital library 6


Hemosiderin akan berwarna biru coklat seperti karat besi oleh Prussian Blue ini.
Cara ini ketepatannya kurang baik, karena pembacaannya sangat subjektif,
tergantung pada ketelitian yang memeriksa.
c. Dengan Radio Immuno Assay (RIA).
Cara ini merupakan cara yang paling baik, WHO menganjurkan pemeriksaan
feritin secara RIA untuk menilai jumlah cadangan besi secara sempurna dan
tepat.

II.7 Keseimbangan negatif dari zat besi. 12,15


Bila seseorang anak / bayi sedang tumbuh membutuhkan zat besi yang lebih
banyak dari pada cadangan zat besi yang ada, maka anak atau bayi tersebut akan
mengalami keseimbangan zat besi yang negatip. Bila keadaan ini menetap, maka
usaha yang pertama dari tubuh adalah cadangan zat besi akan dipakai, bila
cadangan zat besi habis, maka bagian zat besi yang berfungsi akan dengan cepat
pula berkurang.

Terdapat 3 tingkat kekurangan zat besi ini :


I. Tingkat I
" Iron depletion" yang ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya
cadangan besi, sehingga feritin plasma akan menurun dan absorbsi zat besi akan
meningkat. Pada orang dewasa keadaan ini mudah dibedakan dengan keadaan
normal, tetapi pada anak yang sedang tumbuh agak sulit ditentukan, karena
pada anak- anak yang sedang tumbuh dalam keadaan normalpun bisa didapati
kadar hemosiderin dalam sumsum tulang yang sangat rendah.
2. Tingkat II.
Bilamana keseimbangan zat besi yang negatip menjadi lebih progresif, maka
terjadilah keadaan yang dinamakan "Iron deficiency erythropoesis" dengan
tanda-tanda penurunan cadangan zat besi (depot iron) dalam tubuh, penurunan
kadar besi dala m serum, dan penurunan kadar jenuh transferin sampai kurang
dari 16 %, tapi belum ada tanda- tanda anemia yang jelas.
3. Tingkat III.
Dinamakan " Iron deficiency anemia " Pada tingkat ini keseimbangan zat besi
yang negatip ditandai dengan adanya anemia yang nyata, disertai dengan
kelainan-kelainan seperti pada tingkat II.

III. HUBUNGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI DENGAN KEHAMILAN


Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan
yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan
kesehatan dunia (World Health Organization = WHO) melaporkan bahwa prevalensi
ibu- ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35- 75% serta semakin
meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan.31,32
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai dampak buruk, baik
pada ibunya maupun terhadap janinnya. Ibu hamil dengan anemia berat lebih
memungkinkan terjadinya partus prematur dan memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah serta dapat meningkatkan kematian perinatal. Menurut WHO 40%
kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan
kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan
akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Merchan and Agarwal (1991)
melaporkan bahwa hasil persalinan pada wanita hamil yang menderita anemia
defisiensi besi adalah, 12 -28 % angka kematian janin, 30 % kematian perinatal, dan
7 -10 % angka kematian neonatal. 31,32
Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada
wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup, dan

©2003 Digitized by USU digital library 7


dengan diagnosa yang cepat serta penatalaksanaan yang tepat komplikasi dapat
diatasi serta akan mendapatkan prognosa yang lebih baik.

IV. PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA KEHAMILAN.12,17,23-29,36,37


Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan
payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II
kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000
ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah partus.
Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang
menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron.
Volume sel darah merah total dan massa hemoglobin meningkat sekitar 20-
30 %, dimulai pada bulan ke 6 dan mencapai puncak pada aterem, kembali normal 6
bulan setelah partus. Stimulasi peningkatan 300-350 ml massa sel merah ini dapat
disebabkan oleh hubungan ant ara hormon maternal dan peningkatan eritropoitin
selama kehamilan. Peningkatan massa sel darah merah tidak cukup memadai untuk
mengimbangi peningkatan volume plasma yang sangat menyolok. Peningkatan
volume plasma menyebabkan terjadinya hidremia kehamilan atau hemodilusi, yang
menyebabkan terjadinya penurunan hematokrit ( 20- 30%), sehingga hemoglobin
dari hematokrit lebih rendah secara nyata dari pada keadaan tidak hamil.
Hemoglobin dari hematokrit mulai menurun pada bulan ke 3 - 5 kehamilan, dan
mencapai nilai terendah pada bulan ke 5- 8 dan selanjutnya sedikit meningkat pada
aterem serta kembali normal pada 6 minggu setelah partus. Besi serum menurun
namun tetap berada dalam batas normal selama kehamilan, TIBC meningkat 15 %
pada wanita hamil.
Cadangan besi wanita dewasa mengandung 2 gram, sekitar 60- 70 % berada
dalam sel darah merah yang bersirkulasi, dan 10- 30 % adalah besi cadangan yang
terutama terletak didalam hati, empedu, dan sumsum tulang. Kehamilan
membutuhkan tambahan zat besi sekitar 800- 1000 mg untuk mencukupi kebutuhan
yang terdiri dari :
1. Terjadinya peningkatan sel darah merah membutuhkan 300-400 mg zat besi dan
mencapai puncak pada 32 minggu kehamilan.
2. Janin membutuhkan zat besi 100-200 mg.
3. Pertumbuhan Plasenta membutuhkan zat besi 100- 200 mg.
4. Sekitar 190 mg hilang selama melahirkan.
Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari dibutuhkan untuk laktasi,
dengan demikian jika cadangan pada awalnya direduksi, maka pasien hamil dengan
mudah bisa mengalami kekurangan besi, dimana janin bisa mengakumulasi besi
bahkan dari ibu yang kekurangan besi. Kebutuhan besi yang meningkat tersebut
tidak terpenuhi oleh kebiasaan diet normal, walaupun ada penyerapan besi yang
meningkat selama kehamilan yaitu 1,3- 2,6 mg perhari. Setiap wanita hami l
membutuhkan sampai 2 tahun makan normal untuk mengisi kembali cadangan besi
yang telah hilang selama hamil.
Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan kekurangan
besi adalah deplesi cadangan zat besi pada hati, empedu dan sumsum tulang, diikuti
dengan menurunnya besi serum dan peningkatan TIBC, sehingga anemia
berkembang. Sel darah merah secara klasik digambarkan sebagai hipokromik-
mikrositer, tetapi perubahan morfologi karakteristik ini tidak terjadi sampai nitro
hematokrit jatuh dibawah nilai normal. Mikrositik mendahului hipokromik, dan angka
retikulosit rendah pada anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan keseimbangan
zat besi yang negatif, Jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak mencukupi kebutuhan
tubuh. Pertama - tama keseimbangan yang negatip ini oleh tubuh diusahakan untuk

©2003 Digitized by USU digital library 8


mengatasinya dengan cara mengunakan cadangan besi dalarn jaringan depot. Pada
saat cadangan besi itu habis baru anemia defisiensi besi menjadi manifes. Perjalanan
keadaan kekurangan zat besi mulai dari terjadinya anemia sampai dengan timbulnya
gejala- gejala yang klasik melalui beberapa tahapan yaitu :
I. Cadangan besi habis diikuti oleh serum feritin menurun tapi belum ada anemia.
II. Serum transferin meningkat.
III.Besi serum menurun.
IV.Perkembangan normositik, diikuti oleh anemia normokromik.
V. Perkembangan mikrositik dan anemia hipokromik.

V. ETIOLOGI 26,30
Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan.
a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b. Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c. Kurangnya zat besi dalarn makanan.
d. Kebutuhan zat besi meningkat.
e. Gangguan Pencernaan dan absorbsi.

VI. ANGKA KEJADIAN.


Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang terhadap ibu hamil merupakan
predisposisi anemia defisiensi besi pada ibu hamil di Indonesia. Kebanyakan anemia
pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi zat besi dan perdarahan akut bahkan
tidak jarang keduanya berinteraksi. 6
WHO (1992) melaporkan secara global prevalensi anemia pada kehamilan
dinegara berkembang sekitar 35- 75%, meningkat secara bermakna pada trimester
ke III. 5
Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar
63,5% 7 , sedangkan di India sekitar 60- 70%.9
Penelitian Thanglela dkk (1994) di India dari 1040 wanita hamil mendapatkan
70,4% menderita anemia, dengan distribusi 23% anemia ringan, 38,2% anemia
sedang dan 9,2% anemia berat,8 Desai (1995) mendapatkan prevalensi anemia
pada kehamilan 62%,9 sedangkan Abel dkk (1998) mendapatkan anemia defisiensi
besi pada kehamilan 70,3%. 5 Di Malaysia Rosline dkk 2001 melaporkan dari 52
orang wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah 7 orang (13,5 %)
dan 11 orang (21,1 %) mengalami defesiensi besi.10

VII. GEJALA KLINIS. 1,2,27,33


Wintrobe menge mukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi
sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit
dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama- sama
dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing,
palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem
neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa.
Berkurangnya hemoglobin menyebabkan gejala- gejala urnum seperti
keletihan, palpitasi, pucat, tinitus, dan mata berkunang- kunang disamping itu juga
dijurnpai gejala tambahan yang diduga disebabkan oleh kekurangan enzim sitokrom,
sitikrom C oksidase dan hemeritin dalam jaringan-jaringan, yang bersifat khas
seperti pusing kepala, parastesia, ujung jari dingin, atropi papil lidah.
Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl
maka gejala- gejala dan tanda- tanda anemia akan jelas.

©2003 Digitized by USU digital library 9


VIII. KELAINAN HEMATOLOGI.
A. Pemeriksaan laboratorium:22,34 -38

1 .Hemoglobin ( Hb )
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kwantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.
Metode pemeriksaan Hb adalah mudah, sederhana dan penting bila prevalensi
kekurangan besi tinggi, seperti pada kehamilan.
Keterbatasan pemeriksaan Hb adalah spesifisitasnya kurang. Untuk
mengidentifikasi anemia defisiensi besi, pemeriksaan Hb, dan hematokrit biasanya
sekaligus diukur serta haruss diukur bersama - sama dengan pengujian status besi
lain yang lebih selektif, pemeriksaan Hb sensitifitasnya 80-90 % dan spesifisitasnya
65-99%.

2. Penentuan indek eritrosit.


Mean Corpuscular Volume ( MCV ), Mean Corpuscular Hemoglobin ( MCH ),
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration ( MCHC ), Penentuan indeks eritrosit
secara tidak langsung dengan Flowcytometri atau menggunakan rumus.
a. Mean corpusculer volume = MCV (Volume sel rata- rata)
MCV adalah volume rata- rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai
berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk
setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung
dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal
70 - 100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean corpuscle heamoglobin = MCH
MCH adalah berat hemoglobin rata- rata dalam 1 eritrosit. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27- 31
pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c. Mean corpuscular hemoglobin concentration = MCHC.
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rat- rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30- 35% dan
Hipokrom < 30%.

3. Pemeriksaan hapusan darah perifer.


Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan lowcytometry hapusan darah
dapat dilihat pada kolom morfology flag.

4. Red distribution wide = RDW (Luas distribusi sel merah )


Luas distribusi sel merah adalah parameter sel darah merah masih relatif
baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi
anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat
anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,
jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW
adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan
eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %

©2003 Digitized by USU digital library 10


5. Eritrosit protoporphirin ( EP )
EP diukur dengan memakai heamatofluorometer yang hanya membutuhkan
beberapa tetes darah dan pengalaman tehniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik
pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah
serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam
individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi diurnal
yang luas. EP secara luas dipakai dalam surve populasi walaupun dalam praktek
klinis masih jarang.

6. Serum iron = SI (Besi serum)


Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum
karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Variasi diurnal ditemukan
berbeda 100% selama interval 24 jam pada orang sehat. Besi serum dipakai
kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang
spesifik.

7. Serum transferin ( Tf)


Transferin adalah protein tranport besi, dan diukur bersama - sama dengan
besi serum. Transferin serum bisa diperkirakan dengan memakai tehnik otomatik
dimana kemampuan mengikat besi total ( TffiC ) yakni jumlah besi yang bisa diikat
secara khusus oleh plasma. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi
dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit
ginjal dan keganasan.

8. Transferrin saturation = TS (jenuh Transferin )


Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi kesumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indek kekurangan suplai besi
yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. TS dapat menurun pada
penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang
disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun
dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.

9. Serum feritin.
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam
praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga
dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum
feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan
beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang
benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan
spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih
rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada
wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik
secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45
tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60 - 70 tahun,
keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada
wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II
dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin

©2003 Digitized by USU digital library 11


adalah reaktan rase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi,
keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai
essay immonoradiometris ( IRMA), Radioimmonoassay (RIA), atau Essay
immonoabsorben ( Elisa ).

10.Reseptor serum t ransferin (TfR)


Reseptor serum transferin adalah pengukuran status besi terbaru untuk
mendeteksi kekurangan besi pada tingkat seluler. Reseptor transferin ditemukan
pada membran- membran sel memungkinkan transferin yang terikat besi untuk
memasuki sel. Apabila suplai besi tidak memadai maka terjadi up- regulasi reseptor
transferin untuk menjamin sel dapat bersaing lebih efektif demi zat besi. Jumlah
reseptor pada membran sel sebanding dengan reseptor yang ditemukan pada
plasma. Peningkatan reseptor serum terjadi pada penderita kekurangan besi
eritropoisis ataupun kekurangan besi anemia. Reseptor transferin dapat diukur
dengan memakai tehnik Elida monoclonal sensitif. Nilai normal adalah 3 -9 mg/l. Pria
dan wanita sehat rata- rata 5,6 mg/l dan kekurangan besi adalah 18 mg/l. Serum
reseptor transferin memberikan suatu pengukuran yang lebih stabil dari pada jenuh
transferin. Dimana pada awalnya dipengaruhi oleh perkembangan kekurangan besi
fungsional dari indek hematologis tradisional seperti eritrosit protophorpirin ataupun
MCV. Perbedaan dengan serum feritin, reseptor transferin tetap saja normal pada
penderita peradangan akut, kronis, dan penyakit hati dan sangat efektif untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit kronis. Reseptor
transferin secara khusus penting pada wanita hamil, karena merupakan indikator
yang lebih baik terhadap status besi dari pada serum feritin, eritrioprotophorpirin,
ataupun volume sel merah rata- rata.

B .Pemeriksaan sumsum tulang.22,36


Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,
walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum
tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda
karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan
metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah
struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum
tulang adalah suatu tehnik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi
c adangan besi dalam populasi umum.

IX. DIAGNOSA.18,36

Untuk menegakkan diagnosa anemia defisiensi besi diperlukan metode


pemeriksaan yang akurat dan kriteria diagnosis yang tegas. Para peneliti telah
menyetujui bahwa diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah dan sumsum
tulang.
Untuk memudahkan dan keseragaman Diagnosa Anemia defisiensi Besi, WHO
menetapkan kriteria sebagai berikut:18

©2003 Digitized by USU digital library 12


No Anemia des.Besi Normal

1 Hemoglobin
Laki- laki dewasa < 13 15 gr/dl
Wanita dewasa (tidak hamil) < 12 13 – 14 gr/dl
Wanita dewasa (hamil) < 11 12 gr/dl

2 MCHC <31 32 – 35 %

3 Serum Iron (SI) <50 80 – 160 ugr%

4 TIBC >400 250 – 400 ugr%

5 Jenuh Transferin <15 30 – 35 %

6 Feritin serum <12 12 – 200 ugr/l

WHO juga membuat derajat keparahan Anemia pada kehamilan yaitu: 39

Kriteria Anemia Kadar Hemoglobin

Anemia Ringan 10 – 11 gr/dl

Anemia Sedang 7 – 10 gr/dl

Anemia Berat < 7 gr/dl

The Centers for Disease Control and Prevention ( CDC ) sedikit berbeda
dengan WHO, menurut CDC kriteria anemia pada kehamilan adalah Hb kurang dari
11 gr / dl untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr / dl untuk trimester
II.
NHANES II dan III ( National Health And Nutrition Examination Survey)
membuat definisi Defisiensi Zat Besi adalah bila didapati 2 dari 3 pemeriksaan
laboratorium tidak normal, meliputi :
1. Eritrosit Protoporphirin.
2. Jenuh Transferin.
3. Serum Feritin.

Anemia defisiensi besi disebut bila ditemu kan adanya defisiensi besi disertai dengan
penurunan kadar hemoglobin.40,41

X. PENGOBATAN. 42-45

1. Diet kaya zat besi dan Nutrisi yang adekuat.


Diet yang dianjurkan adalah diet yang mengandung Besi heme sebagai
hemoglobin dan mioglobin, banyak ditemukan dalam daging, unggas dan ikan,
ataupun diet yang mengandung besi non- heme, garam besi ferro atau ferri, seperti
yang ditemukan dalam sumber-sumber non- hewani seperti makanan nabati,
suplemen dan fortikan. Diet yang mengandung pemacu penyerapan zat besi seperti
asam askorbat, dan hindari diet yang mengandung penghambat penyerapan zat besi
seperti phitat, polyphenol.

©2003 Digitized by USU digital library 13


2. Pemberian zat besi.42,44,45
2.1. Pemberian zat besi oral.
Peparat zat besi oral adalah : Ferrous sulfonat, glukonat dan fumarat.
Prinsip pemberian terapi zat besi oral, Tidak boleh dihentikan setelah
hemoglobin mencapai nilai normal, tetapi harus dilanjutkan selama 2- 3 bulan
lagi untuk memperbaiki cadangan besi.
Maurer menganjurkan pemberian zat besi selama 2-3 bulan setelah
hemoglobin menjadi normal. Beutler mengemukakan bahwa yang penting
dalam pengobatan dengan zat besi adalah agar pemberiannya diteruskan
dahulu sampai morfologi darah tepi menjadi normal dan cadangan besi dalam
tubuh terpenuhi. Sebelum dilakukan pengobatan harus dikalkulasikan terlebih
dahulu jumlah zat besi yang dibutuhkan.
Misalnya Hemoglobin sebelumnya adalah 6 gr / dl, maka kekurangan
Hemoglobin adalah 12 -6 = 6 gr / dl, sehingga kebutuhan zat bei adalah:
6 x 200 mg. Kebutuhan besi untuk mengisi cadangan adalah 500 fig, maka
dosis Fe secara keseluruhan adalah 1200+500=1700 mg.
Fero sulfat : 3 tablet / hari, a 300 mg mengandung 60 mg Fe
Fero glukonat : 5 tablet / hari, a 300 mg mengandung 37 mg Fe.
Fero fumarat : 3 tablet / hari, a 200 mg mengandung 67 mg Fe.
Efek samping: Konstipasi, berak hitam, mual dan muntah.
Respon : hasil yang dicapai adalah Hb meningkat 0,3- 1 gr per- minggu,
Biasanya dalam 4- 6 minggu perawatan hematokrit meningkat
sampai nilai yang diharapkan, peningkatan biasanya dimulai pada
minggu ke 2. Peningkatan retikulosit 5- 10 hari setelah pemberian
terapi besi bisa memberikan bukti awal untuk peningkatan
produksi sel darah merah.

2.2. Pemberian zat besi par- enteral.


Metode sederhana 250 mg besi elemental sebanding dengan 1 gram
Hb.Dosis pemberian zat besi par- enteral dapat dihitung dengan mudah
dengan memakai rumus : Zat besi yang diperlukan (mg)= (15- Hb) x BBx 3.
Indikasi : - Anemia defisiensi berat .
- Mempunyai efek samping pada pemberian oral.
- Gangguan absorbsi.
Pe mberian : Dapat diberikan secara Intra- muskular maupun Intra-vena.
Peparat : Iron dextran ( Imferon), Iron sorbitek ( jectofer ) berisi 50 mg I ml,
dosis maksimum 100 mg I hari.
Persiapan: Uji sensitivitas.
Efek samping: Nyeri, Inflamasi, ple bitis, Demam, Atralgia, Hipotensi, dan
reaksi Anafilaktik.

BAB III
PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN


Anemia defisiensi besi pacta wanita hamil merupakan problema kesehatan
yang dialarni oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan
kesehatan dunia (World Health Organization = WHO) melaporkan bahwa prevalensi
ibu- ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35- 75 % serta semakin
meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan.5
Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang terhadap ibu hamil merupakan
predisposisi anemia defisiensi besi pada ibu hamil di Indonesia. Kebanyakan anemia

©2003 Digitized by USU digital library 14


pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi zat besi dan perdarahan akut bahkan
tidak jarang keduanya saling berinteraksi. 6
Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar
63,5%. Lautan J dkk (2001 ) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester
II didapati 23 (740/0) menderita anemia, dan 13 (42 %) menderita kekurangan
besi. 7
Penelitian Thang lela dkk (1994) di India daTi 1040 wanita hamil mendapatkan
70,4% menderita anemia, dengan distribusi 23% anemia ringan, 38,2% anemia
sedang dan 9,2% anemia berat.8 Desai (1995) mendapatkan prevalensi anemia
pacta kehamilan 62%. 9 Sedangkan Abel dkk (1998) mendapatkan anemia defisiensi
besi pada kehamilan 70,3%. 5
Di Malaysia Rosline dkk (2001) melaporkan dari 52 orang wanita hamil yang
menderita anemia defisiensi besi adalah 7 ( 13,5 % ) dan 11 ( 21,1 % ) mengalami
defesiensi besi. 10
Anemia defisiensi besi pacta kehamilan mempunyai gejala klinis yang
bervariasi sehingga untuk menegakkan diagnosa maka pemeriksaan darah dan
sumsum tulang merupakan hal yang sangat penting. Pada pemeriksaan fisik sering
belum menunjukan adanya gejala kecuali nilai hemoglobinnya sangat rendah dan
telah berlangsung lama.11
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai dampak negatif baik
pada ibunya maupun terhadap janinnya. Ibu hamil dengan anemia berat lebih
memungkinkan terjadinya partus prematur dan memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah serta dapat meningkatkan kematian perinatal. Menurut WHO 40%
kematian ibu- ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan.
Merchan and Agarwal ( 1991 ) melaporkan bahwa basil persalinan pada wanita hamil
yang menderita anemia defisiensi besi adalah 12 -28 % angka kematian janin, 30 %
kematian perinatal, dan 7 - 10 % angka kematian neonatal. 8
Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada
wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup, dan
dengan diagnosa yang cepat serta penatalaksanaan yang tepat komplikasi dapat
diatasi serta akan mendapatkan prognosa yang lebih baik.

3.2. PERUMUSAN MASALAH


3.2.1 Apakah pada wanita hamil terjadi anemia defisiensi besi
3.2.2 Apakah cadangan besi pada wanita hamil berkurang.
3.2.3 Apakah kekurangan cadangan zat besi pada wanita hamil akan bertambah
dengan bertambahnya usia kehamilan.

3.3 HIPOTESA
3.3.1 Pada wanita hamil terjadi anemia defisiensi besi.
3.3.2 Pada wanita hamil terjadi kekurangan cadangan besi tubuh.
3.3.3 Kekurangan zat besi tubuh pada wanita hamil akan bertambah dengan
bertambahnya usia kehamilan.

3.4 TUJUAN PENELITIAN


Untuk menilai prevalensi anemia defisiensi besi pacta wanita hamil dan
membandingkan dengan kelompok kontrol pada praktek bidan swasta.

3.5 MANFAAT PENELITIAN


Dengan mengetahui prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita hamil, maka kita
dapat melakukan pencegahan secara dini.

©2003 Digitized by USU digital library 15


3.6 BAHAN DAN CARA.
3.6.1 Desain penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional.
Waktu dan tempat penelitian :
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli 2001 sid bulan Desember 2001
dibeberapa praktek bidan swasta yang acta di Kota Madya Medan.
3.6.2 Subjek
Pasien yang diikutkan pada penelitian ini adalah wanita hamil yang berobat
jalan pada beberapa praktek bidan swasta di Kota Madya Medan, yang tidak
mendapatkan suplement hematinik ( zat besi, asam folat ) dan transfusi
darah 3 bulan terakhir.
Pasien diberitahu dan setuju untuk ikut penelitian, serta me nandatangani
informed consent.

Dikeluarkan dari penelitian bila:


1. Perdarahan masif 3 bulan terakhir.
2. Riwayat eklamsi.
3. Tidak bersedia mengikuti penelitian.

Pemeriksaan yang dilakukan :


1. dicatat data pribadi pasien, penyakit yang pernah dialami dan riwayat pemakaian
obat selama ini.
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium meliputi: Darah lengkap, serum feritin, besi serum
(SI), kapasitas ikat besi total (TIBC), dari hasil SI dan TIBC dapat dihitung jenuh
transferin (ST) = SI/TIBC x 100 %.

3.6.3 Populasi dan besar sampel .


Proporsi anemia pada wanita hamil adalah: 50 %
Maka jumlah sampel dihitung mengunakan rumus berikut:

Maka sampel diambil minimal 43 orang

©2003 Digitized by USU digital library 16


3.6.4 Cara penelitian
Pada pasien yang memenuhi kriteria untuk ikut penelitian dilakukan anamnese,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Pasien dibagi dalam 3 kelompok
yaitu, 20 orang pasien hamil trimester I, 20 orang trimester II. dan 20 orang
trimester III, sedangkan kelompok kontrol adalah 20 ora ng wanita yang tidak hamil.

3.6.5 Analisa statistik .


Analisa statistik menggunakan Student test untuk membandingkan nilai- nilai
laboratorium.

3.7 HASIL PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli 2001 sampai dengan bulan Desember
2001 terhadap 80 wanita. Diperoleh sebanyak 60 wanita hamil dan 20 orang wanita
yang tidak hamil sebagai kelompok kontrol.

3.7.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN


Dari 80 wanita yang memenuhi kriteria untuk ikut penelitian ini terdiri dari 20 orang
wanita hamil trimester I, 20 orang trimester II dan 20 orang trimester III, serta 20
orang wanita yang tidak hamil sebagai kontrol.(Tabel 1)
Tabel 1. Data karakteristik kelompok wanita hamil dan kelompok kontrol (Mean±
SD).

Trimester Trimester Trimester Kontrol


I II III
N (Jumlah) 20 20 20 20
Umur (tahun) 26.6 ± 4.95 27.6 ± 5.01 27.9 ± 6.91 26.3 ± 4.51
Hemoglobin (gr/dl) 11.74 ± 0.74 10.91 ± 0.9 10.41 ± 0.92 13.21 ± 0.81
Hematokrit (%) 33.65 ± 2.44 31.07 ± 3.06 28.78 ± 2.45 37.95 ± 2.32
SI (ug %) 49.9 ± 13.24 48.1 ± 19.69 45.85 ± 20.69 54.9 ± 14.45
TIBC (ug %) 333.35 ± 108.15381.3 ± 100.43 420.05 ± 109.37 328.75 ± 115.02
ST (%) 15.32 ± 1.91 12.21 ± 2.11 10.41 ± 3.29 17.41 ± 3.35
Feritin (ng/ml) 47.9 ± 26.2 34.0 ± 17.29 26.4 ± 19.23 49.65 ± 43.37

3.7.2 DISTRIBUSI UMUR


Pada kelompok wanita hamil trimester I umur termuda adalah 18 tahun umur
tertua adalah 36 tahun dengan rata-rata 26.60 ± 4.95 tahun, pada kelompok
trimester II umur termuda 18 tahun umur tertua 38 tahun dengan rata- rata
27.60:1: 5.01 tahun, pada kelompok trimester III umur termuda adalah 17 tahun
umur tertua adalah 43 tahun dengan rata- rata 27.90 ± 6.91 tahun, sedangkan pada
kelompok kontrol umur termuda adalah 20 tahun dan tertua adalah 40 tahun dengan
rata- rata 26.30 ± 4.51 tahun. Kalau dibandingkan umur dari kelompok wanita hamil
dengan kelompok kontrol secara statistik tidak berbeda bermakna ( p > 0,05 ).
(Tabel 2 ).

©2003 Digitized by USU digital library 17


Tabel 2. Distribusi umur pada kelompok wanita hamil dan kelompok kontrol
KELOMPOK n Umur (tahun)
Range Mean ± S D
Trimester I 20 18 - 36 26.6 ± 4.95
Trimester II 20 18 – 38 27.6 ± 5.01
Trimester III 20 17 – 43 27.9 ± 6.91
Kontrol 20 20 – 40 26.3 ± 4.51
Total 80

3.7.3. HEMOGLOBIN
Pada kelompok trimester I didapati 4 orang (20%) yang kadar hemoglobinnya
dibawah 11 gr/dl. Pada kelompok trimester II sebanyak 14 orang (70%) yang kadar
hemoglobinnya dibawah 11 gr/dl, pada kelompok trimester III sebanyak 14 orang
(70%) dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr/dl, sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat 2 orang (10%) dengan kadar hemoglobin kurang dari 12 gr/dl. Nilai
hemoglobin rata-rata dari trimester I,II, III an kelompok kontrol adalah 11.74 ± 0.74
gr/dl; 10.91 ± 0.90 gr/dl; 10.41 ± 0.92 gr/dl dan 13.21 ± 0.81 gr/dl, kalau
dibandingkan antara kelompok wanita hamil dan kelompok kontrol secara statistik
berbeda bermakna (p<0.05). Tabel 3

KELOMPOK n Kadar Hemoglobin


(gr/dl)
Range Mean ± S D
Trimester I 20 10.80 – 13.4 11.74 ± 0.74
Trimester II 20 9.70 – 13.0 10.91 ± 0.9
Trimester III 20 9.00 – 12.0 10.41 ± 0.92
Kontrol 20 11.80 – 15.2 13.21 ± 0.81
Total 20

Tabel 4. Perbandingan penderita anemia pada kelompok wanita hamil dan kontrol

Anemia Tidak Anemia Jumlah

Hamil 32 28 60

Kontrol 2 18 20

Jumlah 34 46 80

X2 = 11,59 p< 0,001

Pada tebel 4 ini terlihat bahwa proporsi penderita anemia pada wanita hamil
sebanyak 32 orang ( 53,33 % ), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 2 orang
(10 % ) , dan ini secara statistik berbeda bemakna ( p < 0,001 ).

©2003 Digitized by USU digital library 18


Tabe5. Jumlah penderita anemia berdasarkan trimester kehamilan dan kontrol.

Anemia Tidak Anemia Jumlah

Trimester I 4 16 20

Trimester II 14 6 20

Trimester III 14 6 20

Kontrol 2 18 20

Jumlah 34 46 80

Dari tabel 5 terlihat bahwa terjadi peningkatan penderita anemia dengan


makin tuanya usia kehamilan. Angka kejadian anemia pada kelompok trimester I, II,
III dan kelompok kontrol adalah : 4 orang ( 20 % ), 14 orang ( 70 % ), 14 orang (70
% ) dan 2 orang ( 10 %).

3.7.4 FERITIN
Ka dar Feritin serum rata- rata pada wanita hamil trimester I adalah 47.9 ±
26.2 ng/ml, trimester II 34.0 ± 17.29 ng/ml, trimester III 26.4 ± 19.23 ng/ml,
sedangkan kelompok kontrol adalah 49.65 ± 43.37 ng/ml, terlihat terjadi penurunan
kadar feritin serum sesuai dengan tuanya kehamilan, dan ini secara statistik berbeda
bermakna (p < 0,05). Tabel 6

Tabel 6. Kadar feritin serum rata- rata kelompok wanita dan kelompok kontrol

KELOMPOK n FERITIN SERUM (ng/ml)


Range Mean ± S D
Trimester I 20 8 – 110 47.9 ± 26.2
Trimester II 20 6 – 60 34.0 ± 17.29
Trimester III 20 3 – 66 26.4 ± 19.23
Kontrol 20 10 – 156 49.65 ± 43.37
Total 80

Tabel 7.Perbandingan penderita defisiensi besi kelompok wanita hamil dan kontrol

Defisiensi besi Tidak defisiensi Jumlah


besi
Hamil 11 49 60

Kontrol 3 17 20

Jumlah 15 66 80

X2 = 0,10 p > 0,05

©2003 Digitized by USU digital library 19


Pada tabel 7 ini terlihat bahwa propinsi defisiensi besi pada wanita hamil
adalah 11 orang (18,33 %) dan kelompok kontrol 3 orang (15 %), secara statistik ini
tidak berbeda bermakna (p>0,05).

Tabel 8. Jumlah penderita defisiensi besi berdasarkan trimester kehamilan dan


kontrol

Defisiensi besi Tidak defisiensi Jumlah


besi
Trimester I 2 18 20

Trimester II 3 17 20

Trimester III 6 14 20

Kontrol 3 17 20

Jumlah 14 66 80

Dari tabel 8 ini terlihat terjadi peningkatan defisiensi besi dengan makin
tuanya usia kehamilan. Angka penderita defisiensi besi pada trimester I,II,III dan
kelompok kontrol adalah: 2 orang, 3 orang, 6 orang dan 3 orang.

3.7.5 HEMATOKRIT
Kadar Hematokrit rata- rata didapati penurunan yang bemakna sesuai dengan
tuanya usia kehamilan. Kadar Hematokrit rata- rata pada kelompok trimester I, II, III
dan kelompokkontrol adalah 33.65 ± 2.44%; 31.07 ± 3.06%; 28.78 ± 2.45% dan
37.95 ± 2.32 %, kalau dibandingkan antara kelompok kontrol dan kelompok wanita
hamil secara statistik berbeda bermakna ( p < 0,05 ). ( Tabel 9 ).

Tabel 9. Kadar rata- rata Hematokrit kelompok wanita hamil dan kelompok kontrol.

KELOMPOK n Kadar Hematokrit (%)


Range Mean ± S D
Trimester I 20 28.6 – 38.7 33.65 ± 2.44
Trimester II 20 25.4 – 37.5 31.0 ± 3.06
Trimester III 20 24.3 – 34.3 28.7 ± 2.45
Kontrol 20 33.1 – 42.5 37.95 ± 2.32
Total 80

3.7.6 BESI SERUM


Kadar besi serum rata- rata pada wanita hamil trimester I adalah 49.9 ± 13.24
µg %, pada kelompok trimester II rata- rata 48.1 ± 19.69 µg %, Pada kelompok
trimester III rata- rata 45.85±20.69 µg %, sedangkan pada kelompok kontrol adalah
54.9 ±14.45 µg % ini secara statistik berbeda bermakna (p < 0,05 ) ( Tabel 10 ).

©2003 Digitized by USU digital library 20


Tabel 10. Kadar besi serum rata- rata pada kelompok wanita hamil dan Kelompok
kontrol
KELOMPOK n BESI SERUM (ug%)
Range Mean ± S D
Trimester I 20 22 – 78 49.9 ± 13.24
Trimester II 20 20 – 80 48.1 ± 19.69
Trimester III 20 10 – 80 45.85 ± 20.69
Kontrol 20 24 – 80 54.9 ± 14.45
Total 80

3.7.7 TIBC
Dari tabel 11 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai TIBC dengan makin
tuanya kehamilan. Nilai rata- rata TIBC kelompok wanita hamil trimester I, II, III dan
kelompok wanita yang tidak hamil (kontrol) adalah: 333.35 ± 108.15 µg % ; 381.30±
100.43 µg % ; 420.05 ± 109.37 µg % ; dan 328.75 ± 115.02 µg % dan secara
statistik berbeda bermakna ( p < 0,05 ).

KELOMPOK n TIBC (ug%)


Range Mean ± S D
Trimester I 20 160 – 520 333.35 ± 108.15
Trimester II 20 200 – 590 381.3 ± 100.43
Trimester III 20 280 – 660 420.05 ± 109.37
Kontrol 20 144 – 579 328.75 ± 115.02
Total 80

3.7.8 JENUH TRANSFERIN (JT)


Tabel 12. Nilai rata- rata jenuh transferin pada kelompok wanita hamil dan kontrol.
KELOMPOK n J T (%)
Range Mean ± S D
Trimester I 20 13.19 – 20.23 15.32 ± 1.91s
Trimester II 20 9.65 – 16.74 12.21 ± 2.11
Trimester III 20 3.33 – 13.50 10.41 ± 3.29
Kontrol 20 13.81 – 29.03 17.41 ± 3.35
Total 80

Dari tabel 12 terlihat terjadi penurunan jenuh transferi dengan meningkatnya usia
kehamilan. Nilai rata-rata JT kelompok trimester I,II,III dan kontrol adalah: 15.32 ±
1.91%; 12.21 ± 2.11%; 10.41 ± 3.29 %; dan 17.41 ± 3.35 %.

BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian yang kami lakukan terhadap 80 orang wanita, dijumpai
60 wanita hamil yang terdiri dari 20 orang kehamilan trimester I, 20 orang
kehamilan trimester II, 20 orang kehamilan trimester III dan 20 orang lagi sisanya
adalah wanita yang tidak hamil sebagai kelompok kontrol. Umur rata- rata kelompok
trimester I adalah 26,60 ± 4,95 tahun, kelompok trimester II 27,90 ± 5,01 tahun,
kelompok trimester III 27,90 ± 6,91 tahun, sedangkan kelompok kontrol dengan
kelompok wanita hamil secara statistik tidak berbeda bermakna (p<0,05

©2003 Digitized by USU digital library 21


Dari 60 wanita hamil umur termuda adalah 17 tahun dan umur tertua adalah
43 tahun, ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian dari Wahab SN di Nagpor
(1994) yaitu umur termuda adalah 15 tahun dan tertua adalah 40 tahun.45
Telah diketahui bahwa pada wanita hamil terjadi kekurangan zat besi tubuh
bahkan bisa terjadi anemia defisiensi besi , dari beberapa penelitian sebelumnya
didapatkan bahwa masih tingginya angka kejadian anemia defisiensi besi pada
wanita hamil, dan anemia defisiensi besi pada wanita hamil ini mempunyai dampak
buruk, baik terhadap ibunya maupun terhadap janin yang akan dilahirkan.8
WHO melaporkan bahwa prevalensi ibu- ibu hamil yang mengalami anemia
defisiensi besi adalah sekitar 35- 75% 5 . Di Indonesia Prevalensi anemia defisiensi
besi pada wanita hamil adalah sekitar 63.5%. lautan dkk (2001) melaporkan dari 31
orang wanita hamil pada trimester II didapati anemia defisiensi besi sekitar 23 orang
(74 %).7 Di India penelitian Thanglela dkk (1994) dari 1040 wanita hamil 70,4 %
menderita anemia, 23 % anemia ringan, 38,2 % anemia sedang dan 9,2 % anemia
berat.8 Desai (1995) mendapatkan prevalensi anemia pada kehamilan 62 %, 9
sedangkan Abel dkk (1998) mendapatkan anemia defisiensi besi pada wanita hamil
sekitar 70,3 %.5 Di Malaysia Rosline dkk ( 2001 ) melaporkan anemia defisiensi besi
pada wanita hami l sekitar 7 ( 13,5 % ). 1 0 Pada penelitian ini dari 60 wanita hamil
yang terdiri dari 20 orang trimester I, 20 orang trimester ll, dan 20 orang trimester
III. Bila diambil batasan kadar Hb < 11 gr/dl adalah anemia pada wanita hamil,
maka didapatkan 32 orang ( 53,3 % ) mengalami anemia dengan distribusi 4 orang
(20 % ) pada trimester I , 14 Orang ( 70 % ) pada trimester II dan 14 orang ( 70 %)
pada trimester III. Sesuai dengan derajat keparahan anemia pada wanita hamil
menurut WHO anemia ringan bila kadar hemoglobin 10- 11 gr/dl dan anemia sedang
hemoglobin 7- 10 gr/dl sedangkan anemia berat bila hemoglobin < 7 gr/dl, 8 maka
dari 32 orang yang menderita anemia 20 orang ( 62,5 % ) mengalami anemia ringan
dan 12 orang ( 37,5 % ) anemia sedang, dan tidak ada yang mengalami anemia
berat. Pada kelompok kontrol hemoglobin terendah adalah 11,8 gr/dl dan tertinggi
adalah 15,2 gr/dl, Sesuai dengan kriteria anemia pada wanita yang tidak hamil
adalah bila kadar hemoglobin < 12 gr/dl, maka dari 20 orang wanita yang tidak
hamil pada kelompok kontrol yang kadar hemoglobinya < 12 gr/dl adalah sebanyak
2 orang (10 % ). Bila dibandingkan antara kelompok kontrol dengan kelompok
wanita hamil maka angka kejadian anemianya secara statistik berbeda bermakna ( P
< 0,05 ) hal ini sesuai dengan basil penelitian- penelitian sebelumnya.
Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Prevalensi anemia tinggi pada
wanita hamil, hal ini dapat kita perhatikan salah satunya dari terjadinya penurunan
kadar hematokrit.1,2
Pada penelitian ini kadar hematokrit terendah adalah 24,30 % (pada
kelompok wanita hamil trimester III ), dan kadar hematokrit tertinggi adalah 38,7 %
( pada kelompok wanita hamil timester I ), sedangkan pada kelo mpok kontrol
hematokrit terendah adalah 33,10 % dan hematokrit tertinggi adalah 42,5 %. Nilai
hematokrit rata-rata trimester I, trimester II, trimester III dan kelompok kontrol
adalah 33,65±2,44%;31,O7 ±3,O6 %; 28,78 ± 2,45 % dan 37,95 ± 2,32 %, kalau
dibandingkan antara kelompok wanita hamil dan kelompok kontrol secara statistik
berbeda bermakna ( P<0,05 ). Kalau kita perhatikan kadar hematokrit rata- rata
pada kelompok wanita hamil terjadi penurunan yang bermakna sesuai dengan
tuanya usia kehamilan.
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan dari besi
serum oleh karena variasi diurnalnya yang luas dan spesifisitasnya yang kurang.22
Menurut WHO salah satu parameter dari anemia defisiensi besi adalah bila
kadar besi serum kurang dari 50 ug %. 18 Pada penelitian ini pada kelompok wanita

©2003 Digitized by USU digital library 22


hamil trimester I yang nilai besi serum kurang dari 50 ug % adalah sebanyak 6
orang (30 %), pada kelompok trimester II sebanyak 14 orang (80 %) dan kelompok
trimester III sebanyak 8 orang (40 %), sedangkan kelompok kontrol 4 orang (20
%), kalau dibandingkan antara kelompok wanita hamil dan kelompok kontrol secara
statistik berbeda bermakna ( p <0,05 ).
Pada keadaan anemia defisiensi zat besi, maka kapasitas ikat zat besi ini
meningkat ketika konsentrasi hemoglobin turun dibawah 9 gr/dl dan sering sudah
meningkat ketika konsentrasi hemoglobin antara 9- 11 gr/dl, dengan demikian
peningkatan kapasitas ikat besi total bisa merupakan kriteria diagnosis yang
berguna.
Menurut WHO salah satu kriteria diagnosis anemia defisiensi zat besi adalah
bila TIBC diatas 400 ng/l. Pada penelitian ini pada kelompok wanita hamil trimester I
sebanyak 5 orang (25 %) nilai TIBC nya diatas 400 ng/L, pada kelomp ok trimester II
sebanyak 7 orang (35 %), dan kelompok trimester III sebanyak 11 orang (55 %)
dan ini terlihat terjadi peningkatan yang bermakna sesuai dengan tuanya usia
kehamilan (P ,0,05 )
Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan kekurangan
besi adalah deplesi cadangan besi yang ditandai dengan berkurangnya atau tidak
adanya cadangan besi, sehingga feritin serum akan menurun, sedangkan kadar
hemoglobinnya masih normal. 36
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa wanita hamil mengalami
kekurangan cadangan besi walaupun anemia defisiensi besi belum ditemukan. Serum
feritin merupakan suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi.
Ganie, mendapatkan kadar serum feritin pada wanita hamil menurun secara
signifikan dari trimester ke I, trimester II, dan trimester III yaitu : 44,79 ± 20,58
ng/ml ; 24,62 ± 12,08 ng/ml dan 18,46 ± 8,91 ng/ml.4 6 Lautan dkk ( 2001)
melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester II didapati sekitar 13 orang
(42 % ) mengalami kekurangan besi. Di Malaysia Rosline dkk ( 2001 ) melaporkan
dari 52 orang wanita hamil didapatkan sekitar 11 (21,1 %) mengalami defesiensi
besi. 10
Pada penelitian ini didapatkan kadar feritin serum menurun secara bermakna
sesuai dengan tuanya usia kehamilan yaitu: 47.9 ± 26.2 ng/ml ; 34,0 ± 17,29 ng/ml
; 26,4 ± 19,23 ng/ml dengan nilai p < 0,05 .Sesuai dengan kriteria WHO disebutkan
bahwa defisiensi besi disebut bila kadar feritin serum < 12 ng/ml, pada penelitian ini
didapatkan defisiensi besi sebanyak 2 orang ( 10 % ) pada trimester I, 3 orang ( 15
% ) pada trimester II besi dan 6 orang (30 % ) pada trimester III, dan ini hampir
sama dengan hasil penelitian sebelumnya.

BABV
KESIMPULAN DAN SARAN

I. KESIMPULAN :
1. Anemia defisiensi besi dapat terjadi pada wanita hamil.
2. Anemia defisiensi besi pada wanita hamil meningkat sesuai dengan tuanya usia
kehamilan.
3. Cadangan besi pada wanita hamil rendah.

II. SARAN:
1. Pada wanita hamil dianjurkan secara dini untuk diberika makanan yang bergizi
dan mengandung cukup kandungan zat besinya.

©2003 Digitized by USU digital library 23


KEPUSTAKAAN

1. Fairbanks V F, Beutler E. Iron deficiency. In : Beutlher E et all, editors, William


Hematology. 6th ed, New York: Mc Graw- Hill inc; 1998 : 447-464.

2. Lee GR. Iron deficiency and Iron deficiency anemia. In : Wintrobe MM, Lee GR,
Boggs DR, Bithell TC, Atheus JW , editors. Clinical Hemotology. 7th ed,
Philadelphia: Lea Febiger; 1994: 621-670.

3. Hilman RS. Iron deficiency. In : Isselbacher KJ , Braunwald E, Wilson JD ,editors.


Harrison's Principles of internal medicine. 14th ed, New York: Mc Graw- Hill;2001:
638-645.

4. Rice F A Iron deficiency anemia 2001. http/www.caribou.bc.ca/schs/medtech


rice/iron deficiency.html.

5. Abel R, Rajaratnam J, Sampathkumar V. Anemia in pregnancy: Impact of iron


suplementation, deworning and IEC. 1998.

6. Prawiraharjo S. Anemia dalam kehamilan. Dalam: Buku acuan Nasional


Pelayanan Kesehatan maternal & neonatal. Jakarta :Yayasan Bina Pustaka. FK-
UI; 2001 : 281- 284.

7. Lautan J , Sinaga HSRP. The iron status of pregnant mothers in a semi urban
area of Medan city. (abstrak ). The 2th Asean conference on medical sciences
Medan 2002:154

8. Thanglela T, Vijayalaksmi P. Prevalence of anemia in pragnancy .Indian J Nutrit


and Diet ;1994 31 (2) :26- 29.

9.SulabhaMS.AnemiaandPregnancy. http/www.hsph.Harvard.edutgrhf/Sasia/forums/Nutrition/SO
15.HTM.

10. Rosline H, Ainul SAZ, Hazlina N, Zaidah W. Anemia and iron status of malay
ladies attending antenatal clinic in Kubang Kerian. (abstrak ).In : Breaching new
frontiers in Hematology. The 4th Malaysian National Hematology scentific
meeting. Penang Malaysia 2002: 78.

11. Uthman ED. Anemia, pathophysiologic consequences, classification, and clinical


investigation. http://www.neosoft.com/ - uthman/anemia/anemia.html.

12. Fairbanks V F, Beutler E. Iron metabolism. In : Beutlher E et all, editors, William


Hematology. 6th ed, New York: Mc Graw-Hill inc; 1998: 295-304.

13. Tambunan KL, Djurban Z. Anemia defisiensi besi. Dalam Soeparman, editor, Ilmu
penyakit dalam jilid II. Jakarta Balai penerbit FK- UI; 1993 : 404- 409.

14. Linker CA. Anemias. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current
Medical Diagnosis & Treatment. 38th ed. San Francisco: lange medical book;
1999:485- 488.

©2003 Digitized by USU digital library 24


15. Hypochromic Anaemia: Iron deficyency and sideroblastic anaemia. In : FirkinF,
Chesterman C, Penington D, Rush B, editors. De Gruchy's Clinical Haematology in
Medical Practice. 5th ed. Melbourne. Blecwell Scientific Publications; 1989: 37- 61.

16. Metabolisme zat besi, Anemia defisiensi zat besi dan Anemia mikrositik
hipokromik yang lain. Dalam Kuswidayati, editor: Catatan kuliah Hematologi.
Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC.1994: 67- 93.

17. Iron bioavailability. File ://A: Iron % 20 Bioavailibility%20- %20A%20Summary


.htm.

18. Nasution B. Evaluasi hasil pengobatan anemia defisiensi besi pada penderita
Ankilostomiasis. Medan, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK- USU .1985. Tesis.

19. Bothwell TH. Iron requirements in pregnancy and strategies to meet them.Am J
Clin Nutr 2000;72(suppl):257s- 264s.

20. Iron deficiency anemia in pregnancy. http://www


thedoctorslounge.net/obslounge/anemreg.html.

21. Beaton GH. Iron needs during pregnancy: dowe need to rethink our targets. Am
J Clin Nutr 2000;72(suppl): 265s- 271s.

22. Current Practice. http://www.ironpanel.org.au/AIS/AISdocs/Labg lab.html.

23. Blight G, Salder S, Helman T. Iron status and Pregnancy.


http://www.ironpanel.org.au/AIS/AISdocs/pregdocs/preg31.html.

24. Siddik D. Kehamilan resiko tinggi. Penerbit Universitas Sumatera Utara, USU
Press. Februari 2001: 43- 45.

25. Aboulafia DM. Hematologic complications of pregnancy. In: Lemcke DP, Pattison
J, Marshal LA, Cowley DS editors, Primary care of woman 1 th ed, a Lange
Medical Bokk; 1995 : 370- 372.

26. Parry E, Pattison N. Anemia in pregnancy. Medical complications during


pregnancy. J Pediatric, Obste and Gynecol; 1997: 23- 25.

27. Cunningham FG,Mac Donald PC, Gant NF, Levino KJ, Gilstapin LC. Hematologic
Disorders. In : William's Obstetrics. 19th ed. By Appleton & Lange; 1993 : 1171-
1174.

28. Boe N, Hematologic disorders in David C shaver (edt ) .Clinical manual of


Obstetrics. 2th ed, Mc GrawHill1993: 457-61.

29. Levin J, Algazy KM. Hematologic Disorders .In : Burrow GN , Ferris TF


(cds).Medical complication during pregnancy. WB Saunders Company. 1975
:689- 92.

30. Iron status and anemia in pregnancy.


http:www.hsph.harvard.edu/grhf/Sasia/forums/Nutrition/Nutritio/3ANAEMIA.HTM

©2003 Digitized by USU digital library 25


31. Bernard J B, Hakimi M, Pelletier D. An analysis of anemia and pregnancy-related
maternal mortality. American Society for nutritional sciences. 2001: 604- 615.

32. Iron and Pregnancy Recommended guidelines. http://


www.ironpanel.org.au/AIS/AISdocs/pregdocs/pregsupp.html.

33. Kar AS. Diagnosa dan manajemen anemia. Bagian Penyakit Dalam FK- USU
Medan. 2002: 1- 5.

34. Price SA, Wilson LM. Anemia defisiensi besi pada patofisiologi. Penterjemah
Catherine M Balgy .Edisi 4 ECG. Jakarta 1994: 232-234.

35. Budiwarsono, Endang R. Pendekatan diagnosis anemia pandangan baru


Laboratorium Prodia;1998: 1- 9

36. Sc rining for Iron deficiency anemia - including prophylaxis.


http://text.nlm.nih.gov/cps/www/cps.28.html.

37. Iron Deficiency Anaemia, Assessment, Prevention, and Control, Aguide for
programme managers. WHO. 2001.

38. Ruiz - Aruelllews GJ. Clinical utility of the laboratory reports provided by blood cell
counters and blood film examination. J Hematol. 2000: 11- 13.

39. Thanglela T, Vijayalaksmi P. Impact of Anemia in pragnancy .Indian J Nutrit and


Diet ;1994 31 (9) :1- 4.

40. Looker AC, Dallman PR, Carroll MD, Gunter EW, Jhonson CI. Prevalence of iron
deficiency in the United States. Jama 1997; 227 (12): 973- 976.

41. Current trends CDC Criteria for Anemia in Children and Childbearing- Aged
Women. http://wonder.cdc.gov/wonder/prevguid/p0000169.asp.

42. Supandiman I. Anemia defisiensi besi .Dalam : Hematologi klinik. 2th ed


Bandung. Penerbit Alumni; 1997: 1- 5.

43. Benson RC, Pernoll ML. Hematology disorders. in Hand book of obstetrics and
Gynecology. 9th ed, Mc Graw- Hill1994: 388- 390.

44. Sharma,Rekha. Pregnancy and Nutrition. Obstetric and Gynaecology Today.


September 1996;1(3):1- 6.

45. Wahab SN, Sakode AM. Dietary pattern of pregnant women attending
U.H.C.Nagpur.The Inddian Journal ofNitrition; 2002: 1- 4.

46. Gani RA, Arnan AK. Hemoglobin concentration, transferin saturation and serum
feeritin in pragnancy. (abstrak). The 29th World Congress of the International
Society of Hematology, Seul 2002.

©2003 Digitized by USU digital library 26

Anda mungkin juga menyukai